Selasa, 21 September 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 133

Sesuai kedudukannya, Kim-lun Hoat-ong sebenarnya tidak layak menempur Yo Ko yang cacat badan serta harus melindungi seorang yang terluka parah. Tapi Hoat-ong juga tahu kesempatan baik sekarang ini sulit dicari lagi di kemudian hari. Jika saja luka Siao-liong-li sudah sembuh, dengan gabungan kedua muda-mudi itu jelas dirinya bukan tandingan. Juga andaikan Siao-liong-li tewas oleh lukanya, setelah Yo Ko tidak memiliki tanggungan lagi, dirinya juga bukan tandingan anak muda itu. Karena itulah ia bertekad membinasakan kedua muda-mudi itu sekarang, mumpung ada kesempatan bagus. Bahwa cara bertempur sekarang ini pantas dan adil atau tidak bukan soal baginya.

Keadaan demikian juga cukup dipahami semua orang, mereka pun merasa Kim-lun Hoat-ong kurang terhormat menempur Yo Ko sekarang. Segera si dogol Be Kong-co berteriak:

“Hai, Hwesio gede, kau terhitung ksatria atau bukan? Kau tahu malu tidak?”

Akan tetapi Hoat-ong berlagak pilon saja, kelima rodanya tetap beterbangan pulang pergi dan kian kemari mengitari Yo Ko berdua, begitu roda-roda itu ditangkap kembali segera disambitkan lagi, kadang tinggi, mendadak bisa rendah, lain saat lurus ke depan, tetapi tahu-tahu membelok lagi ke samping, suara yang ditimbulkan juga berbeda, ada yang mendengung keras, ada yang mendenging nyaring.

Sekonyong-konyong terdengar Be Kong-co menjerit kaget. Kiranya sebuah roda tiba-tiba menyambar dari samping terus membelok menyerempet kepalanya hingga sebagian kulit kepalanya terkelupas berikut secomot rambutnya dan berdarah jatuh ke tanah. Roda itu cukup besar dan berat, tetapi ketika mengupas kulit kepalanya seakan-akan sebuah pisau cukur yang tipis saja. Yang hebat adalah serempetan itu demikian tepatnya hingga tiba pas mengupas kulit berikut rambut saja, kalau lebih tinggi sedikit tentu takkan mengupas kulit kepala, sebaliknya kalau kerendahan sedikit tentu jiwa Be Kong-co melayang. Semua orang melongo ngeri melihat kehebatan roda Kim-lun Hoat-ong.

Yo Ko menguatirkan keadaan Siao-liong-li. Makin lama di situ berarti berkurang pula kesempatan menyembuhkannya. Segera kaki kirinya melangkah maju, tubuh Siao-liong-li dibawanya maju sedikit, menyusul kaki kanan melangkah.

“Awas!” tiba-tiba Kim-lun Hoat-ong berseru, tahu-tahu kelima rodanya bergabung menjadi satu dan terbagi menjadi dua baris terus menyambar dari depan kepada Yo Ko berdua.

Namun Yo Ko juga mengerahkan tenaga pada tangan kirinya sehingga ujung pedangnya sedikit bergetar.

“Trang! Trang! Trang!”

Ketiga roda emas, tembaga dan besi kena dicungkit ke samping, menyusul pedangnya terus menghantam ke bawah. Pandangan semua orang terasa silau, menyusul debu pasir mengepul, tahu-tahu roda perak dan roda timah tertebas pecah menjadi dua oleh pedang Yo Ko dan jatuh ke tanah. Pada saat itu pula terdengar Hoat-ong membentak sambil menubruk maju, tangan kirinya memotong miring ke tepi roda tembaga, ada pun roda emas dan besi terus ditangkapnya, menyusul dihantamkan ke kepala Yo Ko.

Yo Ko tidak menangkis, sebaliknya pedang pusakanya menusuk lurus ke dada musuh, Pedang lebih panjang dari pada roda, sebelum roda lawan sempat menghantam kepala Yo Ko, ujung pedang anak muda itu sudah mengancam dan cuma beberapa senti saja di depan dada Hoat-ong. Akan tetapi maju mundurnya Hoat-ong sungguh cepat luar biasa, tidak kelihatan bergerak tetapi tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat beberapa meter ke samping. Yo Ko juga bergerak dengan cepat, segera ia menarik pedangnya ke belakang.

“Trangg...!”

Roda tembaga kembali menyambar dari belakang ditebasnya menjadi dua, bahkan sebelum kedua potong roda itu jatuh, pedangnya menyabet dari samping sehingga kedua potong roda tembaga tertebas lagi menjadi empat. Walau pun pedang itu tumpul, tapi digunakan dengan tenaga dalam yang kuat, ternyata tajamnya tidak alang kepalang. Hanya sekejap saja tiga roda Kim-lun Hoat-ong telah dihancurkan, tapi paderi Tibet ini benar-benar tangkas luar biasa, makin kalah semakin bersemangat, ia putar roda emas dan besi kemudian menyerang lagi lebih kencang.

Namun Yo Ko bertahan dengan tenang-tenang saja, betapa Hoat-ong mengitarinya dan menyerang dari arah mana pun tetap tak dapat mendekatinya. Setelah berpuluh jurus lagi, mendadak kedua roda Hoat-ong saling bentur, menyusul terus ditolak ke depan, dihantamkan kepada tubuh Siao-liong-li. Cepat pedang Yo Ko menusuk ke depan.

“Crengg...!”

Dengan tepat pedang itu menahan tepi roda emas, tenaga dalam kedua orang sama-sama dikerahkan pada senjata masing-masing hingga keduanya sama tergetar, seketika kedua orang hanya berdiri saja dan saling bertahan. Yo Ko merasa tenaga lawan terus menerjang tiba secara bergelombang dan tidak putus-putus, makin lama semakin kuat. Diam-diam ia terkejut, tidak disangkanya tenaga dalam lawan ternyata sehebat ini. Meski sebelum ini mereka pernah bertarung beberapa kali, tapi baru sekali ini mereka mengadu Iwekang.

Karena sekarang mereka mengadu tenaga dalam, kehebatan pedang tumpul Yo Ko sukar dipergunakan. Sebaliknya sudah berpuluh tahun Kim-lun Hoat-ong menggembleng diri, tentu saja dia lebih ulet dari pada Yo Ko, apa bila berlangsung lama tentu akhirnya Yo Ko yang kewalahan.

Yo Ko pikir tiada gunanya main ngotot begini. Akan kupancing dia mendekat, lalu kukebut mukanya dengan lengan baju kanan secara mendadak. Karena pikiran ini, perlahan Yo Ko menarik pedangnya ke belakang. Jarak kedua orang tadinya hampir dua meter, lambat laun mengkeret menjadi satu setengah meter, lalu satu meter dan semakin dekat.


PERNIKAHAN DUA MURID MURTAD

Kedua murid Hoat-ong, yaitu Darba dan Hotu, sejak tadi mengawal di samping sang guru. Mereka menjadi girang sekali melihat gurunya berada di atas angin, tapi mereka pun prihatin melihat sang guru mengadu Iwekang dengan Yo Ko. Maklumlah, mengadu tenaga dalam secara begitu tidak mungkin main licik atau bermaksud menghindar, kalau meleng bahkan jiwa bisa melayang.

Darba berhati jujur dan berpikir sederhana, yang dia perhatikan hanya keselamatan sang guru, maka tanpa terasa ia ikut melangkah maju melihat gurunya semakin mepet dengan lawannya. Sedangkan Hotu juga ikut melangkah maju dua-tiga tindak, tetapi yang menjadi tujuannya adalah mencari kesempatan menyerang Yo Ko. Dia main kipas-kipas seperti orang mencari angin, tapi kalau lawan meleng sedikit saja segera senjata rahasia pada kipasnya akan dihamburkan.



Akan tetapi di sebelah sana Khu Ju-ki dan Ong Ju-it tidak tinggal diam, mereka telah berpengalaman. Melihat gelagatnya segera mereka menduga Hotu dan Darba bermaksud ikut menyerang membantu sang guru. Mereka saling pandang sekejap dan berpikir: “Biar pun Yo Ko memusuhi Coan-cin-kau, tetapi seorang laki-laki sejati harus bertindak terang-terangan, baik kalah atau menang harus ditentukan menurut kepandaian sejati, mana boleh kaum durjana berbuat sesukanya di atas Cong-lam-san!”

Begitulah mereka lantas melangkah maju dengan pedang terhunus sambil menatap tajam mengawasi gerak-gerik Hotu. Meski pun sudah ubanan semua, namun wajah kedua Tosu tokoh Coan-cin-kau ini masih merah segar, sorot mata mereka yang tajam membuat Hotu keder dan tidak berani sembarangan bergerak.

Sementara itu tangan Yo Ko sudah semakin mengkeret, sekarang jarak Hoat-ong dengan dia kurang dari satu meter. Dia pikir kalau Hwesio tua mendesak maju lagi sedikit, segera akan kusabet dia dengan lengan baju kanan, andai kata tidak dapat membinasakannya, sedikitnya membikin dia kepala pusing dan mata berkunang-kunang. Hoat-ong terkesiap juga ketika melihat bahu kanan Yo Ko bergerak sedikit. Sebagai orang yang maha cerdik segera ia tahu tujuan si anak muda, pikirnya: “Kebasan lengan bajumu memang hebat, tapi biarlah kutahan disabet oleh lengan bajumu, ketika itu tenaga tangan kirimu tentu akan berkurang, jika aku menyerang sepenuh tenaga secara mendadak tentu kau pun akan terluka parah.”

Selama menggelendot di tubuh Yo Ko, keadaan Siao-liong-li semakin lemah dia hampir tak sadarkan diri. Ketika anak muda itu mengerahkan tenaga dalam hingga jalan darahnya bertambah cepat dan suhu badannya semakin panas, karena rasa panas badan anak muda itu semakin bertambah, Siao-liong-li lantas membuka mata. Dilihatnya dahi Yo Ko ada butiran keringat, ia mengusapnya dengan lengan baju.

Ketika melihat anak muda itu menatap tajam ke depan dengan sikap prihatin ia pun lantas mengikuti arah yang dipandang itu, tapi ia menjadi kaget, dilihatnya sepasang mata Kim-lun Hoat-ong-melotot seperti gundu dengan sorot mata yang buas, jaraknya sangat dekat di depannya. Dengan rada takut Siao-liong-li pejamkan lagi matanya. Pada waktu membuka mata lagi, dilihatnya wajah Hoat-ong dengan mata melotot itu bertambah dekat lagi. Akhirnya ia mendongkol. Ia menggelendot dalam pelukan kekasih, justru orang melototinya secara menjemukan!

Tak terpikir olehnya bahwa saat itu Hoat-ong sedang menempur Yo Ko, ia hanya anggap Hwesio itu adalah musuh dan juga tidak ingin Hwesio itu mengganggu kebahagiaannya di samping sang kekasih, maka ia lantas mengeluarkan sebuah jarum tawon putih, perlahan-lahan ia mencolokkan jarum itu ke mata kiri Hoat-ong. Jangankan jarum itu berbisa, meski hanya jarum biasa, jika bola mata tertusuk pasti buta seketika. Hanya saja tujuan Siao-liong-li cuma hendak menghalau pandangan mata musuh yang menjemukan itu, pula dia terluka parah, maka waktu menjulurkan jarumnya itu menjadi tak bertenaga dan maju dengan sangat perlahan.

Namun saat itu Hoat-ong sedang mengadu tenaga dalam dengan Yo Ko, sedikit bergeser saja pasti akan celaka. Maka ketika jarum Siao-liong-li menusuk dengan perlahan, sama sekali ia tidak dapat mengelak atau melawannya. Tampaklah jarum sudah semakin mendekat dan semakin mendekat, dari belasan senti menjadi beberapa senti di depan matanya dan kini tinggal satu dua senti saja. Tiba-tiba Hoat-ong berteriak keras, kedua rodanya didorong ke depan, ia sendiri lantas berjumpalitan ke belakang, namun begitu tenaga Yo Ko yang terkumpul pada pedangnya sulit dielakkan seluruhnya, maka baru saja Hoat-ong dapat berdiri, tubuhnya tergeliat dan akhirnya jatuh terduduk.

“Suhu!” teriak Darba dan Hotu berbareng, mereka berdua menubruk maju hendak memayang bangun sang guru.

Sementara itu Yo Ko ayunkan pedangnya hingga roda emas dan besi lawan terbelah menjadi dua, dia terus memburu maju, pedangnya memotong ke tubuh Kim-lun Hoat-ong yang terduduk itu. Hoat-ong belum mampu menghimpun kembali tenaganya, dia terduduk dengan lunglai dan tidak sanggup melawan sedikit pun. Cepat Darba angkat gadanya dan Hotu juga angkat kipas bajanya ke atas untuk menahan bacokan pedang Yo Ko.

Namun tenaga bacokan Yo Ko itu sangat hebat, apa lagi bobot pedangnya memang juga berat, seketika Darba dan Hotu merasa kakinya lemas dan tidak tahan, serentak mereka bertekuk lutut. Meski begitu mereka tetap bertahan mati-matian demi menyelamatkan sang guru. Daya tekanan Yo Ko semakin kuat, Darba dan Hotu angkat senjata mereka dan bertahan sepenuh tenaga, tulang punggung mereka serasa mau patah, rasa tulang sekujur badan berbunyi berkeriukan. Mendadak Hotu berkata:

“Suheng, tahanlah sejenak, biar kutolong Suhu, habis itu segera kubantu kau lagi.”

Dengan gabungan tenaga kedua orang saja tidak mampu menahan, apa lagi cuma Darba sendirian, mana dia mampu menahan daya tekanan pedang Yo Ko. Tapi dia memang orang yang polos dan berbudi luhur, demi keselamatan sang guru dia rela mengorbankan segalanya. Segera dia mengiyakan ucapan Hotu dan sekuatnya mengangkat gada ke atas. Hotu dan Darba berbicara dalam bahasa Tibet sehingga Yo Ko tidak paham apa artinya, hanya tiba-tiba dirasakan tenaga gada lawan bertambah. Ketika dia hendak menekan ke bawah lebih kuat, saat itulah Hotu melompat mundur.

Ternyata Hotu adalah manusia licik dan licin. Mana dia bermaksud menyelamatkan sang guru, yang benar adalah ingin menyelamatkan diri sendiri. Begitu lolos segera dia berseru:

“Suheng, siaute akan pulang untuk berlatih lagi, sepuluh tahun lagi akan kucari bocah she Yo ini untuk membalas sakit hati Suhu dan kau!”

Habis berkata ia terus berlari pergi secepat terbang dan menghilang dalam sekejap saja. Merasa diakali Sute-nya, Darba menjadi murka sekali. Dia ingat Yo Ko adalah reinkarnasi (penjelmaan) Toa-suhengnya, ia heran kenapa orang berbuat begini terhadap guru sendiri. Segera dia berseru:

“Toa-suheng, harap kau ampuni jiwaku, nanti sesudah kuantar pulang Suhu dengan selamat, akan kucari Sute yang durhaka itu untuk kucincang hingga hancur lebur, setelah itu akan kuserahkan diriku dan terserah cara bagaimana Toa-suheng akan berbuat padaku, baik mau dibunuh atau dibakar, sedikit pun siaute takkan melawan.”

Dengan sendirinya Yo Ko tidak paham apa arti ocehan Darba itu, tapi dilihatnya Hotu lari meninggalkan Suhu dan Suheng yang sedang terancam bahaya maut, betapa pun ia juga bersimpatik pada Darba yang setia dan jujur. Waktu ia menoleh sedikit, dilihatnya Siao-liong-li memandang padanya dengan penuh rasa kasih mesra. Alangkah bahagia perasaan Yo Ko, seketika rasa ingin membunuh menuntut balas sakit hati terlempar ke awing-awang, terasa segala dendam dan benci di dunia ini bukan apa-apa lagi, segera ia angkat pedangnya dan berkata kepada Darba:

“Baiklah, kau pergi saja!”

Darba segera bangkit, tetapi lantaran terlalu banyak keluar tenaga, seluruh tubuh menjadi lemas, dia tidak kuat memegangi gadanya lagi dan jatuh ke tanah. Cepat dia menyembah beberapa kali pada Yo Ko sebagai tanda terima kasihnya, sementara itu Kim-lun Hoat-ong masih duduk di tanah tak bisa berkutik. Tanpa bicara lagi Darba memanggul sang guru dan dibawa pergi tanpa menjemput kembali gadanya.

Menyaksikan Yo Ko hanya dengan satu tangan saja sanggup mengalahkan semua tokoh terkemuka pihak MongoI, para Busu Mongol menjadi sangat ketakutan. Serentak mereka berteriak, kemudian be-ramai membawa Siau-siang-cu, In Kik-si dan Nimo Singh yang terluka parah, hanya sekejap saja mereka pun kabur. Hanya Be Kong-co saja yang tetap berdiri di situ. Dia mendekati Yo Ko dan mengangkat ibu jarinya, katanya:

“Adik cilik, kau sungguh hebat.”

“Be-toako,” jawab Yo Ko. “Kawan-kawanmu adalah manusia-manusia busuk, kau pasti rugi kalau berkumpul dengan mereka. Kukira lebih baik kau mohon diri pada Kubilai dan pulang saja ke kampung halamanmu.”

“Ucapanmu memang betul,” ujar Be Kong-co. Dia memandang sekejap pada Siao-liong-li yang tetap cantik motek itu meski dalam keadan terluka parah, lalu berkata: “Kapan kau akan menikah dengan nona ini, bagaimana jika aku tinggal di sini untuk meramaikan pestamu?”

Yo Ko tersenyum getir sambil menggeleng kepala, lalu dia memandang sekeliling, melihat beberapa ratus Tosu yang masih merubung di sekitarnya. Segera Be Kong-co berkata:

“Aha, betul, masih ada kawanan Tosu busuk ini. Bagaimana kalau kubantu kau membereskan mereka?”

Sudah tentu Yo Ko tidak ingin orang lain ikut menyerempet bahaya baginya, maka segera ia berseru:

“Kau lekas pergi saja, aku sendiri dapat melayani mereka.”

Be Kong-co melengak, tetapi cepat ia mengerti, serunya sambil bertepuk tangan: “Benar, benar! Bahkan Hwesho gede, mayat hidup dan yang lain-lain bukan tandinganmu, masa kawanan Tosu busuk ini mampu melawan kau? Ehh, adik cilik dan nona cantik, aku Be Kong-co mohon diri!”

Habis itu dia terus melangkah pergi sambil menyeret toyanya hingga menimbulkan bunyi gemerantang ketika toya tembaganya menggesek batu di sepanjang jalan. Be Kong-co tidak tahu bahwa ada ‘perang dingin’ antara Kim-lun Hoat-ong dan kawannya sendiri. Waktu Yo Ko menempur mereka satu per satu, mereka masing-masing sengaja menonton belaka dengan harapan akan dapat menarik keuntungan dari hasil pertarungan itu. Coba kalau mereka mengerubut maju sekaligus. Biar pun kepandaian Yo Ko setinggi langit juga sukar melayani keroyokan lawan sebanyak itu.

Apa lagi sekarang kalau harus menghadapi pihak Coan-cin-kau. Kawanan Tosu itu sudah terlatih dan penuh disiplin, kalau Khu Ju-ki sudah memberi perintah, daya tempur mereka bahkan jauh lebih hebat dari pada Kim-lun Hoat-ong dan begundalnya. Begitulah dengan pedang menahan tanah, Yo Ko memandang kawanan Tosu itu dengan dingin.

Dengan suara lantang Khu Ju-ki kemudian berkata: “Yo Ko, kepandaianmu sudah terlatih sedemikian tinggi dan sudah melebihi kaum kita. Namun begitu, menghadapi Coan-cin-kau yang berjumlah beberapa ratus orang ini, apakah kau kira mampu meloloskan diri?”

Sejauh Yo Ko memandang yang tampak memang gemerdepnya pedang belaka. Setiap tujuh orang Tosu terbentuk menjadi satu regu berderet-deret susun menyusun sehingga dirinya dan Siao-liong-li terkepung di tengah. Biar pun setiap barisan pedang itu terbentuk dari tujuh Tosu yang berkepandaian biasa saja, tetapi daya tempurnya cukup menandingi seorang tokoh kelas satu, dan kini di sekitar Yo Ko sedikitnya ada beberapa puluh barisan pedang. Sudah tentu anak muda itu pantang menyerah, dia melangkah maju. Serentak tujuh Tosu menghadangnya dengan ujung pedang siap menusuk. Waktu Yo Ko menusukkan pedangnya, seketika ketujuh Tosu itu menangkisnya.

Terdengarlah suara gemerantang ramai, ketujuh pedang patah semua, yang terpegang di tangan para Tosu tertinggal garan pedang saja, keruan para Tosu itu kaget dan cepat meloncat ke samping. Cepat Ong Ju-it memberi komando dan segera barisan pedang lainnya menghadang ke depan Yo Ko. Namun sekali pedang anak muda itu menyabet, biar pun kawanan Tosu itu juga bergerak cepat menggeser tempat, tidak urung dua Tosu menjerit, seorang terluka pinggang dan yang lain tertabas pahanya dan keduanya roboh terguling.

Pada saat itu pula Khu Ju-ki telah memberi perintah, empat belas pedang sekaligus mengancam bagian belakang Yo Ko dan Siao-liong-li. Apa bila Yo Ko putar pedangnya ke belakang, andaikan sekaligus dapat mengguncang pergi senjata itu, tapi kalau salah satu pedang itu tertinggal tentu Siao-liong-li akan terluka pula. Karena sedikit ragu-ragu itulah segera tujuh pedang lain kembali mengancam dari samping. Dalam keadaan begini sekali pun Yo Ko berjuang mati-matian sulit untuk menyelamatkan Siao-liong-li. Untunglah Khu Ju-ki lantas berseru memberi perintah sehingga ke-21 pedang yang germerdep itu cuma mengancam di depan tubuh Yo Ko berdua.

“Nona Liong dan Yo Ko, guru kita dahulu mempunyai hubungan yang erat, jika Coan-cin-kau kami sekarang mengalahkan kalian karena jumlah orang banyak, menang pun takkan gemilang rasanya, apa lagi nona Liong dalam keadaan terluka parah,” demikian kata Khu Ju-ki. “Sejak dahulu orang bilang, permusuhan lebih baik dibereskan dari pada diributkan. Bagaimana kalau sekarang juga perselisihan kita anggap selesai tanpa mempersoalkan siapa benar dan siapa salah?”

Sebenarnya antara Yo Ko dan Coan-cin-kau juga tiada sesuatu dendam yang mendalam. Dulu Hek Tay-thong pernah salah mencelakai Sun-popoh, untuk itu Hek Tay-thong sangat menyesal dan rela menebus kesalahan itu dengan jiwanya, jadi persolan itu sudah beres. Sekarang kedatangannya juga untuk mencari Siao-liong-li saja dan tiada maksud hendak memusuhi Coan-cin-kau, karena itu apa yang dikatakan Khu Ju-ki dapat diterimanya. Dia pun berpikir tiada artinya bertempur dengan orang Coan-cin-kau, yang paling penting harus menyelamatkan jiwa sang Kokoh lebih dulu.

Belum ia menjawab, tiba-tiba saja sorot mata Siao-liong-li perlahan memandang sekeliling kawanan Tosu itu, lalu bertanya dengan suara perlahan:

“Mana In Ci-peng?”

Sesudah punggungnya terhantam roda serta dadanya tertusuk pedang, luka In Ci-peng cukup parah, cuma belum mati, ia menggeletak di samping sana dalam keadaan kempas-kempis. Ketika dengan samar-samar dia mendengar namanya disebut oleh suara yang lembut seketika hatinya tergetar hebat, entah dari mana datangnya tenaga, serentak dia bangkit dan menerobos ke tengah barisan pedang sambil berseru:

“Aku berada di sini, nona Liong!”

Sejenak Siao-liong-li menatapnya, tampak jubah Ci-peng penuh berlumuran darah dan bermuka pucat. Putus asa dan remuk redam hati Siao-liong-li. Katanya dengan gemetar kepada Yo Ko:

“Ko-ji, kesucianku sudah dinodai orang ini, biar pun sembuh juga aku tidak dapat hidup bersamamu. Namun dia menyelamatkan aku dengan mati-matian, maka kau tak perlu... tak perlu lagi membuat susah dia. Pendek kata, nasibku sendiri yang buruk.”

Dasar hati Siao-liong-li memang suci bersih, dia tidak pantang omong apa pun di hadapan orang, meski di depan be-ratus orang tetap diucapkan pengalamannya yang pahit itu. Setelah merandek sejenak, ia tersenyum manis dan berkata pula pada Yo Ko dengan lirih:

“Kini, mati di sisimu, hatiku... hatiku terasa sangat bahagia.”

Sampai di sini tiba-tiba teringat sesuatu olehnya, disambung pula: “Puteri Kwe-tayhiap itu sudah mengutungi lenganmu, dia pasti tidak dapat meladeni kau dengan baik, lalu siapa yang akan menjaga kau kelak?” Teringat pada persoalan ini, ia menjadi sedih, dengan suara lemah ia berkata lagi: “Ko-ji, selanjutnya kau akan hidup sendirian, tiada... tiada seorang pun menemani kau...”

“Jangan kuatir, kau tak akan meninggal,” kata Yo Ko dengan suara halus, “Kita pasti akan berada bersama untuk selamanya.”

Tadi ketika mendengar Siao-liong-li berpesan kepada Yo Ko agar jangan membikin susah padanya, semua dianggap nasibnya sendiri yang buruk, ucapan Siao-liong-li membikin perasaan In Ci-peng sangat terharu, hatinya seperti disayat-sayat, tidak kepalang menyesal atas perbuatannya yang salah itu hingga mengakibatkan si nona menderita batin selama hidup, sungguh mati pun sukar menebus dosanya. Segera ia berseru kepada Coan-cin-ngo-cu:

“Suhu dan para Susiok, semuanya ini adalah karena perbuatanku. Dosaku teramat besar, hendaklah kalian jangan sekali-kali membikin susah nona Liong dan Yo-siauhiap.” Habis berkata dia melompat maju dan menubruk ke ujung barisan pedang para Tosu, seketika tubuhnya tertembus oleh beberapa pedang dan binasa.

Kejadian ini sama sekali di luar dugaan semua orang, keruan para Tosu berteriak kaget, Tapi mereka menjadi paham setelah mendengar ucapan Siao-Hong-li serta pengakuan In Ci-peng tadi, jelas In Ci-peng sudah melanggar kesucian Siao-liong-li dengan cara yang rendah. Karena kesalahan ternyata terletak pada pihaknya sendiri, Coan-cin-ngo-cu menjadi malu, namun serba susah juga untuk menyatakan penyesalan mereka dan minta maaf.

Setelah memandang sekejap kepada para Sute-nya, segera Khu Ju-ki memberi perintah agar barisan pedang membubarkan diri. Seketika terdengar suara gemerincing nyaring pedang dimasukkan ke sarungnya serta terluang sebuah jalan bagi kepergian Siao-liong-li dengan Yo Ko.

Yo Ko masih merangkul pinggang Siao-liong-li dengan lengan bajunya yang tak berlengan. Tiba-tiba teringat olehnya bahwa jiwa sang Kokoh tinggal beberapa saat saja, apakah dapat tertolong sungguh sukar dibayangkan. Dahulu dia pernah tanya padaku apakah aku mau mengambil dia sebagai isteri. Waktu itu aku bingung dan tidak menjawabnya sehingga kemudian timbul macam-macam kejadian yang merisaukan. Kini keadaan sudah mendesak, waktu tidak banyak lagi, harus kubikin Kokoh merasa senang dan puas. Maka dengan suara keras dia lantas bersuara:

“Kokoh, persetan tentang guru dan murid atau soal kebersihan nama segala. Asal kita berdua saling mencintai, masa di dunia ini ada soal nasib buruk segala? Bagaimana orang lain akan berpikir dan berbicara mengenai diri kita, peduli amat, biarkan mereka pusing kepala sendiri.”

Senang sekali hati Siao-liong-li, dia pandangi anak muda itu dan bertanya: “Ucapanmu ini apakah sungguh-sungguh timbul dari lubuk hatimu? Atau demi untuk menyenangkan aku lalu sengaja kau ucapkan kata-kata yang enak didengar ini?”

“Sudah tentu sungguh-sungguh,” jawab Yo Ko. “Tanganku buntung dan kau tambah kasih sayang padaku. Kau mengalami bencana, aku pun semakin kasih sayang padamu.”

“Benar sekali. Di dunia ini kecuali kita berdua sendiri memang tiada orang lain yang mau memperhatikan kita,” ujar Siao-liong-li dengan perlahan.

Beberapa ratus Tosu yang sudah lama tirakat dan jauh dari urusan kehidupan manusia menjadi serba runyam ketika tiba-tiba mendengar ucapan kedua muda mudi yang penuh kasih mesra itu, semuanya saling pandang dengan wajah merah jengah. Segera Sun Put-ji membentak:

“Lekas kalian pergi saja dari sini! Tiong-yang-kiong adalah tempat suci, tidak pantas kalian mengucapkan kata-kata tidak sopan di sini.”

Akan tetapi Yo Ko malah berseru: “Dulu Tiong-yang Cosu dan Lim-cosu sebenarnya adalah suatu pasangan yang setimpal, tapi entah sebab tata adat apa yang menyebabkan gagalnya perjodohan dan meninggalkan penyesalan selama hidup. Kokoh, justru kita menikah di hadapan pemujaan Tiong-yang Cosu untuk melampiaskan rasa dongkol Lim-cosu kita.”

Siao-liong-li tertawa manis, dia menghela napas dan menjawab: “Ko-ji, kau sungguh baik padaku.”

Mengenai hubungan cinta antara mendiang Ong Tiong-yang dengan Lim Tiau-eng, hal ini cukup diketahui oleh Coan-cin-ngo-cu. Maka hati mereka tergetar demi mendengar Yo Ko mengungkit urusan itu. Sun Put-ji lantas membentak lagi:

“Mendiang guru kami mendirikan Coan-cin-kau dengan kepintaran dan keyakinan yang penuh, jika kau berani sembarangan omong dan bertindak di sini, jangan menyesal jika pedangku tidak kenal ampun padamu!”

“Sret!” segera ia melolos pedangnya. Padahal kepandaian Sun Put-ji sendiri sejak dulu juga bukan tandingan Yo Ko, tetapi sekali bergerak, tentu be-ratus Tosu itu takkan tinggal diam.

Yo Ko hanya melirik sekejap saja padanya dan tidak menggubris, ia lalu membatin: “Betapa pun aku harus segera menikah dengan Kokoh. Kalau tidak dilaksanakan di sini, jangan-jangan setelah meninggalkan Tiong-yang-kiong Kokoh lantas tak tertolong lagi, tentu Kokoh akan meninggal dengan menyesal.”

Biasanya Yo Ko memang suka bertindak menuruti kehendaknya. Sekali dia menyatakan hendak menikah di hadapan pemujaan Tiong-yang Cosu, maka apa pun yang akan terjadi pasti akan dilaksanakannya. Dilihatnya sebagian besar kawanan Tosu itu sudah menghunus pedang dan siap tempur. Dia lantas berkata:

“Sun-totiang, jadi kau sengaja mengusir kami?”

Dengan suara ketus Sun Put-ji membentak: “Pergi, lekas pergi! Selanjutnya Coan-cin-kau putus hubungan dengan Ko-bong-pay, paling baik kalau kita tidak bertemu lagi!”

Tadinya Yo Ko berdiri menghadapi Tiong-yang-kiong. Ia menghela napas panjang setelah mendengar ucapan Sun Put-ji yang tegas itu, kemudian membalik tubuh dan melangkah ke kuburan kuno. Baru dua langkah ia berjalan, berbareng ia mengembalikan pedang pada pinggangnya, lengan baju kanan mengebas dan memayang Siao-liong-li. Tiba-tiba ia menengadah dan tertawa terbahak-bahak. Begitu keras suara tawanya hingga mengejutkan semua orang. Baru selesai tertawa, mendadak dia melepaskan Siao-Iiong-Ii dan melompat mundur, tahu-tahu Hiat-to di bagian pergelangan tangan kanan Sun Put-ji kena dipegangnya.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar