Rabu, 22 September 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 135

DemikianIah Coan-cin-ngo-cu dan Ciu Pek-thong kembali lagi ke ruangan pendopo untuk menanyakan seluk-beluk datangnya utusan raja Mongol, juga pertengkaran antara golongan In Ci-peng dengan komplotan Thio Ci-keng dan bagaimana mendadak muncul Siao-liong-li sehingga terjadi pertarungan sengit. Dengan sejujurnya Li Ci-siang dan Song Tek-hong lalu memberikan laporan secara jelas. Khu Ju-ki meneteskan air mata dan berkata:

“Meski Ci-peng berbuat salah, tetapi dia juga telah membela Coan-cin-kau dengan mati-matian dan tidak sudi menyerah pada Mongol, jasanya tidak kecil.”

“Benar, kesalahan Ci-peng tidak lebih besar dari pada jasanya, betapa pun juga kita tetap mengakui dia sebagai pejabat ketua lama,” kata Ong Ju-it dan ditunjang oleh Lau Ju-hian dan lain-lain.

Kalau Khu Ju-ki dan lain-lainnya sedang sibuk menanyai Li Ci-siang untuk membereskan persoalan selanjutnya, Ciu Pek-thong ternyata tidak mau ambil pusing, ia malah sibuk memainkan botol madu. Beberapa kali dia ingin membuka botol itu untuk memancing kedatangan kawanan tawon, tetapi dia pun takut kalau sekali tawon sudah datang tak bisa dihalau pergi lagi.

Dalam pada itu seorang murid memberi laporan bahwa ada lima orang murid lain sedang menderita tersengat tawon dan mohon para guru berusaha mengobatinya. Hek Tay-thong lantas teringat pada pemberian madu tawon oleh Sun-popoh dahulu! Ia segera mendekati Ciu Pek-thong dan berkata:

“Kebetulan Susiok membawa sebotol madu tawon ini, mohon kemurahan hati Susiok agar sudi membagikan madu ini untuk para cucu murid yang tersiksa.”

Mendadak Ciu Pek-thong mengangkat kedua tangannya, ternyata botol madu tadi sudah tak kelihatan lagi, katanya:

“Aneh, entah mengapa, botol madu itu lenyap mendadak.”

Padahal dengan jelas Hek Tay-thong melihat barusan saja botol madu itu masih dipegang sang Susiok, mana bisa hilang mendadak, tentu sang Susiok sengaja tak mau memberi. Namun terhadap paman guru dengan sendirinya tidak sopan mendesaknya dengan kata-kata, maka Hek Tay-thong menjadi serba sulit.

Kembali Ciu Pek-thong tepuk-tepuk bajunya dan beberapa kali mengebas lengan bajunya, kemudian berkata:

“Nah, aku kan tidak menyembunyikan botol madu itu. jangan kau anggap aku pelit dan tidak mau memberi!”

Rupanya si ‘anak tua nakal’ ini memang suka jahil dan gemar mainan seperti anak kecil, sampai tua sifatnya ini tetap tak berubah, ia pikir kalau cuma disengat tawon saja, paling-paling cuma kesakitan dan takkan mampus, sebaliknya madu tawon yang sukar dicari ini tidak boleh diberikan begitu saja.

Sebab itulah baru saja Hek Tay-thong membuka mulut segera dia selusupkan botol madu itu ke lengan baju. Ketika dia mengangkat tangannya, botol itu menyusup ke kelek dan menerobos ke dada sampai ke perut. Waktu dia kerutkan perutnya, kembali botol itu menerobos ke dalam celananya dan dari kaki celana botol itu jatuh perlahan di belakang tungkak kaki. Karena Iwekang Ciu Pek-thong sudah sangat tinggi hingga kulit dan daging sekujur tubuhnya bisa dikuasai dengan sesukanya, maka sedikit pun tidak mengeluarkan suara ketika botol madu yang kecil itu diselundupkannya sampai di lantai.

Melihat sang Susiok tidak mau memberi, Ong Ju-it dan lain-lain tidak berani memaksa. Ia pikir tunggu nanti saja kalau sang paman guru memainkan botol madu itu, lalu secara mendadak diminta lagi, tentu tiada alasan baginya untuk menolak. Ia pikir urusan penting sekarang adalah menyelesaikan dulu soal penghianatan Thio Ci-keng. Maka dengan tegas ia lantas menyatakan pendiriannya:

“Hek-sute, urusan lain-lain kita tunda dahulu, kita harus membereskan dulu soal murid khianat Thio Ci-keng.”

Serentak semua orang menyatakan setuju. Semua saudara seperguruannya cukup kenal watak Ong Ju-it yang jujur dan adil, meski pun murid sendiri pasti tidak dibela kalau berbuat kesalahan, apa lagi sekarang melakukan penghianatan yang tak terampunkan. Tetapi pada saat itu juga dari bawah genta tiba-tiba Ci-keng berkata dengan suara lemah:

“Ciu-susiokco, jika engkau menolong jiwaku, akan kukembalikan madu tawon ini, kalau tidak akan kuminum habis, bagaimana pun juga aku akan mati.”

Ciu Pek-thong terkejut, cepat dia membalik ke belakang. Benar juga botol madu itu sudah lenyap. Kiranya dia berdiri tepat di samping genta raksasa. Ci-keng mendekam dalam genta dan botol madu kebetulan jatuh di hadapannya, ia dengar Hek Tay-thong memohon madu kepada Ciu Pek-thong dan tidak berhasil, maka botol itu lantas dicomotnya melalui lubang genta yang diganjal batu itu.

Dengan botol madu itu sebagai alat pemerasan untuk menyelamatkan nyawanya, cara ini sesungguhnya terlalu ke-kanak-kanakan dan tipis harapan, tetapi di antara putus harapan itu sedikitnya masih terdapat setitik harapan untuk hidup, untuk itulah Ci-keng berusaha sebisanya. Ternyata Ciu Pek-thong menjadi kuatir mendengar ancaman Ci-keng itu, cepat ia berseru:

“Hei, hei, jangan kau minum madu itu, segala urusan dapat kita rundingkan.”

“Kalau begitu engkau harus berjanji akan menyelamatkan jiwaku,” kata Ci-keng.

Khu Ju-ki dan lain-lain sangat terkejut. Mereka kenal sang Susiok yang berjuluk ‘Lo-wan-tong’ itu berwatak lain dari pada yang lain. Kalau saja paman guru ini lantas menyanggupi permintaan Ci-keng, maka sukar lagi menghukum murid murtad itu. Cepat Ju-ki bicara:

“Susiok, dosa murid murtad ini tak terampunkan, maka jangan se-kali-kali engkau mengampuninya.”

Ciu Pek-thong berjongkok dan mendekatkan kepalanya ke celah genta, lalu berseru: “Hei jangan kau minum madu itu!"

“Jangan gubris dia, Susiok,” kata Lau Ju-hian. “Apa sulitnya jika Susiok ingin memperoleh madu itu. Kini permusuhan kita dengan nona Liong sudah berakhir, sebentar kita dapat pergi ke tempatnya untuk memohon beberapa botol madu seperti itu. Kalau nona Liong mau memberi sebotol padamu, tentu dia akan memberi sedikitnya sebotol lagi.”

Tapi Ciu Pek-thong menggeleng dan menjawab: “Belum tentu, belum tentu!”



Tentu saja ia tak berani memberi-tahu bahwa madu itu adalah hasil copetannya dari Siao-liong-li dan tadi setelah dikembalikan kepada si nona, rupanya botol itu tertinggal di Cong-keng-kok. Jika harus minta lagi pada Siao-liong-li belum tentu nona itu mau memberi lagi, andaikan diberi juga akan digunakan sebagai obat dan dia takkan mendapatkan bagian. Dalam pada itu tiba-tiba terdengar suara mendengung perlahan, ada beberapa ekor tawon putih tampak terbang masuk ke pendopo situ dan mengitari genta. Pikiran Ciu Pek-thong tergerak, cepat ia melongok lagi ke bawah genta dan berseru:

“Ci-keng yang kau ambil itu mungkin bukan madu tawon.”

“Benar, benar madu tulen, mengapa bukan?” ujar Ci-keng gugup.

“Kukira bukan, bisa jadi madu palsu,” ujar Ciu Pek-thong.

“Supaya aku percaya, coba kau buka tutup botol agar aku dapat mencium baunya, tulen atau palsu segera akan terbukti.”

Tanpa pikir Ci-keng membuka sumbat botol dan berkata: “Baiklah, coba kau menciumnya! Wah, harum dan sedap baunya, masa palsu?”

Ciu Pek-thong sengaja menarik napas panjang beberapa kali dengan hidungnya, lalu dia pun berkata:

“Uh, rasanya bukan madu, seperti bau sirup! Coba kucium beberapa kali!”

Ci-keng menggenggam botol madu itu sekencangnya dengan dua tangan, kuatir kalau orang mendadak menyingkap genta terus merampas botolnya, berulang dia menyatakan:

“Harum dan sedap sekali, betul tidak?”

Dalam pada itu bau harum madu tawon itu sudah teruar memenuhi ruangan pendopo. Ciu Pek-thong sengaja bersin satu kali, lantas berkata dengan tertawa:

“Wah, aku sedang pilek, hidungku mampet!” Sembari bicara dia pun kucek hidung dan memicingkan sebelah mata kepada Khu Ju-ki dan lain-lain.

Sudah tentu Ci-keng juga menduga bahwa orang sedang main akal ulur waktu, segera dia mengancam:

“Awas, jangan kau sentuh genta ini, sekali tanganmu memegang genta segera kuminum habis madu ini.”

Sementara itu tawon putih yang berdatangan sudah bertambah menjadi puluhan ekor dan sedang mengitari genta besar dengan suaranya yang mendengung. Tiba-tiba Ciu Pek-thong mengebaskan lengan bajunya sambil membentak:

“Masuk ke sana dan sengat dia!”

Kawanan tawon itu belum tentu mau tunduk pada perintahnya, tetapi saat itu bau harum madu itu semakin keras. Benar saja beberapa ekor tawon menerobos ke dalam genta melalui celah-celah yang diganjal batu. Terdengar Ci-keng menjerit, menyusul suara jatuhnya benda pecah disertai bau harum yang semakin keras. Nyata Ci-keng telah kena disengat tawon, saking kesakitan botol madu yang dipegangnya terjatuh hingga hancur berantakan.

“Bangsat keparat!” bentak Ciu Pek-thong dengan gusar, “Memegang satu botol saja tidak becus!”

Segera dia bermaksud menyingkap genta itu untuk memberi beberapa kali tamparan pada Ci-keng yang dianggapnya tidak becus. Tiba-tiba segerombol tawon putih membanjir tiba karena tertarik oleh bau madu yang harum, beramai-ramai kawanan tawon itu menyusup ke dalam genta.

Ciu Pek-thong sudah merasakan betapa lihay sengatan tawon, dia sudah kapok mendekatinya. Dilihatnya tawon yang menyusup ke dalam genta itu bertambah banyak, sedangkan tempat luang di dalam genta amat terbatas, tubuh Ci-keng berlepotan madu tawon, maka setiap kali bergerak pasti menyenggol kawanan tawon, keruan berpuluh, beratus bahkan beribu sengatan tawon memenuhi badannya.

Semula orang masih mendengar jeritan ngerinya, tidak lama kemudian suaranya menjadi lemah dan akhirnya tidak terdengar lagi, jelas karena terlalu hebat terkena racun sengatan hingga jiwanya melayang.


KEMBALI KE KUBURAN KUNO

Mendadak Ciu Pek-thong memegang baju dada Lau Ju-hian dan berteriak: “Baik, Ju-hian, sekarang kau harus memohon sebotol madu kepada nona Liong bagiku.”

Lau Ju-hian menyeringai serba susah. Tadi dia cuma berharap agar Ciu Pek-thong jangan mudah menyanggupi pemerasan Ci-keng, maka dia menyatakan akan memintakan madu tawon kepada Siao-liong-li bagi sang Susiok, sekarang dia dicengkeram, maka terpaksa ia menjawab:

“Susiok, lepaskan tanganmu, akan kumintakan madunya.”

Lalu ia membetulkan bajunya dan melangkah ke arah kuburan kuno. Khu Ju-ki tahu kepergian Lau Ju-hian ini sungguh berbahaya. Kalau Siao-liong-li selamat tidaklah menjadi soal, tapi bila lukanya parah dan tak bisa sembuh, entah berapa banyak orang Coan-cin-kau yang akan dibunuh lagi oleh Yo Ko. Karena itu dia langsung berseru:

“Marilah kita bersama-sama ikut ke sana!”

Hutan dekat kuburan kuno itu sudah lama dilarang masuk oleh anak murid Coan-cin-kau sesuai ketentuan mendiang Ong Tiong-yang, maka setiba di pinggir hutan, dengan suara lantang Khu Ju-ki berseru:

“Yo-siauhiap, apakah luka nona Liong sudah baikan? Di sini ada beberapa biji obat, silakan ambil!”

Akan tetapi sampai sekian lama tiada terdengar jawaban. Khu Ju-ki mengulangi lagi seruannya dan tetap sunyi senyap saja keadaannya. Hutan tampak rimbun dengan pohon-pohon tua yang tumbuh, di bawah pohon penuh semak belukar. Mereka mencoba menyusuri tepian hutan, namun tidak tampak tanda ada orang menuju ke arah kuburan kuno, tampaknya Yo Ko dan Siao-liong-li tidak pulang ke sana melainkan meninggalkan Cong-Iam-san.

Dengan girang dan kuatir semua orang kembali ke Tiong-yang-kiong. Mereka girang karena Yo Ko dan Siao-liong-li sudah pergi jauh, tapi juga kuatir kalau luka Siao-liong-li tak bisa disembuhkan, tentu Yo Ko akan membalas dendam, maka celakalah Coan-cin-kau. Ternyata si anak tua nakal Ciu Pek-thong tampak senang dan sedih. Ia sedih karena tidak berhasil mendapatkan madu tawon, senangnya karena dia tidak perlu bertemu lagi dengan Siao-liong-li sehingga perbuatannya mencopet madu takkan terbongkar.

Selama berpuluh tahun tinggal di Cong-lam-san ternyata orang-orang Coan-cin-kau sama sekali tidak dapat menerka ke mana perginya Yo Ko dan Siao-liong-li. Kiranya waktu suasana di Tiong-yang-kiong kacau akibat datangnya gerombolan lebah, segera Siao-liong-li memimpin barisan tawon sebagai pengaman dan menerjang ke belakang gunung, dilihatnya ada sebuah bangunan kecil berloteng di atas bukit. Yo Ko tahu itulah Cong-keng-kok yang merupakan salah satu tempat penting di Tiong-yang kiong, segera ia pondong Siao-liong-li ke atas loteng itu.

Baru saja mereka sempat mengaso sejenak, terdengar suara hiruk pikuk di bawah, berpuluh Tosu menyusul, cuma tangga loteng itu rada sempit dan sukar memainkan barisan pedang, maka kawanan Tosu itu tidak berani sembarangan menyerbu ke atas.

Setelah mendudukkan Siao-liong-li di atas kursi, Yo Ko memeriksa keadaan sekitar loteng. Dilihatnya di belakang Cong-keng-kok itu adalah sebuah sungai gunung yang dalam, namun sungai itu tidak begitu lebar. Tiba-tiba dia mendapatkan akal, dia keluarkan tali yang biasanya diikat pada dua batang pohon digunakan tempat tidur, dia ikat ujung tali itu pada tiang Cong-keng-kok dan ujung tali yang lain dibawanya melompat ke seberang sungai kemudian diikat pada sebatang pohon. Sesudah itu dia melompat kembali ke Cong-keng-kok dan bertanya kepada Siao-liong-li:

“Sebaiknya kita pulang ke mana?”

“Kau bilang ke mana, aku hanya ikut saja denganmu,” jawab Siao-liong-li sambil menghela napas.

Dari air muka si nona dapatlah Yo Ko menerka pikirannya, tentu yang diharapkan adalah pulang kembali ke kuburan kuno. Cuma cara bagaimana masuk ke sana, inilah yang menjadi persoalan. Dalam pada itu suara ribut di bawah tambah ramai, rasanya tak dapat tahan lebih lama lagi di sini. Yo Ko dapat memahami pikiran Siao-liong-li, tapi si nona juga dapat meraba pikiran anak muda itu. Dengan suara halus dia berkata:

“Aku tidak harus pulang ke kuburan kuno itu, jangan kau pikirkan hal ini.” ia tersenyum manis, lalu menambahkan. “Asalkan senantiasa berada bersamamu, ke mana pun aku setuju.”

Inilah cita-cita Siao-liong-li yang pertama setelah mereka menikah, maka Yo Ko bertekad akan melaksanakan keinginan si nona, jika tidak ia merasa tidak patut sebagai suaminya. Ia coba memandang ruangan loteng, dilihatnya di belakang rak buku di sudut sana ada sebuah peti kayu. Tiba-tiba tergerak pikirannya, cepat ia mendekati peti itu, ternyata peti itu digembok dengan sebuah gembok besi.

“Dengan mudah saja Yo Ko memuntir patah gembok itu dan membuka tutup peti, ternyata penuh terisi kitab dan sejenisnya. Segera ia angkat peti itu sehingga isi peti itu tertumplek semua di lantai. Peti terbuat dari kayu kamper, tebalnya lima senti dan kukuh sekali. Ia coba melompat dan meraba atas rak buku. Benar juga, penuh tertutup kain minyak, yaitu untuk ber-jaga sehingga kalau kebocoran tidak akan merusak kitab-kitab itu.

Yo Ko menarik dua helai kain minyak dan dimasukkan ke dalam peti, kemudian peti itu diseberangkan lebih dahulu dengan melalui jembatan tali tadi, lalu dia kembali lagi untuk memondong Siao-Iiong-ii.

“Mari kita pulang kerumah asal,” katanya dengan tertawa.

Siao-liong-li girang sekali, jawabnya dengan tersenyum: “Bagus sekali caramu mengatur!”

Karena kuatir si nona berkuatir, Yo Ko lantas menambahkan: “Pedangku ini sangat hebat, apa pun di dasar sungai yang merintangi peti ini tentu dapat kubereskan dengan pedang ini. Aku akan berjalan dengan cepat, engkau pasti takkan sumpek di dalam peti.”

“Cuma ada sesuatu yang tidak baik bagiku.”

“Apa itu?” tanya Yo Ko dengan melengak.

“Untuk waktu tertentu aku tak dapat melihat kau,” jawab si nona.

Sambil bicara mereka pun sampai di seberang. Yo Ko lantas teringat kepada Kwe Siang yang tertinggal di goa, katanya segera:

“Nona keluarga Kwe juga kubawa ke sini. Apa yang harus kulakukan menurut pendapatmu?”

Siao-liong-li melenggong, tanyanya dengan suara rada gemetar: “Apa katamu? Kau.. kau membawa puteri Kwe-tayhiap itu ke sini?”

Melihat sikap si nona yang aneh, Yo Ko melengak juga, tetapi dia cepat paham sebab musababnya. Tentu Siao-liong-li salah paham dan mengira dia membawa Kwe Hu ke sini. Segera dia mencium perlahan pipi si nona dan berkata:

“Ya, puteri Kwe-tayhiap yang aku bawa ke sini, tetapi bukan nona yang membuntungi lenganku melainkan orok yang baru lahir tiada sebulan itu.”

Muka Siao-liong-li menjadi merah jengah. Dia rangkul Yo Ko kencang-kencang dan tidak berani memandangnya, selang sejenak barulah dia berkata:

“Bolehlah kita membawanya serta ke kuburan kuno. Kalau ditinggalkan lebih lama di hutan, boleh jadi jiwanya akan melayang.”

Yo Ko menjadi kuatir juga. Sudah sekian lama dia terhalang di Tiong-yang-kiong, entah bagaimana keadaan Kwe Siang yang disembunyikan dalam goa itu. Cepat dia menuju ke goa, ternyata keadaan sunyi sepi tiada suara tangisan anak kecil. Ia tambah kuatir, lekas dia menyingkirkan belukar kering dan masuk ke goa, dilihatnya Kwe Siang sedang tidur dengan lelapnya, kedua pipi bayi itu kelihatan ke-merahan menyenangkan.

“Biar kubopong dia,” kata Siao-liong-li.

Kuatir si nona kurang tenaga karena belum sehat, Yo Ko mengusulkan supaya anak itu ditaruh saja dalam peti, lalu dia mencari belasan Lamkwa (waluh, sebangsa labu besar warna kuning) hasil tanaman kawanan Tosu Coan-cin-kau, dia memasukkan waluh itu ke dalam peti dan diseret ke tepi sungai.

Sesudah Siao-liong-li juga didudukkan dalam peti sambil memondong Kwe Siang, per-lahan Yo Ko menutup peti itu dan dibungkus dengan kain minyak, setelah itu barulah memasukkan peti itu ke sungai. Yo Ko menarik napas panjang, terus menyelam ke dasar sungai sambil menarik peti melalui jalan waktu keluar dari kuburan kuno itu tempo hari. Sejak digembleng di bawah air terjun, kini tenaga dalam Yo Ko boleh dikatakan tiada taranya, berjalan di bawah sungai kecil itu bukan soal lagi baginya.

Dasar sungai itu tidak rata, terkadang meninggi, lalu merendah lagi. Yo Ko terus menyusuri sungai, kalau terhalang oleh batu karang sehingga peti itu tidak dapat lewat, segera dia menahannya dengan pedang dan segala rintangan dapatlah dibereskannya. Ia kuatir Siap-liong-li sumpek dalam peti, maka jalannya sangat cepat, tak lama kemudian timbul lagi di permukaan sungai dan sampai di jalan rahasia di bawah tanah yang menuju kuburan kuno.

Lekas dia membuka peti. Dilihatnya Siao-liong-li dalam keadaan lemas dan setengah sadar, mungkin karena terluka parah sehingga tidak tahan dikurung dalam peti yang rapat, sebaliknya Kwe Siang terlihat ber-teriak menangis penuh semangat. Rupanya orok itu diberi minum susu macan selama satu bulan sehingga jauh lebih sehat dari pada bayi biasa. Dengan lemah Siao-liong-li tersenyum bahagia dan berkata:

“Akhirnya kita pulang juga ke rumah!” Habis berkata ia tak tahan lagi dan memejamkan mata.

Yo Ko tidak memandangnya lagi dan membiarkannya tetap duduk dalam peti, ia seret peti itu ke tempat tinggal mereka di kuburan kuno. Dilihatnya segala sesuatu di situ masih tetap serupa seperti waktu ditinggalkan dahulu. Sambil memeriksa kamar-kamar batu di sana dan mengamat-amati pula barang-barang yang pernah dipakainya sejak kecil, mendadak anak muda itu timbul semacam perasaan yang sukar dilukiskan, seperti girang rasanya, tapi juga mengandung rasa haru dan duka. Waktu dia menoleh, dilihatnya Siao-liong-li berdiri berpegang pada sandaran kursi dengan air mata berlinang-linang.

Kini kedua orang sudah terikat menjadi suami-isteri, cita-cita yang terkandung selama ini sudah terkabul, bahkan mereka pun sudah pulang di kediaman lama, selanjutnya tak akan tersangkut dengan macam-macam suka-duka dan permusuhan di dunia fana, namun dalam hati keduanya merasa berduka dan sedih tak terkatakan. Keduanya tahu bahwa luka Siao-liong-li teramat parah, sudah terkena hantaman roda Kim-lun Hoat-ong, terkena pula pukulan gabungan Coan-cin-ngo-cu yang hebat itu, dengan tubuhnya yang lemah gemulai itu jelas tidak akan tahan.

Walau pun sebelumnya kedua orang sudah ber-ulang memikirkan, asalkan cita-cita mereka terkabul dan dapat berkumpul kembali, sekali pun harus mati seketika juga rela, namun setelah keduanya benar-benar menikah dan berkumpul menjadi satu, rasanya menjadi berat sekali untuk berpisah dan mati. Mereka sama-sama masih muda dengan kisah hidup yang menderita, selama ini belum pernah merasakan bahagianya orang hidup, kini mendadak mencapai cita-cita paling utama orang hidup, tapi dengan segera mereka akan berpisah puIa.

Yo Ko termangu sejenak. Ia ke kamar Sun-popoh dan membongkar tempat tidurnya untuk dipindahkan ke samping ‘dipan kemala dingin’, ia atur bantal kasurnya dengan baik lantas membaringkan Siao-liong-li di situ. Sisa bahan makanan sudah rusak, namun berbotol-botol madu tawon yang dikumpulkan Siao-liong-li dahulu tetap baik. Yo Ko menuang setengah mangkuk madu yang kental itu dan dicampur dengan air untuk diminumkan pada Siao-liong-li serta Kwe Siang, habis itu ia sendiri juga minum satu mangkuk.

Dia memandang sekeliling kamar batu itu, pikirnya: “Aku harus bersemangat untuk menggirangkan hati Kokoh, kesedihanku tidak boleh kentara sedikit pun pada wajahku.”

Begitulah ia lantas mencari dua batang lilin yang paling besar serta dibungkusnya dengan kain merah, lalu disulutkan dan ditancapkan di atas meja, katanya dengan tertawa:

“lnilah kamar pengantin kita dengan lilin bahagianya.”

Sinar lilin menambah semaraknya kamar batu itu. Siao-liong-li duduk di tempat tidurnya, melihat tubuh sendiri yang penuh kotoran dan noda darah, dengan tersenyum ia berkata:

“Macamku ini mana mirip pengantin baru!” Tiba-tiba ia ingat sesuatu, katanya: “Ko-ji, coba kau ke kamarnya Lim-cosu dan bawa kemari peti berlapis emas itu.”

Meski pernah tinggal beberapa tahun di kuburan ini, tapi kamar bekas tempat tinggal Lim Tiau-eng tidak berani dimasukinya, apa lagi barang-barang tinggalannya, tentu saja tidak berani dijamahnya. Tapi sekarang Siao-liong-li menyuruhnya, segera Yo Ko ke sana dan mengambil peti yang diminta. Peti itu tidak terlalu berat, juga tidak digembok, tetapi tepian peti dilapis emas dan banyak ukiran yang indah.

“Menurut Sun-popoh, katanya peti ini berisi pakaian pengantin Lim-cosu, tetapi kemudian beliau urung menikah, maka barang-barang ini pun tidak jadi dipakai,” kata Siao-liong-li.

Yo Ko mengiyakan saja dan meletakkan peti itu di batu kemala dingin. Sesudah tutup peti dibuka, benarlah di dalamnya tersimpan sebuah kopiah berukir burung Hong dengan hiasan mutiara, juga ada sepotong baju sulaman emas serta gaun sutera merah. Semua terbuat dari bahan pilihan, meski pun sudah selang berpuluh tahun tapi tampaknya masih seperti baru.

“Coba keluarkan isinya, ingin kulihat,” kata Siao-liong-li.

Yo Ko mengeluarkan satu persatu isi peti itu. Di bawah pakaian pengantin ternyata ada sebuah kotak rias dan sebuah kotak perhiasan. Gincu serta pupur di dalam kotak rias itu telah kering, tapi minyak wanginya masih ada sisa setengah botol kecil. Ketika kotak perhiasan dibuka, seketika pandangan mereka menjadi silau. Di situ ada ber-macam perhiasan yang jarang terlihat, ada tusuk konde bermutiara, gelang kemala dan mutu manikam yang lain.

Biasanya Siao-liong-li dan Yo Ko jarang melihat benda-benda mestika seperti itu, mereka pun tidak tahu betapa bernilainya barang-barang perhiasan itu, yang jelas mereka melihat barang-barang itu terbuat dengan sangat halus dan indah sekali, maka mereka sangat tertarik.

“Bagaimana kalau aku bersolek menjadi pengantin baru?” ujar Siao-liong-li tiba-tiba sambil tersenyum.

“Kau sudah terlalu lelah, mengaso saja dahulu, bersoleklah besok,” kata Yo Ko.

Siao-liong-li menggeleng, katanya: “Tidak, justru inilah hari bahagia pernikahan kita. Aku suka menjadi pengantin baru. Tempo hari di Coat-ceng-kok itu Kongsun Ci ingin menikah dengan aku dan aku pun urung berdandan sebagai pengantin baru.”

“Hah? Masa itu bisa dianggap menikah? Itu kan cuma khayalan Kongsun Ci saja!” ujar Yo Ko dengan tersenyum.

Siao-liong-li mencampuri bedak dan gincu dengan sedikit air dan mulailah bersolek menghadap cermin. Selama hidup pertama kali inilah dia memakai pupur dan gincu.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar