Sabtu, 18 September 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 129

Kwe Hu melirik sang ayah sekejap, lalu menjawab dengan tergagap: “Sesudah... sesudah melukai Yo-toako, anak takut... takut didamprat ayah, maka... maka...”

“Maka kau bersembunyi begitu?” sambung Kwe Ceng.

Sambil menggigit bibirnya, terpaksa Kwe-Hu mengangguk. “Jadi maksudmu menunggu setelah kemarahanku mereda barulah kau pulang?”

Kembali Kwe Hu manggut-manggut, mendadak ia menubruk ke pangkuan sang ayah dan berseru dengan terguguk:

“Apakah engkau masih marah pada anak, ayah?”

Dengan penuh rasa kasih sayang Kwe Ceng membelai rambut anak gadisnya, katanya dengan perlahan:

“Tidak, aku tidak marah, selamanya aku tidak pernah marah, aku cuma sedih bagimu.”

“Oh, ayah!” teriak Kwe Hu sambil mendekap sang ayah dan menangis tersendat sendat.

Kwe Ceng menengadah memandangi langit-langit kamar tanpa berbicara lagi. Agak lama setelah tangis Kwe Hu mereda barulah dia berkata pula:

“Kakek Yo Ko, namanya Yo Tiat-sim, dengan kakekmu Kwe Siau-thian, keduanya adalah saudara angkat. Ayahnya dan ayahmu ini juga mengikat saudara, semuanya ini kan sudah kau ketahui.” Kwe Hu mengiyakan. Maka Kwe Ceng segera melanjutkan: “Meski tingkah laku Yo Ko itu kadang-kadang suka dugal, tetapi pembawaannya berbudi luhur, beberapa kali dia menyelamatkan jiwa ayah-bundamu. Usianya masih muda, tapi jasanya cukup besar bagi negara dan bangsa, hal ini pun kau mengetahui.”

Karena nada ucapan sang ayah semakin bengis, Kwe Hu tidak berani menanggapi. Tiba-tiba Kwe Ceng bangkit dan berkata:

“Selain itu ada hal lagi yang tidak diketahui olehmu, biarlah sekarang aku ceritakan kepadamu. Bahwa ayah Ko-ji, yaitu Yo Khong, dahulu perbuatannya memang sangat tercela, sebagai kakak angkatnya aku tidak dapat menasehati dia dan menuntunnya ke jalan yang benar, sehingga dia tewas secara mengerikan di biara Thi-jio-bio di kota Kahin. Sungguh pun kematian paman Yo itu tidak dilakukan oleh ibumu, tapi matinya disebabkan oleh ibumu, jadi sebetulnya keluarga Kwe berutang cukup banyak kepada keluarga Yo.”

Untuk pertama kalinya sekarang Yo Ko mendengar tentang sebab musabab serta tempat kematian ayahnya, seketika dendam kesumat yang terpendam dalam lubuk hatinya berkobar kembali. Dalam pada itu terdengar Kwe Ceng berkata:

“Sebenarnya ada maksudku hendak menjodohkan kau pada Ko-ji sekedar mengurangi penyesalanku dalam hidupku ini, siapa tahu... siapa tahu... Aihh...!”

Tiba-tiba Kwe Hu mendongak dan berkata: “Ayah, dia telah menggondol lari adik dan telah banyak mengucapkan kata kotor yang sangat merendahkan anakmu ini. Coba ayah, biar pun keluarga Yo mereka memiliki hubungan erat dengan keluarga Kwe, apakah anak boleh dihina dan dicerca begitu saja olehnya dan sama sekali tidak boleh membantah dan melawannya?”

Se-konyong-konyong Kwe Ceng membentak: “Sudah jelas kau telah mengutungi lengannya, bagaimana dia dapat menghina dan mencerca kau? Dan di mana pedang itu?”

Kwe Hu tidak berani membantah lagi, dia mengeluarkan Ci-wi-kiam dari bawah kasur. Setelah memegang pedang itu, Kwe Ceng menggetarnya perlahan, seketika terdengar suara mendengung. Katanya dengan suara pedih:

“Anak Hu, manusia hidup harus dapat mawas diri, setiap tindak-tandak harus dilakukan dengan jujur tanpa merugikan siapa pun juga. Biasanya meski ayah sangat bengis padamu, tetapi sayangku padamu tidak kurang dari pada ibumu.” Sampai dengan kalimat-kalimat terakhir ini suaranya berubah menjadi halus dan lunak.

Maka dengan suara perlahan Kwe Hu menanggapi. “Ya, anak juga tahu.”

“Baiklah, sekarang ulurkan lengan kananmu,” kata Kwe Ceng tiba-tiba. “Kau telah memotong sebelah lengan orang, aku pun memotong sebelah lenganmu. Selama hidup ayahmu jujur dan adil, biar pun puteriku sendiri kalau berbuat salah takkan kubela.”

Sebelumnya Kwe Hu juga menyadari dirinya pasti akan dihukum oleh sang ayah, namun sama sekali tak menduga bahwa ayahnya tega menebas lengannya. Keruan ia ketakutan hingga muka pucat seperti mayat dan berteriak:

“Ayah!”

Yo Ko juga tidak menyangka bahwa Kwe Ceng sedemikian tinggi luhur budinya, dia pun berdebar menyaksikan adegan yang luar biasa itu. Terlihat wajah Kwe Ceng yang kereng itu menatap puterinya dengan tajam, mendadak pedangnya bergerak terus menebas. Akan tetapi dengan cepat luar biasa mendadak seorang melompat masuk kamar melalui jendela, belum tiba segera pentungnya menangkis pedang Kwe Ceng, siapa lagi dia kalau bukan Oey Yong.

Tanpa bicara Oey Yong menyerang tiga kali, semuanya tipu serangan lihay dari Pak-kau-pang-hoat. Karena ilmu permainan pentung itu memang amat hebat, pula Kwe Ceng tidak berjaga-jaga, mau tak mau ia terdesak mundur dua tiga tindak oleh sang isteri.

“Lekas lari, anak Hu!” satu Oey Yong.

Namun Kwe Hu tidak secerdik sang ibu, menghadapi peristiwa luar biasa ini, dia menjadi melenggong dan berdiri mematung. Dengan tangan kiri membopong bayi dan tangan kanan memutar pentungnya, segera Oey Yong gunakan pentung untuk menolak tubuh Kwe Hu hingga terjungkal keluar jendela.

“Lekas kembali ke Tho-hoa-to dan mohon Kwa-kongkong (maksudnya Kwa Tin-ok) ke sini untuk mintakan ampun pada ayahmu!” seru Oey Yong sambil memutar lagi pentungnya menghalangi Kwe Ceng, lalu dia berseru: “Lekas pergi, kuda merah tertambat di depan!”



Oey Yong cukup kenal watak sang suami yang amat polos dan jujur, bahkan terkadang kepala batu, tapi juga amat mementingkan setia kawan dan menghormati orang tua. Sekali ini anak perempuannya telah berbuat salah besar, tentu tak terhindar dari hukuman berat, maka sebelumnya dia sudah suruh orang menyiapkan kuda merah di luar pintu, lengkap dengan pelana terpasang serta perbekalan seperlunya. Dia pikir kalau berhasil meredakan amarah suaminya, kalau perlu biar Kwe Hu diomeli dan dipukul sekadarnya, dia pun akan bereskan persoalan. Jika tidak maka terpaksa Kwe Hu disuruh lekas lari ke tempat yang jauh, kelak apa bila amarah sang suami sudah mulai kendur barulah puterinya akan disuruh pulang.

Tadi sehabis ribut mulut di kamar, Kwe Ceng menuju ke kamar anak perempuannya, segera Oey Yong merasakan gelagat kurang enak, maka cepat ia menyusul ke sana dan dapatlah menyelamatkan lengan puterinya. Sebetulnya kepandaian Oey Yong bukan tandingan Kwe Ceng, tetapi biasanya Kwe Ceng rada segan kepada isterinya, pula melihat Oey Yong memondong bayi, betapa pun tidak tega menggunakan pukulan berat untuk menghalau sang isteri. Karena sedikit ragu dan terhalang itulah Kwe Hu sempat kabur keluar rumah.

Sudah tentu semua kejadian itu dapat disaksikan oleh Yo Ko dari tempat sernbunyinya. Ketika Kwe Hu terlempar keluar jendela, bila ia terus melompat turun dan menyerangnya, terang Kwe Hu sudah binasa sejak tadi. Namun mengingat sekeluarga itu sedang kalang kabut dan pokok pangkalnya adalah disebabkan diriku, bila kubinasakan dia selagi orang dalam kesusahan, betapa pun rasanya tidak enak dan tidak tega.


DUA WANITA TERKEMUKA DI DUNIA KANGOUW

Dalam pada itu Oey Yong masih terus memutar pentungnya dan mendesak mundur Kwe Ceng. Sekarang Kwe Ceng sudah kepepet di tepi ranjang dan tak dapat mundur lagi. Mendadak Oey Yong berteriak:

“Terima ini!” Berbareng bayi dalam pondongannya dilemparkan kepada sang suami.

Dengan melengak Kwe Ceng menangkap bayi itu. Oey Yong lantas mendekatinya dan membujuk dengan suara halus:

“Kakak Ceng, harap kau mengampuni anak Hu.”

Akan tetapi Kwe Ceng menggeleng, jawabnya: “Yong ji, masa aku tidak sayang pada puteriku sendiri? Tapi dia telah berbuat kesalahan sebesar itu, kalau tidak diberi hukuman setimpal, betapa pun hati kita tidak akan tenteram. Lagi pula, bagaimana kita akan menghadapi Ko-ji? Aihh, lengannya buntung sebelah, tiada orang yang merawatnya pula, entah bagaimana keadaannya sekarang.”

Mendengar ucapan yang penuh perasaan itu, Yo Ko tahu sang paman selalu memikirkan dirinya, tanpa terasa ia terharu dan hampir meneteskan air mata.

“Sudah sekian hari kita mencari tetapi tidak berhasil menemukan jejaknya, bila terjadi sesuatu tentu kita sudah menemukan bekas-bekasnya,” kata Oey Yong.

“Apa lagi kepandaian Ko-ji sudah tidak di bawah kita, meski pun terluka parah takkan berhalangan.”

“Baiklah, akan kupanggil kembali anak Hu,” kata Kwe Ceng.

“Saat ini dia sudan keluar kota dengan kuda merah, mana dapat menyusulnya lagi?” kata Oey Yong dengan tertawa.

“Saat ini baru lewat tengah malam, tanpa Lengpay (tanda perintah) dariku atau Lu-tayjin, tidak mungkin dia dapat keluar kota,” kata Kwe Ceng pula.

“Baiklah, terserah kau,” jawab Oey Yong sambil menghela napas, lalu dia mendekati sang suami untuk menerima bayinya.

Tanpa sangsi Kwe Ceng mengangsurkan bayi itu, tapi di luar dugaan, baru saja kedua tangan Oey Yong menyentuh gurita si bayi, se-konyong-konyong tangannya nyelonong ke iga Kwe Ceng, lalu dengan ilmu Tiam-hiat yang khas ajaran Oey Yok-su yang terkenal dengan nama ‘Lau-hoa-hut-hiat-jiu’ mendadak ia totok kedua Hiat-to penting di bagian iga sang suami.

Dengan kepandaian Kwe Ceng yang maha sakti, kalau Oey Yong tidak main licik, betapa pun sukar hendak menotok suaminya. Rupanya ketika dia melemparkan Kwe Boh-lo kepada suaminya memang sudah diatur rencananya ini. Menghadapi isterinya yang cerdik pandai ini Kwe Ceng betul-betul mati kutu, seketika tubuhnya kaku pegal dan menggeletak di atas ranjang tanpa bisa berkutik.

Sambil membopong bayinya Oey Yong terus membukakan sepatu dan baju luar suaminya kemudian dibaringkan di tempat tidur serta diberi bantal pula agar dapat tidur dengan baik, lalu dari baju Kwe Ceng diambilnya Lengpay. Tentu saja Kwe Ceng menyaksikan ini, akan tetapi dia tak berdaya. Kemudian Oey Yong merebahkan bayinya pula di samping sang suami agar ayah dan anak itu tidur bersama, lalu mereka diselimuti dan berkata:

“Maafkan, kakak Ceng, nanti kalau anak Hu telah kuantarkan keluar kota, pulangnya akan kubuatkan beberapa macam daharan lezat untuk minta maaf padamu.”

Kwe Ceng hanya menyeringai saja tanpa bisa menjawab, isterinya yang sudah setengah umur ini ternyata masih nakal seperti dahulu. Terlihat Oey Yong melangkah pergi dengan tersenyum. Dalam keadaan tertotok begitu, andaikan menggunakan tenaga dalam sendiri untuk membobol Hiat-to yang tertotok itu paling cepat diperlukan satu jam baru jadi, jelas betapa pun sukar lagi menyusul puterinya. Persoalan ini benar-benar membuatnya serba runyam!

Oey Yong sayang pada anak. Dia kuatir Kwe Hu seorang diri pergi ke Tho-toa-to mungkin akan mengalami kesulitan di tengah jalan, sebab itu dia cepat kembali ke kamarnya untuk mengambil kaos kutang pusaka yang biasa dipakainya, kemudian segera dia memburu ke pintu gerbang selatan. Setiba di sana, tampak Kwe Hu sedang ribut dengan perwira penjaga yang tidak mau membukakan pintu. Perwira itu bicara dengan hormat dan berusaha menjelaskan bahwa tanpa ijin khusus dari Lu-ciangkun dan Kwe-tayhiap, kalau malam-malam membuka pintu gerbang pasti akan dihukum penggal kepala, maka perwira itu menyatakan keberatannya untuk mengeluarkan si nona.

Oey Yong kenal kecerobohan puterinya yang juga kurang pengalaman itu, menghadapi kesukaran bukannya mencari akal, tetapi malahan mengumbar kemarahan dan berteriak-teriak yang tiada gunanya. Cepat ia mendekati mereka dan memperlihatkan Lengpay yang diambilnya dari baju sang suami tadi. Melihat Lengpay itu memang asli, pula dibawa sendiri oleh Kwe-hujin, terpaksa perwira penjaga itu minta maaf lalu membukakan pintu, bahkan ia meminjamkan kudanya kepada nyonya Kwe.

Oey Yong merasa kebetulan dengan kuda pinjaman itu, Kwe Hu juga amat girang melihat kedatangan sang ibu, segera keduanya melarikan kuda mereka keluar kota. Karena merasa berat berpisah dengan puterinya, Oey Yong mengantar hingga cukup jauh dari kota. Karena habis perang, beberapa ratus li di sebelah utara kota Siang-yang boleh dikatakan tandas tanpa penduduk, sebaliknya pada bagian selatan Siang-yang belum mengalami keganasan pasukan Mongol, biar pun suasana juga kurang aman tetapi kehidupan rakyat tetap berlangsung seperti biasa.

Sesudah kira-kira lebih 20 li, pagi pun tiba. Ibu dan anak itu sampai di sebuah kota kecil, beberapa toko telah membuka pasar menanti tamu. Oey Yong lantas mengajak puterinya masuk sebuah rumah makan untuk sarapan dan setelah itu mereka pun terus berpisah. Dengan mengembeng air mata Kwe Hu menuruti ajakan sang ibu. Dalam hati dia sangat sesalkan perbuatan sendiri yang telah mengutungi lengan Yo Ko sehingga mengakibatkan kemarahan ayahnya dan terpaksa harus berpisah dengan ibunda pula. Dia harus kembali ke Tho-hoa-to dan di sana dia hanya akan ditemani seorang kakek buta saja, yaitu Kwe-kongkong. Dia membayangkan dirinya pasti tidak akan betah hidup di pulau terpencil itu.

Demikianlah kedua orang lantas memesan sarapan di rumah makan. Oey Yong menyerahkan kaos pusaka yang kebal senjata itu kepada Kwe Hu dengan pesan supaya dipakai untuk menjaga segala kemungkinan. Banyak pula ia memberi nasihat agar ini dan itu bila di tengah jalan mengalami kesulitan.

Kasih sayang seorang ibu sedemikian besarnya. Pada saat sekilas melihat tidak jauh dari rumah makan itu ada sebuah toko makanan dan menjual buah-buahan, timbullah hasrat Oey Yong memberi bekal beberapa buah apel kepada puterinya untuk dimakan dalam perjalanan. Maka ia pun berkata:

“Anak Hu, hendaklah kau makan sekenyangnya supaya nanti tidak kelaparan. Suasana sedang kacau begini, bisa jadi di depan sukar ditemukan rumah makan lagi. Aku pergi sebentar ke sana membeli sedikit buah.” Habis ini dia lantas menuju ke toko buah.

Setelah memilih belasan buah apel yang merah besar, baru saja mau membayar, tiba-tiba di belakang ada suara seorang perempuan sedang berkata:

“Berikan 20 kati beras, satu kati garam, masukkan ke dalam karung ini.”

Oey Yong merasa tertarik oleh suara yang nyaring itu. Ia coba meliriknya, kiranya seorang To-koh berbaju kuning sedang membeli rangsum di toko beras sebelah. Pada tangan kiri To-koh itu memondong seorang bayi perempuan, tangan kanannya sedang mengeluarkan uang. Popok yang dikenakan bayi itu terbuat dari sutera merah dan tersulam seekor kuda, jelas itulah buah tangan Oey Yong sendiri.

Seketika hati Oey Yong tergetar hebat hingga buah apel yang dipegangnya jatuh kembali ke keranjang penjualnya. Siapa lagi bayi itu kalau bukan Kwe Siang, puteri kandung yang baru beberapa hari dilahirkannya. Dari samping dapat dilihatnya pula ternyata To-koh itu adalah Jik-lian-siancu Li Bok-chiu. Oey Yong sendiri belum pernah bertemu dan bertempur dengan iblis perempuan ini, tetapi melihat di pinggangnya terselip sebuah kebut, matanya buta sebelah serta dandanannya, segera dia yakin pasti Li Bok-chiu adanya.

Sejak melahirkan Kwe Siang, dalam keadaan kacau dan gugup dia pernah melihat beberapa kejap kepada bayi itu. Sekarang mengamat-amati puterinya itu, ternyata mata alisnya sangat indah, dan mukanya molek, meski baru berumur beberapa hari namun jelas kelak adalah calon perempuan cantik. Dilihatnya air muka bayi itu kemerah-merahan dan tampaknya sangat sehat, padahal adiknya, si Kwe Boh-lo, yang disusuinya sendiri tidak sesehat dan semontok ini.

Demikianlah karena kejut dan girangnya, hampir saja Oey Yong meneteskan air mata. Si penjual buah sampai melongo heran karena melihat Oey Yong berdiri kesima dan tidak jadi membawa apel yang dibelinya.

Sementara itu Li Bok-chiu selesai membayar dan kini mengangkat karungnya terus bertindak pergi. Tanpa pikir Oey Yong segera menguntit. Karena keadaan sudah mendesak, dia tidak sempat kembali ke rumah makan memberi-tahukan pada Kwe Hu. Yang dia kuatirkan hanya Kwe Siang saja. Dia pikir orok itu berada di tangan iblis keji, kalau merebutnya kembali dengan kekerasan, bisa jadi akan membikin celaka bayi itu. Karena itu dia tidak segera bertindak melainkan terus mengintil di belakang Li Bok-chiu.

Rada cemas juga Oey Yong setelah melihat Li Bok-chiu terus keluar kota dan menuju ke arah barat, pikirnya: “lblis ini adalah Supek Yo Ko, walau pun kabarnya mereka tidak akur satu sama lain, tapi anak Hu telah mengutungi lengan Yo Ko, Ko-bong-pay telah mengikat permusuhan dengan keluarga Kwe, jika Ko-ji dan nona Liong sedang menunggu iblis ini di depan sana, itu berarti aku harus melawan mereka bertiga dan rasanya sukar untuk mengalahkan mereka. Jalan paling baik adalah selekasnya aku bertindak.”

Sementara itu Li Bok-chiu membelok ke selatan kemudian masuk ke hutan. Cepat Oey Yong mengeluarkan Ginkang-nya dan secepat terbang mengitar ke samping hutan agar mendahului Li Bok-chiu, di situ mendadak dia melompat keluar dan menghadangnya.

Ketika mendadak di depannya muncul seorang nyonya muda cantik, rada terkejut juga Li Bok-chiu, akan tetapi segera ia dapat menenangkan diri.

“Aha, yang kuhadapi sekarang tentulah Jik-lian-sian-cu Li-totiang, selamat bertemu!” sapa Oey Yong dengan tertawa.

Dari gaya lompatan Oey Yong, Li Bok-chiu yakin orang pasti bukan sembarang tokoh. Melihat orang bertangan kosong dengan sebuah pentung bambu hijau terselip di tali pinggangnya, seketika pikirannya tergerak. Dengan tersenyum ia pun menaruh karungnya lalu memberi hormat dan berkata.

“Sudah lama siaumoay (adik) mengagumi nama besar Kwe-hujin dan baru sekarang dapat berjumpa, sungguh beruntung dan menggembirakan.”

Pada jaman ini, tokoh wanita terkemuka di dunia persilatan hanya Oey Yong dan Li Bok-chiu berdua saja yang paling termashur. Meski pun ilmu silat Siao-liong-li lihay, tetapi usianya masih muda, namanya belum begitu terkenal, sedangkan Oey Yong adalah puteri kesayangan Tang-sia (si latah dari timur) Oey Yok-su serta isteri tercinta Kwe Ceng, dan jabatannya juga tinggi, sebagai ketua Kay-pang, organisasi kaum jembel yang paling berpengaruh. Ada pun Li Bok-chiu terkenal dengan kebut mautnya, jarum berbisa serta pukulan ‘panca-bisa’ yang tidak kenal ampun.

Sekarang keduanya saling kepergok, hati keduanya sama-sama terkejut dan heran bahwa pihak lawan ternyata sedemikian cantik. Karena itu dalam hati sama-sama was-was dan tidak berani meremehkan pihak lawan. Dengan tertawa Oey Yong berkata:

“Ah, Li-totiang terhitung kaum Cian-pwe, mengapa bicara begitu sungkan?”

“Kwe-hujin sendiri ketua Kay-pang, tokoh dunia persilatan yang terkemuka, selama ini siaumoay sangat kagum dan hormat,” jawab Li Bok-chiu.

Demikianlah setelah kedua orang sama-sama bicara dengan rendah hati, kemudian Oey Yong menuju sasaran:

”Wah, bayi dalam pondongan Li-totiang ini tampaknya sungguh sangat menyenangkan. Putera siapa ini?”

“Jika kukatakan sungguh amat memalukan, maka harap Kwe-hujin jangan mentertawakan diriku,” kata Bok-chiu.

“Ahh, mana aku berani,” ujar Oey Yong. Diam-diam dia bersiap kalau-kalau harus saling bergebrak. Tetapi sebelum menggunakan kekerasan dia pun berusaha mencari akal untuk bisa merebut kembali puterinya.

Dalam pada itu terdengar Li Bok-chiu menjawab: “Sungguh malang juga perguruan Ko-bong-pay dan mungkin juga aku memang tak becus mengajar Sumoay-ku. Anak ini adalah puteri Liong-sumoayku di luar nikah...”

Tentu saja Oey Yong sangat heran mendengar keterangan ini. Sudah jelas Siao-liong-li tak pernah hamil, dari mana bisa melahirkan di luar nikah? Padahal bayi ini jelas puteriku, apa maksud tujuannya?

Sesungguhnya bukanlah Li Bok-chiu sengaja hendak membohongi Oey Yong, dia memang menyangka bayi itu adalah anak haram hasil hubungan Siao-liong-li dengan Yo Ko. Dia dendam pada mendiang gurunya karena dianggap pilih kasih pada sang Sumoay dan menurunkan pusaka Giok-li-sim-keng padanya. Sekarang kebetulan Oey Yong bertanya tentang bayi, maka dia sengaja hendak merusak nama baik Sumoay-nya.

Begitulah Oey Yong cepat berkata lagi: “Nona Liong tampaknya sopan dan suci, masa berbuat sejauh itu, sungguh sukar dibayangkan Dan siapakah ayah anak ini?”

“Ayah anak ini?” Li Bok-chiu menegas. “Hah, kalau disebut malah akan lebih memalukan lagi, dia murid Sumoay-ku, si Yo Ko.”

Meski Oey Yong pintar berlagak, tak urung mukanya menjadi merah dan merasa gusar. Maklumlah, jika anaknya dianggap anak haram Siao-Iiong-Ii masih mendingan, tapi dikatakan ayah bayi itu Yo Ko, ini berarti menghinanya. Namun rasa gusar itu hanya sekilas saja terlintas di mukanya, segera dia tenang kembali dan berkata:

“Anak ini sungguh amat menyenangkan. Eh, Li-totiang, bolehkah kupondong sebentar?”

Segera dia mendekatinya sambil mulutnya berkecek untuk menimang anak bayi itu. Sejak dapat merebut Kwe Siang, selama beberapa hari Li Bok-chiu tinggal di pegunungan yang sepi dan hidup gembira memomong bayi, tiap hari dia memeras susu macan tutul untuk minuman si bayi. Meski pun sudah banyak berbuat kejahatan, namun pembawaan setiap manusia pada umumnya tidaklah jahat. Soalnya dia patah hati dalam cinta, dia menjadi benci terhadap sesamanya dan sakit hati kepada kehidupan ini, wataknya berubah menjadi nyentrik, dari nyentrik berubah menjadi keji.

Akan tetapi Kwe Siang memang bayi yang cantik menyenangkan sehingga mengetok hati keibuannya. Terkadang kalau dia merenung di tengah malam sunyi, terpikir olehnya andai kata Siao-liong-li akan menukar bayi itu dengan Giok-li-sim-keng juga takkan diterimanya. Sekarang dilihatnya Oey Yong ingin memondong si bayi, dia menjadi senang bukan main sebagaimana layaknya seorang ibu akan merasa gembira dan bangga apa bila puteranya dipuji orang. Maka tanpa pikir dia menyodorkan Kwe Siang.

Begitu tangan Oey Yong menyentuh popok Kwe Siang, tanpa terasa air mukanya menampilkan rasa kasih sayang seorang ibu yang tiada tara. Sekian lama siang dan malam memikirkan keselamatan anak perempuan ini, kini ia dapat menemukannya dan memondongnya, tentu saja girangnya tak terlukiskan.

Li Bok-chiu juga seorang yang maha pintar dan cerdik. Melihat air muka Oey Yong yang luar biasa, seketika hatinya tergerak. “Kalau dia cuma suka pada anak kecil dan ingin memondongnya, mengapa hatinya terguncang sedemikian rupa? Tentu di balik hal ini ada sesuatu yang tidak beres.” Karena itulah mendadak dia menarik kembali Kwe Siang yang sudah disodorkan, terus melompat mundur. Baru saja kakinya menempel tanah dan hendak menegur apa kehendak Oey Yong yang sesungguhnya, tiba-tiba Oey Yong sudah membayanginya melompat maju. Cepat Li Bok-chiu menyambutnya dengan karung yang dipanggulnya, seketika 20 kati beras berikut satu kati garam berhamburan ke muka Oey Yong.

Sudah tentu sulit Oey Yong untuk menghalau hujan beras dan garam itu. Sebisanya dia meloncat ke atas sehingga beras-garam itu menyambar di bawah kakinya. Pada kesempatan itu juga Li Bok-chiu melompat mundur Iagi, kebutnya disiapkan dan berkata dengan tertawa:

“Kwe-hujin, apakah engkau hendak merebut anak ini untuk Yo Ko?”

Pikiran Oey Yong bekerja dengan sangat cepat, sekejap dia sudah mengambil keputusan apa yang harus dilakukan selanjutnya kalau lawan sudah curiga, terpaksa harus memakai kekerasan untuk merebut kembali si Kwe Siang cilik itu. Maka dengan tertawa dia menjawab:

“Ahh, aku cuma tertarik pada anak yang montok ini dan ingin memondongnya, tapi kau tidak sudi dan merendahkan diriku.”

“Kwe-tayhiap dan Kwe-hujin sudah termashur di seluruh jagat, selamanya siaumoay amat kagum, sekarang dapat menyaksikan sedikit gerak tubuhmu dan ternyata memang tidak bernama kosong,” kata Li Bok-chiu, “Tapi siaumoay masih ada urusan lain, maka biarlah aku mohon diri saja.” Rupanya dia kuatir bila Kwe Ceng juga berada di sekitar situ, maka dia menjadi jeri. Setelah bicara begitu segera dia hendak melangkah pergi.

Oey Yong meloncat maju. Selagi tubuhnya masih mengapung di udara, lebih dulu pentung bambu penggebuk anjing sudah dilolosnya dan begitu kakinya menyentuh tanah, dia menutulkan pentungnya ke punggung Li Bok-chiu.

Diam-diam Li Bok-chiu mendongkol. Padahal bicaranya cukup ramah dan sungkan, tetapi kalau orang sudah mulai menyerang, terpaksa ia harus melayani. Cepat kebutnya menyabet ke belakang dan menangkis pentung lawan, menyusul balas menyerang satu kali.

Pak-kau-pang-hoat memang amat hebat dan cepat luar biasa, hanya beberapa jurus saja Li Bok-chiu kewalahan. Dasar ilmu silatnya memang lebih rendah sedikit dari pada Oey Yong, apa lagi sekarang dia memondong bayi, gerak-geriknya tidak leluasa. Dalam pada itu Oey Yong terus bergerak mengitari, pentungnya menyerang lebih kencang, hanya sekejap Li Bok-chiu sudah terdesak hingga kelabakan.

Namun Li Bok-chiu juga cerdik. Melihat serangan pentung Oey Yong selalu menjauhi si bayi, tahulah dia akan kelemahan lawan. Seperti juga waktu menempur Yo Ko, bayi ini malah menjadi perisai yang sangat bagus baginya. Dengan tertawa dia berkata:

“Kwe-hujin, jika engkau ingin menjajal kepandaianku kukira masih banyak kesempatan di lain waktu, mengapa mesti kau paksakan sekarang? Kalau sampai salah seorang antara kita salah tangan, bukankah anak yang menyenangkan ini menjadi korban?”

Melihat Li Bok-chiu mulai menggunakan anak itu sebagai tameng, Oey Yong menjadi ragu apakah orang memang benar-benar tidak tahu bayi itu anakku atau cuma berpura-pura? Karena pikiran ini segera dia sengaja memancing dengan berkata:







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar