Jumat, 17 September 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 127

Siao-liong-li memandanginya dengan perasaan pedih, tiada hasratnya untuk bertanya lagi siapa yang mengutungi tangan sang kekasih. Kalau memang sudah bernasib jelek, siapa pun yang melakukannya sama saja. Dalam pada itu luka di dada dan punggungnya terasa sakit luar biasa, dia tahu jiwanya tidak tahan lama lagi, dengan suara perlahan dia berkata:

“Ko-ji, aku ingin mohon sesuatu padamu.”

“Kokoh, masa kau sudah lupa. Ketika kita berdiam di kuburan kuno sudah pernah kusanggupi bahwa apa yang kau ingin kulakukan bagimu pasti akan kulaksanakan,” jawab Yo Ko.

“Ya, itu sudah lama berselang!” ujar Siao-liong-li sambil menghela napas panjang.

“Tapi bagiku selamanya tetap begitu,” jawab Yo Ko tegas.

Siao-liong-li tersenyum pedih, katanya pula dengan suara lirih: “Hidupku takkan lama lagi, aku ingin kau mendampingi, menunggui aku dan memandangi hingga aku mati, jangan kau tinggal pergi mendampingi nonamu si Kwe Hu itu.”

Hati Yo Ko menjadi berduka dan mendadak merasa gemas, jawabnya: “Kokoh, tentu saja aku akan mendampingi kau. Nona Kwe itu ada sangkut-paut apa denganku? Justru dia yang menebas kutung lenganku ini!”

“Hah, dia... dia yang melakukan?” Siao-liong-li menegas dengan kaget. “Kenapa dia begitu keji? Apakah... apakah disebabkan kau tidak suka padanya?”

“Kita berdua begini baik, mengapa engkau meragukan diriku?” kata Yo Ko. “Selain kau, selamanya belum pernah kucintai gadis lain. Tentang nona Kwe ini, hmm...” tapi sebelum Siao-liong-li mendengar ucapannya, dia sudah pingsan dalam pangkuan Yo Ko.

Lengan kanan Yo Ko memang betul ditabas kutung oleh Kwe Hu. sebagaimana sudah diceritakan waktu kedua orang saling bertengkar selagi Yo Ko masih berbaring di tempat tidur karena belum sembuh dari lukanya, saking gusarnya Kwe Hu menyambar Ci-wi-kiam, pedang lemas yang tergeletak di meja terus ditebaskan tanpa pikir.

Dalam keadaan kepepet, sekenanya Yo Ko rampas Siok-li-kiam yang dibawa ke situ oleh Kwe Hu untuk menangkis. Namun pedang yang dipegang Kwe Hu adalah senjata maha tajam dan sangat berat, yaitu pedang yang pernah digunakan mendiang Tokko Kiu-pay untuk malang melintang di dunia Kangouw tanpa ketemu tandingan. Walau pun Siok-li-kiam juga tergolong pedang mestika, tapi tetap tertebas kutung. Malah saking gemasnya si nona menebas, sulit baginya untuk menahan lajunya pedang, tahu-tahu sebelah lengan Yo Ko ikut tertebas kutung.


GURU YANG KERAS DAN SAHABAT YANG BAIK

Sama sekali tak terduga bahwa serangan itu akan mendatangkan akibat heba. Jika Yo Ko kaget dan marah tak terkatakan, Kwe Hu juga melongo terkesima, dia menyadari telah berbuat kesalahan yang sulit diperbaiki. Dilihatnya darah segar terus merembes dari lengan Yo Ko yang telah buntung, ia menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Selang sejenak kemudian, tiba-tiba dia menjerit dan menangis terus berlari keluar sambil menutupi mukanya.

Setelah bingung sejenak, segera Yo Ko dapat menenangkan diri. Cepat dia gunakan tangan kiri menotok Ko-cing-hiat pada bahu kanan dan merobek kain seperei untuk membalut lengan buntung supaya darah tidak keluar lebih banyak, kemudian dia bubuhi obat luka. Ia pikir dirinya tidak dapat tinggal lebih lama lagi di situ dan harus lekas pergi. Perlahan ia berjalan beberapa langkah sambil berpegangan dinding, tetapi lantaran terlampau banyak kehilangan darah, mendadak pandangannya gelap dan hampir saja jatuh pingsan. Pada saat itulah terdengar suara Kwe Ceng berteriak:

“Lekas, lekas! Bagaimana keadaannya? Darahnya sudah mampet belum?” Nada suaranya penuh rasa kuatir dan cemas.

Yo Ko tahu sang paman yang belum sehat itu sengaja datang menjenguknya. Tiba-tiba timbul pikiran untuk tidak menemui Kwe Ceng lagi, maka sekuatnya ia mengumpulkan tenaga terus menerjang keluar kamar. Waktu itu Kwe Ceng sendiri belum sehat. Ketika mendadak Kwe Hu datang memberi tahu dengan menangis bahwa nona itu telah mengutungi lengan Yo Ko, Kwe Ceng menjadi kaget. Cepat dia sambar palang pintu untuk digunakan sebagai tongkat, kemudian sambil menahan rasa sakit memburu ke kamar Yo Ko. Tapi sebelum masuk kamar, mendadak Yo Ko berlari keluar dengan berlumuran darah.



Tanpa menoleh Yo Ko terus berlari keluar rumah. Ia cemplak ke atas kuda yang tertambat di depan rumah terus dilarikan ke pintu gerbang benteng. Penjaga pintu benteng pernah menyaksikan Yo Ko dengan begitu tangkasnya menyelamatkan Kwe Ceng dari serangan pasukan Mongol, maka dia tidak berani merintanginya. Biar pun melihat sikap anak muda itu rada aneh, segera dia membukakan pintu gerbang dan membiarkan Yo Ko pergi.

Sementara itu pasukan Mongol sudah mundur beberapa puluh li jauhnya dari benteng kota Siang-yang. Yo Ko tidak mengambil jalan raya melainkan melarikan kudanya di jalan kecil yang sepi. Ia pun membatin.

“Meski sudah lewat batas waktunya, racun bunga cinta yang mengeram dalam diriku ternyata tidak mematikan. Bisa jadi seperti apa yang dikatakan paderi sakti Than-tiok itu bahwa racun bunga cinta mungkin dikalahkan oleh racun jarum berbisa milik Li Bok-chiu yang kuhisap itu hingga jiwaku malah tertolong. Dalam keadaan terluka parah seperti sekarang, kalau kucari Kokoh ke Cong-lam-san yang jauh pasti tidak tahan. Ai, apakah memang sudah ditakdirkan jiwaku harus melayang di tengah perjalanan begini?”

Teringat kepada nasib sendiri yang kenyang duka derita, kecuali hidup tenteram bersama Siao-liong-li di kuburan kuno itu boleh dibilang jarang hidup dalam keadaan gembira, dan sekarang jiwanya sudah dekat ajal, satu-satunya orang yang dikasihi di dunia ini juga sudah pergi, malahan anggota badannya dibikin cacat orang pula, terpikir semua ini, tanpa terasa air matanya bercucuran. Dia mendekam di atas kuda dalam keadaan sadar-tak-sadar, ia terus melarikan kudanya ke depan, yang dia harap asalkan tidak ditemukan Kwe Ceng dan tidak kepergok pasukan Mongol, maka ke mana pun tak menjadi soal baginya. Karena itu tanpa sengaja dia menuju ke lembah sunyi, di mana kemarin malam baru saja terjadi perkelahian dengan kedua saudara Bu.

Sementara itu hari telah gelap, sekeliling sunyi senyap dan semak-semak rumput belaka. Dia pikir di sekitar situ pasti tak ada orang lain, maka dia segera turun dari kudanya terus merebahkan diri. Dia sudah tidak memikirkan mati hidupnya lagi, kemungkinan diserang binatang buas atau digigit ular berbisa tak dihiraukannya, dia tertidur. Akan tetapi sampai tengah malam dia terjaga karena kesakitan pada lukanya dan tak dapat pulas lagi. Paginya waktu dia bangkit terlihat di sisi tempat berbaringnya ada dua ekor kelabang besar menggeletak kaku di situ, badan kelabang loreng merah hitam dan sangat menyeramkan dengan kepala berlepotan darah.

Yo Ko terkejut, dilihatnya di samping kedua bangkai kelabang itu ada bekas lumuran darah. Setelah dipikir sejenak, tahulah dia akan persoalannya. Rupanya darah itu merembes keluar dari lukanya waktu dia tidur, sedangkan dalam darahnya itu mengandung kadar racun bunga cinta, dan kedua ekor kelabang itu mati oleh darah beracun. Yo Ko menyeringai sendiri. Tidak terpikirkan olehnya bahwa darahnya ternyata jauh lebih berbisa dari pada binatang sehingga kelabang pun tidak tahan. Hatinya terasa pedih, duka dan penasaran tak terlampiaskan, dia menengadah dan tertawa keras-keras...

Tiba-tiba terdengar suara burung berkotek di atas bukit. Waktu ia memandang ke sana, terlihat si rajawali raksasa tempo hari berdiri di puncak bukit dengan bersitegang leher dan membusungkan dada. Meski pun tampang burung itu jelek dan menakutkan, tapi juga membawa kegagahan yang berwibawa. Yo-Ko sangat girang, seperti bertemu dengan kenalan lama saja dia lantas berteriak:

“He, kakak rajawali, kita bertemu lagi di sini!”

Rajawali itu berbunyi panjang satu kali terus menerjang turun dari puncak bukit. Karena badannya besar dan kuat, sayapnya pendek, bulunya jarang-jarang, maka rajawali itu tak dapat terbang, tapi larinya amat cepat melebihi kuda, dalam sekejap ia sudah berada di samping Yo Ko. Ketika melihat sebelah lengan anak muda itu buntung, dengan mata tak berkedip burung itu memandanginya se-akan heran.

“Tiau-heng (kakak rajawali), aku sedang tertimpa nasib malang maka sengaja datang ke sini mencari kau,” kata Yo Ko dengan menyeringai.

Entah rajawali itu paham kata-katanya atau tidak, yang jelas burung itu tampak manggut-manggut, lalu memutar tubuh dan melangkah ke sana. Segera Yo Ko menuntun kudanya dan mengintil dari belakang. Tetapi baru beberapa langkah saja, rajawali sakti itu membalik, sekonyong-konyong sebelah sayapnya menjulur.

“Blukk!” dengan keras sayapnya menyabet punggung kuda.

Betapa hebat tenaga hantaman sayapnya, tanpa ampun kuda itu meringkik terus roboh terkulai tak bernyawa lagi.

“Ya, benar, kalau aku sudah berada di tempat Tiau-heng tentu tidak perlu pergi lagi dan apa gunanya kuda ini?” ujar Yo Ko.

BegituIah Yo Ko lantas mengikuti rajawali itu dan tidak lama kemudian sampailah mereka di goa tempat menyepi Tokko Kiu-pay dahulu. Melihat makam batu itu, dia menjadi terharu, tokoh maha sakti yang tiada tandingan semasa hidupnya itu akhirnya meninggal juga di lembah sunyi ini. Kalau melihat tingkah lakunya, tentu ilmu silatnya maha tinggi wataknya nyentrik dan sukar bergaul dengan orang lain, makanya lantas menyepi bersama rajawali sakti ini. Cuma sayang rajawali ini meski cerdik, tetapi tidak dapat bicara sehingga sukar diketahui kisah hidup Tokko Kiu-pay yang pasti sangat menarik itu.

Selagi Yo Ko duduk termenung dalam goa, sementara rajawali datang dari luar goa sambil membawa dua ekor kelinci. Cepat Yo Ko membuat api lalu memanggang kedua kelinci itu dan dimakannya sampai kenyang. Cara begitulah beberapa hari telah berlalu, luka lengan Yo Ko yang buntung itu mulai merapat, kesehatannya pulih. Setiap kali terkenang pada Siao-liong-li dadanya terasa sesak dan sakit, tapi sudah jauh lebih ringan dari pada dulu.

Dasar watak anak muda itu memang suka bergerak, sepanjang hari dia hanya berkawan rajawali di pegunungan yang sunyi, betapa pun ia menjadi iseng dan merasa kesepian. Selang beberapa hari kemudian kesehatan Yo Ko sudah pulih seluruhnya. Dilihatnya di belakang goa banyak pepohonan rindang dan pemandangan indah, dalam isengnya dia lantas melangkah ke sana. Kira-kira satu-dua li jauhnya, sampailah dia di depan sebuah tebing yang sangat curam.

Tebing itu menjulang tinggi sehingga mirip sebuah pintu angin raksasa. Kira-kira tiga puluh meter di bagian tengah tebing mencuat keluar sepotong batu seluas beberapa meter persegi sehingga menyerupai panggung terbuka. Pada batu besar itu samar seperti ada ukiran huruf.

Waktu dia mengamati lebih cermat, agaknya dua huruf itu berbunyi: ‘Kiam-bong’ (makam pedang). Yo Ko menjadi heran, masa pedang juga dimakamkan? Apakah barang kali pedang kesayangan Tokko Kiu-pay itu patah, lalu ditanam di sini? Dia coba mendekati tebing itu, dinding batunya halus licin, sungguh sukar untuk dibayangkan cara bagaimana orang dahulu dapat memanjat ke atas. Sampai lama sekali ia memandangi panggung batu itu dan semakin tertarik. Ia pikir orang itu juga manusia, mengapa dapat memanjat ke atas tebing setinggi itu, tentu ada sesuatu yang aneh dan rahasia.

Sesudah diteliti lagi sejenak, tiba-tiba dilihatnya di dinding tebing itu memang ada sesuatu yang menarik, yaitu tumbuhan lumut hijau yang berjumlah puluhan rumpun tumbuh secara lurus dari bawah ke atas dalam jarak satu-dua meter. Tergerak hati Yo Ko. Ia melompat ke atas, meraba rumput lumut hijau yang paling rendah dan hasilnya tangannya menggenggam secomot tanah. Jelas lumut itu tumbuh pada sebuah dekukan, agaknya dicukil dengan senjata tajam oleh Tokko Kiu-pay dahulu, karena sudah ber-tahun-tahun terkena air hujan dan sinar matahari, dekukan itu tertimbun kotoran dan tumbuhan lumut itu.

Karena iseng, Yo Ko menjadi tertarik dan ingin tahu apa yang terdapat di makam pedang itu, cuma sebelah tangannya buntung, untuk memanjat kurang leluasa. Namun dia anak muda yang berkemauan keras, segera ia kencangkan ikat pinggang, ia kumpulkan tenaga dan melompat setingginya ke atas, begitu sebelah kakinya menginjak dekukan dinding itu segera dia melompat lagi ke atas, sebelah kakinya mendepak tepat pada rumpun lumut tingkat kedua, ternyata tempatnya lunak, kakinya dapat hinggap di situ.

Dan begitulah seterusnya ia melompat lebih 20 kali ke atas dengan menggunakan tangga dekukan dinding. Tetapi akhirnya terasa tenaganya mulai lemas, untuk memanjat lebih tinggi terasa tidak kuat, terpaksa dia merosot ke bawah lagi. Dia lihat sudah tiga perempat anak tangga dekukan dinding dipanjatinya, kalau diulangi satu kali lagi pasti akan mencapai panggung batu itu. Segera dia duduk mengumpulkan tenaga dalam. Setelah cukup kuat, dengan cara seperti tadi dia memanjat lagi ke atas dan sekaligus panggung batu itu dapat dicapainya.

Diam-diam Yo Ko bersyukur bahwa Ginkang sendiri tenyata tidak berkurang dibandingkan semula, meski pun kini tangannya buntung sebelah. Ia lihat di samping kedua huruf besar ‘Makam Pedang’ itu ada pula ukiran dua baris tulisan yang lebih kecil yang berbunyi:

‘Karena tidak menemukan tandingan lagi di dunia ini, maka pedang pun kutanam di sini, Oho, semua pahlawan tidak berdaya, pedang pun tiada gunanya lagi, alangkah sedihnya bagiku’.

Heran dan kagum pada tokoh sakti itu. Ia merasa Locianpwe itu tentu sangat angkuh dan mengagulkan kemampuannya sendiri. Cuma untuk mencapai tingkatan tiada tandingan di seluruh dunia, jelas dirinya tidak mampu, apa lagi sekarang sebelah lengan sudah buntung, hal ini jelas tiada harapan selama-lamanya. Yo Ko duduk termenung di sana. Sesungguhnya dia pingin sekali mengetahui bagaimana macamnya senjata yang dimakamkan itu, tetapi dia tidak berani merusak petilasan tokoh angkatan tua itu.

Tiba-tiba terdengar di bawah sana ada suara barang berkotek. Dia melongok ke bawah, tampak rajawali sakti itu sedang melompat ke atas dengan menggunakan cakarnya yang tajam mencengkeram setiap dekukan dinding tebing. Meski tubuhnya berat tetapi kakinya sangat kuat, sekali lompat dapat mencapai beberapa meter tingginya, hanya sekejap saja dia sudah berada di samping Yo Ko. Setelah celingukan kian kemari sejenak, rajawali itu manggut-manggut pada Yo Ko sambil berbunyi beberapa kali dengan suara yang aneh. Sudah tentu Yo Ko melongo bingung karena tidak paham maksud burung itu.

Setelah berbunyi lagi beberapa kali, rajawali itu menggunakan cakarnya yang kuat untuk mencakar batu-batu di atas makam. Tiba-tiba timbul pikiran Yo Ko, dia menduga di makam pedang itu mungkin tertanam sebangsa kitab ilmu pedang tinggalan Tokko Kiu-pay yang maha sakti. Dilihatnya rajawali itu terus mencakar dengan kedua kakinya, sebentar saja batu itu tersingkir semua dan tertumpuklah tiga batang pedang berjajar, di antara pedang pertama dan kedua terselip pula sepotong lapisan batu yang tipis. Ketiga pedang dan batu tipis itu terletak berjajar di atas batu hijau yang cukup besar.

Yo Ko mengangkat pedang pertama di sebelah kiri. Dilihatnya di atas batu tempat pedang itu tertaruh ada terukir satu baris tulisan. Sesudah dibaca, kiranya cuma catatan belaka yang menerangkan bahwa pedang itu sangat tajam dan semasa mudanya pernah digunakan untuk menempur jago-jago silat. Waktu ia mengamat-amati pedang itu panjangnya satu meteran, cahaya hijau tampak gemeredep dan memang senjata itu sangat tajam.

Ia berjongkok dan memegang batu tipis itu. Di atas batu besar tepat di bawah batu tipis ada ukiran tulisan yang menjelaskan: ‘Pedang lemas Ci-wi-kiam, digunakan semasa usia 30-an, salah membunuh orang baik, sungguh senjata yang beralamat jelek, maka kubuang ke jurang sunyi’.

Tergetar hati Yo Ko! Dia pikir lengan sendiri terkutung oleh pedang Ci-wi-kiam itu. Rupanya pedang itu dibuang di jurang sunyi, lalu ditelan oleh ular raksasa tetapi secara kebetulan diketemukan olehnya. Kalau saja di dunia ini tiada pedang tajam itu, meski dalam keadaan sakit lengannya takkan tertebas kutung oleh Kwe Hu. Sejenak Yo Ko termangu-mangu. Ketika dia angkat pedang kedua, baru saja terangkat sedikit, sekonyong-konyong terjatuh pula di atas batu hingga menerbitkan suara keras dan mencipratkan lelatu api. Keruan dia terkejut.

Padahal pedang itu berwarna gelap kotor dan tiada sesuatu tanda aneh, namun bobotnya tidak kepalang berat, panjangnya tak ada satu meter, tapi beratnya ada 60-70 kati, beberapa kali lebih berat dari pada senjata panjang yang biasa digunakan orang di medan perang. Yo Ko pikir mungkin tadi dirinya sendiri belum siap sehingga kurang kencang memegangi pedang. Segera ia taruh kembali pedang pertama dan batu tipis tadi, lalu ia angkat lagi pedang yang berat itu.

Karena sudah bersiap-siap, pedang yang beratnya 60-70 kati itu bukan soal lagi baginya. Ia lihat kedua mata pedang itu puntul semua, malahan ujung pedang berbentuk setengah bundar dan tidak runcing seperti pedang umumnya. Ia menjadi heran, sudah berat, ujung dan mata pedang tumpul segala, lalu apa gunanya?

Di atas batu di bawah pedang itu pun ada ukiran dua baris huruf yang artinya menjelaskan pedang tumpul dan berat itu dipergunakan Tokko Kiu-pay untuk malang melintang di dunia persilatan waktu berusia sekitar 40-an. Ia menjadi heran cara bagaimana orang menggunakan pedang seberat itu dan tidak tajam pula.

Selang sejenak dia mengambil lagi pedang ke tiga. Sekali ini dia kecele lagi, disangkanya pedang itu pasti lebih berat dari pada pedang tumpul, karena itu sebelumnya dia telah kumpulkan tenaga untuk mengangkatnya. Siapa tahu benda yang diangkatnya ternyata enteng sekali seperti tidak berbobot. Waktu ia mengamati, kiranya pedang itu terbuat dari kayu, lantaran sudah terlampau tua, gagang dan batang pedangnya sudah lapuk. Pada batu di bawah pedang itu juga terukir keterangan:

‘Sesudah berusia 40 tahun, tidak mementingkan senjata lagi, segala benda dapat kugunakan sebagai pedang, sejak itu latihanku makin sempurna, mulai mencapai tingkatan tanpa pedang melebihi memakai pedang’.

Dengan khidmat Yo Ko meletakkan kembali pedang kayu itu ke tempat semula. Ia sangat gegetun dengan ilmu sakti tokoh Tokko Kiu-pay yang sukar dibayangkan. Ia pikir di bawah batu hijau yang besar itu bisa jadi terpendam benda-benda lain lagi, maka sekuatnya dia coba menggeser batu, tetapi di bawah batu hijau itu pun cuma batu gunung saja tanpa sesuatu benda lain, ia menjadi sangat kecewa. Mendadak rajawali raksasa itu berbunyi satu kali, pedang tumpul yang amat berat itu tiba-tiba dipatuknya lalu diangsurkan kepada Yo Ko, habis itu dia berkaok dua kali lagi.

“O, kakak rajawali, apakah kau ingin menjajal kepandaianku?” kata Yo Ko dengan tertawa. “Baiklah, dari pada iseng, bolehlah kita main-main beberapa jurus.”

Akan tetapi ia merasa sulit sekali memainkan pedang tumpul yang berat itu, ia lemparkan pedang dan menjemput pedang tajam yang pertama. Tak terduga, mendadak rajawali sakti menarik sayapnya, lalu membalikkan tubuh ke sana tanpa menggubris Yo Ko lagi, sikapnya seperti mencemoohkan. Sebagai anak muda yang cerdik pandai, segera Yo Ko tahu maksud rajawali itu, katanya dengan tetawa:

“Apakah kau ingin kugunakan pedang berat itu? Tapi kepandaianku terbatas, apa lagi bergebrak di tempat yang berbahaya ini, tentu aku bukan tandinganmu, untuk ini perlu kau mengalah sedikit.”

Habis berkata dia segera menukar pedang, dia coba mengerahkan segenap tenaga pada tangan kiri lalu mulai menyerang, pedang menusuk perlahan ke depan. Rajawali itu tidak memutar tubuh lagi, tapi mendadak sayapnya membentang ke belakang dan tepat menyampuk pedang. Untuk seketika Yo Ko merasakan arus tenaga yang maha dahsyat mendesaknya melalui batang pedang sehingga napasnya terasa sesak. Keruan Yo Ko kaget, cepat ia kumpulkan tenaga untuk melawan.

“Brakk!”

Batang pedangnya bergetar seketika, pandangannya terasa gelap dan ia tak sadarkan diri.

**** 127 ****







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar