Senin, 20 September 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 132

Seperti sudah diceritakan, malam itu Yo Ko menyaksikan Oey Yong menotok Kwe Ceng dan menyuruh Kwe Hu pulang ke Tho-hoa-to, maka Yo Ko langsung menguntit dari kejauhan. Lantaran merasa berat harus berpisah dengan puterinya, maka Oey Yong tidak memperhatikan penguntitan Yo Ko. Ketika Oey Yong memergoki Li Bok-chiu, kemudian dua tokoh perempuan itu bertempur keluar hutan, diam-diam Yo Ko sudah merancang tindakan apa yang harus dilakukannya. Dia memanjat ke atas pohon besar dan meraih seutas rotan tua dan panjang, ujung rotan diikatnya pada dahan pohon, lalu dia menggandul pada tali rotan serta diayun ke tengah lingkaran pagar rotan yang dibuat Oey Yong.

Kuatir kalau Oey Yong dan Li Bok-chiu akan segera kembali, maka Yo Ko menggunakan kedua kakinya mengempit tubuh Kwe Siang dan sekali ayun dia keluar lagi dari pagar rotan itu. Dilihatnya Oey Yong masih bertempur dengan Li Bok-chiu, cepat dia menyelinap keluar hutan dan kabur pergi. Ginkang Yo Ko sekarang boleh dikatakan tiada tandingannya lagi di dunia ini, maka hanya sekejap saja dia telah kembali di kota kecil itu. Dilihatnya Kwe Hu sedang celingukan sambil menuntun kuda merah menunggu kembalinya sang ibu. Setelah dekat, mendadak Yo Ko mencemplak ke atas kuda merah itu dari belakang.

Keruan Kwe Hu terkejut, ia menoleh dan melihat yang menunggang kuda merah ternyata Yo Ko adanya. Ia menjerit kaget ketika melihat Yo Ko menyeringai padanya.

“Srett!” cepat ia melolos pedang.

Ci-wi-kiam yang lemas tajam milik Tokko Kiu-pay sudah dirampas oleh Kwe Ceng, maka yang dibawa Kwe Hu sekarang cuma pedang biasa saja. Jika Yo Ko mau membinasakan dia boleh dikatakan teramat mudah, akan tetapi ketika melihat si nona ketakutan hingga muka pucat, Yo Ko hanya mendengus saja, lengan baju kanannya yang kosong itu terus dikebaskan dan membelit pedang Kwe Hu, tangan kirinya merebut tali kendati kuda, kedua kakinya mengempit kencang, kuda merah membedal cepat ke depan.

Kwe Hu terkesima menyaksikan perginya Yo Ko. Ketika ia memeriksa pedang sendiri, ternyata batang pedangnya bengkok seperti arit. Nyata tindakan Yo Ko tadi hanya sebagai ‘pamer kekuatan’ saja, maksudnya ingin memberi tahu bahwa kalau dia mau, biar pun lengan kanannya telah buntung, hanya dengan sekali kebas lengan baju saja cukup untuk membikin jiwanya melayang!

BegituIah Yo Ko melarikan kuda merah itu cepat ke utara dengan membawa Kwe Siang, hanya dalam waktu sebentar saja berpuluh li sudah dilaluinya, karena itulah ketika Oey Yong memandang dari pucuk pohon tidak melihat bayangannya. Keadaan Yo Ko sekarang benar-benar serba susah dan sukar mengambil keputusan. Mestinya dia pun bermaksud menebas sebelah lengan Kwe Hu untuk membalas dendam, tapi sampai detik terakhir ternyata dia tidak tega turun tangan. Ia coba memandang Kwe Siang, bayi itu sedang tidur dengan lelap dan wajahnya cantik mungil. Mendadak timbul pikiran:

“Paman dan bibi Kwe kehilangan puterinya ini, biar kubawa pergi dan takkan kukembalikan sebagai pembalasan dendamku, penderitaan batin mereka saat ini mungkin jauh melebihiku.”

Sekaligus Yo Ko melarikan kudanya hingga dua tiga ratus li jauhnya, di sepanjang jalan mulai banyak rumah penduduk, dia minta sedikit susu sapi atau susu kambing dari petani yang ditemukan untuk menyuapi Kwe Siang. Kini ia mempunyai kuda bagus, maka ia bertekat akan langsung pulang ke kuburan kuno mencari Siao-liong-li. Hanya beberapa hari saja ia sudah sampai di Cong-lam-san. Teringat kepada masa lalu, terharulah hati Yo Ko. Setiba di depan kuburan kuno, ia lihat batu nisan kuburan besar itu masih berdiri dengan tegaknya. Tetapi pintu kuburan sudah tertutup rapat ketika diserbu oleh Li Bok-chiu dulu, untuk masuk ke dalam kuburan tiada jalan lagi selain melalui jalan di bawah tanah dan harus selulup ke dasar sungai.

Dengan kesaktian Yo Ko sekarang, menyelam air dan menyusuri jalan di bawah tanah bukan soal lagi, namun bagaimana dengan Kwe Siang? Dia menjadi serba susah, kalau orok dibawa menyelam, jelas takkan tahan dan pasti mati. Tapi bila teringat Siao-liong-li berada di dalam kuburan dan segera akan dapat bertemu dengan kekasihnya, ia menjadi tidak sabar.


MENYELAMATKAN KEKASIH DARI KEPUNGAN

Segera dia menaruh Kwe Siang di sebuah goa dekat kuburan itu, dia menguruki mulut goa dengan ranting-ranting kayu dan belukar kering, dia pikir baik Siao-liong-li dapat ditemukan di dalam kuburan kuno atau tidak, yang pasti dia akan segera keluar lagi untuk mengatur Kwe Siang. Selesai memasang perintang di mulut goa, dia lalu memutar ke belakang kuburan, tetapi baru belasan langkah, tiba-tiba terdengar samar-samar beradunya senjata terbawa desiran angin. Ia terkesiap, yakin arahnya tepat dari Tiong-yang-kiong, ia menjadi ragu-ragu.

Pada saat lain mendadak terdengar mendengungnya roda perak yang mencelat ke udara, senjata khas milik Kim-lun Hoat-ong. Sekali ini Yo Ko tidak tahan akan rasa ingin tahunya, cepat mengeluarkan Ginkang dan berlari ke tempat datangnya suara, yaitu Giok-hi-tong di belakang istana Tiong-yang-kiong.

Pada saat itulah Siao-liong-li sedang tergencet pukulan dahsyat kelima tokoh Coan-cin-kau dan roda emas Kim-lun Hoat-ong sehingga terluka parah. Bila saja Yo Ko datang lebih dini sejenak, tentu Siao-liong-li akan terhindar dari mala petaka. Tetapi apa mau dikata, tak dapat seluruhnya memenuhi kehendak manusia. Nasib orang, suka-duka kehidupan manusia dan dengan segala seginya acap kali terjadi hanya karena selisih dalam sedetik itu saja.

Begitulah ketika mendadak Siao-liong-li melihat sebelah lengan Yo Ko buntung, dia lupa pada lukanya sendiri yang parah, dengan penuh perhatian dan kasih sayang menanyakan sebab-sebab buntungnya lengan anak muda itu. Dengan bersemangat Yo Ko berkata:

“Kokoh, memang sudah kuduga, setelah lenganku buntung, kau tentu akan semakin sayang padaku.”

Siao-liong-li hanya tertawa manis dan tidak menjawab. Sesungguhnya ia cuma ingin bertemu sekali lagi dengan Yo Ko sebelum ajalnya, sekarang angan-angannya sudah tercapai, tiada lain lagi yang diharapkan. Kedua muda-mudi itu saling pandang dengan mesranya, perasaan mereka seperti terlebur menjadi satu, biar pun dikelilingi musuh-musuh tangguh namun keduanya sama sekali tak ambil pusing.

Melihat Yo Ko muncul tiba-tiba, Coan-cin-ngo-cu merasa urusan ini makin sukar diselesaikan. Segera Khu Ju-ki berseru:

“Tiong-yang-kiong adalah tempat keramat yang suci, sebenarnya apa maksud kalian mengacau di sini?”

Dengan marah Ong Ju-it juga ikut membentak. “Nona Liong, meski Ko-bong-pay kalian dan Coan-cin-pay kami ada selisih paham, kita dapat menyelesaikannya sendiri, mengapa kau sengaja mengundang orang-orang asing dan kaum perusuh ini sehingga mencelakai anak murid kami sebanyak ini?”

Siao-liong-li terluka parah, mana dia dapat menjelaskan duduknya perkara dan berdebat dengan mereka. Dengan perlahan dan hati2 Yo Ko mendukung pinggang Siao-liong-li, lalu berkata dengan suara halus:

“Kokoh, marilah kita pulang ke kuburan kuno dan jangan urus orang-orang ini.”

“Lenganmu masih sakit tidak?” tanya Siao-liong-li.

Yo Ko menggeleng, jawabnya dengan tertawa: “Tidak, sudah lama sembuh.”

“Apakah racun bunga cinta di tubuhmu tidak kumat?” tanya pula si nona.

“Terkadang kumat, tapi tidak begitu lihay seperti dulu,” ujar Yo Ko.

Sesudah dilukai Siao-liong-li, sejak tadi Ci-keng sembunyi di belakang dan tidak berani nongol, lalu muncullah Coan-cin-ngo-cu yang keluar dari tempat menyepinya, dia menjadi kuatir kalau guru dan paman gurunya mengusut persoalannya, tentu jabatan ketua akan gagal dan bahkan akan dihukum berat. Karena itu dia menjadi nekad. Dia pikir keadaan ini harus dibakar lebih lanjut agar tambah kacau sehingga kelima orang tua itu tidak sempat mengurut persoalan, dengan begitu barulah ada kesempatan baginya untuk menang. Bila Kim-lun Hoat-ong dapat menumpas Coan-cin-ngo-cu akan lebih baik lagi baginya sehingga selamanya dia tak perlu kuatir lagi.



Ci-keng tahu ilmu silat Yo Ko sudah jauh di atas dirinya, tapi kini melihat anak muda itu buntung sebelah lengannya, tangan kiri yang baik itu digunakan memegang Siao-liong-li sehingga keadaannya hampir boleh dikatakan tak bisa berkutik kalau diserang. Selama ini Ci-keng paling benci kepada bekas murid murtad ini, kini ada kesempatan baik, tentu takkan dilewatkan begitu saja. Segera ia mengedipi muridnya, yaitu Ceng-kong, lalu membentak:

“Murid murtad Yo Ko, kedua Cosuya menanyai kau, kenapa kau diam saja?”

Yo Ko menoleh, kemudian memandangnya dengan sorot mata penuh kebencian, pikirnya:

“Kokoh telah dilukai kalian para Tosu busuk, sementara ini tak akan kuurus, kelak saja akan kubikin perhitungan dengan kalian.” Dia memandang sekejap pada pihak Tosu Coan-cin-kau, lalu memayang Siao-liong-li dan melangkah pergi.

“Maju!” bentak Ci-keng, berbareng Ceng-kong terus menubruk maju dan menusuk pedang mereka di iga kanan Yo Ko.

Ci-keng adalah tokoh terkemuka dari angkatan ketiga Coan-cin-kau. Meski ia sendiri telah terluka, namun tidak begitu parah. Sekarang ia menyerang ke bagian lengan Yo Ko yang buntung, dia yakin lawan pasti tidak mampu balas menyerang, tentu saja serangannya sangat berbahaya.

Meski Khu Ju-ki tidak senang atas sikap Yo Ko yang angkuh dan tidak menghormati orang tua, akan tetapi mengingat pesan Kwe Ceng serta teringat pada hubungan baik antara guru dan murid (ayah Yo Ko, Yo Khong dan Kwe Ceng adalah murid Khu Ju-ki), mau tak mau ia harus mencegah serangan Ci-keng yang lihay itu. Cepat ia membentak:

“Berhenti, Ci-keng!”

Sedangkan si dogol Be Kong-co berteriak-teriak memaki: “Huh, Tosu keparat, tidak tahu malu, kenapa kau menusuk bagian lengan orang yang buntung?”

Tetapi di luar dugaan semua orang, mendadak tubuh Ceng-kong yang besar itu mencelat ke udara sambil berkaok-kaok.

“Blang!” dengan tepat Ceng-kong menumbuk tubuh Nimo Singh.

Dengan kepandaian Nimo Singh sebenarnya tubrukan Ceng-kong bukan soal, akan tetapi lantaran kedua kakinya telah buntung dan menggunakan tongkat saja, dengan sendirinya tangannya tak dapat menolak, maka tumbukan itu membuat Nimo Singh jatuh terjungkal. Tetapi begitu punggungnya menempel tanah, seketika ia melompat bangun lagi menegak sebelah tongkatnya mengemplang hingga punggung Ceng-kong terhantam dengan keras dan jatuh semaput.

Dalam pada itu tahu-tahu pedang Ci-keng terinjak kaki Yo Ko. Ci-keng berusaha menarik sekuatnya hingga muka merah padam, tetapi pedangnya bergeming sedikit pun. Semua kejadian ini berlangsung dengan cepat luar biasa, orang yang memiliki kepandaian sedikit rendah hampir tidak tahu cara bagaimana Yo Ko mengatasi kedua penyerang itu. Tetapi Kim-lun Hoat-ong, Siau-siang-cu, In Kik-si dan Coan-cin-ngo-cu dapat melihatnya dengan jelas.

Waktu kedua pedang penyerang, mendadak lengan baju kanan Yo Ko yang kosong mengebas dengan tenaga dahsyat sehingga tubuh Ceng-kong yang gemuk itu langsung terlempar tinggi dan menumbuk Nimo Singh. Sedangkan Ci-keng tidak dapat disamakan dengan muridnya. Ketika tiba-tiba merasa lengan baju orang menyambar dengan kuat, sebisanya dia menahan tubuh di tempat sehingga kebasan Yo Ko tidak dapat mengguncangnya. Akan tetapi pedangnya yang terjulur itu lantas tertekan ke bawah sehingga kena diinjak.

Karena sudah digembleng oleh arus air bah, tenaga kaki Yo Ko luar biasa kuatnya, injakannya laksana tindihan gunung, meski Ci-keng berusaha menarik pedangnya dengan sepenuh tenaga tetap tak bergoyang sama sekali.

“Thio-totiang,” kata Yo Ko dengan dingin, “dulu di depan Kwe-tayhiap sudah kau katakan bukan lagi guruku, mengapa sekarang kau mengungkap soal guru dan murid? Mengingat pernah kupanggil kau sebagai guru, biar kau kuampuni saja!” Habis berkata mendadak ia tarik kembali tenaga injakannya.

Padahal saat itu Ci-keng sedang menarik sekuatnya, keruan tenaga tarikannya serentak terbetot kembali seluruhnya.

“Blang...!” dengan tepat gagang pedang menyodok dada sendiri, kontan ia muntah darah, pandangannya menjadi gelap dan jatuh terlentang.

Melihat itu, Ong Ju-it dan Lau Ju-hian lantas menyerang dari kanan kiri, tetapi mendadak sesosok bayangan menerjang dari samping.

“Trangg...! Trangg...!” kedua pedang terguncang pergi.

Ternyata yang menerjang adalah Nimo Singh. Dia ditubruk terjungkal oleh Ceng-kong. Walau pun Ceng-kong digebuknya hingga kelengar, rasa marahnya masih belum terlampiaskan. Ia pikir pangkal pokoknya adalah gara-gara Yo Ko, karena itu dia menerjang maju lagi, tongkat kirinya menangkis kedua pedang Tosu itu, sementara tongkat kanan mengemplang kepala Yo Ko dan Siao-liong-li.

Saat itu Siao-liong-li sama sekali tidak bertenaga, dengan lemas ia menggelendot di tubuh Yo Ko, sedangkan Yo Ko juga tahu kepandaian Nimo Singh tak dapat disamakan dengan Ci-keng dan Ceng-kong, bila hanya mengebas dengan lengan baju saja mungkin sukarlah menghalau hantaman tongkat yang hebat itu. Maka cepat dia menggeser sedikit ke kiri, lengan baju kanan digunakan melibat pinggang Siao-liong-li yang ramping agar si nona menggelendot di sisi kanan dadanya, lalu tangan kiri digunakan untuk menarik Hian-tian-po-kiam, pedang pusaka tumpul dan berat terus diangkat ke atas.

“Blukk!”

Terdengar suara keras, tangan Nimo Singh tergetar sakit, tongkat besinya mencelat ke udara dan jatuh ke belakang goa Giok-hi-tong. Yo Ko sendiri juga kaget karena tak mengira pedang tumpul milik Tokko Kiu-pay memiliki kekuatan begitu hebat. Dalam pada itu, meski sebelah tangan Nimo Singh serasa kaku, tapi dasarnya memang tangkas dan nekat, dia mengerang terus meloncat ke atas dengan bantuan sebelah tongkatnya, menyusul tongkat itu menghantam ke bawah.

Kembali Yo Ko menangkis dengan pedang tumpul. Ia pikir tadi sudah mencoba tenaga keras, sekarang biarlah kucoba tenaga lunak, maka begitu menyentuh senjata musuh, pedangnya melengket dengan tongkat. Kalau saja ia mau mengerahkan tenaganya, pasti seketika Nimo Singh dapat dilemparkan, dan jika dibanting ke dinding karang, pasti tubuh Nimo Singh akan hancur.

Sebenarnya Yo Ko juga tak kenal ampun apa bila mengingat Siao-liong-li telah dilukai sedemikian rupa, ia merasa manusia-manusia jahat ini pantas dibinasakan semua. Tetapi baru saja dia hendak mengerahkan tenaga, mendadak dilihatnya tubuh Nimo Singh yang terapung di udara tidak mempunyai kaki lagi, ia menjadi teringat kepada dirinya sendiri yang juga buntung sebelah tangan. Dasar hati nuraninya memang baik, tiba-tiba timbul rasa senasibnya, pedangnya tidak jadi dicungkit ke atas, sebaliknya ditekan ke bawah sehingga tongkat besi Nimo Singh menancap ke dalam tanah hampir separohnya.

Dengan masih memegangi tongkatnya Nimo Singh bermaksud mencabut, akan tetapi tangan kanan yang tergetar tadi masih terasa kaku kesakitan hingga sukar mengeluarkan tenaga.

“Biarlah kuampuni jiwamu sekarang, apakah kau masih ada muka buat tinggal lebih lama di Tionggoan?” jengek Yo Ko.

Muka Nimo Singh merah padam, dia tidak dapat menjawab selain berdiri melongo di tempatnya. Walau pun kekalahan Nimo Singh secara luar biasa itu di luar dugaan Siau-siang-cu dan In Kik-si, tapi mereka tidak mengira bahwa cuma dalam sebulan saja kekuatan Yo Ko maju sepesat ini, mereka malah menyangka Nimo Singh yang tidak becus setelah kedua kakinya buntung. Segera In Kik-si memburu maju dan mencabutkan tongkat serta diserahkan kembali pada Nimo Singh.

Sesudah menerima tongkat, segera Nimo Singh menahan tubuhnya dan bermaksud melompat jauh menyingkir, tapi tak terduga rasa kaku lengannya ternyata belum hilang, baru saja menekan, “bluk”, kembali ia jatuh terjungkal.

Siau-siang-cu adalah manusia yang culas, asalkan orang lain celaka, baik kawan atau pun lawan baginya bukan soal, dia justru merasa senang. Dia pikir sekali ini si cebol Hindu pasti tamat riwayatnya dan selekasnya Yo Ko yang telah cacat badan ini kutangkap lebih dulu, inilah kesempatan baik untuk mencari jasa dan menyohorkan nama. Maka ia lantas melompat maju dan berseru:

“Hai, bocah she Yo, beberapa kali kau mengacaukan pekerjaan Ongya, sekarang lekas kau ikut pergi saja!”

Mengingat luka Siao-liong-Ii yang parah, Yo Ko pikir kalau musuh ini tidak lekas dihalau tentu sebentar akan sukar menyelamatkan sang Kokoh, maka dengan suara perlahan ia coba tanya Siao-liong-li:

“Apakah kau kesakitan, Kokoh?”

“Mendingan, tidak begitu sakit,” jawab Siao- liong-li.

Yo Ko lantas menoleh kepada Siau-siang-cu dan berkata: “Baik, majulah!”

Siau-siang-cu menyeringai seram, katanya: “Kau cuma bertangan satu, kalau kukalahkan kau dengan dua tangan rasanya tidak adil.” Segera dia selipkan tangan kirinya pada tali pinggang, tangan kanan memutar pentungnya dan berkata: “Aku pun menggunakan sebelah tangan agar mati pun kau takkan menyesal.”

Yo Ko ingin lekas menyelesaikan persoalan, ia tidak ingin banyak omong lagi, mendadak pedang tumpul di tangan kiri mengarah lurus pinggang Siau-siang-cu. Melihat pedang yang kasar kehitam-hitaman serta tumpul laksana sepotong besi tua saja, Siau-siang-cu percaya senjata ini tentu ada sesuatu yang istimewa, akan tetapi di mulut ia tetap menghina, katanya,

“Huh, dari mana kau menemukan besi tua ini?” Habis berkata ia menghantarkan pentungnya pada pedang tumpul.

Yo Ko tidak menggoyangkan pedang, hanya mengerahkan tenaga saja ke batang pedang itu.

“Blukk!” terdengar satu kali suara dan tahu-tahu pentung Siau-siang-cu patah menjadi beberapa potong lantas mencelat betebaran.

“Celaka!” keluh Siau-siang-cu sambil mundur dengan cepat.

Akan tetapi Yo Ko tidak tinggal diam, pedangnya menjulur ke depan, dia sodok ke kanan satu kali dan pukul ke kiri satu kali, kontan kedua lengan Siau-siang-cu patah semua. Melihat gelagat jelek, ln Kik-si menubruk maju sambil memutar ruyungnya menghadang di depan Siau-siang-cu.

ln Kik-si adalah seorang saudagar besar batu permata negeri Persia, pandangannya sangat tajam, terutama dalam hal menaksir benda-benda mestika. Ketika menyaksikan pedang Yo Ko dapat menggetar terbang tongkat Nimo Singh tadi, dia yakin bahwa pedang Yo Ko pasti benda mestika, dari warnanya yang aneh ia menaksir pedang itu mungkin terbuat dari besi murni yang jarang ditemukan. Kemudian dilihatnya lagi pentung Siau-siang-cu juga tergetar hingga patah menjadi beberapa potong, ia makin yakin bahwa pedang itu pastilah benda pusaka.

Pada umumnya In Kik-si tidak terlampau jahat, cuma sejak kecil ia telah berdagang intan permata, maka setiap kali melihat benda mestika yang aneh tentu dia tertarik dan dengan segala jalan dia ingin memilikinya, apakah harus dibeli, ditipu atau kalau perlu direbut dan dicuri. Sekarang pedang pusaka Yo Ko sangat menarik perhatiannya, seketika timbul keserakahannya ingin memiliki, segera ia putar ruyungnya yang lemas terus membelit pedang lawan.

Yo Ko sendiri tidak terlalu benci kepada In Kik-si karena sikapnya yang cukup ramah dan sopan. Ketika melihat ruyung orang menyambar datang, di atas ruyung tampak penuh bertahtakan batu permata, maka dia lantas membiarkan pedangnya dibelit, katanya:

“ln-heng, selama ini kita tiada permusuhan apa-apa, sebaiknya lekas tarik kembali ruyungmu dan memberi jalan padaku. Ruyungmu penuh batu mestika, sungguh sayang kalau sampai rusak.”

“Apakah betul begitu?”, ujar In Kik-si tertawa, sekuatnya ia membetot.

Akan tetapi Yo Ko tetap berdiri tegak seperti tonggak bergeming sedikit pun. In Kik-si menjadi penasaran, tapi ia tahu kepandaian lawan sangat lihay, kalau tidak mempergunakan akal tentu pedang mestika itu sukar direbut. Dengan tertawa dia lantas berkata:

“Kepandaian Yo-heng sudah maju sepesat ini, sungguh harus diberi selamat dan menggembirakan, Siaute menyerah kalah.” Sambil mengucap begitu, mendadak tangan lain mengeluarkan sebilah belati terus menikam ke dada Siao-liong-li.

Tujuan In Kik-si sebenarnya tidak hendak mencelakai nyawa Siao-liong-li. Soalnya ia tahu Yo Ko amat memperhatikan si nona, kalau melihat nona itu terancam bahaya tentu akan menolongnya mati-matian. maka tikamannya pada Siao-liong-li sebetulnya cuma gertakan belaka, dengan begitu dia akan berhasil merebut pedang pusaka Yo Ko. Benar juga, Yo Ko menjadi kaget melihat Siao-liong-li diserang. Pada saat itulah In Kik-si membentak:

“Lepaskan pedang!” Sekuatnya dia membetot rayungnya untuk merampas pedang lawan.

Ternyata Yo Ko menuruti kehendaknya dan melepaskan pedang, cuma pedang panjang dan belati pendek sekalian didorong ke depan. Karena dorongan itu, jarak kedua orang bertambah jauh sehingga belati yang pendek itu tidak dapat mencapai tubuh Siao-liong-li. Rupanya karena kuatirnya Yo Ko telah mendorong pedangnya cukup keras hingga membuat In Kik-si ter-huyung ke belakang, pedang yang berat itu berikut ruyung yang masih melibat terus menumbuk ke tubuh In Kik-si.

Meski Yo Ko juga tiada maksud melukai jiwa In Kik-si, tetapi untuk menyelamatkan Siao-liong-li, tenaga dorongan yang dikeluarkan tidak kepalang hebatnya. In Kik-si merasa seperti ditolak oleh tenaga yang maha dahsyat, sekuatnya dia mengerahkan tenaga dan mendorong ke depan namun begitu tetap tergentak mundur lagi beberapa langkah baru kemudian dapat berdiri tegak. Mukanya berubah pucat, tampaknya tetap tersenyum, namun senyuman yang getir.

In Kik-si merasa isi perutnya jungkir balik, seluruh urat nadinya kacau balau, ia tidak berani sembarang bergerak lagi dan juga tak berani menggunakan tenaga. Yo Ko lalu melangkah maju dan mengambil kembali pedangnya. Ketika ia angkat pedang itu, di bawah sinar sang surya, pandangan semua orang menjadi silau, batu permata telah berhamburan berserakan. Rupanya ketika kedua orang sama-sama mengerahkan tenaga, batu permata yang tertata pada ruyung In Kik si tergetar hancur dan rontok.

Dibandingkan Nimo Singh dan Siau-siang-cu, pribadi In Kik-si lebih baik, namun karena keserakahannya, luka yang diderita malah lebih parah dari pada kedua kawannya. Yo Ko gemas karena In Kik-si hendak menikam Siao-liong-li dengan belatinya, maka dia tak pedulikan luka saudagar Persi yang cukup berat itu, segera ia berseru:

“Kim-lun Hoat-ong, utang-piutang kita perlu diselesaikan sekarang atau ditunda lain hari?”

Kim-lun Hoat-ong sangat licik. Dilihatnya Yo Ko berturut-turut mengalahkan Nimo Singh, Siau-siang-cu dan In Kik-si yang semuanya hanya berlangsung dalam sekali dua gebrak saja, betapa tinggi ilmu silat anak muda itu sungguh sukar diukur lagi. Kalau sekarang dia menempurnya, meski tidak sampai kalah seperti tiga kawannya, tapi untuk menang rasanya juga tidak gampang. Namun begitu berada di depan orang sebanyak ini, kalau dirinya kena digertak begitu saja lantas pergi, betapa pun dia ingin menjaga harga diri. Dia pikir: “Bocah ini sudah buntung sebelah lengannya, meski pun tangan kirinya juga lihay, bagian kanan yang buntung pasti lemah, jika kuserang saja bagian kanan. dia tentu juga menguatirkan keadaan Siao-liong-li, kalau berlangsung agak lama, tentu pikirannya akan kacau.”

Setelah mengambil keputusan, dia lantas menyiapkan kelima rodanya. Dia tahu pertarungan sekali ini sebenarnya mengenai mati-hidup dan dipuji atau terhina selamanya, sedikit pun tidak boleh gegabah. Segera ia melangkah maju, dengan tertawa ia berkata:

“Saudara Yo, kuucapkan selamat kepadamu atas penemuan istimewa yang kau dapatkan ini sehingga kau memiliki pedang sakti yang tiada tanding.”

Siao-liong-li menggelendot dalam rangkulan Yo Ko, samar-samar ia melihat Kim-lun Hoat-ong maju dengan rodanya, dia pikir tenaga Yo-Ko seorang pasti tidak dapat menandingi paderi itu, dengan suara perlahan ia berkata:

“Ko-ji, berikanlah pedang padaku, mari kita binasakan dia dengan Giok-li-kiam-hoat kita.”

Yo Ko menjadi terharu, jawabnya: “Jangan kuatir Kokoh, aku sendiri mampu melayani dia.”

Siao-liong-li cepat bergeser sedikit ke kanan agar dapat mengaling lebih banyak di depan Yo Ko. Sungguh terharu dan terima kasih Yo Ko, serunya:

“Kokoh, sekarang kita menempur kawanan iblis ini. andaikan mati pun kita tak akan menyesal.” Segera pedangnya mengacung ke depan.

Hoat-ong tidak berani menghadapi dari depan, cepat ia melompat mundur, menyusul terdengar suara mendengung, roda timahnya telah menyambar. Pada waktu Yo Ko angkat pedangnya menebas, roda itu terus memutar ke belakangnya lalu terbang kembali ke arah Hoat-ong sehingga tebasan Yo Ko mengenai tempat kosong. Setelah itu suara mendengung bergemuruh dengan gemerdapnya sinar perak dan cahaya emas. Lima buah roda Kim-lun Hoat-ong dihamburkan sekaligus dari jurusan yang ber-beda.

Kuatir menambah parah luka Siao-liong-li, Yo Ko tidak berani banyak bergerak, dia terus berdiri saja di tempatnya. Ternyata hamburan kelima roda Kim-lun Hoat-ong Cuma serangan percobaan saja, setelah roda itu berputar sekeliling, lalu terbang kembali lagi ke tangan Hoat-ong. Melihat Yo Ko tak mau bergeser dari tempatnya, tahulah Hoat-ong akan jalan pikiran anak muda itu. Dia menjadi girang dan yakin dirinya pasti akan berada pada pihak yang lebih menguntungkan kalau saja menyerang dari jauh dan terus berpisah tempat, dengan cara ini pun dirinya takkan kalah.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar