Minggu, 26 September 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 141

Selama beberapa hari ini Siao-Iiong-Ii duduk di dipan kemala dingin untuk menerima penyembuhan dari Yo Ko dengan menerobos Hiat-to secara terbalik. Ketika itu mereka sedang mengerahkan segenap tenaga untuk menerobos Tam-tiong-hiat, Hiat-to penting yang terletak di bagian dada. Bila Hiat-to ini sudah diterobos dengan lancar, maka berarti delapan bagian lukanya sudah tersembuhkan, akan tetapi Hiat-to ini memang amat gawat, salah sedikit saja akan menyebabkan kelumpuhan total, sebab itu harus dilakukan secara hati-hati dan sabar, sedikit pun tidak boleh gegabah.

Watak Siao-liong-li memang sangat sabar, baginya bukan soal apakah penyembuhan itu dapat dirampungkan secepatnya atau beberapa lama Iagi. Sebaliknya Yo Ko berwatak tidak sabaran, dia berharap Siao-liong-li dapat lekas sembuh. Akan tetapi dia pun maklum bahayanya penyembuhan begitu, kalau terburu napsu, bisa jadi malah runyam. Begitulah Yo Ko merasa denyut nadi Siao-liong-li terkadang keras dan di lain saat lemah, meski tidak stabil tetapi tiada tanda-tanda buruk. Diam-diam dia mengerahkan tenaga dan mempercepat usahanya menyembuhkan si nona. Dalam keadaan sunyi senyap itulah tiba-tiba dari jauh ada suara satu kali.

“Tek!” suara itu sangat lirih.

Kalau saja Yo Ko tidak sedang memusatkan pikiran tentu tak akan mendengar suara itu. Apa lagi kuburan kuno itu terletak jauh di bawah tanah, kecuali suara pernapasan mereka bertiga (termasuk Kwe Siang), sedikit kelainan suara tentu akan ketahuan. Selang tak lama.

“Tek!” suara itu kembali terdengar lagi sekali, kini jaraknya bertambah dekat.

Yo Ko tahu pasti ada sesuatu yang tak beres, tapi kuatir perhatian Siao-liong-li terganggu dan membahayakan nona itu, maka ia sengaja berlagak tidak tahu. Tak lama, lagi-lagi suara itu berbunyi, kini lebih dekat lagi, maka yakinlah Yo Ko bahwa ada orang yang menyusup. Agaknya orang itu tak berani menerobos datang begitu saja, melainkan sengaja merunduk maju dengan perlahan, dia pikir maksud kedatangan orang ini pasti tidak baik. Jika orang mampu masuk ke situ, tentu bukan sembarangan orang. Tapi celakanya keadaan Siao-liong-li tidak boleh terganggu, maka dia menjadi serba susah.

“Tek!” ternyata suara itu semakin mendekat.

Yo Ko menjadi bingung dan sukar menahan pikirannya. Tiba-tiba saja tangannya tergetar, suatu arus hawa panas tertolak balik, kiranya Siao-liong-li juga terkejut oleh suara itu. Yo Ko lekas-lekas menghimpun tenaga lantas mendorong kembali tenaga dalam Siao-liong-li sambil memberi isyarat agar si nona tenangkan diri.

Tatkala itu di luar kuburan adalah siang hari, meski musim dingin tapi sang surya sedang memancarkan cahayanya di tengah cakrawala, sebaliknya di dalam kuburan gelap gulita seperti tengah malam belaka.

Terdengar suara tadi semakin dekat lagi. Diam-diam Yo Ko mengeluh, dia pikir sejak jalan masuk kuburan tertutup rapat, di dunia ini cuma Li Bok-chiu dan Ang Ling-po saja yang tahu jalan masuk melalui dasar sungai, maka dapat dipastikan yang datang tentu salah satu di antara mereka. Dengan kepandaian Yo Ko sekarang sedikit pun tidak perlu takut biar pun Li Bok-chiu dan muridnya itu datang semua sekaligus. Celakanya kedatangannya tidak lebih cepat dan tidak lebih lambat, tetapi justru pada saat penting bagi keselamatan Siao-liong-li. Seketika Yo Ko menjadi bingung dan serba susah.

Selang sejenak, dengan jelas Siao-liong-li juga bisa mendengar suara kedatangan musuh. Dia pun buru-buru ingin menerobos Hiat-to-nya yang penting itu, tetapi karena bingung, tenaganya menjadi kacau, kadang lancar terkadang berontak, dada sendiri malah menjadi sesak. Pada saat itulah suara tindakan seseorang yang sangat halus dan cepat menerobos masuk, menyusul terdengar suara mendesirnya benda kecil, beberapa jarum menyambar tiba.

Pada waktu itu keadaan Siao-liong-li dan Yo Ko mirip orang yang tak bisa ilmu silat saja. Untungnya mereka telah siap sedia sebelumnya, begitu melihat jarum musuh menyambar, serentak mereka mendoyong ke belakang tanpa melepaskan tangan mereka yang saling menempel sehingga jarum-jarum itu menyambar lewat.

Li Bok-chiu sendiri tak menyangka kedua orang sedang mencurahkan segenap perhatian untuk penyembuhkan Siao-liong-li. Karena kuatir kedua lawannya balas menyerang, maka begitu jarum disambitkan segera ia melompat ke samping. Kalau saja dia tidak jeri kepada lawannya dan segera menyusulkan lagi jarum-jarum lain, maka Yo Ko berdua pasti celaka.

Ketajaman mata Li Bok-chiu di tempat gelap jauh di bawah Yo Ko berdua. Samar-samar dia cuma melihat dua muda-mudi itu duduk berjajar di Han-giok-jeng dipan kemala dingin. Ia menjadi kebat-kebit ketika sergapannya tidak mengenai sasaran, tetapi dia menjadi ragu-ragu pula ketika melihat lawan tidak bangkit dan balas menyerang. Cepat dia menggeser ke samping pintu dengan kebut siap di tangan, kemudian menegur:

“Hm, baik-baikkah kalian selama berpisah?”



“Apa kehendakmu?” tanya Yo Ko.

“Masa perlu tanya lagi kehendakku di saat ini?” jawab Bok-chiu.

“Ahh, Giok-Ii-sim-keng yang kau inginkan, bukan?” ujar Yo Ko. “Baiklah, memang kitab itu pun tidak berguna bagi kami yang hendak hidup tirakat di tempat ini. Nah, boleh kau ambil saja.”

Sudah tentu Li Bok-chiu setengah percaya setengah sangsi, katanya: “Mana? Bawa ke sini!”

Giok-li-sim-keng tersimpan dalam buntalan Siao-liong-li, mereka tidak dapat menyodorkannya.

“ltu dalam bungkusan di atas meja, ambil saja sendiri,” demikian jawab Yo Ko.

Li Bok-chiu tambah curiga, pikirnya: “Aneh, mengapa mereka berubah penurut begini? Dalam bungkusan itu tentu ada sesuatu yang tidak beres. Apakah barang kali dia sengaja memancing aku lebih dekat, lalu mendadak menyerang dan mencegat jalan lariku...?”

Ia menyadari bukan tandingan Siao-liong-li, karena itu segala sesuatu harus ditimbangnya dengan masak. Ia coba mengawasi sang Sumoay, terlihat sebelah tangannya menempel dengan telapak tangan Yo Ko. Seketika tergerak pikirannya: “Ah, rupanya tangan Yo Ko buntung dan parah, maka perempuan hina ini sedang membantu menyembuhkan pemuda itu dengan tenaga dalamnya. Saat ini mereka sedang menghadapi detik genting, inilah kesempatan baik bagiku untuk membinasakan mereka.”

Meski pun terkaannya cuma betul separoh, tapi rasa jerinya seketika lenyap. Segera ia menubruk maju, kebutnya menyabet kepala Siao-liong-li. Dalam keadaan demikian, kalau Siao-liong-li mengangkat tangan untuk menangkis maka serentak tenaga dalamnya akan terguncang sehingga bisa binasa seketika akibat muntah darah. Tapi sebaliknya bila serangan itu tidak ditangkis, maka batok kepalanya juga pasti akan hancur.

Syukurlah pada saat itulah mendadak Yo Ko membuka mulut dan meniup hawa ke muka Li Bok-chiu. Sebetulnya tiupan hawa ini sama sekali tidak bertenaga, tapi Li Bok-chiu tahu si Yo Ko banyak tipu akalnya. Ketika mendadak mukanya terasa hangat oleh hawa yang ditiup anak muda itu, dia menjadi kaget dan lekas melompat mundur. Ketika merasa muka tiada sesuatu kelainan barulah ia tahu tertipu. Segera ia membentak:

“Kau cari mampus, ya!”

”Ehh, baju yang kupinjamkan kepadamu tempo hari, apakah sekarang kau bawa untuk dikembalikan padaku?” tanya Yo Ko tertawa.

Li Bok-chiu jadi teringat. Waktu bertempur melawan Pang Bik-hong, pakaiannya terbakar oleh palu si pandai-besi tua yang berapi. Apa bila Yo Ko tidak menanggalkan jubahnya untuk dia, maka pasti akan telanjang dan malu. Sepantasnya kalau mengingat pemberian jubah itu dahulu tidak seharusnya dia mencelakai jiwa Yo Ko sekarang, tetapi jika hatinya sedikit lunak, bahaya di kemudian hari tentu sukar dibayangkan. Segera ia menubruk maju, tangan kirinya menghantam lagi.

Dalam keadaan kepepet tiba-tiba Yo Ko mendapat akal. Sekonyong-konyong dia berjungkir dengan kedua kaki di atas dan kepala di bawah, sekali kakinya memancal, sepatu dan kaos kaki terlepas. Serunya:

“Liong-ji, pegang kakiku!”

Berbareng itu sebelah tangannya terus dipukulkan untuk memapak hantaman Li Bok-chiu tadi. Dalam pada itu Siao-liong-li juga telah memegang kaki Yo Ko. Meski Ngo-tok-sin-ciang yang lihay itu diperoleh dari Auyang Hong, tetapi ilmu menjungkir berasal dari Kiu-im-cin-keng. Ilmu menjungkir yang merupakan kepandaian khas Auyang Hong ini belum pernah dilihat Li-Bok-chiu. Ia terkejut menyaksikan perbuatan Yo Ko yang aneh itu, ia mengerahkan tenaga sekuatnya dan ingin membinasakan lawan selekasnya.

Seketika Yo Ko merasakan ada arus hawa panas menerjang dari telapak tangan musuh. Pikirannya tergerak, sama sekali dia tidak menahan tenaga lawan itu, sebaliknya tenaga sendiri malah ditambahkan pada tenaga musuh dan disalurkan seluruhnya ke tubuh Siao-liong-li. Dengan begitu jadinya Li Bok-chiu seakan-akan membantu Yo Ko menerobos Hiat-to dan urat nadi Siao-liong-li. Biar pun apa yang dipelajari Li Bok-chiu tidak seluas Yo Ko berdua, tapi bicara tentang kekuatan sendiri, karena sudah berlatih berpuluh tahun lamanya, maka dengan sendirinya bukan main lihaynya.

Tiba-tiba Siao-liong-li merasakan satu arus tenaga maha kuat menerjang tiba, Tam-tiong-hiat seketika diterobos tembus, napas terasa lancar, hawa panas yang tadinya macet di dada seketika tersalur ke bagian perut, semangat terasa segar. Serentak dia bersorak:

“Aha, terima kasih, Suci!” Segera dia melepaskan kaki Yo Ko dan melompat turun dari dipan kemala dingin.

Tentu saja Li Bok-chiu melengak. Tadinya ia mengira Siao-liong-li yang sedang membantu menyembuhkan Yo Ko, sebab ituIah dia mengerahkan tenaga sekuatnya dengan maksud merontokkan urat nadi Yo Ko, tapi siapa tahu tanpa sengaja malah telah membantu pihak lawan. Yo Ko juga sangat girang, sekuatnya ia menolak mundur musuh, lalu ia melompat bangun dan berdiri dengan sepasang kaki telanjang, katanya dengan tertawa:

“Kalau engkau tidak keburu datang membantuku, sungguh sulit menerobos Tam-Tiong-hiat Sumoay-mu.”

Belum lagi Li Bok-chiu menjawab, mendadak Siao-liong-li menjerit sambil memegangi ulu hatinya terus jatuh ke atas dipan.

“He, ada apa?” tanya Yo Ko kuatir.

“Dia... dia... tangannya beracun!” ucap Siao-liong-li dengan ter putus-putus.

Yo Ko sendiri juga lantas merasakan kepalanya rada pusing. Rupanya tanpa disadari, ketika tangan beradu tangan tadi, racun pukulan berbisa Li Bok-chiu menyalur ke tubuh anak muda itu dan terus merembes ke tubuh Siao-liong-li.

“Serahkan obat penawarnya!” bentak Yo Ko segera sambil mengangkat Hian-tiat-pokiam, pedang pusaka yang maha berat itu. Habis itu pedangnya terus membacok.

“Trangg...!”

Li Bok-chiu menangkis dengan kebutnya, akan tetapi batang kebutnya yang terbuat dari baja itu kontan terkutung mendjadi dua, tangan juga tergetar hingga lecet dan sakit. Kebut yang pernah merontokkan nyali tokoh dunia persilatan itu ternyata sekali tebas saja telah dihancurkan lawan, sungguh kejadian ini membuatnya terkejut luar biasa, lekas-lekas dia melompat keluar. Segera Yo Ko mengejar, tampaknya sudah dekat dan baru saja pedangnya disodorkan ke depan sehingga Li Bok-chiu pasti tidak dapat menangkisnya, siapa tahu racun yang sudah bersarang dalam tubuhnya mendadak bekerja. Matanya menjadi berkunang-kunang dan tangannya terasa lemas.

“Trangg...!” pedang Hian-tiat-pokiam jatuh ke tanah.

Li Bok-chiu tidak berani berhenti, dia melompat jauh ke depan, barulah menoleh. Dilihatnya Yo Ko terhuyung-huyung sambil berpegangan dinding, tampak sekuatnya sedang menahan serangan racun di dalam tubuhnya. Merasa bukan tandingan anak muda ini, Li-Bok-chiu tidak berani mendekatinya. Dia pikir tunggu saja sementara, nanti kalau anak muda ini sudah roboh, barulah kudekati dia.

Tenggorokan Yo Ko terasa kering, kepalanya serasa mau pecah, sekuatnya ia kumpulkan tenaga pada tangan kiri, bila Li Bok-chiu mendekat segera dia hendak membinasakannya dengan sekali hantam. Tapi lawan sungguh licik dan tetap berdiri di sana. Akhirnya Yo Ko harus ambil keputusan. Ia pikir semakin lama tentu semakin meluas racun yang mengeram di tubuhnya dan tambah menguntungkan pihak musuh. Sekuatnya dia menarik napas segar, mendadak dia melompat balik ke sana dan merangkul pinggang Siao-liong-li, dengan ujung pedang ia cungkit bungkusan di atas meja kemudian melangkah keluar sambil membentak:

“Minggir!”

Melihat perbawa Yo Ko itu, ternyata Li Bok-chiu tidak berani menghadangnya. Sekarang yang diharapkan Yo Ko adalah mencari satu kamar batu yang bisa ditutup rapat sehingga untuk sementara Li Bok-chiu tak mampu masuk mengganggunya, dengan begitu mereka dapat berusaha mendesak keluar kadar racun yang berada di dalam tubuhnya. Cara mengusir racun ini jauh lebih mudah dari pada cara penyembuhan Siao-liong-li tadi. Waktu kecil Yo Ko pernah kena racun jarum Li Bok-chiu kemudian mendapat pertolongan Auyang Hong. Sekarang kepandaiannya sedemikian tinggi, begitu pula Hiat-to Siao-liong-li juga sudah lancar, tentu tidak sulit mengeluarkan racun dalam tubuh asalkan tidak direcoki Li Bok-chiu.

Li Bok-chiu juga tahu maksud dan tujuan Yo Ko ketika melihat anak muda itu menerjang keluar dengan membopong Siao-liong-li. Dia tidak membiarkan Yo Ko mencapai tujuannya, cuma dia tidak berani mendekat dan menyerang, dia terus menguntit saja dari belakang dalam jarak dua-tiga meter jauhnya. Bila Yo Ko berhenti dan menunggu, diapun berhenti.

Yo Ko merasa debar jantungnya semakin keras dan tidak sanggup bertahan lagi. Dengan sempoyongan ia berlari masuk sebuah kamar lalu mendudukkan Siao-liong-li di atas meja batu. Ia sendiri terengah-engah sambil berpegang tepi meja tanpa menghiraukan Li Bok-chiu yang tetap mengintil di belakang. Karena Li Bok-chiu juga pernah tinggal di dalam kuburan kuno ini, meski ketajamannya memandang di tempat gelap tidak sebaik Yo Ko berdua, tetapi dia pun dapat melihat jelas bahwa di kamar itu berjajar lima buah peti mati.

“Suhu benar-benar telah pilih kasih, selamanya aku tak pernah diberi-tahu tempat-tempat rahasia seperti ini, kiranya di sini ada lima buah peti mati,” demikian Li Bok-chiu berpikir. Dia tidak tahu bahwa kamar ini adalah makam guru dan kakek gurunya.

Selama hidup Li Bok-chiu sudah membunuh orang tak terbilang jumlahnya, maka tentang peti mati, mayat dan sebagainya tidak membuatnya heran. Diam-diam ia pun amat girang melihat keadaan Yo Ko yang sudah payah sekali itu. Dia lantas menyindir:

“He-he, tempat pilihanmu ini sungguh bagus sekali sebagai kuburanmu.”

Pandangan Yo Ko sebenarnya sudah samar-samar. Mendengar ucapan Li Bok-chiu, ia coba meng-amat-amati kamar itu. Ternyata tangannya bukan menahan di atas meja batu melainkan sebuah peti mati batu, jadi Siao-liong-li juga duduk di atas peti batu. Tanpa terasa ia merasa ngeri, pikirnya: “Tempo hari Liong-ji ingin aku mati bersamanya di sini, tapi sekuatnya aku lantas melarikan diri, siapa tahu akhirnya kami mati juga di sini, mungkin memang sudah suratan nasib dan takdir Ilahi.”

Keadaan Siao-liong-li juga sangat lemah dan setengah sadar, tetapi samar-samar dia pun mengetahui dirinya berada di samping peti mati sang guru. Teringat bahwa dirinya sudah berdekatan dengan gurunya, hatinya terasa lega. Dia menghela napas panjang se-akan orang yang sudah lama pergi jauh dan baru pulang kampung halaman dengan aman. Begitulah mereka bertiga hanya terdiam, seorang berdiri dan seorang duduk, seorang lagi setengah bersandar, kecuali suara hembusan napas tidak ada terdengar suara lain di dalam kamar batu itu.

“Andai kata aku dan Liong-ji harus mati sekarang, sebisanya harus kucegah agar iblis ini tidak mendapatkan kitab pusaka ini dan berbuat lebih jahat lagi di dunia luar,” demikian pikir Yo Ko.

Tiba-tiba ia mendapat satu akal. Ia tahu di antara lima buah peti mati batu itu tiga di antaranya sudah terisi, yakni jenazah Lim Tiau-eng dan muridnya serta Sun-popoh, ada pun dua peti lainnya masih kosong dan tersedia bagi Siao-liong-li dan Li Bok-chiu. Tutup kedua peti mati yang kosong itu belum dirapatkan dan masih terlihat celah selebar sekitar satu meteran.

Tiba-tiba Yo Ko angkat pedangnya lantas mencukil bungkusan berisi Giok-li-sim-keng sehingga mencelat ke dalam satu peti yang kosong, berbareng itu dia pun membentak:

“Hm, keparat! Betapa pun kitab pusaka ini takkan kuserahkan padamu, aduuh...!” tiba-tiba ia menjerit terus roboh.

Li Bok-chiu terkejut dan girang. Ia kuatir jangan-jangan Yo Ko hendak memancingnya, maka ia menunggu sejenak. Ketika melihat anak muda itu sama sekali tidak bergerak lagi barulah ia mendekatinya dan coba meraba mukanya, rasanya dingin dan jelas telah mati.

“Ha-ha-ha, betapa pun licik dan licinmu, akhirnya kau mampus juga!” serunya kemudian sambil terbahak, lalu ia mendekati peti batu dan menjulurkan tangan dengan maksud mengambil bungkusan yang terlempar ke dalam peti tadi. Namun bungkusan itu oleh Yo Ko ternyata dilemparkan ke ujung peti yang tertutup sana.

Kebut Li Bok-chiu telah putus, jika tidak tentu ujung kebut dapat digunakan untuk meraih. Sebisanya ia mengulur tangan dan meraba-raba, namun hasilnya tetap nihil. Akhirnya ia tidak sabar, ia menyusup ke dalam peti, dengan begitu barulah bungkusan itu dapat dipegangnya.


KEBURUKAN DIBALAS KEBAJIKAN

Akan tetapi pada saat itulah Yo Ko bangkit, tangan kirinya mendorong sekuatnya, kontan tutup peti merapat, seketika Li Bok-chiu terkurung dalam peti batu. Kiranya jatuh dan jeritan Yo Ko tadi hanya pura-pura belaka, serentak dia membikin ruwet denyut nadinya sehingga mukanya menjadi dingin seperti orang mati. Padahal orang mati tak mungkin jasadnya lantas kaku dingin seketika, untuk itu sedikitnya makan waktu setengah jam. Tetapi rupanya saking girangnya Li Bok-chiu menjadi kurang teliti dan terjebak oleh akal Yo Ko.

Begitu Li Bok-chiu sudah terpancing masuk ke dalam peti dan ditutup rapat, segera Yo Ko menggunakan pedangnya untuk menjungkit sekuatnya peti mati kosong yang satunya lagi untuk ditindihkan di atasnya, dengan demikian berat tutup ditambah peti batu sedikitnya setengah ton, betapa pun tak bisa keluar biar pun memiliki kepandaian setinggi langit.

Yo Ko sendiri sebenarnya dalam keadaan amat payah. Hanya terdorong oleh tekad ingin bertahan sampai detik terakhir maka sekuatnya dia menjungkit peti batu tadi. Habis itu dia benar-benar kehabisan tenaga, pedang dilemparkan ke lantai, dengan sempoyongan mendekati Siao-liong-li. Lebih dulu ia menggunakan ilmu ajaran Auyang Hong yang dahulu pernah dipelajarinya untuk menguras keluar sebagian racun dalam tubuhnya, habis itu baru ia menempelkan tangannya pada tangan Siao-liong-li untuk bantu penyembuhan.

**** 141 ****







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar