Selasa, 21 September 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 134

Ketika Siao-liong-li kehilangan sanggahan dan mulai sempoyongan, pada saat itu juga Yo Ko sudah melompat tiba dengan membawa Sun Put-ji. Gerakan melompat mundur dan maju sungguh cepat dan gesit luar biasa, belum lagi para Tosu menyadari apa yang terjadi, Sun Put-ji sudah berada dalam cengkeraman Yo Ko dan tak bisa berkutik.

Sebenarnya tokoh berpengalaman semacam Khu Ju-ki, Ong Ju-it, Sun Put-ji dan lain-lain sudah waspada sebelumnya kalau-kalau mendadak Yo Ko melancarkan serangan dan menawan salah seorang kawannya untuk dijadikan sandera. Mereka menyaksikan Yo Ko menyimpan kembali senjatanya dan melangkah pergi, tangan satunya digunakan untuk memayang Siao-liong-li, siapa tahu anak muda itu sengaja mengacaukan perhatian lawan dengan tawanya, lalu mendadak melakukan sergapan dan berhasil menawan Sun Put-ji.

Serentak para Tosu berteriak-teriak dan merubung maju dengan pedang terhunus, akan tetapi mereka mati kutu dan tidak berani sembarangan bertindak karena Sun Put-ji berada dalam genggaman musuh.

Dengan suara perlahan Yo Ko berkata: “Maaf, Sun-totiang, terpaksa kulakukan begini dan membikin susah kau.”

Yo Ko menggandeng tangan Sun Put-ji dan bersama Siao-liong-li mereka lantas melangkah perlahan ke pendopo Tiong-yang-kiong. Para Tosu mengikuti dari belakang, semuanya gusar dan kuatir, tapi tidak ada yang berani bertindak. Sesudah memasuki pintu halaman dan menyusuri serambi samping, akhirnya Yo Ko dan Siao-liong-li tiba di ruangan induk Tiong-yang-kiong. Dengan Sun Put-ji sebagai sandera, Yo Ko menoleh dan berseru kepada para Tosu:

“Hendaknya kalian menunggu di luar ruangan, siapa pun dilarang masuk. Kami berdua sudah tidak memikirkan jiwa lagi, jika sampai bergebrak, biarlah kami gugur bersama Sun-totiang sekaligus.”

“Bagaimana, Khu-suheng?” tanya Ong Ju-it perlahan.

“Tenang saja dan bertindaklah menurut keadaan,” jawab Khu Ju-ki. “Tampaknya dia tidak bermaksud jahat pada Sun-sumoay.”

Coan-cin-ngo-cu selamanya malang melintang di dunia Kangouw, nama mereka dihormati kawan dan disegani lawan, tak tersangka sekarang mati kutu menghadapi seorang anak muda yang masih hijau, sungguh mereka mendongkol tetapi juga geli sendiri.

Yo Ko lantas mengambil sebuah kasuran bundar sebagai tempat duduk Sun Put-ji sambil menotok Hiat-to bagian punggungnya agar tidak dapat bergerak. Para Tosu ternyata tak berani masuk sebagaimana telah diperingatkannya tadi. Yo Ko memayang Siao-liong-li ke depan lukisan Ong Tiong-yang. Kini mereka berdiri berjajar.

Karena waktu kecilnya pernah belajar di Tiong-yang-kiong, bagi Yo Ko lukisan Ong Tiong-yang itu sudah tidak asing lagi. Sekarang dia coba memandang beberapa kali lukisan itu, terlihat Tojin yang terlukis itu menghunus pedang dengan gagahnya, usianya antara 30-an tahun, di pinggir lukisan ada tiga huruf: ‘Hoat-su-jin’ (orang hidup mati, artinya orang yang hidup ini tiada ubahnya seperti orang sudah mati). Lukisan itu cuma terdiri dari beberapa goresan saja, tapi orang yang terlukis itu tampak gagah perkasa, jelas goresan itu berasal dari tangan pelukis yang mahir.

Tiba-tiba saja Yo Ko teringat bahwa di kuburan kuno juga terdapat sebuah lukisan diri Ong Tiong-yang. Meski pun tokoh yang dilukiskan pada lukisan di Tiong-yang-kiong ini berdiri menghadap ke depan dan lukisan di kuburan itu bagian samping, akan tetapi gaya goresan pelukisnya jelas sama. Segera dia berkata:

“Kokoh, lukisan ini pun buah tangan Lim-cosu.”

Siao-liong-li mengangguk sambil tersenyum manis padanya, katanya dengan suara lirih:

“Kita menikah di depan lukisan Tiong-yang Cosu, sedangkan lukisan ini merupakan buah tangan Lim-cosu, sungguh sangat kebetulan dan baik sekali.”

Yo Ko lantas menggeser dua buah kasuran bundar dan dijajarkan di depan lukisan, lalu ia berseru:

“Tecu Yo Ko dan perempuan she Liong sekarang mengikat menjadi suami-isteri di hadapan Tiong-yang-cosu, beberapa ratus Totiang dari Coan-cin-kau yang hadir di sini adalah saksi semua.” Sembari berkata dia terus berlutut di atas sebuah kasuran. Ketika melihat Siao-liong-li masih berdiri tegak, segera ia berkata: “Kokoh, sekarang juga kita melangsungkan upacara nikah, hendaklah kau pun berlutut di sini!”

Siao-liong-li termenung diam, kedua matanya tampak merah dengan air mata berIinang. Sejenak barulah ia berkata:

“Ko-ji, tubuhku sudah tidak bersih lagi, pula ajalku telah dekat, buat apa kau... kau begini baik padaku?” Sampai di sini tak tertahankan lagi air matanya bercucuran laksana butiran mutiara.

Yo Ko lantas berdiri lagi dan mengusap air mata si nona, katanya sambil tertawa: “Kokoh, masakah kau masih belum memahami hatiku?” Siao-liong-li mengangkat kepalanya memandangi Yo Ko, terdengar anak muda itu berkata lagi: “Sungguh aku berharap kita berdua dapat hidup seratus tahun lagi agar aku sempat membalas budi kebaikanmu dahulu padaku. Seandainya tidak dapat, kalau Thian (Tuhan) cuma berkenan memberi hidup satu hari saja pada kita, maka bolehlah kita menjadi suami isteri satu hari, jika cuma diberi hidup satu jam, biarlah kita pun menjadi suami isteri satu jam.”

Tidak kepalang rasa haru Siao-liong-li melihat kesungguhan hati anak muda itu. Dengan sorot matanya yang penuh kasih mesra, wajahnya yang pedih per-lahan menampilkan senyuman manis. Air mata masih meleleh pada pipinya, namun jelas tak terkatakan rasa bahagianya, perlahan ia pun berlutut di atas kasuran itu. Yo Ko berlutut pula, keduanya menyembah lukisan itu, hati mereka bahagia, segala duka derita di masa lalu serta ajal yang sudah dekat sama sekali tidak berarti apa-apa bagi mereka. BegituIah mereka saling pandang dengan tersenyum.

Dengan suara perlahan Yo Ko pun berdoa: “Tecu Yo Ko dan Siao-liong-li saling mencintai dengan setulus hati, semoga selalu dilahirkan menjadi suami isteri, kekal dan abadi.”



Dengan suara perlahan Siao-liong-li juga mengikuti doa Yo Ko itu dengan khidmat. Sun Put-ji duduk di sebelah mereka. Meski tubuh tak bisa bergerak tapi dia dapat melihat dan mendengar, sikap dan ucapan kedua anak muda itu dapat diikutinya dengan jelas. Semakin melihat semakin dirasakannya tindak tanduk kedua orang muda itu sungguh suci murni, biar pun perbuatan mereka melanggar adat, namun semua itu timbul dari pikiran yang bersih, dari jiwa yang luhur.

“Sekarang kami sudah terikat menjadi suami-isteri, sekali pun harus mati tidak akan menyesal lagi,” demikian pikir Yo Ko.

Semula dia kuatir kawanan Tosu akan menyerbu ke dalam ruangan untuk merintangi perbuatan mereka, sekarang rasa kuatir itu telah lenyap semuanya. Dengan tertawa ia berkata:

“Kokoh, diriku adalah murid Coan-cin-pay yang murtad, hal ini sudah terkenal di dunia persilatan. Engkau sendiri ternyata juga seorang murid maha murtad.”

“Benar,” jawab Siao-liong-li. “Suhu melarang aku memikirkan cinta, melarangku menerima murid laki-laki, lebih-lebih dilarang menikah, tapi sebuah pun aku tidak mematuhinya, jadi penderitaan kita ini memang setimpal.”

“Biarlah, sekali murtad tetaplah murtad!” seru Yo Ko.

“Ong-cosu dan Lim-cosu jauh lebih perkasa, lebih ksatria dari pada kita, namun mereka justru tidak berani menikah. Kalau kedua Cosu itu mengetahui di alam baka, belum tentu beliau akan menyalahkan kita.”

Selagi Yo Ko menyatakan tekadnya itu dengan penuh semangat dan bangga, pada saat itulah se-konyong-konyong terdengar suara gemuruh di atap rumah disertai dengan berhamburnya genting pecah dan kayu patah, menyusul sebuah genta seberat beberapa ratus kati anjlok dari atas tepat di atas kepala Sun Put-ji.

Tergerak hati Yo Ko dan seketika dia pun paham duduknya perkara. Cepat dia melompat maju, tangan kiri pun sudah melolos Hian-tiat-pokiam, pedang tumpul yang berat.


LOLOS DARI TIONG-YANG-KIONG

Kiranya perbuatan Yo Ko dan Siao-liong-li yang melangsungkan upacara nikah di ruangan besar Tiong-yang-kiong menimbulkan rasa marah para Tosu Coan-cin-kau. Di antara Coan-cin-ngo-cu itu, Lau Ju-hian paling banyak tipu akalnya. Dia tahu kalau menyerbu ke dalam mungkin Sun Put-ji menjadi korban lebih dulu. Tiba-tiba ia mendapat akal. Ia bisik-bisik berunding dengan Ong Ju-it, Khu Ju ki dan Hek Tay-thong bertiga, setelah itu ia memberi pesan kepada anak muridnya agar mengambil genta raksasa yang beratnya ribuan kati di belakang istana. Khu Ju-ki berempat kemudian menggotong genta raksasa itu dan meloncat ke atas wuwungan, lalu mendadak genta itu dijatuhkannya ke bawah sehingga atap rumah berlubang.

Genta itu dijatuhkan tepat di atas tubuh Sun Put-ji. Asalkan Sun Put-ji tertutup di dalam genta dan Yo Ko tidak dapat mencelakainya, maka beramai-ramai kawanan Tosu itu akan dapat mengerubut dan menawan Yo Ko berdua. Akal itu sebenarnya sangat bagus, namun Lau Ju-hian tidak tahu bahwa kini ilmu pedang Yo Ko benar-benar sudah maha sakti, tenaga dalamnya juga maju banyak. Sekali pedang tumpul itu ditusukkan ke depan...

“Trang...!” tahu-tahu genta raksasa tergeser menceng sedikit ke samping dan jatuhnya tepat akan menindih tubuh Sun Put-ji.

Peristiwa ini dapat disaksikan dengan jelas oleh Lau Ju-hian berempat dari atas. Mereka menjerit kaget dan berduka, sama sekali mereka tidak mengira tenaga anak muda itu sedemikian hebatnya. Lau Ju-hian memejamkan kedua matanya supaya tidak menyaksikan nasib buruk Sun Put-ji yang akan tertimpa genta itu. Tak terduga segera terdengar Khu Ju-ki berseru:

“Terima kasih atas kemurahan hatimu!”

Waktu Lau Ju-hin membuka kembali matanya, dia menjadi heran, ternyata genta itu telah mengurung rapat Sun Put-ji di dalamnya, di samping genta tidak ada sesuatu tanda bekas tertindihnya Sun Put-ji, bahkan ujung jubahnya juga tidak kelihatan. Rupanya waktu Yo Ko melihat genta yang ditolak oleh pedangnya itu bakal menimpa Sun Put-ji dan pasti akan membuatnya binasa, tiba-tiba teringat olehnya bahwa baru saja menikah, maka tidaklah baik bila mencelakai jiwa orang, apa lagi To-koh tua itu juga tidak jahat, hanya wataknya saja yang rada aneh.

Karena pikiran itulah, secepat kilat ia lalu mengebaskan lengan bajunya untuk mendorong kasur yang diduduki Sun Put ji sehingga tepat tertutup rapat di dalam genta. Kini Khu Ju-ki berempat menjadi serba salah. Mereka merasa tidak pantas lagi memusuhi Yo Ko, namun anak muridnya tadi sudah diberi pesan kalau genta itu sudah dijatuhkan ke bawah, serentak mereka harus menyerbu ke dalam pendopo. Anak murid mereka tentu tidak dapat menyaksikan apa yang terjadi di bagian dalam, maka saat itu kawanan Tosu itu beramai-ramai mulai menyerbu.

Melihat suasana mulai gawat, cepat Yo Ko gantungkan pedang pada pinggangnya, ia rangkul Siao-liong-li terus dibawa lari ke ruangan belakang.

“Perhatian para anak murid, jangan sekali-kali mencelakai jiwa mereka berdua!” seru Khu Ju-ki dengan suara lantang.

Dalam pada itu para Tosu mengudak ke belakang sambil ber-teriak-teriak. Sebelumnya Lau Ju-hian juga sudah menyiapkan 21 murid pilihan di pekarangan belakang pendopo. Baru saja Yo Ko keluar, tampak sinar pedang gemerdapan, mereka telah dipapak oleh barisan pedang.

Tiba-tiba Yo Ko berpikir bahwa lebih baik menerjang keluar melalui lubang atap yang jebol oleh genta raksasa tadi. Meski di atas atap dijaga oleh keempat tokoh utama Coan-cin-pay, tampaknya mereka berempat tak akan melancarkan serangan maut padaku. Karena pikiran ini, segera ia berlari kembali ke ruangan pendopo. Sepasang tangan Siao-liong-li merangkul kencang di leher Yo Ko, katanya dengan suara lembut:

“Kita telah terikat suami-isteri, cita-cita hidup kita telah tercapai. Adalah baik kalau kita dapat menerjang keluar, andaikan tidak dapat juga tidak menjadi soal.”

“Benar,” kata Yo Ko, dan begitu kakinya bekerja...

“Blak! Bluk!” kontan dua Tosu yang menghadang didepaknya hingga terjungkal.

Sementara itu ruangan pendopo sudah penuh berjubel kawanan Tosu, oleh karena itu barisan pedang Coan-cin-pay itu sukar dikerahkan. Namun lengan kiri Yo Ko digunakan untuk memondong Siao-liong-li, hanya dengan kakinya saja dia dapat merobohkan musuh dan dengan sendirinya sukarlah baginya untuk lolos dari kepungan. Diam-diam ia menjadi gemas.

“Blangg...!” kembali seorang Tojin ditendangnya terjungkal dan menumbuk jatuh dua kawannya.

Tengah ribut-ribut sekonyong-konyong dari luar berlari masuk seorang tua berjenggot dan berambut ubanan semua, di belakang si kakek itu ikut gerombolan besar tawon madu, orang itu ternyata Ciu Pek-thong adanya. Pendopo Tiong-yang-kiong itu sedang kacau balau sehingga bertambah seorang Ciu Pek-thong tidak menjadi perhatian orang Coan-cin-kau.

Tetapi begitu tiba, segera kawanan tawon itu mencari sasaran untuk disengat, keruan keadaan tambah gaduh. Kawanan tawon madu itu bukan tawon biasa, tawon putih piaraan Siao-liong-li di kuburan kuno. Begitu tersengat tawon, seketika timbullah rasa sakit dan gatal yang tak tertahankan. Saking tidak tahan, sebagian Tosu ber-guling di lantai sambil berteriak-teriak, keruan suasana tambah kacau.

Kiranya Ciu Pek-thong teramat kagum dan tertarik ketika menyaksikan Siao-liong-li dapat mengundang dan memimpin gerombolan tawon di luar kota Siang-yang tempo hari. Di luar tahu Siao-liong-li dia sudah mencuri botol madu tawon nona itu dengan maksud hendak menirukan kepandaian Siao-liong-li mengumpulkan barisan tawon. Tak terduga, meski pun beberapa puluh ekor tawon dapat dipancing datang, tapi lantaran caranya tidak tepat, gerombolan tawon itu tidak mau tunduk kepada perintahnya. Ketika permainannya itu kemudian kepergok oleh Siao-liong-li, Ciu Pek-thong menjadi malu dan cepat-cepat kabur.

Tadinya dia bermaksud mencari Kwe Ceng, tapi kuatir ketemu Siao-liong-li lagi di sana, ia lalu batalkan maksudnya ke kota itu. Setelah ditimbang akhirnya ia mengambil keputusan mengunjungi Cong-lam-san, tujuan utama untuk dapat bertemu dengan para Sutit (murid keponakan) yang sudah belasan tahun tidak berjumpa, selain itu ia pun ingin mencari Thio Ci-keng untuk ditanyai mengapa berani mengapusi dan mencelakai sang Susiokco? Sepanjang jalan Ciu Pek-thong mempelajari madu tawon yang dicurinya dari Siao-liong-li, lama-lama ia pun dapat meraba sedikit cara-cara memerintah kawanan tawon.

Perlu diketahui pula bahwa sifat Ciu Pek-thong memang kocak, kekanak-kanakan, suka humor, senang gara-gara dan cari perkara serta ugal-ugalan, sebab itulah dia diberi julukan ‘Lo-wan-tong’ atau si anak tua nakal, tetapi sebenarnya dia bukan orang bodoh, bahkan sesungguhnya otaknya sangat cerdas dan pintar, kalau tidak masa ilmu silatnya dapat mencapai setinggi itu?

Begitulah karena hasratnya ingin meniru Siao-liong-li main-main dengan tawon, setibanya di Cong-lam-san ia betul-betul ketemu batunya. Tawon putih itu berbeda dari pada tawon madu biasa, ukuran badannya lebih besar, sengatannya pun berbisa. Begitu mencium bau madu yang dibawa Ciu Pek-thong, serentak datanglah kawanan tawon itu sehingga malah membikin Ciu Pek-thong kewalahan.

Kawanan tawon putih itu sudah biasa mengikuti suara dan gerakan tangan Siao-liong-li, dengan sendirinya sukar bagi Ciu Pek-thong untuk menghalaunya. Bukan hanya itu saja, mereka bahkan terus mengikutinya. Melihat gelagat jelek, Ciu Pek-thong berlari ke Tiong-yang-kiong dengan tujuan mencari tempat sembunyi yang baik. Kebetulan saat itu Tiong-yang-kiong sedang kacau balau dan ramainya bukan main. Sekilas dia melihat Siao-liong-li berada di situ, dia terkejut sekaligus girang. Cepat dia melemparkan botol madu kepada Siao-liong-li sambil berseru:

“Wah, celaka, aku tidak sanggup melayani tuan-tuan besar tawon ini, lekas kau menolong aku!”

Sekali kebas lengan bajunya dapatlah Yo Ko menangkap botol madu itu, kemudian sambil tersenyum Siao-liong-li menerimanya. Dalam pada itu gerombolan tawon itu sudah beterbangan memenuhi ruangan pendopo, sementara Khu Ju-ki berempat cepat melompat turun dari atap rumah untuk memberi hormat kepada sang Susiok. Segera Hek Tay-thong berseru:

“Lekas ambil obor, ambil obor!”

Para anak murid Coan-cin-kau menjadi sibuk, ada yang memutar pedang untuk mengusir kawanan tawon, ada yang cari selamat dengan menutupi muka dan kepala dengan lengan jubah, ada pula yang berlari pergi mengambil obor.

Ciu Pek-thong tidak pedulikan Khu Ju-ki dan lain-lainnya, batok kepala anak tua nakal itu sendiri sudah benjal-benjol tersengat tawon, yang dia harapkan adalah memperoleh tempat sembunyi yang tak dapat diselundupi tawon. Ketika tiba-tiba melihat sebuah genta besar tergeletak di situ, dia menjadi girang. Cepat dia menyingkap genta itu, tetapi di bawahnya sudah ada seseorang. Tanpa diperhatikan siapa orang itu, dia lantas berkata:

“Maaf, silakan menyingkir dulu.”

Berbareng ia dorong Sun Put-ji keluar, ia sendiri lantas menyusup ke dalam genta, sekali lepas tangan...

“Blangg...!” genta itu segera menutup rapat lagi.

Girang luar biasa Ciu Pek-thong berada dalam genta itu, dia pikir biar pun gerombolan tawon yang ber-laksa jumlahnya tak dapat mengejarnya serta menyengatnya lagi.

Dalam pada itu Yo Ko sudah membisiki Siao-liong-li: “Cepat kau memerintahkan bantuan tawon, kita terjang keluar saja.”

Biasanya yang selalu memberi perintah adalah Siao-liong-li, sekarang baru saja menjadi isterinya, untuk pertama kalinya dia mendengar si Yo Ko bicara seperti memberi perintah padanya, hati Siao-liong-li merasa amat bahagia, pikirnya: “Ternyata dia tidak anggap aku sebagai gurunya lagi dan sungguh-sungguh menganggap diriku sebagai isterinya.”

Segera Siao-liong-li mengiyakan dengan suara lembut dan penurut, ia lantas angkat botol madu dan diguncangkan beberapa kali sembari berseru beberapa kali. Karena bertemu dengan majikannya, dalam waktu sekejap saja kawanan tawon telah bergerombol menjadi satu. Siao-liong-li terus memberi tanda dan membentak, gerombolan tawon itu lantas terbagi menjadi dua barisan, baris pertama mendahului di depan, barisan lain berjaga di belakang. Siao-liong-li dan Yo Ko yang seakan-akan dikawal oleh kedua barisan tawon itu terus saja menerjang ke belakang Tiong-yang-kiong.

Karena gara-gara kedatangan Ciu Pek-thong, Khu Ju-ki dan kawan-kawannya jadi serba runyam. Tampaknya Yo Ko berdua sudah mundur ke belakang istana, segera ia memberi perintah agar anak muridnya tidak mengejar. Ong Ju-it lantas membuka Hiat-to Sun Put-ji yang tertotok, sedang Khu Ju-ki berusaha membuka genta.

Ciu Pek-thong yang bersembunyi dalam genta tidak tahu apa yang terjadi di luar. Ketika merasa genta itu hendak dibuka orang, dia menjadi kuatir sekali dan berteriak:

“Haya, celaka!”

Dengan dua tangannya ia menahan dinding genta dan ditekan ke bawah. Karena tenaga dalam Khu Ju-ki tidak lebih kuat dari pada sang Susiok, baru tersingkap sedikit genta itu segera jatuh lagi ke bawah.

“Trangg...!”

Dengan tertawa Khu Ju-ki berkata kepada para Sute-nya: “Susiok kembali bergurau lagi. Mari kita bekerja sama.”

Segera Khu Ju-ki, Ong Ju-it, Lan Ju-hian dan Hek Tay-thong berempat menggunakan sebelah tangan untuk menahan genta itu, sekali bentak seketika genta itu terangkat ke atas. Namun mereka lantas bersuara heran ketika tidak melihat bayangan seorang pun di bawah genta, Ciu Pek-thong ternyata sudah lenyap entah ke mana.

Selagi mereka melongo heran, mendadak sesosok bayangan menyelinap keluar, Ciu Pek-thong telah berdiri di situ dengan bergelak tertawa. Rupanya tadi dia sengaja pentang kaki dan tangannya menahan di dinding genta bagian dalam sehingga tubuhnya ikut terangkat ke atas, kalau genta itu tidak dijungkir atau orang melongok ke bagian dalam genta tentu takkan melihatnya.

Khu Ju-ki dan lain-lain lantas mengulangi lagi memberi hormat, tetapi Ciu Pek-thong goyang-goyangkan tangannya sambil berseru:

“Sudah, anak-anak tak perlu banyak adat!”

Padahal Khu Ju-ki dan kawan-kawannya telah berusia lanjut, tapi Ciu Pek-thong masih tetap menyebut mereka ‘anak-anak’ saja. Baru saja mereka hendak tanya sang Susiok, sekilas Ciu Pek-thong melihat Thio Ci-keng hendak ngeluyur pergi. Sambil membentak nyaring segera dia melompat ke sana dan membekuknya seraya memaki:

“Ehh, hendak lari kau?! Jangan kau harap, hidung kerbau bangsat!”

Segera dia menyingkap genta raksasa itu, Ci-keng dilemparkan ke dalamnya. Sekali lepas tangan, genta itu menutup rapat lagi, malah mulut Ciu Pek-thong belum lagi berhenti memaki:

“Hidung kerbau bangsat, hidung kerbau maling!”

‘Hidung kerbau’ adalah istilah olok-olok kepada kaum Tosu, padahal sekarang yang hadir di situ, kecuali Ciu Pek-thong sendiri, selebihnya adalah kaum Tosu semua, maka makian Ciu Pek-thong itu sama saja memaki seluruh anggota Coan-cin-kau. Tapi lantaran sudah kenal sifat sang Susiok, Khu Ju-ki berlima hanya saling pandang dengan menyengir saja.

“Susiok,” Ong Ju-it coba bertanya, “entah cara bagaimana Ci-keng bersalah pada Susiok? Tecu pasti akan memberi hukuman setimpal padanya.”

“He-he, hidung kerbau bangsat ini memancing aku ke goa untuk mencuri panji, tapi di sana banyak tersembunyi laba-laba besar, untung ada nona cilik itu, wah mana nona cilik itu? Yo Ko mana pula?” begitulah Ciu Pek-thong menutur dengan tidak teratur

Sudah tentu Ong Ju-it tidak paham apa yang dimaksudkan sang Susiok, hanya kelihatan orang tua itu celingukan kian kemari mencari Siao-liong-li. Pada saat itulah seorang murid datang memberi laporan bahwa Yo Ko dan Siao-liong-li telah mengundurkan diri ke belakang gunung dan masuk ke Cong-keng-kok (ruangan perpustakaan).

Keruan Khu Ju-ki berlima terkejut. Cong-keng-kok adalah tempat penting Coan-cin-kau, di mana tersimpan berbagai kitab pusaka dan dokumen-dokumen rahasia yang menyangkut kepentingan agama mereka. Apa bila terjadi sesuatu akan berarti bahaya besar bagi nasib Coan-cin-kau mereka. Cepat Khu Ju-ki berseru:

“Mari kita menyusul ke sana! Tadi Yo Ko tidak melukai Sun-sumoay, sebaiknya permusuhan ini diubah menjadi persahabatan.”

Sun Put-ji mengiyakan, beramai-ramai mereka lantas berlari ke belakang, hanya Ong Ju-it saja merasa kuatir Ci-keng mati sesak napas di dalam genta. Betapa pun Ci-keng adalah muridnya yang tertua, apa lagi tindak tanduk sang Susiok sudah terkenal angin-anginan, dalam urusan ini belum pasti Ci-keng yang bersalah, maka nanti masih harus ditanyakan lebih jelas. Karena itu dia lantas mengambil sepotong batu, dia singkap sedikit genta itu dan batu diganjalkan di bawahnya sebagai jalan hawa. Sesudah itu barulah dia berlari menyusul ke sana.

Setiba di depan Cong-keng-kok, terlihat ber-ratus anak murid sedang berkaok-kaok, tapi tidak ada satu orang pun yang berani naik ke loteng Cong-keng-kok. Segera Khu Ju-ki berseru:

“Nona Liong dan Yo-siauhiap, segala persoalan biarlah kita anggap selesai dan marilah kita berkawan. Bagaimana?”

Selang sejenak ternyata tidak terdengar jawaban. Khu Ju-ki lantas berkata lagi: “Nona Liong terluka, silakan turun saja dan berdaya untuk menyembuhkannya. Kami berjanji takkan membikin susah kalian.”

Akan tetapi sekian lamanya tetap tiada suara apa pun. Pikiran Lau Ju-hian tergerak, katanya:

“Khu-suko, tampaknya mereka sudah pergi.”

“Mana bisa?” ujar Ju-ki.

“Lihatlah kawanan tawon yang beterbangan serabutan itu,” kata Ju-hian sambil mengambil sebuah obor dari seorang muridnya, lalu ia mendahului berlari ke atas loteng.

Beramai-ramai Khu Ju-ki dan lain-lain juga ikut ke sana. Benar juga ruangan perpustakaan itu ternyata kosong tiada seorang pun, di atas meja di tengah ruangan nampak botol madu tawon. Seperti menemukan jimat saja, cepat Ciu Pek-thong menyambar botol itu lalu dimasukkan bajunya. Semua orang memeriksa sekitar Cong-keng-kok, tapi tetap tak menemukan tanda yang mencurigakan, hanya pada lantai di pojok ruangan sana ada setumpuk kitab, namun tidak ada tanda berkurangnya jumlah kitab, hanya peti tempat kitab-kitab itu lenyap. Tiba-tiba Hek Tay-thong berseru:

“He, mereka kabur melalui sini!”

Semua orang mendekati jendela bagian belakang loteng itu. Tampak seutas tali terikat pada jendela itu, ujung tali yang lain terikat pada pohon di tebing sebelah sana. Antara Cong-keng-kok dan tebing terhalang sebuah jurang yang lebarnya ada belasan meter, sebenarnya buntu tiada jalan tembus, sama sekali tak terduga bahwa Yo Ko dapat menyeberang ke sana melalui seutas tali dengan Ginkang-nya yang hebat.

Yo Ko dan Siao-liong-li melangsungkan upacara pernikahan di pendopo Tiong-yang-kiong, betapa pun juga orang-orang Coan-cin-kau merasa kehilangan muka karena tidak dapat mencegah perbuatan kedua muda-mudi itu. Kini kedua lawan telah pergi, Coan-cin-ngo-cu saling pandang dengan senyum kecut, namun hati terasa lega. Yang paling merasa dongkol dan penasaran sebenarnya adalah Sun Put-ji, tetapi setelah menyaksikan cinta kasih Yo Ko dan Siao-liong-li yang suci murni, pula pada detik yang berbahaya Yo Ko menyelamatkan dia, tanpa terasa Sun Put-ji seperti kehilangan sesuatu dan bungkam saja.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar