Rabu, 22 September 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 136

Sebenarnya kulit mukanya memang putih bersih dan tidak perlu berbedak lagi, cuma dia habis terluka parah, mukanya pucat pasi, sesudah kedua pipinya diberi pupur dan sedikit gincu, sungguh kecantikannya sukar dilukiskan. Ia berhenti sejenak, lalu menyisir rambut, katanya dengan gegetun:

“Bicara soal menyisir rambut, sama sekali aku tidak bisa. Ko-ji, kau bisa tidak?”

“Aku pun tidak bisa! Kukira engkau lebih cantik jika rambutmu tidak tersisir,” ujar Yo Ko.

“Apa ya?” Siao-liong-li tersenyum.

Dia lantas memakai anting dan gelang serta perhiasan kepala lainnya, di bawah cahaya lilin sungguh cantik molek tak terperikan. Dengan berseri-seri dia menoleh kepada Yo Ko, maksudnya supaya dipuji beberapa patah kata oleh anak muda itu. Namun dilihatnya wajah Yo Ko ada bekas air mata, jelas anak muda itu sedang berduka. Siao-liong-li berusaha menahan perasaan dan anggap tidak tahu saja, dengan tersenyum dia bertanya:

“Ko-ji, bagus tidak dandananku ini?”

“Ba... bagus sekali...!” jawab Yo Ko dengan rada terguguk, “lni kupasangkan kopiahnya.” Segera ia angkat kopiah pengantin ke belakang si nona dan dipasang di atas kepalanya.
Dari bayangan cermin dapatlah Siao-liong-li melihat anak muda itu baru saja mengusap air mata dengan lengan baju dan ketika berada di belakangnya anak muda itu sengaja memperlihatkan wajah riangnya dan berkata:

“Untuk selanjutnya kupanggil engkau ‘Niocu’ (isteriku) atau tetap menyebut Kokoh padamu?”

Dalam hati Siao-liong-li membatin: “Masa masih ada ‘selanjutnya’ segala bagi kita?” Namun dia berusaha memperlihatkan rasa gembiranya dan menjawab dengan tersenyum: “Rasanya tidak pantas jika tetap memanggil Kokoh, sebaliknya sebutan Niocu, Hujin dan sebagainya terasa agak ke-tua-an!”

“Baiklah, untuk selanjutnya engkau memanggil Ko-ji padaku dan akan kupanggil Liong-ji padamu, jadinya adil, tidak ada yang rugi,” ujar Yo Ko tertawa, “Kelak kalau sudah punya anak barulah ganti panggilan: He, ayahnya bocah atau ibunya anak dan... dan bila anak itu sudah besar dan beristeri atau bersuami...“

Semula Siao-liong-li hanya ter-senyum mendengarkan ocehan Yo Ko yang ngalor-ngidul itu, akhirnya ia tidak tahan dan mendadak mendekam di atas peti sambil menangis sedih.

Yo Ko tahu perasaan si nona, ia lalu mendekati dan memeluknya, katanya dengan suara halus:

“Liong-ji, kau sedang tidak sehat, tapi buat apa kita pedulikan urusan selanjutnya? Yang jelas saat ini kau takkan mati dan aku pun takkan mati, marilah kita bergembira ria, siapa pun tidak perlu memikirkan urusan esok.”

Siao-liong-li mengangkat kepalanya dan mengangguk dengan tersenyum.

“Lihatlah betapa indahnya sulaman burung Hong pada gaun pengantin ini, biarlah kubantu kau mengenakannya,” kata Yo Ko pula, lalu ia menegakkan tubuh si nona dan membantu mengenakan pakaian pengantin merah itu.

Siao-liong-li mengusap air matanya lalu pipinya diberi lagi sedikit pupur, sambil tersenyum bahagia ia duduk di samping lilin merah.

Dalam pada itu Kwe Siang yang terbaring di ujung tempat tidur itu pun mementang kedua biji matanya yang hitam dan memandangi dengan penuh keheranan. Mungkin dalam hati kecilnya itu pun merasakan dandanan Siao-liong-li itu sangat cantik dan menarik.

“Aku sudah selesai berdandan, cuma sayangnya dalam peti ini tiada pakaian pengantin laki-laki. Maka terpaksa kau harus begini saja,” ujar Siao-liong-li.

“Coba kucari lagi, mungkin ada barang lain yang indah,” kata Yo Ko sambil membongkar isi peti lain dan dipindahkan ke atas tempat tidur.

Melihat ada sebuah bunga-bungaan terbuat dari emas, Siao-liong-li lantas mengambilnya dan diselipkan di atas rambut Yo Ko.

“Ya, begini barulah mirip pengantin baru,” ujar Yo Ko dengan tertawa.

Dia terus membongkar isi peti itu, sampai di dasar peti, dilihatnya ada satu tumpuk surat yang diikat dengan benang merah. Benang merah itu telah luntur, sampul surat juga telah kekuning-kuningan.

“Aku menemukan surat-surat ini,” seru Yo Ko sambil mengangkat tumpukan surat itu.

“Coba dilihat surat apa itu?” kata Siao-liong-li.

Setelah ikatannya dilepas, Yo Ko melihat pada sampul surat pertama itu tertulis: ‘Kepada sayangku Lim Tiau-eng, pribadi!’ dan pada sudut lain ada sebuah huruf ‘Say’. Surat-surat itu berjumlah lebih 20 pucuk, semuanya sama tertulis begitu. Yo Ko tahu sebelum Ong Tiong-yang terikat menjadi Tosu, nama partikelirnya adalah ‘Say’, lengkapnya Ong Say. Dengan tertawa ia berkata:

“Tampaknya surat-surat ini adalah surat cinta Ong-cosu kepada Lim-cosu kita, apakah boleh kita membacanya?”

Sejak kecil Siao-liong-li menghormati sang cikal bakal itu sebagai malaikat dewata, maka cepat ia menjawab:

“Tidak, tidak boleh!”

Yo Ko tertawa dan mengikat kembali bundel surat itu, katanya kemudian: ”Kawanan Tosu Coan-cin-kau itu sungguh terlalu kolot, melihat kita menikah di depan lukisan Tiong-yang Cosu, kita dianggap seperti berdosa dan tidak dapat diampuni. Aku justru tak percaya bahwa Tiong-yang Cosu tidak mencintai Lim-cosu. Kalau saja kita perlihatkan surat-surat cinta Ong-cosu ini pasti kawanan Tosu tua itu akan meringis semua.”

Sembari berkata ia pun memandangi Siao-liong-li dan merasa berduka bagi Lim Tiau-eng. Pikirnya: “Lim-cosu hidup sunyi dalam kuburan ini, tentu beliau ingin sekali dapat memakai baju pengantin ini namun selalu gagal, jadi kami berdua ini ternyata jauh lebih beruntung dari pada beliau.”

Tiba-tiba terdengar Siao-liong-li berkata: “Ya, kita memang lebih beruntung dari pada Lim-cosu, tapi mengapa kau menjadi tidak gembira?”

Yo Ko mengiyakan, tapi mendadak dia pun melengak dan bertanya: “He, aku tidak bicara, mengapa engkau mengetahui pikiranku?”

“Kalau tidak dapat mengetahui jalan pikiranmu mana aku sesuai menjadi isterimu?” jawab Siao-liong-li tertawa.

Yo Ko mendekatinya lalu duduk di tepi tempat tidur, dengan lengan kiri ia merangkul Siao-liong-li, sungguh tak terkatakan rasa gembira dan bahagia mereka, diharapkan semoga saat-saat demikian ini takkan berubah selamanya, kekal abadi. Sampai sekian lama keduanya guling peluk dan terdiam. Selang sebentar lagi keduanya sama memandang pada bundel surat tadi, pandang keduanya menyorotkan sorot mata yang nakal.

Maklumlah, usia mereka masih sama-sama muda sehingga watak kanak-kanak mereka belum hilang. Walau pun tahu tidak pantas membaca surat pribadi mendiang cikal bakal, tapi rasa ingin tahu sukarlah dibendung. Mendadak Yo Ko berkata:



“Bagaimana kalau kita hanya membaca sepucuk saja? Pasti tidak membaca lebih dari itu.”

“Ya, aku pun ingin sekali mengetahui isi surat itu,” jawab Siao-liong-li. “Baiklah, kita hanya membaca sepucuk saja.”

Dengan girang Yo Ko lantas membuka ikatan bundel surat tadi. Siao-liong-li berkata pula:

“Bila isi surat itu membikin orang berduka, hendaknya kau jangan bersuara membacanya bagiku.”

Yo Ko mengiyakan, ia coba mengambil sampul pertama dan dilolos keluar suratnya, lalu mulai membaca:

‘Adik Eng, kemarin dulu pasukan kita bertempur dengan pasukan musuh dan mengalami kekalahan kecil dengan kerugian beberapa ratus orang...’

Ternyata isi surat itu memberi-tahukan-keadaan medan perang dan di bagian akhir surat itu Ong Tiong-yang minta supaya Lim Tiau-eng suka menjual sebagian harta benda untuk dijadikan perbekalan pasukan. Berturut-turut dia membaca lagi dua-tiga pucuk surat lain dan isinya hampir semuanya sama, yakni mengenai situasi medan perang belaka, hampir tidak pernah menyinggung urusan pribadi mereka. Yo Ko menghela napas dan berkata:

“Tiong-yang Cosu betul-betul seorang pahlawan teladan dan ksatria sejati, segenap jiwa raganya dicurahkan bagi perjuangan sehingga melupakan kepentingan pribadi, pantaslah kalau Lim-cosu menjadi dingin hatinya.”

“Tidak!” ujar Siao-liongIi. “Ketika menerima surat-surat ini, justru Lim-cosu merasa sangat senang.”

“Dari mana kau tahu?” tanya Yo Ko heran.

“Tentu saja aku tidak tahu, aku cuma menafsirkan menurut hati sesama perempuan saja,” jawab Siao-liong-li. ”Coba kau lihat isi surat itu, yang diuraikan selalu situasi medan perang yang makin genting, namun Ong-cosu tetap tidak lupa menulis surat kepada Lim-cosu dalam keadaan yang gawat dan sulit itu, coba katakan, apakah itu tidak berarti Ong-cosu senantiasa terkenang kepada Lim-cosu?”

“Ya, benar, memang betul,” sahut Yo Ko sambil mengangguk, lalu ia membaca lagi surat yang lain.

Surat itu pun mengabarkan pasukan yang dipimpin Ong Tiong-yang mengalami kekalahan lagi karena jumlah pasukan musuh jauh lebih besar. Di samping itu pada akhir surat juga ditanyakan keadaan luka Lim Tiau-eng, meski pun singkat saja tetapi penuh simpatik dan perhatian.

Siao-liong-li hanya tersenyum hambar. Ia menyadari betapa parah lukanya sendiri, namun ia pun tidak ingin membikin kecewa anak muda itu, katanya kemudian:

“Tampaknya surat-surat itu tiada yang menyangkut rahasia pribadi, boleh kau membacanya semua.”

Yo Ko lantas membuka lagi surat-surat yang lain, kebanyakan juga berceritera mengenai pengalaman tempur di medan perang, tapi selanjutnya lebih sering lagi kalahnya sehingga nada Ong Tiong-yang semakin guram dan putus asa.

“Isi surat-surat ini hanya memerosotkan semangat orang saja, biarlah kita bicara urusan lain saja.”

“Ehh, apa ini?” mendadak nada Yo Ko berubah bersemangat, tangan yang memegang surat itu pun rada gemetar, lalu dia membacanya dengan suara lebih keras:

‘Pernah kudengar di kutub utara yang maha dingin sana ada batu dengan nama Han-giok (kemala dingin), khasiatnya bisa menghilangkan penyakit lama dan menyembuhkan luka yang sukar diobati, untuk itu akan kuusahakan mendapatkannya bagi adik Eng...’

“He, Liong-ji. Yang dimaksudkan ini apakah bukan Han-giok-joan (dipan kemala dingin) ini?”

Melihat wajah Yo Ko yang menampilkan rasa girang seperti orang yang tadinya putus asa lalu mendadak menemukan titik sinar harapan itu, dengan suara gemetar Siao-liong-li pun menjawab:

“Apakah... apakah... maksudmu kemala dingin ini bisa menyembuhkan lukaku ini?”

“Aku pun tidak tahu,” jawab Yo Ko. “Tetapi Tiong-yang Cosu berkata demikian, tentu ada alasannya. Dan nyatanya kemala dingin ini kan sudah didapatkannya dan berada di sini? Bukankah beliau memang sudah menjadikannya dipan untuk tempat tidur? Bukankah luka Lim-cosu yang parah itu akhirnya juga sembuh?”

Cepat-cepat Yo Ko membuka lagi surat yang lain dengan harapan kalau-kalau isi surat lain ada yang menguraikan tentang cara penyembuhan dengan kemala dingin itu, namun istilah ‘kemala dingin’ ternyata tidak pernah disebut lagi kecuali dalam surat tadi. Yo Ko mengikat kembali bundel surat itu dan ditaruh ke dalam peti, kemudian dia duduk termenung. Dia pikir kalau dipan kemala dingin itu memang mempunyai khasiat sehebat itu, tentu juga dapat menyembuhkan luka Siao-liong-li, hanya caranya saja yang belum dia ketahui.

“He, apa yang kau renungkan?” tegur Siao-liong-li tertawa.

“Sedang kupikirkan bagaimana caranya menyembuhkan kau dengan dipan ini, apa harus dihancurkan dan dicampur dengan obat lain, entahlah!” gumam Yo Ko.

“Tentunya kau masih ingat pada Sun-popoh? Sekiranya dipan kemala dingin ini memang dapat menyembuhkan Iuka dalam yang parah, masa Sun-popoh tidak tahu?”

Harapan Yo Ko yang tadinya berkobar seketika padam seperti disiram air dingin demi mendengar ucapan Siao-liong-li itu.

Perlahan Siao-liong-li membelai rambut Yo Ko, katanya dengan suara lembut: “Ko-ji, tidak perlu kau memikirkan lukaku, untuk apa kau membikin susah diri sendiri? Sekarang akan kuceritakan sesuatu mengenai guruku.”

Meski cukup lama tinggal bersama Siao-liong-li, tetapi jarang sekali Yo Ko mendengar si nona bercerita mengenai mendiang gurunya, maka cepat ia menanggapi

“Ya, lekaslah ceritakan!”

“Tahukah kau sebab apa meninggalnya Suhu-ku?” tanya Siao-liong-li. Yo Ko menggeleng. Siao-liong-li lalu melanjutkan: “Beliau menyepi di sini dan amat jarang keluar, tapi pada suatu ketika beliau pernah keluar menyelesaikan urusan penting mengenai Suci sehingga kena diperdayai seorang jahat. Suhu tidak mau banyak urusan meski mengalami kesukaran. Siapa tahu orang jahat itu diberi hati justru minta ampela, dan Suci diculiknya. Sebetulnya kepandaian Suhu jauh melebihi orang jahat itu, cuma dalam hal Am-gi (senjata rahasia) saja orang jahat itu lebih lihay.

Suhu-ku adalah pelayan pribadi Lim-cosu, sifatnya ramah dan penurut, hatinya bajik dan jarang marah, tetapi demi membela Suci, beliau terpaksa membuat dua macam senjata rahasia, yakni Giok-hong-kim-ciam (jarum emas tawon putih) dan Peng-pok-gin-ciam (jarum perak inti es) yang berbisa itu, hingga akhirnya Suci dapat direbut kembali setelah mengalahkan musuh.

Tapi dalam pertarungan itu Suhu juga terluka parah, walau pun mampu bertahan sampai beberapa tahun, akhirnya tak dapat disembuhkan. Ilmu pukulan Panca Bisa andalan Suci adalah ajaran orang jahat itu. Suci (Li Bok-chiu) berkumpul sekian lama dengan orang itu sehingga tanpa terasa terpengaruh juga oleh sifat jahatnya. Lantaran ini, sampai meninggalnya Suhu tetap merasa sedih.” Terkenang kepada gurunya yang berbudi itu, tanpa terasa hati Siao-liong-li menjadi amat terharu.

Pikiran Yo Ko sendiri terasa kusut. Tadinya dia merasa sudah menemukan titik harapan dapat menyembuhkan Siao-liong-li, tetapi lantas tenggelam pula dalam kegelapan. Ia pikir memang masuk di akal, andaikan dipan kemala dingin itu dapat menyembuhkan luka dalam yang parah, mengapa Sun-popoh dan guru Siao-liong-li itu tidak menggunakannya untuk menyembuhkan diri mereka.?


BERUPAYA MENYELAMATKAN JIWA

Karena urusan sudah begini, ia pikir sebaiknya jangan dirisaukan lagi, akan lebih baik jika bicara hal-hal yang menyenangkan saja dengan si nona agar hatinya gembira. Begitulah ia lantas berkata:

“Jarum emas lebih lembut dan jarum perak lebih panjang, tapi menghadapi musuh ternyata jarum emas lebih berguna dari pada jarum perak. Tampaknya nenek guru memang lebih sayang padamu, makanya jarum emas diajarkan padamu dan jarum perak diturunkan pada Li-supek.”

Siao-liong-li tersenyum, katanya: “Suhu memang sangat baik padaku, ya guru ya seperti ibu. Jika beliau mengetahui aku mendapatkan suami sebaik ini, betapa beliau akan sangat bergirang.”

“Ahh, belum tentu juga. Beliau kan melarang anak muridnya menikah,” ujar Yo Ko.

“Guruku amat baik hati dan sayang padaku. Mulanya mungkin beliau tidak mengijinkan, tapi sesudah melihat keteguhan hatiku, lama-lama beliau tentu akan menuruti permintaanku,” kata Siao-liong-li. “Hanya... hanya Li-suci saja yang berdosa kepada Suhu.”

“Bagaimana?” tanya Yo Ko.

“Waktu Suhu bertarung dengan orang jahat, sebenarnya orang itu sudah tertotok oleh Suhu dan tak bisa berkutik, siapa tahu secara diam-diam Suci membebaskannya. Rupanya Suci teringat kepada budi orang itu yang telah mengajarkan ilmu pukulan berbisa. Setelah orang itu bisa bergerak, secara mendadak dia menyerang Suhu, karena tidak berjaga-jaga, maka Suhu terkena pukulannya.”

“Siapakah nama orang jahat itu? Dia mampu menandingi Suco (kakek guru), tentu dia pun tokoh silat terkemuka.”

“Suhu tidak pernah memberi-tahukan namanya. Dia ingin hatiku bebas dari segala cita rasa, tidak kenal suka duka, budi atau dendam. Menurut Suhu, kalau nama orang ini kuketahui, tentu akan selalu kuingat dan boleh jadi kelak akan kucari untuk menuntut balas.”

“Aih, Suco sungguh orang baik budi,” ujar Yo Ko dengan gegetun.

Lalu Siao-liong-li berkata lagi: “Setelah terluka Suhu berpindah kamar dan menjauhi dipan kemala dingin. Menurut beliau, hawa dingin tak akan menghalangi kemajuan ilmu Ko-bong-pay, maka bagus sekali jika mempergunakan dipan untuk membantu berlatih Iwekang. Tapi orang yang terluka tentu tidak akan tahan.”

Melihat Siao-liong-li ada tanda-tanda lelah, Yo Ko lantas berkata: “Silakan tidur saja, akan kutunggui disini.”

“Tidak, aku tidak lelah, malam ini kita tidak tidur,” jawab Siao-liong-li sambil pentang lebar-lebar matanya.

Sesungguhnya dalam hati kecilnya kuatir akan lukanya yang parah. Jika sampai tertidur dan seterusnya tidak pernah sadar lagi, berarti selamanya tak akan bertemu lagi dengan Yo Ko. Karena itu ia lantas menambahkan:

“Ajaklah aku bicara saja. Ehh, kau sendiri tampaknya lelah?”

“Tidak, aku tidak lelah,” jawab Yo Ko menggeleng, “Kalau pun tidak ingin tidur, bolehlah kau memejamkan mata untuk menghilangkan kantuk.”

Siao-liong-li mengiyakan dan perlahan memejamkan matanya, lalu berkata dengan suara perlahan.

“Sering kali Suhu berkata padaku bahwa ada satu hal yang tidak dipahaminya sampai akhir hayat. Ko-ji, kau sangat pintar, coba ikut memikirkan soal ini.”

“Soal apa?” tanya Yo Ko.

“Ketika orang jahat itu tertotok oleh Suhu dengan ilmu Tiam-hiat khas ciptaan Lim-cosu, entah dengan cara bagaimana Li-suci bisa membuka Hiat-to orang jahat yang tertotok itu. Padahal selama hidupnya Lim-cosu hanya mengajarkannya kepada Suhu-ku dan Suhu-ku tidak mengajarkannya kepada Li-suci.”

“Mungkin pada waktu suco berlatih sendiri, di luar tahu beliau Li-suci telah mengintip dan mempelajarinya diam-diam,” kata Yo Ko.

“Tidak, tidak bisa, kau sendiri pun tahu,” ujar Siao-long-li.

Yo Ko pikir ilmu Tiam-hiat perguruan sendiri memang sangat aneh dan ruwet, betapa pun sukar dipelajari dengan jalan mengintip. Selagi dia hendak bicara !agi, terasa Siao-liong-li yang bersandar di badannya berdiam, napasnya terhembus halus, ternyata sudah tertidur. Sambil ter-mangu memandangi wajah si nona, pikiran Yo Ko bergolak. Selang tak lama, sebuah lilin padam karena sudah habis tersulut, tidak lama kemudian lilin kedua juga padam.

Mendadak Yo Ko membayangkan kedua lilin itu seperti dirinya dan Siao-liong-li, sesudah tersulut habis, akhirnya padam, tamat. Selagi ter-mangu didengarnya Siao-liong-li menghela napas panjang kemudian berkata:

“Tidak, aku tidak mau mati, Ko-ji, aku tidak mau mati! Kita harus hidup terus, hidup untuk selamanya.”

“Benar, kita takkan mati, engkau pasti akan sehat kembali setelah istirahat beberapa hari lagi,” kata Yo Ko. “Bagaimana rasa dadamu sekarang?”

Namun Siao-liong-li tidak menjawab, rupanya tadi hanya mengigau belaka. Yo Ko meraba kening si nona, ternyata panas sekali, dia menjadi kuatir dan sedih. Pikirnya dalam hati:

“Li-Bok-chiu yang jahatnya kelewat takaran sampai saat ini masih hidup segar bugar, sebaliknya Liong-ji selama hidupnya tidak pernah berbuat sesuatu yang merugikan orang lain kini dekat dengan ajalnya. Ohh, Thian yang maha kasih, di manakah letak keadilanmu?”

Selamanya Yo Ko tidak gentar apa pun juga. Dalam keadaan tak berdaya, tanpa terasa ia geser tubuh Siao-liong-li ke sampingnya lantas berlutut dan berdoa dalam batin:

“Thian yang welas asih, semoga memberi berkah selamat kepada Liong-ji, untuk itu aku... aku rela...” Padahal untuk keselamatan Siao-liong-li, tiada sesuatu pun yang dia ragukan untuk dilakukannya guna menebus jiwa si nona.

BegituIah selagi dia berdoa dengan khidmatnya, tiba-tiba terdengar Siao-liong-li berkata:

“Ya, benar Auyang Hong, Sun-popoh bilang pasti Auyang Hong adanya, Ko-ji, ehh, Ko-ji, ke mana kau?” Sambil berseru mendadak dia pun bangun duduk.

Karena itu cepat Yo Ko kembali duduk di samping si nona dan memegangi tangannya sambil berkata:

“Aku berada di sini.”

DaIam tidurnya tiba-tiba merasa kehilangan sandaran, seketika Siao-liong-li terjaga bangun. Tapi ia menjadi girang dan lega setelah melihat Yo Ko masih tetap berada di sampingnya.

“Jangan kuatir, Liong-ji, aku tidak akan meninggalkan kau untuk selama-lamanya,” kata Yo Ko. ”Seumpama kelak kita harus keluar dari kuburan kuno ini, aku akan tetap berjaga di sampingmu tanpa berpisah selangkah pun.”

“Di dunia luar sana sesungguhnya memang jauh lebih bagus dari pada tempat yang sunyi dan seram ini,” ujar Siao Iiong-li. “Cuma aku takut begitu berada di luar sana.”

“Sekarang kita tidak perlu takut lagi,” kata Yo-Ko. “Beberapa bulan lagi bila kesehatanmu sudah pulih kembali, kita berdua akan pergi ke selatan. Konon cuaca di sana selalu cerah dan pemandangannya sangat indah. Di sana kita tidak perlu lagi main senjata segala, kita akan bercocok tanam, berkebun dan beternak, kita juga akan punya anak banyak...”

Siao-liong-li juga ikut membayangkan kehidupan yang indah itu, katanya: “Ya, selamanya kita takkan main senjata, tiada orang memusuhi kita dan kita pun takkan berkelahi dengan orang lain. Kita berkebun dan piara ayam, piara itik. Aih, apa bila aku boleh tetap hidup...”

Begitulah keduanya terdiam sejenak, meski berada di kuburan kuno tapi dua buah hati mereka selalu melayang jauh ke selatan yang alamnya indah permai. Selamanya mereka belum pernah menginjak daerah selatan, tapi hidung serasa sudah mencium bau harum bunga dan telinga mendengar kicauan burung merdu. Siao-liong-li benar-benar tidak tahan lagi, lapat-lapat ia hendak pulas lagi, tetapi sesungguhnya ia tidak ingin tidur, katanya:

“Aku tidak ingin tidur, bicaralah padaku!”

“Tadi dalam tidur kau mengigau tentang Auyang Hong, mengenai urusan apa itu?” tanya Yo Ko.

Seperti diketahui, waktu kecilnya Yo Ko pernah mengakui Auyang Hong sebagai ayah angkat, kemudian didengarnya dari orang Coan-cin-kau bahwa Auyang Hong berjuluk ‘Se-tok’ (si racun barat), namanya sangat busuk di dunia persilatan malahan Tam Ju-toan, salah satu dari tujuh tokoh Coan-cin-pay itu tewas di tangannya. Kemudian Yo Ko masuk perguruan Ko-bong-pay dan tidak berani lagi bicara mengenai Auyang Hong. Sekarang dia telah menikah dengan Siao-liong-li dan segala apa pun boleh dibicarakan, maka dia pun terheran-heran mendengar igauan Siao-liong-li tadi.

“Apakah aku menyebut Auyang Hong?” demikian jawab Siao-liong-li.

“Kau juga mengatakan bahwa Sun-popoh bilang pasti dia,” kata Yo Ko pula.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar