Kamis, 23 September 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 138

PASANGAN-PASANGAN BARU

Hari itu lewat lohor. Tengah mereka melanjutkan perjalanan, tiba-tiba dari depan seorang penunggang kuda mendatangi secepat terbang.

“Hei, itu kuda merah kita...!” seru Kwe Hu. Belum habis ucapannya, penunggang kuda mendekat dan segera Kwe Hu melompat maju.

Kuda itu memang betul kuda Kwe Hu yang dirampas Yo Ko. Sebelum Kwe Hu meraih tali kendali, kuda merah itu sudah lantas berhenti mendadak kemudian berjingkrak sambil meringkik kegirangan karena mengenali sang majikan. Waktu Kwe Hu mengamati penunggangnya, ternyata seorang nona berbaju hitam yang dahulu pernah berjumpa satu kali waktu bersama mengeroyok Li Bok-chiu, yaitu Wanyen Peng. Rambut nona itu tampak kusut masai, wajahnya pucat, keadaannya mengenaskan.

“He, kenapa kau, Wanyen-taci?” tanya Kwe Hu cepat.

“Di sana, lekas...,” jawab Wanyen Peng dengan suara terputus-putus sambil menuding ke belakang, mendadak tubuhnya tergeliat terus terperosot jatuh.

Segera Kwe Hu melompat turun membangunkan nona itu. Ternyata Wanyen Peng telah pingsan, pundaknya terluka dan merembes darah segar. Cepat Kwe Hu membubuhi obat luka dan merobek kain baju untuk membalut lukanya sambil berkata kepada sang ibu:

“ini Wanyen-cici yang pernah kukatakan itu.” Habis berkata dia melotot sekali pada Li Bok-chiu.

Oey Yong pikir sebelum jatuh pingsan Wanyen Peng sempat menuding ke sana, tentu di sana tengah terjadi sesuatu dan mungkin ada kawannya yang masih perlu ditolong. Cepat ia menyuruh Kwe Hu memondong Wanyen Peng ke atas kuda merah dan memberi pesan supaya mengikutinya dari belakang. Setelah ini ia memberi tanda kepada Li Bok-chiu dan mengajaknya berlari ke utara dengan Ginkang mereka yang tinggi.

Sekaligus mereka berlari belasan li tanpa berhenti. Benar juga, sayup-sayup terdengar suara beradunya senjata di lereng bukit sana. Mereka mempercepat langkah dan setelah melintasi bukit, terlihatlah ada lima orang sedang bertempur sengit di tanah datar. Dua di antara lima orang itu adalah kedua saudara Bu, selain itu ada lagi seorang pemuda dan seorang pemudi yang tidak dikenal. Mereka berempat sedang mengerubuti seorang lelaki setengah umur.

Meski empat mengeroyok satu, tampaknya masih kewalahan, lebih banyak terserang dari pada menyerang. Tampaknya kedua saudara Bu sudah terluka, hanya pemuda itu dengan pedangnya yang berputar cepat menangkis hampir sebagian besar serangan lelaki setengah umur itu. Di samping sana nampak menggeletak seorang berewok dan berlumuran darah, ternyata Bu Sam-thong adanya. Yang aneh adalah senjata lelaki itu. Tangan yang satu menggunakan golok emas, tangan lainnya memainkan pedang panjang lentik warna hitam, gerak serangannya aneh tapi luar biasa.

Oey Yong pikir apa bila tidak lekas turun tangan tentu kedua saudara Bu itu bisa celaka. Segera dia berkata kepada Li Bok-chiu:

“Kedua anak muda itu adalah muridku.”

Li Bok-chiu hanya tersenyum saja. Sudah tentu dia mengenal kedua Bu cilik itu sebab ibu mereka terbunuh olehnya. Dia lihat ilmu silat lelaki setengah umur itu sangat tinggi, diam-diam dia terkejut, segera dia siapkan kebutnya dan berkata:

“Mari kita maju bersama!”

Oey Yong juga keluarkan pentungnya, dua orang segera menerjang maju dari kanan-kiri, kebut Li Bok-chiu melayani pedang hitam dan Oey Yong menghadapi golok emas. Lelaki itu bukan lain dari pada Kongsun Ci. Dia terkejut juga ketika mendadak dua wanita setengah baya dan cantik mengerubutnya sekaligus.

Terdengar Li Bok-chiu berseru: “Satu!”

Ketika kebutnya menyabet lagi segera ia berseru pula: “Dua!”

Rupanya diam-diam dia ingin berlomba dengan Oey Yong untuk mendahului menjatuhkan senjata lawan, Tapi meski pun dia sudah berteriak sampai hitungan ke sepuluh, ternyata Kongsun Ci masih tetap dapat menahan dan balas menyerang juga. Anak muda yang berpedang tadi melihat ada kesempatan, ber-turut ia terus menyerang tiga kali ke punggung Kongsun Ci.

Serangan-serangan lihay ini membuat Kongsun Ci rada kerepotan. Karena dia tidak mau menangkisnya, terpaksa dia melompat maju untuk melepaskan diri dari kerubutan itu. Dia tahu apa bila pertempuran dilanjutkan tentu dirinya akan celaka. Mendadak kedua senjatanya ia adu hingga menguarkan suara mendenging dan bergaya hendak menerjang lagi.

Oey Yong dan Li Bok-chiu juga menyadari kelihayan lawan, mereka tidak berani gegabah dan siap bertahan. Tanpa terduga baru saja tubuh Kongsun Ci terangkat ke atas, ternyata tidak melompat maju melainkan malah menyurut mundur, hanya beberapa kali lompatan dia sudah lari sampai di atas bukit. Diam-diam Oey Yong dan Li Bok-chiu mengakui kelicinan orang dan tinggi pula ilmu silatnya, kalau saja kepergok satu lawan satu mungkin bukan tandingannya. Dalam pada itu kedua saudara Bu lantas memberi hormat kepada sang ibu guru, sesudah itu mereka terus melotot kepada Li Bok-chiu dengan sikap memusuhi.

“Sementara ini kesampingkan dulu dendam Iama,” kata Oey Yong. “Luka ayahmu parah tidak? Ehh, siapakah kedua anak muda ini? Wah, celaka! Lekas ikut aku ke sana, Li-cici!” Habis berseru dia mendahului lari ke arah kedatangannya tadi.

Li Bok-chiu tidak paham maksud seruan Oey Yong, namun ia tetap ikut berlari ke sana sambil berteriak:

“Ada apa?”

“Anak Hu,” jawab Oey Yong sambil lari, “Anak Hu akan kepergok orang tadi.”

Demikianlah mereka berlari sekencangnya. Akan tetapi Kongsun Ci juga tak kurang cepatnya, sementara itu dia sudah meninggalkan satu-dua li jauhnya. Baru saja Oey Yong berdua sampai di atas bukit, Kongsun Ci sendiri telah berada di kaki bukit, tampak Kwe Hu yang membawa Wanyen Peng dengan menunggang kuda merah itu sedang menanjak ke atas dengan perlahan.

“Awas, Hu-ji!” seru Oey Yong dari jauh.

Belum lenyap suaranya, mendadak terlihat Kongsun Ci mencemplak ke atas kuda merah, sekaligus Kwe Hu telah dibekuk olehnya, menyusul tali kendali kuda merah ditarik hendak dibelokkan ke sana. Oey Yong menjadi kuatir, kini harapannya hanya terletak pada kuda merah itu. Cepat dia bersuit untuk memanggil kuda itu. Dasar kuda merah itu memang binatang cerdik, begitu mendengar suara panggilan sang majikan, terus saja kabur ke atas bukit secepat terbang.

Keruan Kongsun Ci terkejut, pikirnya: “Sungguh sial, masa seekor kuda saja tak dapat aku kuasai?” Sekuatnya ia berusaha menarik tali kendali, tapi karena sentakan mendadak itu, kuda merah berjingkrak dan meringkik. Sebisanya Kongsun Ci berusaha memutar kuda itu ke arah lain, namun kuda merah malah mendepak-depak sambil mundur-mundur ke atas bukit. Tentu saja Oey Yong girang, cepat ia memburu maju.

Merasa tidak sanggup mengatasi kebandelan kuda merah, sementara itu kedua lawan tangguh sudah memburu, terpaksa Kongsun Ci menyimpan senjatanya, tangan yang satu ia kempit Kwe Hu dan tangan lain mengempit Wanyen Peng, ia terus melompat turun dari kuda dan kabur dengan cepat. Kongsun Ci sungguh lihay, meski pun membawa dua nona larinya tetap secepat terbang. Tetapi Ginkang Oey Yong dan Li Bok-chiu juga kelas wahid, tidak seberapa lama dapatlah mereka menyusul. jaraknya tinggal belasan meter saja. Sekonyong-konyong Kongsun Ci berhenti lalu membalik tubuh sambil berkata:



“Heh, kalau kupiting sekuatnya, kukira kedua anak perempuan cantik ini akan menghadapi Giam-lo-ong (raja akhirat).”

Oey Yong terkesiap, tanyanya kemudian: “Siapakah kau? Selamanya kita belum pernah saling kenal, mengapa kau menawan puteriku?”

“Oh, ini puterimu? Jadi kau ini nyonya Wanyen?” tanya Kongsun Ci tertawa.

“Yang itu puteriku,” kata Oey Yong sambil menunjuk Kwe Hu.

Kongsun Ci memandang sekejap pada Kwe Hu, lalu memandang Oey Yong, dengan cengar-cengir lalu berkata:

“Wah, sangat cantik, ibu dan anak sama cantiknya, sungguh cantik!”

Tentu saja Oey Yong sangat gusar, tapi apa daya, puterinya berada dalam cengkeraman musuh, terpaksa harus bersabar dan mencari akal. Selagi hendak bicara, mendadak terdengar suara mendesir dari belakang, dua anak panah menyambar lewat di pipi kirinya dan langsung mengarah muka Kongsun Ci. Kekuatan kedua anak panah itu sungguh luar biasa, suara mendesingnya sangat keras. Mendengar suara desingan panah itu, hampir saja Oey Yong berteriak kegirangan sebab disangkanya sang suami (Kwe Ceng) sudah tiba.

Maklumlah, kemahiran memanah amat jarang dimiliki tokoh persilatan daerah Tionggoan, sedangkan jago panah Mongol banyak yang tidak memiliki tenaga dalam yang kuat hingga sukar mencapai jarak jauh, maka dari suara mendesingnya panah yang keras tadi, Oey Yong merasa tiada orang lain lagi kecuali Kwe Ceng yang mampu memanah sehebat itu.

Kongsun Ci juga maha lihay. Kedua tangannya tak dapat digunakan menangkap anak panah yang menyambar, mendadak ia membuka mulut dan menggigit tepat ujung panah pertama menyusul kepalanya sedikit menggeleng hingga panah yang kedua dapat disampuk jatuh dengan panah yang digigitnya itu.

Oey Yong menjadi ragu, apakah sang suami yang memanah? Karena dia yakin apa bila Kwe Ceng yang memanah kemudian musuh berani menggigit dengan mulutnya, mustahil tenggorokannya takkan tembus oleh anak panah itu. Dalam pada itu terdengar suara mendesing berturut-turut, sekaligus sembilan panah menyambar ke muka Kongsun Ci secara susul menyusul. Mau tak mau Kongsun Ci menjadi kelabakan sehingga terpaksa ia lepaskan kedua nona dan meloIos senjata untuk menangkis.

Selagi Oey Yong hendak menubruk maju untuk menyelamatkan puterinya, sesosok bayangan sudah menggelinding ke depan, lalu merangkul Kwe Hu dan terus berguling lagi ke samping, Tapi sebelum orang itu melompat bangun, tangan Kongsun Ci yang lain menghantam kepala orang itu. Dalam kedudukan masih telentang, orang yang menolong Kwe Hu sempat menangkis dengan tangannya.

“Blangg!” debu dan pasir berhamburan.

Kongsun Ci berseru: “Bagus!”

Menyusul pukulan ke dua dilontarkan dengan lebih dahsyat. Tampaknya orang itu sulit menangkis lagi, cepat Oey Yong mengulur pentung bambunya dan menangkiskan pukulan itu. Merasa dirinya pasti takkan mampu menghadapi kerubutan orang banyak, Kongsun Ci tidak menyerang lagi, ia terbahak dan melompat mundur terus melangkah pergi. Gayanya indah, caranya tangkas pula dan ternyata tiada yang berani mengejarnya Iagi.

Setelah bangkit, orang yang merangkul Kwe Hu tadi lantas melepaskan si nona. Pinggang orang itu membawa busur, perawakannya tinggi dan bahunya lebar. Oey Yong langsung mengenalinya sebagai pemuda yang berpedang tadi, ke-11 anak panah yang dibidikkan secara berantai itu tentu dilakukan oleh anak muda ini pula. Meski pun tertawan Kongsun Ci tapi Kwe Hu tidak mengalami luka. Dengan muka merah jengah segera ia menyapa pemuda yang sudah menolongnya itu:

“Eh, kiranya Yalu-toako, terima kasih atas pertolonganmu!“

Dalam pada itu Bu Siu-bun dan nona satunya lagi sudah memburu tiba, hanya Bu Tun-si saja yang tinggal di sana menjaga ayahnya. Patutnya Bu Siu-bun memperkenalkan mereka, tetapi dia tidak dapat menahan marah dan dendamnya, kedua matanya melotot benci kepada Li Bok-chiu dan lupa keadaan sekitarnya, meski dua kali Oey Yong memanggilnya juga tidak mendengar. Kwe Hu lantas bicara kepada sang ibu sambil menunjuk pemuda yang menolongnya:

“Ibu, ini Yalu-toako!” Lalu dia tuding pula nona yang datang bersama Bu Siu-bun dan menambahkan: “Dan ini Yalu-cici.”

“Oh, hebat benar kepandaian kalian berdua!” puji Oey Yong.

Kedua saudara Yalu itu merendah sambil memberi hormat, ada pun Li Bok-chiu berdiri menjauhi di sana tanpa urus orang-orang lain.

“Gaya ilmu silat kalian nampaknya dari Coan-cin-pay, entah kalian ini murid Coan-cin-jit-cu yang mana?” tanya Oey Yong.

Dia menyaksikan kepandaian Yalu Ce yang hebat. Kecuali Yo Ko saja, di antara angkatan muda yang pernah dilihatnya boIeh dikatakan tiada bandingannya lagi, maka ia yakin Yalu Ce pasti bukan anak murid Coan-cin-pay angkatan ketiga atau keempat.

Dengan rendah hati Yalu Yen berkata: “Kepandaianku sih ajaran kakak.”

Oey Yong mengangguk dan memandang Yalu Ce. Agaknya Yalu Ce merasa sungkan untuk menerangkan, jawabnya kemudian:

“Pantasnya Wanpwe harus menjawab pertanyaan Cianpwe, cuma Suhu pernah memberi pesan agar jangan se-kali-kali menyebut nama beliau, sebab itulah mohon Kwe-hujin sudi memaafkan.”

Semula Oey Yong terkesiap, dia heran mulai kapan Coan-cin-jit-cu memakai peraturan aneh yang melarang anak murid menyebut nama gurunya? Tapi cepat pikirannya tergerak, mendadak dia tertawa terpingkal-pingkal seperti teringat sesuatu yang amat lucu.

“Apakah yang menggelikan engkau, ibu?” tanya Kwe Hu heran.

Akan tetapi Oey Yong tidak menjawab dan tetap tertawa. Tapi ternyata Yalu Ce tidak tersinggung, malah dia pun tersenyum dan akhirnya berkata:

“Kiranya Kwe-hujin dapat menerka.”

Kwe Hu tetap bingung, waktu ia pandang Yalu Yen, nona itu pun merasa tidak paham apa yang ditertawakan kedua orang itu. Di samping sana Bu Siu-bun telah membalut luka Wanyen Peng yang menjadi pecah lagi karena ditawan dan dibanting oleh Kongsun Ci tadi.

“Bagaimana keadaan ayahmu Siu-bun?” tanya Oey Yong.

Sebelum Siu-bun menjawab, tiba-tiba Yalu Yen berseru terus berlari ke tempat Bu Sam-thong menggeletak.

“Luka ayah terletak di paha kiri, terkena serangan tua bangka Kongsun itu,” tutur Siu-bun.

Oey Yong mengangguk, lalu dia mendekati kuda merah dan mengelus bulu surinya yang panjang. Katanya dengan suara terharu:

“Kudaku sayang, sungguh besar jasamu terhadap keluarga Kwe.”

Ternyata Bu Siu-bun tidak lagi bersikap akrab terhadap Kwe Hu, sebaliknya tampak amat simpati pada Wanyen Peng, entah sengaja hendak membikin sirik Kwe Hu atau memang pemuda itu benar-benar jatuh hati pada Wanyen Peng. Betapa pun juga Oey Yong tidak sempat urus persoalan anak-anak muda itu, segera dia berlari ke tempat Bu Sam-thong untuk memeriksa keadaannya.

Melihat Oey Yong, Bu Sam-thong bermaksud hendak berdiri, tapi karena kakinya terluka, tubuhnya menjadi sempoyongan, cepat Bu Tun-si dan Yalu Yen memegangi orang tua itu. Ketika jari kedua muda-mudi itu saling sentuh, keduanya saling pandang dan tersenyum penuh arti.

Diam-diam Oey Yong geli, pikirnya: “Rupanya ada satu pasangan lagi, padahal beberapa hari yang lalu kedua saudara Bu cilik itu baru saja berkelahi mati-matian berebut anak Hu tanpa menghiraukan hubungan baik saudara sekandung. Sekarang sesudah menemukan nona cantik lain, seketika segala kejadian yang lalu terlupa sama sekali.”

Bahwasanya kedua saudara Bu jatuh hati kepada Kwe Hu sebenarnya bukanlah sesuatu yang aneh. Soalnya mereka dibesarkan bersama di Tho-hoa-to, di pulau terpencil tiada anak perempuan lain, lama-lama tentu saja menimbulkan bibit cinta antara mereka. Tetapi kemudian, sesudah mengetahui Kwe Hu tidak mencintai mereka, kedua Bu cilik itu sangat kecewa dan putus asa, hidup mereka terasa hampa dan tiada artinya. Tak terduga tidak lama kemudian mereka ketemukan Yalu Yen dan Wanyen Peng, masing-masing ternyata rada cocok dengan kedua saudara Bu itu.

Sekarang mereka saling bertemu lagi, diam-diam kedua Bu cilik membandingkan Kwe Hu dengan buah hati mereka yang baru. Dan pameo ‘cinta itu buta’ juga berlaku di sini, dalam anggapan mereka tentu segala sesuatu kekasihnya jauh lebih baik. Sebenarnya kedua saudara Bu sudah bersumpah tidak akan menemui Kwe Hu lagi, tetapi pertemuan ini terjadi mendadak dan kepergok, jadi bukan sengaja hendak bertemu, maka mereka anggap bukan melanggar sumpah.

Dalam hati Kwe Hu sendiri sedang membayangkan kejadian Yalu Ce menolongnya tadi, beberapa kali dia melirik kepada anak muda yang gagah dan cakap itu, dia menjadi heran ilmu silatnya ternyata begini hebat. Anak muda itu pun saling pandang dengan ibunya dan tertawa geli, entah apa pula yang ditertawakan mereka. Demikianlah sesudah memeriksa luka Bu Sam-thong dan ternyata tidak parah, Oey Yong merasa lega. Mereka lantas ambil tempat duduk di batu karang dan saling menceritakan pengalaman masing-masing selama berpisah.

Kiranya tempo hari ketika Cu Cu-liu ikut paman gurunya, yaitu si paderi Hindu itu mencari obat ke Coat-ceng-kok, secara diam-diam Bu Sam-thong juga ikut ke sana untuk membalas budi kebaikan Yo Ko. Tapi baru saja sampai di luar kota, kedua puteranya juga keluar kota bersama. Ia terkejut dan kuatir jika kedua saudara sekandung itu akan duel lagi, cepat ia menegur dan menanyai kedua puteranya. Akhirnya barulah diketahui bahwa kedua Bu cilik telah bersumpah takkan bertemu lagi dengan Kwe Hu, maka mereka tidak ingin tinggal lagi di Siang-yang. Karena itulah mereka bertiga lantas menuju ke Coat-ceng-kok.

Tapi Coat-ceng-kok itu mirip dunia lain. Meski Yo Ko telah memberi-tahu keadaan tempat itu secara garis besar, tetapi sungguh sukar menemukan jalan masuknya. Setelah ber-putar kian kemari dan beberapa kali kesasar, akhirnya bisa juga mereka menemukan mulut lembah itu. Tak terduga paderi Hindu dan Cu Cu-liu berdua ternyata sudah tertawan oleh Kiu Jian-jio. Beberapa kali Bu Sam-thong bertiga berusaha menolong mereka, tetapi selalu gagal dan terpaksa keluar dari lembah itu dengan maksud pulang ke Siang-yang untuk mencari bala bantuan. Tak tahunya di tengah jalan mereka kepergok pula dengan Kongsun Ci. Mereka dituduh sengaja berkeliaran di lembah itu sehingga terjadilah pertarungan sengit.

Bu Sam-thong bukan tandingan Kongsun Ci, maka kakinya tertusuk pedang. Sebenarnya Kongsun Ci juga tidak bermaksud mencelakai jiwa mereka, ia ingin mengusir mereka saja dan melarang mereka datang lagi ke situ. Justru pada saat itu juga Yalu Ce dan Yalu Yen serta Wanyen Peng lewat di sana. Ketiga muda-mudi itu pernah bertemu satu kali dengan kedua Bu cilik, maka mereka pun lantas berhenti dan sapa menyapa.

Kongsun Ci baru saja gagal menikahi Siao-liong-li dan diusir sang isteri, dia sedang kesepian dan mendongkol. Begitu dilihatnya Wanyen Peng berwajah cantik, seketika timbul napsu jahatnya, mendadak dia turun tangan dan hendak menawan Wanyen Peng. Tentu saja kedua saudara Yalu beserta kedua Bu cilik tidak tinggal diam, serentak mereka mengerubut Kongsun Ci. Kalau saja Bu Sam-thong tidak terluka lebih dulu, dengan gabungan mereka berenam mestinya dapat menandingi Kongsun Ci. Kini yang dapat diandalkan hanya Yalu Ce saja, jadi biar pun mereka main keroyok sukar menandingi musuh yang lihay ini.

Untunglah pada saat itu kuda merah yang tempo hari dibawa Yo Ko dan dilepas di Cong-Iam-san lari pulang. Cepat Siu-bun mencegat kuda itu dan membiarkan Wanyen Peng kabur dengan menunggang kuda merah, lalu Wanyen Peng telah bertemu dengan Oey Yong dan Li Bok-chiu hingga akhirnya Kongsun Ci dihalau pergi. Kemudian Oey Yong juga menceritakan secara ringkas tentang buntungnya lengan Yo Ko serta membawa lari Kwe Siang. Bu Sam-thong terkejut, cepat dia menjelaskan sebabnya Yo Ko mengaku telah bertunangan dengan Kwe Hu adalah karena ingin menolong kedua Bu cilik agar tidak saling membunuh antara saudara sendiri, siapa duga akibatnya malah membikin susah Yo Ko.

Dasar watak Bu Sam-thong memang keras dan pemberang. Mengingat buntungnya Yo Ko adalah gara-gara kedua anaknya, makin dipikir semakin marah, mendadak dia menuding Siu-bun dan Tun-si terus dicaci maki. Kalau saja kakinya tidak terluka, bisa jadi dia mendekati kedua Bu cilik dan menggamparnya. Saat itu Tun-si dan Siu-bun sedang asyik bicara dengan Yalu Yen dan Wanyen Peng, tak lama kemudian Kwe Hu dan Yalu Ce ikut bicara. Usia keenam orang sebaya, mereka baru saja bahu membahu bertempur, maka obrolan mereka menjadi bersemangat.

Siapa tahu tiba-tiba Bu Sam-thong mencaci-maki, keruan Siu-bun dan Tun-si menjadi bingung, mereka tidak tahu apa sebabnya sang ayah mendadak marah. Keduanya sama melirik Yalu Yen dan Wanyen Peng, betapa pun juga mereka merasa malu mendapatkan damperatan begitu di depan si nona jelita. Apa lagi kalau sampai sang ayah membongkar rahasia hubungan mereka dengan Kwe Hu, tentu akan membikin mereka tambah runyam. Melihat keadaan serba kikuk, cepat Oey Yong menyela, katanya:

“Sudahlah, hendaknya Bu-heng jangan marah lagi, buntungnya tangan Yo Ko adalah karena puteriku yang kurang ajar, kakak Ceng juga sangat murka dan hampir saja tangan anak Hu dikutunginya.”

“Bagus, seharusnya begitu!” seru Bu Sam-thong.

Kwe Hu mendelik sekejap kepada orang tua yang sok tahu itu. Kalau saja ibunya tidak di situ, mungkin dia sudah balas mengolok-olok. Oey Yong lantas berkata pula:

“Bu-heng, sekarang sudah jelas, jadi kita telah salah menuduh Yo Ko. Paling penting sekarang kita harus menemukan Yo Ko dan minta maaf kepadanya.”

“Benar, benar!” berulang-ulang Sam-thong menyatakan setuju.

“Selain itu kita harus pergi ke Coat-ceng-kok untuk menolong susiok-mu dan Cu-toako. Berbareng itu kita akan mintakan obat penawar bagi Yo Ko. Cuma tidak diketahui kenapa Cu-toako sampai terkurung musuh dan bagaimana keadaannya sekarang?”

“Susiok dan Sute tertawan oleh barisan jaring musuh dan sekarang terkurung di sebuah kamar batu, tampaknya jiwa mereka tidak begitu menguatirkan.”

“Jika begitu biarlah kita mencari Yo Ko dahulu baru berangkat ke Coat-ceng-kok, dengan kepandaiannya yang tinggi anak muda itu merupakan pembantu yang terkuat, apa lagi begitu obat penawar didapatkan segera bisa diminum olehnya dan tidak perlu membuang waktu lagi,” kata Oey Yong.

“Benar, benar!” seru Sam-thong. “Cuma tidak diketahui sekarang Yo Ko berada di mana?”

Sambil menuding kuda merah Oey Yong menjawab: “Kuda ini baru saja dipinjam oleh Yo Ko, kuda ini akan menjadi petunjuk jalan, kita pasti dapat menemukan tempat tinggalnya.”

Bu Sam-thong sangat girang, serunya: “Untung Kwe-hujin berada di sini, kalau tidak tentu aku akan kelabakan setengah mati tanpa berdaya.”

Oey Yong pikir kalau Bu Sam-thong dan kedua puteranya ikut pergi, besar kemungkinan ketiga muda-mudi yang lainnya juga akan ikut, akan terasa lebih aman jika ada pembantu lebih banyak. Maka segera ia berkata kepada Yalu Ce:

“Bagaimana kalau kalian juga ikut bersama kami?”

Belum lagi Yalu Ce menjawab, cepat Yalu Yen mendahului bersorak: “Baiklah, kakak, kita ikut pergi.”

Tanpa terasa Yalu Ce memandang sekejap kepada Kwe Hu dan terlihat sorot mata nona itu juga memberi dorongan padanya. Ketika dia berpaling ke arah Wanyen Peng, nona itu juga tersenyum, maka dia pun menjawab dengan menghormat.

“Kami tunduk saja kepada pesan Bu-locianpwe dan Kwe-hujin, jika kami bisa selalu mendapat petunjuk kalian, itu yang kami harapkan.”

Oey Yong lantas berkata: “Meski pun jumlah kita tidak banyak, tetapi kita perlu juga seorang komandan sebagai pimpinan. Bu-heng, biarlah kami tunduk kepada pimpinanmu dan takkan membantah perintahmu.”

Namun Bu Sam-thong lantas menggelengkan kepala dan menjawab: “Tidak, jelas seorang Kunsu (juru pikir) wanita seperti kau berada di sini, siapa lagi yang berani main perintah? Sudah tentu mandat penuh kuserahkan kepadamu.”

“Apa sudah betul pilihanmu?” Oey Yong menegas dengan tertawa.

“Masa aku bergurau?” jawab Sam-thong.

“Anak-anak sih tidak menjadi soal, yang kukuatirkan adalah kau si tua ini tak mau tunduk pada perintahku,” kata Oey Yong.

“Apa perintahmu, itu pula yang kulaksanakan,” seru Sam-thong. “Sekali pun masuk lautan api atau terjun ke rawa mendidih takkan kutolak.”

“Di hadapan anak-anak muda ini, apa yang sudah kau katakan harus kau tepati,” ujar Oey Yong.

“Sudah tentu,” jawab Sam-thong dengan muka merah padam “Memang kalau tak ada orang lain aku pernah ingkar janji?”

“Bagus! itulah yang kuinginkan darimu,” kata Oey Yong.

“Keberangkatan kita ini adalah untuk mencari Yo Ko, meminta obat dan menolong kawan, semua harus dilakukan dengan cara gotong royong, maka segala dendam sakit hati pada masa lampau untuk sementara harus dikesampingkan. Jadi maksudku, Bu-heng, untuk sementara ini kalian sekali-kali tidak boleh merecoki Li Bok-chiu, nanti kalau urusan sudah beres, bolehlah kalian melabrak dia untuk menuntut balas.”







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar