Jumat, 17 September 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 128

Entah sudah berapa lama barulah dia siuman kembali, dirasakan ada bekas cairan dalam mulutnya yang manis sedap, agaknya dalam keadaan tak sadar dia sudah makan sesuatu. Waktu dia membuka mata, kiranya rajawali sakti itu menggigit biji buah warna merah dan sedang dilolohkannya. Ia coba mengunyah, rasanya persis sisa rasa di dalam mulutnya tadi, agaknya sudah beberapa biji buah telah dimakannya tanpa sadar. Ketika ia coba mengumpulkan tenaga, pernapasannya sangat lancar dan badan juga segar. Cepat ia bangkit mengulur tangan dan gerakkan kaki, rasanya malah lebih kuat dari pada sebeIumnya.

Diam-diam dia heran. Pantasnya setelah berkelahi dan dipukul lawan hingga pingsan, biar pun tidak terluka parah sedikitnya akan pegal linu sekian lama. Apakah barang kali buah merah yang dimakannya berkhasiat sebagai obat penyembuh luka serta pemulih tenaga? Waktu dia jemput lagi pedang tumpul, rasanya lebih ringan dari pada tadi, Pada saat itu kembali si rajawali sakti berkaok sekali lagi, sayapnya menyabet. Ia tidak berani menyambut, cepat ia mengegos, tapi burung itu mendesak maju dan kedua sayapnya menampar sekaligus dengan tenaga dahsyat.

Yo Ko tahu rajawali itu tidak bermaksud jahat padanya, tapi betapa pun baiknya tetap binatang, jika ia tak dapat menahan sabetan sayapnya, bukankah bisa mati konyol? Karena itu cepat dia mundur lagi dua tindak dan rasanya dia sudah berada di tepi panggung batu. Akan tetapi rajawali itu sedikit pun tidak kenal ampun, kepalanya menjulur, paruhnya yang bengkok besar malah terus mematuk kepala Yo Ko. Karena sudah kepepet, tidak ada jalan lain terpaksa Yo Ko mengangkat pedangnya untuk menangkis.

“Prakk!”

Batang pedang terpatuk dengan tepat, Yo Ko merasa tangannya tergetar dan pedang seakan-akan terlepas dari cekalan. Dilihatnya burung rajawali itu pentang sayap kanan lagi terus menyabet dari samping. Keruan Yo Ko terkejut, cepat dia melompat ke atas lantas melayang lewat di atas kepala rajawali. Setiba di bagian dalam panggung batu, karena kuatir burung itu menyusulkan serangan lagi, segera dia memutar pedangnya ke belakang.

“Brekk!” dengan tepat pedang beradu pula dengan paruh rajawali.

Yo Ko berkeringat dingin karena sempat lolos dari bahaya, cepat dia berseru: “Tiau-heng, jangan kau anggap aku seperti Tokko-tayhiap!”

Rajawali sakti itu berkaok dua kali namun tidak menyerang lagi, sebaliknya Yo Ko lantas teringat cara menyerang rajawali tadi. Burung raksasa itu pernah mendampingi Tokko Kiu-pay, besar kemungkinan ketika Tokko Kiu-pay hidup terpencil di pegunungan ini, pada waktu latihan rajawali inilah yang dianggap sebagai lawannya. Kini Tokko Kiu-pay sudah meninggal, ilmu silatnya yang maha sakti itu sudah punah, tapi dari burung ini bisa jadi akan dapat ditemukan bekas-bekas kesaktian tokoh angkatan lalu itu. Berpikir demikian, dia menjadi girang dan segera berseru:

“Tiau-heng, awas seranganku!”

Begitulah ia lantas mendahului menyerang, ke dada rajawali. Tentu saja burung itu tidak tinggal diam, sayapnya balas menyabet. Sehari penuh Yo Ko berkutak-kutik dengan rajawali sakti di atas panggung batu. Tenaga rajawali itu sungguh sangat kuat, sekali sayapnya menyabet, seketika angin keras laksana tenaga pukulan beberapa tokoh terkemuka sekaligus.

Dalam keadaan demikian segala ilmu pedang yang pernah dipelajari Yo Ko sama sekali tidak dapat dikeluarkan, terpaksa dia hanya bertahan dan menghindar secara gesit, kalau balas menyerang juga menusuk begitu saja tanpa perubahan. Sampai hari gelap, keduanya pulang ke goa. Sepanjang hari Yo Ko bertempur, mestinya dia merasa lelah, tetapi aneh, sedikit pun dia tidak merasakannya, sebaliknya terasa lebih segar dari pada biasanya, dia pikir mungkin berkat khasiat buah merah itu.

Esok paginya waktu dia bangun, rajawali sakti sudah membawakan beberapa biji buah merah. Cepat Yo Ko memakannya, habis itu ia duduk semadi mengatur pernapasan, terasa semuanya lancar dan tenaga penuh. Girang sekali anak muda itu. Cepat ia melompat bangun dan membawa pedang berat itu ke panggung batu untuk berlatih dengan si rajawali. Kalau kemarin terasa sukar memanjat ke atas panggung itu, sekarang sambil membawa pedang seberat berpuluh kati malah dengan enteng saja dapat naik, maka tahulah dia bahwa seharian kemarin tenaganya telah banyak lebih kuat hingga latihannya dengan rajawali sekarang menjadi lebih tangkas.

Begitulah dia terus berlatih beberapa hari berturut-turut, pedang yang terasa berat itu sekarang sudah mirip senjata biasa saja, setiap gerak serangan bisa dilakukan sesuka hatinya. Dasarnya memang pintar, beberapa bulan yang lalu ia pun sudah menciptakan aliran ilmu silatnya sendiri, kini tenaganya berlipat ganda, setiap hari dia berlatih dengan rajawali itu dengan menggunakan pedang yang berat, maka semakin dirasakan bahwa ilmu pedang yang dipelajarinya dulu terlalu banyak variasinya, terlalu banyak perubahannya. Sekarang dirasakan setiap jurus serangan yang tampaknya begitu saja tanpa kembangan justru lebih sukar ditangkis oleh pihak lawan.

Misal pedangnya menusuk lurus ke depan. Asalkan tenaganya maha kuat maka daya tekanannya menjadi jauh lebih besar dari pada ilmu pedang Coan-cin-pay atau Ko-bong-pay yang banyak variasinya itu. Meski sekarang dia cuma menggunakan tangan kiri saja, tapi setiap hari dia makan buah merah yang dibawakan si rajawali, maka tanpa terasa tenaga dalamnya bertambah lipat ganda, hanya beberapa hari saja dia telah sanggup melawan tenaga sakti si rajawali yang luar biasa dahsyatnya itu.

Sesudah ilmu silatnya mencapai tingkatan ini, maka dia laksana berada tinggi di puncak gunung memandang bukit-bukit kecil di bawahnya. Sekarang ia merasakan ilmu silat yang pernah dipelajarinya dahulu se-akan sama sekali tiada artinya lagi. Pagi hari ini cuaca mendung, air hujan bagaikan dituang dari langit. Yo Ko bertanya kepada si rajawali:

“Tiau-heng, hujan sehebat ini, apa kita masih harus berlatih?”

Rajawah itu menggigit ujung bajunya dan diseretnya berjalan ke arah timur laut, sesudah itu terus mendahului melangkah ke sana dengan cepat. Yo Ko menjadi heran. Apakah di arah sana ada sesuatu benda aneh lagi? Dengan membawa pedang berat dia lantas mengikutinya di bawah hujan deras. Beberapa li sudah mereka tempuh, terdengar suara gemuruh yang keras, jelas itu suara gemuruhnya air bah.

Setelah membelok ke selat gunung, suara gemuruh air semakin memekak telinga. Terlihat di antara dua puncak gunung mengalir air terjun laksana naga putih raksasa, air terjun itu menggerujuk masuk ke sebuah sungai kecil di bawahnya, di antara air itu terselip tangkai kayu dan batu yang ikut terjun ke sungai kemudian lenyap terbawa arus dalam waktu sekejap saja. Sementara itu hujan semakin lebat, pakaian Yo Ko sudah basah kuyup. Melihat air bah yang semakin gemuruh, diam-diam anak muda itu rada jeri. Rajawali itu menarik baju Yo Ko lagi dan mengajaknya ke pinggir sungai kecil itu. Melihat gelagatnya, burung itu seperti menyuruhnya turun ke sungai.

“Untuk apa turun ke sana?” ujar Yo Ko dengan heran. “Air bah begini dahsyat, bisa-bisa aku terhanyut.”



Mendadak rajawali itu berbunyi satu kali dengan menegakkan lehernya, lalu dia terjun ke tengah sungai, kedua kakinya tepat berdiri di atas sepotong batu karang yang berada di tengah sungai. Pada saat sayap kirinya menyampuk ke depan, sebuah batu besar yang terhanyut air bah dari hulu itu tertolak ke atas. Pada waktu batu itu menerjang tiba lagi terbawa arus, kembali rajawali menyabet dengan sayapnya dan batu itu tertolak balik pula.

Demikianlah terjadi beberapa kali, batu itu tetap tidak dapat lewat di samping si rajawali. Ketika untuk sekali lagi batu itu terhanyut, rajawali menghantam sekuatnya dengan sayap, batu mencelat dan jatuh di tepi sungai. Habis itu si rajawali lantas melompat kembali ke samping Yo Ko. Sekarang Yo Ko dapat menangkap maksud si rajawali. Ia tahu mendiang Tokko Kiu-pay pasti sering berlatih pedang di tengah air bah ini setiap hari hujan. Akan tetapi dia sendiri tidak mempunyai kemampuan sehebat ini, maka tidak berani mencobanya.

Selagi sangsi, mendadak si rajawali mengebas pantat Yo Ko dengan sayapnya. Karena keduanya berdiri sangat dekat, lagi pula tidak terduga, tanpa ampun tubuh Yo Ko mencelat ke tengah sungai. Karena sudah telanjur, terpaksa Yo Ko mengincar baik-baik dan tancapkan kakinya di atas batu karang tempat berdiri si rajawali tadi. Begitu kedua kakinya tergenang air, segera dia diterjang air bah hingga sempoyongan dan serasa mau terhanyut. Tiba-tiba terpikir oleh Yo Ko:

“Tokko-locianpwe adalah manusia, aku pun manusia, kalau dia sanggup berdiri di sini, mengapa aku tidak?”

Karena dorongan semangat ini, sekuatnya dia melawan terjangan air bah, namun untuk menggunakan pedang buat menyingkirkan batu yang terbawa arus benar-benar dia tidak mampu. Cukup lama Yo Ko bertahan di tengah damparan air bah yang kuat sehingga tenaganya terasa mulai lemas. Cepat ia gunakan pedangnya menahan di batu karang itu terus melompat ke tepi sungai.

Belum sempat dia mengaso, tahu-tahu sayap si rajawali sudah menyabet pantatnya lagi. Sekali ini Yo Ko sudah waspada, maka sabetan itu tidak kena, namun terpaksa dia harus melompat sendiri ke dalam sungai. Diam-diam ia mengakui rajawali itu benar-benar merupakan ‘guru yang keras dan sahabat yang baik’. Yo Ko pikir jika dia mau mendesak aku giat berlatih tanpa kendur sedikit pun, masa aku malah tidak punya hasrat ingin maju dan mengabaikan maksud baiknya?

Segera ia perkuat tenaga kakinya dan berdiri tegak, makin lama semakin disadari cara menggunakan tenaganya, biar pun air bah semakin deras hingga batas pinggangnya mulai tergenang, tapi dia malah tambah kuat dan tidak goyah lagi.


KALANG KABUT SEKELUARGA

Selang tak lama, air bah semakin membanjir dan mulai sampai di dadanya, lalu naik lagi dekat muIutnya. Bisa-bisa aku mati tenggelam kalau berdirinya tidak kukuh, pikirnya. Karena pikiran itu, segera Yo Ko melompat ke tepi sungai. Tak terduga si rajawali yang berjaga di tepi sungai sudah bersiap juga. Begitu melihat Yo Ko melompat naik, sebelum kakinya menyentuh tanah, cepat sayapnya menyabet. Terpaksa Yo Ko menahannya dengan pedang dan dengan sendirinya dia terdorong lagi ke dalam sungai.

“Plungg...!” ia kecebur pula ke dalam amukan air bah.

Baru saja sepasang kakinya menginjak batu karang, terasa air sudah menggenangi kepalanya dan air pun masuk mulutnya. Kalau dia menyemburkan air dan mengerahkan tenaga, tentu tenaga kakinya akan berkurang dan bisa terhanyut oleh arus yang deras itu. Cepat ia berdiri sekuatnya dengan menahan napas. Selang sejenak, ia menutulkan kedua kakinya dan meloncat ke atas, ia semburkan air yang sudah ditahannya sekian lama, kemudian dia turun lagi ke bawah, sekali ini ia dapat berdiri dengan kukuh dalam air dan membiarkan dirinya diamuk air bah yang dahsyat.

Sesudah pikirannya tenang, ia pikir kalau pedang tidak kugunakan mencungkil batu, tentu akan dipandang hina oleh si rajawali. Dasar watak Yo Ko memang suka unggul, biar pun terhadap seekor burung dia tidak mau kehilangan muka. Segera dia bersiap, begitu melihat di antara air bah itu ada batang kayu atau batu gunung, segera ia menjungkitnya atau menyampuknya dengan pedang ke bagian hulu.

Dalam air dengan sendirinya batu pun berubah enteng, pedang tumpul itu pun jauh lebih enteng karena tersanggah oleh tekanan air sehingga Yo Ko dapat memainkannya dengan leluasa. Begitulah ia terus menyampuk dan menghantam, ia terus berlatih hingga ototnya lemas dan tenaganya habis, kaki pun terasa lunglai, dengan begitulah baru dia melompat ke atas tepi sungai. Dia kuatir si rajawali akan mendorongnya ke dalam air lagi, padahal dia sudah betul-betul lemas, kalau tidak mengaso dulu tentu takkan sanggup menahan damparan air bah yang dahsyat itu. Benar saja, rajawali itu tak membolehkan dia naik, begitu melihat dia melompat keluar dari air, seketika sayapnya menyabet.

“Tiau-heng, caramu ini bisa bikin mati aku!” seru Yo Ko dan terpaksa menceburkan diri ke dalam sungai lagi. Ia berdiri lagi sejenak dan sungguh-sungguh merasa tidak tahan, tiada jalan lain kecuali melompat lagi ke atas.

Di lihatnya si rajawali menyabetkan sayapnya lagi. Karena kepepet, terpaksa Yo Ko balas menusuk dengan pedangnya, setelah tiga gebrakan rajawali itu ternyata dapat didesaknya mundur setindak.

“Maaf, Tiau-heng!” seru Yo Ko sambil menusukkan pedangnya lagi.

Terdengar suara mendesing dari ujung pedangnya, ternyata daya serangannya telah jauh berbeda dari pada biasanya, malahan rajawali itu pun tidak berani menangkis lagi, begitu tusukan Yo Ko mendekat, cepat burung itu melompat mundur.

Maka tahulah Yo Ko bahwa selama setengah harian berlatih di tengah damparan air bah itu, kini tenaga tangan kirinya bertambah kuat. Keruan dia terkejut girang, dia merasa untuk menumbuhkan tenaganya itu seharusnya diperlukan waktu sepuluh atau dua puluh hari, ternyata cuma digembleng setengah hari dalam air sudah maju sepesat ini. Ia pikir buah merah yang dibawakan si rajawali setiap hari itu pasti berkhasiat memupuk tenaga dan menguatkan otot sehingga tanpa terasa tenaga dalamnya bertambah sehebat ini.

Begitulah sesudah duduk istirahat sejenak di tepi sungai dan terasa tenaga pulih, kini tanpa dipaksa si rajawali lagi ia melompat ke dalam sungai untuk berlatih lagi. Ketika kemudian dia melompat kembali ke atas sungai, rajawali itu sudah tidak nampak di situ dan entah ke mana perginya, sementara hujan sudah mulai mereda. Dia pikir air bah tidak lama lagi pasti akan menyurut, kalau datang lagi besok belum tentu tenaga air akan sekuat ini, mumpung sekarang tidak terasa lelah, ada baiknya kulatih lebih lama lagi. Karena pikiran ini, segera ia melompat lagi ke dalam sungai.

Pada saat untuk ke empat kalinya dia melompat kembali ke tepi sungai, dilihatnya di situ tertaruh beberapa buah merah, sungguh dia sangat berterima kasih atas kebaikan rajawali itu, sekaligus dia habiskan buah itu lalu berlatih pedang lagi ke tengah sungai. Ia terus berlatih hingga jauh malam. Aneh juga, bukannya tambah capek tetapi sebaliknya semakin bersemangat dan semakin kuat. Namun air bah sudah mulai surut.

Semalaman ia tidak tidur, ia terus merenungkan hasil latihannya dalam sungai. Baru sekarang dipahaminya bagaimana cara memainkan pedangnya dengan berbagai gaya dan gerakan dalam air. Kalau dengan cara begini dia memainkan pedangnya, maka benda apa pun juga pasti akan dihancurkan, dan jika sudah begitu, lalu apa gunanya pedang yang tajam?

BegituIah dari amukan air bah itu Yo Ko telah berhasil menyelami teori ilmu pedangnya. Ia tahu bagaimana caranya memainkan pedang tumpul yang berat itu, kini sudah dikuasainya benar-benar dan tidak perlu dilatih lagi. Dia pikir biar pun Tokko Kiu-pay itu hidup kembali, yang dapat diajarkan padanya paling-paling juga cuma begini saja. Tiba-tiba terpikir olehnya apa gunanya dengan ilmu pedang yang telah dipahaminya kalau saja dia tetap tinggal di pegunungan sunyi ini? Kalau racun bunga cinta mendadak kumat dan membinasakannya, bukankah ilmu pedang maha sakti ini akan lenyap pula dari dunia ini? Teringat begini seketika bangkit jiwa ksatriaannya.

“Tidak, aku juga hendak meniru Tokko-locianpwe, ilmu pedang ini harus kugunakan untuk mengalahkan semua jago silat di dunia, dengan begitu barulah aku rela meninggalkan dunia fana ini,” demikian ia menggumam sendiri.

Tanpa terasa ia meraba lengan kanan sendiri yang buntung. Teringat dendamnya pada Kwe Hu, tanpa terasa darahnya bergolak, pikirnya: “Budak ini mengira ayah-ibunya sangat berpengaruh dan disegani, sejak dulu sudah memandang hina padaku. Waktu aku mondok di rumahnya dahulu sudah kenyang aku dihina dan dianiaya olehnya. Bahwa aku berdusta pada kedua saudara Bu sesungguhnya demi kebaikannya, kalau saja salah seorang dari kedua Bu itu binasa karena memperebutkan dia, bukankah dia sendiri yang berdosa? Hm, dia mengutungi lenganku selagi aku sakit dan tak dapat mengelakkannya, kalau tidak kubalas sakit hati ini, aku bukan lagi laki-laki sejati.”

Selamanya Yo Ko paling tegas membedakan antara budi dan sakit hati. Waktu lengannya dibuntungi tempo hari dia terus sembunyi di lembah sunyi ini untuk merawat lukanya, hal ini karena terpaksa. Sekarang luka lengannya sudah sembuh, ilmu silatnya berbalik maju pesat, maka segenap pikirannya sekarang terpusat pada soal menuntut balas. Begitulah sesudah ambil keputusan segera dia pulang ke goa itu lalu mohon diri kepada si rajawali dan menyatakan terima kasihnya atas kebaikan burung itu, bila ada kesempatan dia menyatakan kelak akan datang lagi. Mengenai pedang tumpul yang berat milik Tokko Kiu-pay itu akan dipinjamnya untuk sementara.

Habis itu dia memberi hormat kepada rajawali itu serta menyembah di depan makam batu Tokko Kiu-pay, lalu melangkah pergi. Rajawali itu ikut mengantarkan hingga mulut lembah barulah berpisah dengan perasaan berat. Pedang tumpul itu amat berat, kalau digantungkan pada pinggang tentu tali pinggang akan putus seketika. Yo Ko mencari tiga utas rotan tua dan dipuntir menjadi tali, ia ikat pedang itu lantas digendongnya di punggung dan pergilah dia ke Siang-yang dengan Ginkang-nya yang tinggi.

Setiba di luar kota Siang-yang, hari sudah dekat magrib. Karena semalaman tidak tidur, ia merasa perlu istirahat dulu untuk menghadapi pertempuran dahsyat nanti, terutama kalau kepergok tokoh-tokoh semacam Kwe Ceng dan Oey Yong. Segera ia mencari sebuah tempat sepi di tanah pekuburan, di semak-semak rumput yang lebat ia merebahkan diri untuk tidur.

Waktu ia bangun, ia merasa tenaga cukup segar. Ia mencari buah untuk sekedar isi perut. Menjelang tengah malam barulah dia mendekati benteng kota. Benteng kota Siang-yang amat megah dan tinggi. Tempo hari waktu Kim-lun Hoat-ong dan Li Bok-chiu melompat turun perlu mempergunakan tubuh manusia sebagai batu loncatan, sekarang hendak memanjat ke atas dari luar benteng tentu juga perbuatan yang tidak mudah.

Waktu masih mengaso di tanah pekuburan tadi Yo Ko sudah memikirkan cara melintasi benteng kota. Ia pikir bagaimana Tokko-locianpwe memanjat dinding tebing, dengan cara itu pula aku akan memanjat benteng kota. Begitulah ia mendekati bagian yang sunyi di samping pintu gerbang timur. Dilihatnya prajurit penjaga sedang berjalan jauh ke sana, maka segera ia melompat ke atas, dengan pedang berat ia menusuk dinding benteng. Meski ujung pedang tumpul, tapi tusukannya sangat kuat.

“Brakk!” terdengarlah suara keras, dinding benteng yang tersusun dari batu-batu besar itu pecah seketika dan berlubang.

Yo Ko tidak menduga tusukannya membawa tenaga sekuat itu, diam-diam dia terkejut sendiri dan girang, Waktu ia melompat lagi ke atas untuk kedua kalinya, sebelah kakinya berpijak pada lubang itu lalu dia membuat lubang lagi pada bagian atas, sekali ini dia menusuk dengan perlahan saja agar tidak mengeluarkan suara keras yang akan mengejutkan penjaga.

Dengan begitulah setindak demi setindak dia memanjat ke atas benteng. Kira-kira beberapa meter terakhir, tanpa membuat lubang lagi dia merambat ke atas dengan ‘Pia-hou-yu-jiang-kang’ atau ilmu cecak merayap di dinding, maka dengan enteng saja tahu-tahu ia sudah berada di atas benteng dan sembunyi di tempat yang gelap. Di bagian dalam benteng ada undak-undakan batu. Ia menunggu penjaga berjalan lagi ke sana, lalu cepat menyelinap ke bawah dan berlari ke tempat tinggal Kwe Ceng.

Sejak makan buah merah itu, tenaga dalam Yo Ko banyak bertambah, sekaligus gerak-geriknya lebih lincah dan gesit, Ginkang-nya jauh lebih maju. Tapi ia pun tahu bahwa ilmu silat Kwe Ceng bukan sembarangan. Melulu Hang-liong-sip-pat-ciang (pukulan sakti penakluk naga) saja mungkin tiada tandingannya di seluruh jagat, belum lagi ketambahan Pak-kau-pang-hoat Oey Yong yang hebat itu. Sebab itulah dia tidak berani sembrono. Setibanya di luar rumah kediaman keluarga Kwe, dengan perlahan-lahan dan hati-hati ia melintasi pagar tembok.

Yo Ko pernah cukup lama tinggal di situ, maka seluk-beluk rumah itu amat apal baginya. Begitu mengitari taman bunga, tampaklah kamar yang pernah ditinggalinya tempo hari. Sesudah dekat dia coba pasang kuping, tiada seorang pun di dalam. Perlahan dia menolak pintu, segera dia melangkah ke dalam kamar. Ia bisa memandang di malam gelap seperti di siang hari, maka dilihatnya segala sesuatu dalam kamar itu masih tetap seperti dulu tanpa perubahan, hanya selimut bantal di atas ranjang sudah disingkirkan. Ia duduk di tepi ranjang, teringat lengan sendiri yang baik-baik tertebas di tempat tidur itu, tanpa tertahan ia menjadi berduka dan gemas.

Yo Ko dilahirkan dengan tampang cakap, wataknya rada dugal dan sok romantis, meski cintanya kepada Siao-liong-li amat mendalam dan tak tergoyahkan, namun banyak perempuan cantik jatuh cinta padanya, seperti Thia Eng, Liok Bu-siang, Wanyen Peng, Kongsun Lik-oh dan lain-lain semuanya kesemsem padanya baik secara samar-samar mau pun berterus terang. Sekarang dia meraba tangan sendiri yang sudah buntung. Dia pikir kalau bertemu lagi dengan gadis-gadis jelita itu, dalam pandangan mereka sekarang dirinya pasti akan berubah menjadi manusia yang harus dikasihani dan lucu, sungguh pun ilmu silatnya tinggi, paling-paling juga cuma makhluk hidup yang aneh saja.

Begitulah dalam kegelapan ia duduk termenung, pikirannya timbul tenggelam mengenang kejadian-kejadian di masa lampau. Pada saat itulah mendadak dari sebelah sana samar-samar ada suara orang bertengkar, jelas itulah suaranya Kwe Ceng dan Oey Yong. Yo Ko menjadi heran dan ingin tahu apa yang sedang diributkan suami isteri itu.

Dengan perlahan dia merunduk ke kamar Kwe Ceng, dari luar jendela dapat didengarnya dengan jelas Oey Yong berkata:

“Sudah jelas mereka membawa anak Yang kita ke Coat-ceng-kok untuk menukar obat penawar racunnya, tapi kau masih terus bilang Yo Ko itu adalah anak baik. Belum ada satu jam orok itu lahir jatuh di tangan mereka, saat ini masa jiwanya masih hidup?” Sampai di sini suaranya terdengar tersendat dengan diiringi tangisan.

“Ko-ji pasti bukan manusia begitu,” terdengar Kwe Ceng menjawab. “Lagi pula dia sudah menyelamatkan kita beberapa kali, seandainya kita gunakan anak Yang untuk menukar jiwanya juga rela dan ikhlas bagiku.”

“Kau rela, aku yang tidak rela,” belum habis ucapan Oey Yong, tiba-tiba terdengar suara tangisan anak bayi, suaranya keras dan nyaring.

Yo Ko menjadi heran. Apakah bayi perempuan itu telah direbutnya kembali dari tangan Li Bok-chiu? Tetapi mengapa barusan Oey Yong menyangsikan jiwa bayi itu apakah masih hidup? Ia mengintip ke dalam kamar melalui celah jendela, terlihat Oey Yong memondong seorang bayi, karena muka anak bayi itu menghadap jendela, maka Yo Ko dapat melihat jelas bayi itu bermuka lebar dan bertelinga besar, kulit rada kehitam-hitaman, jelas bukan bayi perempuan yang pernah digendongnya.

Dalam pada itu terdengar Oey Yong sedang menina bobokkan bayi itu, kemudian berkata:

“Sepasang anak sebaik ini, tapi sekarang cuma tinggal adiknya saja, hendaklah kau lekas berusaha menemukan kakaknya kembali.”

Baru sekarang Yo Ko menyadari duduknya perkara. Kiranya Oey Yong melahirkan anak kembar, bayi yang lahir lebih dulu adalah perempuan yang sebelumnya sudah disediakan nama oleh Kwe Ceng, yaitu Kwe Siang, kemudian menyusul lahir bayi laki-laki yang diberi nama Kwe Boh-lo. Ketika bayi lelaki ini lahir, sementara itu bayi perempuan sudah dibawa pergi oleh Siao-liong-li.

Demikianlah Kwe Ceng sedang mondar-mandir di dalam kamar dan berkata kepada sang isteri:

“Yong-ji, biasanya kau sangat bijaksana. Mengapa sekarang kau menjadi berpikiran sesempit ini mengenai urusan kanak-kanak? Sekarang suasana amat genting, mana boleh aku tinggalkan kota ini hanya karena seorang bayi?”

“Aku hendak pergi mencari sendiri, tapi kau pun tidak mengijinkan!” ujar Oey Yong. “Apa kita harus membiarkan jiwa anak itu melayang begitu saja?”

“Kesehatanmu belum pulih, mana boleh pergi?” kata Kwe Ceng.

“Habis bagaimana? Sang ayah tak pedulikan anaknya, ibunya yang harus menderita, apa boleh buat!” seru Oey Yong dengan marah.

Biasanya Yo Ko melihat suami-isteri itu hidup rukun dan saling mencintai, tetapi sekarang keduanya bertengkar dan tidak mau saling mengalah, jelas keduanya sudah bertengkar beberapa kali mengenai urusan ini. Kalau Oey Yong bicara sambil menangis, maka Kwe Ceng terus mondar mandir di dalam kamar dengan muka bersungut. Selang tak lama Kwe Ceng membuka suara pula:

“Sekali pun anak itu berhasil ditemukan kembali, kalau kau tetap memanjakan dia seperti anak Hu hingga bertingkah semaunya, anak perempuan begitu lebih baik tidak ada.”

“Memang anak Hu kurang baik apa?” seru Oey Yong. “Dia amat sayang pada adiknya, maka wajar saja kalau dia menyerang secara gemas. Jika aku, mungkin lengan kiri Yo Ko juga sudah kutebas bila dia tidak mengembalikan anakku.”

“Kau bilang apa Yong-ji?!” Kwe Ceng membentak dengan marah sambil menggebrak meja, seketika ujung meja pun sempal sebagian. Bayi yang tadinya sedang menangis itu lantas berhenti oleh karena bentakan dan suara gebrakan.

Saat itu juga Yo Ko melihat jendela sebelah sana ada berkelebatnya bayangan orang, sambil munduk orang itu lalu menyingkir pergi. Yo Ko jadi ingin tahu siapakah orang itu, dengan Ginkang-nya yang tinggi dia menguntit. Dilihatnya perawakan orang itu tinggi ramping, jelas Kwe Hu adanya. Seketika hati Yo Ko terbakar, dia pikir kebetulan sekali, memang kau yang ingin kucari. Akan tetapi pada saat itu juga cahaya lampu di kamar Oey Yong telah dipadamkan dan terdengar suaranya:

“Kau keluar, membikin kaget anak ini saja.”

Yo Ko tahu Kwe Ceng akan segera keluar dan sukarlah mengelabui mata sang paman, maka cepat dia melompat dan sembunyi di balik gunung-gunungan, lalu berputar menuju ke luar kamar Kwe Hu. Dia melompat ke atas sebuah pohon besar yang terletak di luar kamar, kemudian sembunyi di balik daun pohon yang lebat. Sejenak kemudian terlihat Kwe Hu sudah kembali di kamarnya. Pelayan pribadinya telah membenahi bantal dan selimutnya, akan tetapi tak berani banyak bicara melihat si nona cemberut saja, ia hanya menyilakan si nona tidur, lalu keluar kamar sambil merapatkan pintu. Dari atas pohon Yo Ko dapat melihat keadaan kamar dengan jelas melalui jendela yang masih terbuka. Dilihatnya Kwe Hu sedang menghela napas panjang dan duduk bertopang dagu.

Yo Ko pikir: “Apa yang kau sedihkan? Kau membikin buntung lenganku, aku pun hendak balas membuntungi sebelah lenganmu. Cuma seorang lelaki tak pantas berkelahi dengan seorang perempuan, kalau sekarang aku hendak membereskan kau terlalu mudah bagiku, akan tetapi cara ini bukanlah perbuatan seorang jantan sejati. Rasanya aku harus berteriak-teriak lebih dulu agar paman Kwe memburu ke sini, dia adalah tokoh silat pujaan masa kini, biar kukalahkan dia dahulu baru nanti kubereskan anak perempuannya, dengan perbuatanku yang terang-terangan ini tentu tidak akan ditertawakan orang. Akan tetapi ilmu silat paman Kwe teramat tinggi, apakah aku dapat mengalahkan dia? Ah, mungkin tidak dapat! Lalu bagaimana, aku harus menuntut balas atau tidak?”

BegituIah dia menjadi ragu-ragu, tetapi demi teringat pada lengannya yang sudah buntung, seketika darahnya bergolak kembali dan segera dia nekat hendak melompat ke dalam kamar Kwe Hu. Ketika itulah tiba-tiba terdengar suara tindakan orang, ternyata bukan lain dari pada Kwe Ceng. Setiba di luar kamar anak perempuannya, Kwe Ceng mengetok perlahan pintu kamar dan memanggil:

“Anak Hu, apa kau sudah tidur?”

Kwe Hu berbangkit dan menjawab: “Kaukah, ayah?” suaranya terdengar rada gemetar.

Yo Ko terkesiap juga. Ia pikir jangan-jangan paman Kwe sengaja datang ke kamar si nona untuk melindunginya karena mengetahui kedatanganku? Baik, biar kulabrak kau lebih duIu! Demikian tekad anak muda itu. Dalam pada itu Kwe Hu sudah membuka pintu kamarnya. Dia memandang sekejap sang ayah, lalu menunduk. Kwe Ceng melangkah ke dalam kamar dan menutup pintu, lalu duduk di kursi di depan tempat tidur dan terdiam untuk sekian lamanya. Sesudah ayah-anak itu sama-sama bungkam agak lama, akhirnya Kwe Ceng membuka suara:

“Selama beberapa hari ini ke mana saja kau?”







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar