Rabu, 15 September 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 126

Ci-peng pikir kepandaian kelima guru dan paman guru cukup lihay sehingga tidak mudah dikurung begitu saja oleh musuh, mungkin sekali semedi mereka lagi memuncak hingga tidak sempat mengurus apa yang terjadi di luar goa. Sekarang Ci-heng berteriak-teriak, jangan-jangan malah akan mengacaukan pikiran orang-orang tua itu, karena itu cepat dia memberi tanda kepada Ong Ci-heng agar jangan bersuara lagi. Ci-heng lantas menyadari hal itu, tanpa berkata ia cepat membangunkan Song Tek-hong yang menggeletak di samping goa sana. Melihat lukanya cukup parah, lekas dia memberi pertolongan seperlunya.

Pertarungan Kim-lun Hoat-ong dan Siao-liong-li masih berlangsung dengan sengit, tapi Hoat-ong tampak lebih banyak berjaga dari pada menyerang, cuma setiap sudah diserang beberapa kali dia pun balas menyerang satu kali, kelima rodanya yang daya tekanannya ber-beda itu memaksa Siao-liong-li tak berani terlalu mendekat.

Melihat pertempuran dahsyat itu, diam-diam Siau-siang-cu bertiga merasa kagum juga iri, mau tidak mau mereka pun mengakui bahwa Kim-lun Hoat-ong memang pantas diangkat menjadi jago nomor satu di negeri Mongol. Semula mereka bermaksud membantu Hoat-ong, tapi demi teringat gelar ‘jago nomor satu’, karena rasa iri hati, seketika mereka tidak jadi membantu Hoat-ong.

Padahal biar pun tampaknya Hoat-ong dapat balas menyerang dengan hebat, akan tetapi sebenarnya dalam hati dia mengeluh. Cara Siao-liong-li seorang memainkan dua pedang ternyata lebih lihay dari pada kalau dia main ganda bersama Yo Ko. Kim-lun Hoat-ong adalah seorang tokoh berbakat ilmu silat yang sulit dicari bandingannya. Semenjak dia dikalahkan oleh gabungan Yo Ko dan Siao-liong-li, senantiasa ia berusaha memecahkan cara mengatasi ilmu pedang kedua muda-mudi itu.

Kebetulan di sini dia pergoki Siao-liong-li datang sendirian tanpa didampingi Yo Ko, tentu saja dia girang. Dia pikir jika Siao-liong-li dibinasakan maka selanjutnya dia takkan ada tandingan lagi, siapa tahu sesudah bergebrak barulah dia merasakan ilmu pedang Siao-liong-li sendirian justru lebih lihay dari pada kalau dia main ganda bersama Yo Ko. Sebab itulah baru beberapa puluh jurus saja keadaan Hoat-ong terdesak dan ber-ulang hampir termakan pedang lawan. Terpaksa dia tak berani main timpuk dengan roda lagi, dia tarik kembali rodanya satu persatu akhirnya dia cuma berjaga diri saja dan tidak menyerang, serupa dengan Siau-siang-cu bertiga tadi.

Pertarungan mereka semakin sengit dan cepat luar biasa, sekali pun tokoh-tokoh macam Siau-siang-cu, In Kik-si dan lain-lain juga sukar mengikutinya. Di tengah bayangan putih dan kelebat cahaya beraneka warna kelima roda Kim-lun Hoat-ong, se-konyong-konyong Nimo Singh merasa mukanya sakit sedikit seperti digigit nyamuk. Ia terkejut dan meraba muka, terasa tidak apa-apa, tapi pada jari tangan yang meraba itu ada setitik darah segar.

Dia melengak. Segera dilihatnya pula di badan ln Kik-si juga terciprat dua-tiga titik darah. Baru sekarang ia tahu di antara kedua orang yang sedang bertempur itu ada yang terluka. Selang tidak lama kemudian pakaian Siao-liong-li yang putih itu tampak penuh oleh bintik merah darah sehingga seperti lukisan di atas kain sutera putih.

“Hah, perempuan siluman itu sudah terluka,” ujar Nimo Singh dengan gembira.

Di antara berkelebatnya cahaya pedang segera terdengar suara geraman Hoat-ong yang tertahan. Siau-siang-cu lantas menanggapi ucapan Nimo Singh tadi:

“Tidak, Hwesio gede itu yang terluka!”

Sesudah berpikir sebentar, Nimo Singh percaya bahwa ucapan Siau-siang-cu tidak salah, darah segar itu terciprat dari tubuh Hoat-ong ke baju Siao-liong-li. Ia menjadi kuatir, kalau Hoat-ong sampai terbunuh, tentu sukar lagi untuk mengatasi Siao-liong-li. Maka cepat ia berseru:

“ln-heng dan Siau-heng, mari kita maju sekalian.”

Sambil memutar senjata ular besi perlahan-lahan dia lantas merunduk ke belakang Siao-liong-li. Melihat gelagat jelek, mau tidak mau Siau-siang-cu dan In Kik-si harus bertindak, segera mereka pun menerjang maju dari kanan dan kiri. Keadaan lantas berubah seketika. Betapa pun tingginya kepandaian Siao-liong-li tak akan dapat menahan serangan serentak keempat tokoh kelas wahid itu. Sekali pun yang menghadapi mereka adalah Ciu Pek-thong, Oey Yok-su atau Kwe Ceng juga sukar kalau satu orang harus melawan empat tokoh sehebat ini.

Hoat-ong sudah terluka dua kali, tetapi tidak mengenai tempat yang mematikan. Apa lagi kini kedatangan bala bantuan, hatinya menjadi lega dan serangannya segera bertambah gencar, bila tadi dia cuma bertahan, sekarang ia berebut menyerang bersama ketiga kawannya. Pertarungan dahsyat ini membuat para Tosu Coan-cin-kau dan kawanan Busu Mongol ikut berdebar, beratus pasang mata tertuju ke tengah kalangan tempur.

Pada saat itulah mendadak terdengar suara gemuruh yang dahsyat disertai berhamburnya batu pasir dan debu, ber-puluh potong batu besar yang tadinya menyumbat mulut goa Giok-hi-tong itu telah runtuh semua, lima Tosu berjubah kuning tampak melangkah keluar dari goa, mereka adalah Khu Ju-ki berlima. Dengan girang In Ci-peng, Li Ci-siang dan lainnya lantas maju dan berseru:

“Suhu!”

Darba dan Hotu terkejut, mulut goa itu tersumbat batu besar sebanyak itu, mengapa bisa dibobolkan seketika. Cepat mereka menerjang maju dengan senjata masing-masing. Mendadak Khu Ju-ki berlima mengelak ke samping, lalu serentak sepuluh tangan bergerak dan menahan di punggung Darba dan Hotu, begitu terpegang segera didorong. Kontan kedua orang itu dilemparkan ke dalam Giok-hi-tong. Padahal kepandaian Darba dan Hotu seimbang dengan Hek Tay-thong dan Lau Ju-hian, walau pun masih lebih rendah dari pada Khu Ju-ki dan Ong Ju-it, tapi juga tidak mungkin kecundang hanya dalam satu kali gebrak saja.

Rupanya selama lima tokoh Coan-cin-kau itu bertapa di dalam Giok-hi-tong untuk mencari ilmu cara mengalahkan Giok-li-sim-keng dari Ko-bong-pay, selama itu pula mereka memeras otak dan merenungkan titik-titik kelemahan ilmu silat Ko-bong-pay. Namun apa yang pernah mereka lihat dari permainan Yo Ko dan Siao-liong-li ternyata teramat hebat, setiap jurus seakan-akan merupakan maut bagi ilmu silat Coan-cin-pay, jadi tak mungkin ditemukan lubang kelemahannya.



Tetapi akhirnya Khu Ju-ki menemukan satu jalan. Kalau kalah dalam hal kebagusan jurus serangan, kelemahan ini harus ditambal dengan tenaga gabungan lima orang. Karena itu langkah pertama yang mereka latih ialah cara menyerang musuh secara serentak dengan tenaga gabungan. Karena menyadari bahwa di antara anak murid Coan-cin-kau sekarang tiada tokoh yang menonjol, hanya dengan tenaga orang banyaklah mungkin dapat bertahan, maka selama lebih sebulan ini mereka berhasil menciptakan satu jurus yang disebut ‘Pek-joan-hui-hay’ (beratus sungai mengalir ke laut).

Pada saat Kim-lun Hoat-ong bersama kawanan Busu Mongol menyumbat goa, jurus Pek-joan-hui-hay ini sedang dilatih pada titik yang menentukan, dalam keadaan begitu sedikit pun pikiran mereka tidak boleh terpencar, karena itulah meski tahu jelas musuh sedang menyerang, terpaksa mereka tidak menggubris. Baru sesudah latihan mereka sampai pada puncaknya, segala sesuatu telah lancar, mendadak barulah mereka membobol mulut goa dan keluar. Tapi sayang, karena terburu-buru menghadapi musuh, kekuatan ilmu mereka itu baru mencapai delapan bagian saja. Meski pun begitu Darba dan Hotu tak dapat menahannya, mereka kena dilemparkan ke dalam goa dan terbanting semaput.

Waktu Khu Ju-ki memandang ke sana, tampaklah Kim-lun Hoat-ong berempat sedang mengerubuti Siao-liong-li. Hanya sebentar saja mereka mengikuti pertarungan, segera mereka saling pandang dengan wajah pucat dan semangat lesu, pikir mereka: “Sungguh celaka, kiranya ilmu silat Ko-bong-pay sedemikian bagusnya, untuk mengalahkannya jelas tiada harapan selama hidup ini.”

Kepandaian Kim-lun Hoat-ong berempat jauh lebih tinggi dibandingkan lima tokoh utama Coan-cin-kau ini. Menurut penilaian Khu Ju-ki, kalau mendiang gurunya masih hidup tentu dapat mengungguli mereka. Barang kali Ciu-susiok (maksudnya Ciu Pek-thong) juga lebih tinggi satu tingkat dari pada mereka, tapi jika sekaligus dikeroyok empat orang ini, besar kemungkinan sukar menandingi mereka.

Dalam pada itu keadaan pertarungan di tengah kalangan telah berubah lagi. Siao-liong-li terus menyerang, tapi Kim-lun Hoat-ong berempat bertahan dengan rapatnya dan jarang balas menyerang, namun setindak demi setindak mereka terus mendesak maju sehingga semakin tidak menguntungkan Siao-liong-li.

Beberapa kali Siao-liong-li bermaksud menjebol kepungan musuh, tetapi penjagaan Hoat-ong berempat sangat rapat, setiap kali selalu dipaksa mundur lagi. Dia menyadari gelagat jelek, terlebih lagi setelah bertempur sekian lama tenaga sendiri juga semakin berkurang. Sedangkan Khu-Ju-ki berlima dilihatnya juga telah berada di samping, kini di sekelilingnya adalah musuh semua, sedangkan dia cuma sendirian, jiwanya mungkin akan melayang di tempat orang Coan-cin-kau ini.

Dalam keadaan demikian mendadak terpikir olehnya: “Begini sudah nasibku, biar pun mati juga tak perlu disayangkan lagi. Cuma... cuma dekat ajalku ini betapa pun aku ingin dapat melihat muka Ko-ji untuk penghabisan kalinya. Di manakah ia saat ini? Ah, kemungkinan besar dia sedang ber-mesraan dengan nona Kwe, mereka tentu sedang dimabuk cinta, bisa jadi mereka telah menikah, sebagai pengantin baru mana dia ingat pada perempuan bernasib malang yang sedang dikerubut orang ini? Akan tetapi...” Sampai di sini tiba-tiba saja pikirannya berubah.

“Ahh, tidak, tidak! Ko-ji pasti tak akan begitu, sekali pun dia sudah menikah dengan nona Kwe pasti tak akan melupakan daku. Asalkan aku dapat bertemu sekali lagi dengan dia, ya, asal dapat bertemu sekali lagi dengan dia...”

Ketika dia meninggalkan Siang-yang dahulu, dia sudah bertekad tak akan menemui Yo Ko lagi, tetapi pada detik yang menentukan mati-hidupnya sekarang ini hatinya semakin rindu pada Yo Ko, dan begitu kalbunya membayangkan Yo Ko, seketika daya tempurnya malah menjadi lemah. Mestinya dia dapat memainkan dua pedang dengan cara yang berlainan dengan kedua tangan, sekarang pikirannya terganggu, permainan ilmu pedangnya menjadi kacau.

Melihat perubahan serangan Siao-liong-li, semula Kim-lun Hoat-ong mengira bahwa si nona sengaja hendak menjebaknya. Tapi setelah beberapa jurus dan tampaknya Siao-liong-li tidak menyadari kelemahannya, segera Hoat-ong melangkah maju, roda perak digunakan untuk menjaga diri dan roda emas di tangan kanan menghantam ke batang pedang Siao-liong-li.

“Trangg...!” Terdengar suara yang keras, tahu-tahu pedang kiri si nona mencelat ke udara dan patah menjadi dua.

Sungguh di luar dugaan Hoat-ong bahwa serangan percobaannya ini membawa hasil baik, menyusul roda perak di tangan lain terus mengepruk lagi ke depan. Dalam kagetnya lekas-lekas Siao-liong-li menenangkan diri.

“Sret-sret-sret!” kontan ia balas menusuk tiga kali.

Namun sekarang dia hanya menggunakan pedang tunggal, ilmu pedangnya sudah bukan lagi tandingan Kim-lun Hoat-ong. Tentu saja keadaan ini dapat dilihat oleh Siau-siang-cu bertiga, serentak tiga macam senjata menyerang sekaligus.

Siao-liong-li hanya tersenyum hambar, kini dia tidak berusaha melawan lagi. Sekilas dilihatnya di sebelah sana ada sekumpulan tetumbuhan bunga mawar yang sedang mekar dengan indahnya, tiba-tiba terkenang bersama Yo Ko berlatih Giok-Ii-sim-keng di semak-semak bunga. Katanya dalam hati: “Kalau aku tidak dapat bertemu lagi dengan Ko-ji, biarlah sebelum mati kukenangkan dia dalam hati.”

Karena itu air mukanya mendadak berubah menjadi lembut, seketika ia tenggelam dalam lamunannya dengan tersenyum simpul. Dengan kepungan mereka yang semakin ciut, sekali serang mestinya Hoat-ong berempat dapat membinasakan Siao-liong-li. Tetapi mendadak mereka melihat sikap si nona sangat aneh, seperti lupa sedang menghadapi musuh, keruan Hoat-ong berempat terkesiap heran dan mengira lawan memasang perangkap.

Pada saat itu senjata mereka sudah terangkat dan seketika terhenti di tengah jalan. Tapi sesudah merandek sejenak, segera ular besi Nimo Singh menghantam ke depan. Sekonyong-konyong Nimo Singh merasa ada angin menyambar dari samping, seorang menusukkan pedang. Cepat dia membaliki ular besinya menangkis, tetapi mengenai tempat kosong, tahu-tahu sesosok bayangan menyelinap lewat. Kiranya In Ci-peng telah melompat ke depan Siao-liong-li serta menyodorkan pedangnya yang dipegang terbalik.

Saat itu Siao-liong-li seperti orang linglung yang memandang tapi tak melihat, mendengar tetapi tidak kerungu, pertarungan sengit tadi sudah tak dipedulikan lagi. Ketika mendadak terasa tangannya memegang pedang lagi, sekenanya dia lantas menggenggam. Melihat In Ci-peng mendadak menerobos ke tengah pertempuran di antara kelima tokoh kelas wanid itu, tindakan ini sama saja seperti mencari kematian. Keruan para Tosu Coan-cin-kau menjerit kuatir.

Dari gerakan tubuh Ci-peng segera Hoat-ong tahu ilmu silatnya tidak tinggi. Dia tidak ingin mencelakainya, segera dia sodok bahu orang dengan sikunya sehingga Ci-peng terdorong ke pinggir. Menyusul rodanya meagepruk ke muka Siao-liong-li.

Ci-peng tergetar ke samping, namun dia menjadi kuatir melihat Siao-liong-li yang Iinglung itu terancam oleh hantaman roda Kim-lun Hoat-ong, kalau saja kena pasti nona itu hancur binasa. Tanpa pikir lagi dia lantas menubruk maju dan berseru:

“Awas, nona Liong!”

Ia menghadang cepat di depannya dan menggunakan punggung sendiri untuk menyambut hantaman roda Hoat-ong. Tetapi betapa dahsyatnya hantaman roda Hoat-ong tidak perlu dijelaskan lagi, mana Ci-peng sanggup menahannya?

“Blangg...!” seketika tubuhnya terhuyung ke depan.

Sementara itu Siao-liong-li masih ter-mangu sambil memegangi pedang yang disodorkan Ci-peng tadi, maka Ci-peng yang terhuyung ke depan tepat menubruk ke ujung pedang sehingga menancap di dadanya. Siao-liong-li terkejut, baru sekarang dia sadar bahwa jiwanya sudah diselamatkan oleh Ci-peng. Dilihatnya punggung Ci-peng terkena hantaman roda, dada tertusuk pedang pula, semuanya tempat yang mematikan. Sesaat itu rasa dendam kesumatnya yang memenuhi dada serentak berubah menjadi rasa kasihan, katanya dengan suara lembut:

“Perlu apa kau bertindak begini?”

Jiwa In Ci-peng sudah hampir tamat, dia menjadi girang luar biasa ketika mendengar kata ‘Perlu apa kau bertindak demikian?’ yang diucapkan Siao-liong-li itu. Dengan suara lemah dia menjawab:

“Nona Liong, aku telah bersalah padamu, dosaku tak terampunkan, apakah kau dapat memaafkan diriku?”

Siao-liong-li melenggong sejenak. Dia teringat apa yang dibicarakan antara Ci-peng dan Ci-keng di tempat Kwe Ceng, sekilas timbul pikirannya: “Sebabnya Ko-ji meninggalkan aku dan bertekad menikah dengan nona Kwe, tentu karena dia mengetahui aku pernah dinodai oleh Tosu ini.”

Teringat tentang hal ini, dari rasa kasihannya tadi seketika berubah menjadi dendam dan benci, rasa gusarnya lantas memuncak kembali, tanpa bicara pedangnya terus menikam ke dada Ci-peng.

Khu Ju-ki menyaksikan Ci-peng tertusuk pedang Siao-liong-li, akan tetapi dia tidak sempat menolongnya. Sekarang dilihatnya Siao-liong-li menusuk muridnya untuk yang kedua kalinya, tanpa pikir ia melompat maju, tangan kiri menyampuk pergelangan tangan si nona yang sedang menusuk, tangan lain mencengkeram ke mukanya.

Karena tak menduga maka tangan Siao-liong-li tersampuk sehingga pedangnya mencelat ke samping. Akan tetapi betapa cepatnya, sebelum pedang itu jatuh ke tanah sudah dapat disambarnya kembali, berbareng dia pun dapat mengelakkan serangan Khu Ju-ki dan pada saat lain pedangnya mengancam dada Khu Juki.

Pada saat itu terdengar In Ci-peng menjerit keras, kemudian tubuhnya roboh dengan dada berlumuran darah. Sementara itu pedang Siao-liong-li yang lain juga lantas menusuk ke perut Khu Ju-ki. Sekaligus diserang dengan dua pedang, betapa pun hebatnya kepandaian Khu Ju-ki kerepotan dan sukar menangkisnya. Syukur Ong Ju-it dan lain-lain lantas menubruk maju membantu, dengan demikian Kim-lun Hoat-ong berempat menjadi berbalik terdesak keluar kalangan.

Semula Hoat-ong rada heran melihat tokoh-tokoh Coan-cin-kau itu melabrak Siao-liong-li, tapi mengingat-hal ini sangat menguntungkan pihaknya, segera ia memberi tanda kepada kawan-kawannya, mereka mundur untuk menyaksikan pertarungan sengit itu. Betapa pun hebat kepandaian kelima tokoh Coan-cin-pay itu ternyata tidak lebih lihay dari pada ilmu pedang Siao-liong-li. Jurus ‘Pek-joan-hui-hay’ hasil pemikiran mereka selama satu bulan ternyata tidak sempat dikeluarkan. Sebaliknya dalam sekejap saja Hek Tay-thong dan Lau Ju-hian kena dilukai, tetapi mereka masih terus bertempur mati-matian. Sejenak kemudian,

“Crett!” bahu Sun Put-ji juga terluka oleh pedang Siao-liong-li, habis itu malahan mata kiri Ong Ju-it juga kena dilukai.

Lima tokoh Coan-cin-pay kini sudah terluka empat, kalah menang sudah jelas kelihatan. Dengan tertawa Kim-lun Hoat-ong berseru:

“Para Toheng silakan mundur saja, biar kubereskan Siau-yau-li (perempuan siluman cilik) ini,”

Segera Hoat-ong memberi tanda kepada kawannya, serentak mereka mengerubut maju dengan senjata masing-masing. Maka jadilah kini sembilan tokoh terkemuka mengeroyok seorang nona jelita.

Begitu Hoat-ong berempat maju, Khu Ju-ki berlima lepas dari tekanan pedang Siao-liong-li. Sambil berteriak mereka berdiri berjajar dengan tangan berpegangan, tenaga lima orang dipersatukan untuk menggunakan jurus ‘Pek-joan-hui-hay’. Kekuatan jurus serangan ini memang lain dari pada lain, cepat Siao-liong-li mengegos ke samping.

“Blangg...!”

Debu pasir bertebaran, kiranya serangan Coan-cin-ngo-cu (lima tokoh Coan-cin) itu telah mengenai Nimo Singh sehingga terjungkal. Sebagaimana diketahui, kedua kaki Nimo Singh telah buntung dan berdiri dengan tongkat menyerupai kaki palsu, dengan sendirinya bagian kaki itu tidak kuat dan tidak tahan hantaman keras, Untung dia sempat mengelakkan tenaga pukulan dahsyat itu, meski terbanting jatuh tapi tidak sampai terluka. Segera ia dapat melompat bangun dan berkaok-kaok murka, ular besinya mengepruk kepala Lau Ju-hian, seketika terjadi pula pertempuran sengit.

Melihat Nimo Singh bertempur dengan Coan-cin-ngo-cu, segera kesempatan itu digunakan Siao-liong-li untuk angkat kaki. Tapi sebelum ia melangkah pergi, tiba-tiba Kim-lun Hoat-ong telah menghadangnya sambil berseru:

“Saudara Singh, hadapi Siau-yau-li ini lebih penting!”

Akan tetapi Nimo Singh sudah murka, teriakan Hoat-ong tak digubrisnya, ular besinya berputar lebih kencang, serangannya selalu ditujukan kepada Coan-cin-ngo-cu. Karena perubahan keadaan ini, kedua pedang Siao-liong-li sempat melancarkan beberapa kali serangan kepada Kim-lun Hoat-ong. Sendirian Hoat-ong bukan tandingan, maka terpaksa dia mundur dua-tiga tindak. Pada saat itulah Siao-liong-li menjerit tajam dengan wajah pucat, kedua pedangnya terlepas jatuh ke tanah sambil memandang terkesima ke arah semak-semak bunga mawar di sebelah sana, mulutnya berkomat-kamit:

“Ko-ji! Apakah betul kau, Ko-ji?”

Hampir bersamaan saatnya roda emas Kim-lun Hoat-ong menghantam dari depan, sedangkan jurus ‘Pek-joan-hui-hay’ yang dikerahkan Coan-cin-ngo-cu juga menghantam dari belakang. Serangan tokoh-tokoh Coan-cin-pay ini sebenarnya ditujukan kepada Nimo Singh, tapi si Hindu cebol ini rupanya sudah kapok dan tidak berani menangkis, cepat ia mengelak sehingga tenaga pukulan dahsyat itu hampir seluruhnya mengenai punggung Siao-liong-li.

Namun Siao-liong-li seperti orang linglung. Sama sekali dia tidak berusaha menghindar, punggungnya terkena pukulan dahsyat, dada juga terhantam roda, tubuh pun lemah lunglai. Seorang nona jelita sekaligus menerima gencetan dua tenaga dahsyat, meski pun begitu pandangannya masih saja tetap terarah ke semak-semak bunga mawar, dalam sekejap pikirannya me-layang dan jiwanya terguncang, gencetan kedua tenaga raksasa itu seakan-akan tak dirasakan olehnya.

Karena terpengaruh oleh sorot mata si nona, tanpa terasa semua orang berpaling ke arah semak-semak bunga mawar dan ingin tahu keanehan apa yang menarik perhatian Siao-liong-li sehingga dia tidak menghiraukan jiwanya sendiri. Dan baru saja semua orang berpaling, se-konyong-konyong sesosok bayangan berkelebat dari semak-semak lalu menerobos ke tengah-tengah Kim-lun Hoat-ong dan Coan-cin-ngo-cu.

“Trangg...!”

Pedang dibuang ke tanah, tangan orang itu melayang ke semak-semak dan duduk di bawah pohon, di tepi semak-semak bunga mawar sambil memeluk Siao-liong-li. Orang ini ternyata betul Yo Ko adanya! Siao-liong-li tertawa manis, tetapi air mata berlinang, katanya:

“Oh, Ko-ji, betulkah kau ini? Bukan sedang mimpi?”

Yo Ko menundukkan kepalanya dan mencium pipi si nona, lalu menjawab dengan suara halus:

“Bukan, bukan mimpi! Bukankah kau berada dalam pelukanku?” Ketika melihat baju si nona berlepotan darah, dia menjadi terkejut dan berseru kuatir: “He, lukamu parah tidak?”

Setelah terkena hantaman dahsyat depan belakang, ketika mendadak melihat Yo Ko muncul di situ, Siao-liong-li lupa rasa sakitnya, tetapi sekarang terasa isi perutnya seakan-akan jungkir balik. Dia merangkul kencang leher Yo Ko sambil berkata:

“Aku... aku...” saking sakitnya dia tidak sanggup melanjutkan lagi.

Melihat keadaan begitu, Yo Ko merasa ikut menderita. Dengan suara perlahan ia berkata:

“Kokoh, kedatanganku ini ternyata terlambat sedikit!”

“Tidak, tidak, kau datang tepat pada waktunya!” ujar Siao-liong-li lemah. “Tadinya kukira selama hidup ini tak dapat bertemu lagi dengan engkau.”

Se-konyong-konyong dia merasa menggigil, lapat-lapat terasa sukma seakan-akan meninggalkan raganya, tangannya yang merangkul Yo Ko perlahan-lahan melemah. Katanya dengan lirih:

“Ko-ji, peluklah aku!”

Yo Ko mengencangkan tangan kirinya dan mendekap Siao-liong-li di dadanya, ber-macam pikiran berkecamuk, air mata pun bercucuran dan menetes di atas pipi si nona.

“Aku ingin kau mendekap aku, memeluk aku dengan kedua tanganmu!” pinta Siao-liong-li. Tetapi segera dilihatnya lengan baju kanan anak muda itu kempis tak berisi, keadaannya luar biasa, seketika dia menjerit kaget: “Ko-ji, kenapa lengan kananmu?”

Yo Ko menggeleng sambil tersenyum getir, jawabnya dengan lirih: “Jangan pikirkan diriku, lekas pejamkan matamu dan jangan menggunakan tenaga, biar kubantu menyembuhkan lukamu.”

“Tidak!” jawab Siao-liong-li tegas. “Kenapa lengan kananmu? Mengapa tidak ada lagi? Mengapa?”

Meski jiwanya sendiri sedang bergulat dengan maut, namun sedikit pun Siao-liong-li tidak memikirkannya dan justru ingin tahu apa sebabnya Yo Ko kehilangan sebelah lengan, dalam hati anak muda yang cakap ini betapa pun jauh lebih penting dari pada dirinya sendiri, segenap pikiran dan perhatiannya dicurahkan untuk menjaga kepentingan pemuda itu.

Hal ini sudah terjadi semenjak mereka tinggal bersama di kuburan kuno, cuma waktu itu Siao-liong-li tak menyadari bahwa inilah cinta kasih, Yo Ko sendiri juga tidak mengerti. Mereka merasa kasih sayang antara mereka itu adalah kewajiban yang layak antara guru dan murid. Jadi sesungguhnya keduanya sudah lama cinta mencintai di luar tahu mereka sendiri. Dan sekarang sesudah mereka menyadari betapa cinta kasih antara mereka, betapa pun tak ingin hidup sendirian tanpa didampingi kekasihnya, maka jiwa kekasih menjadi beribu kali lebih penting dari pada jiwa sendiri.

Bagi Siao-liong-li sebelah lengan Yo Ko jauh lebih penting dari pada jiwanya, sebab itulah dia berkeras ingin tahu. Dengan perlahan dia meraba lengan baju anak muda itu, dan benar saja, dalam lengan baju itu memang kosong tak berisi. Seketika dia melupakan keadaan sendiri yang parah, hatinya penuh rasa kasih sayang dan haru, dengan suara lembut dia berkata:

“Oh, Ko-ji yang malang! Apakah sudah lama kehilangan lenganmu? Apakah sekarang masih sakit?”

Yo Ko menggeleng dan menjawab: “Sudah tidak sakit lagi. Asal aku bisa bertemu lagi dengan engkau dan tak akan berpisah selamanya dengan kau, apalah artinya sebelah lengan bagiku? Bukankah dengan lengan kiri aku pun dapat memeluk kau?”

Siao-liong-li tersenyum kecil, dia merasa kata-kata Yo Ko sangat tepat, berbaring dalam pangkuan anak muda itu, biar pun hanya lengan kiri saja yang merangkulnya terasa puas dan bahagia. Tadinya dia cuma berharap sebelum ajalnya dapat bertemu sekali lagi dengan Yo Ko, sekarang keinginannya itu sudah terkabul, bahkan kini saling mendekap, sungguh bahagia melebihi harapannya.

Di sebelah lain Kim-lun Hoat-ong, Siau-siang-cu, In Kik-si, Nimo Singh, Coan-cin-ngo-cu, para Tosu dan kawanan Busu Mongol, semuanya terdiam melongo memandangi sepasang kekasih ini, sesaat tak ada seorang pun yang ingin menyerang mereka atau boleh dikatakan juga tidak ada seorang pun yang berani menyerang.

Meski dirubung orang sebanyak itu, bagi Yo Ko dan Siao-Iiong-li seakan-akan dunia ini merekalah yang punya dan tiada orang lain di sekitar mereka. Cinta sejati, cinta yang murni, cinta yang mencapai puncaknya, bukan saja kaya miskin, pangkat atau hidup mewah sama sekali tidak terpikir oleh mereka, bahkan mati hidup bukan soal bagi mereka. Kalau Yo Ko dan Siao-liong-li tidak memikirkan soal mati hidup lagi, maka meski pun semua tokoh di sekelilingnya menyerang serentak, bagi mereka tidak lebih hanya mati belaka dan seorang hanya mati satu kali.

Sudah tentu Kim-lun Hoat-ong dan lain-lain tidak takut pada Yo Ko berdua, mereka cuma merasa heran luar biasa. Jelas Siao-liong-li terluka parah dan sebelah lengan Yo Ko telah buntung, mereka pasti takkan sanggup melawan lagi, tetapi kedua muda-mudi itu asyik-masyuk dibuai asmara, maka dengan sendirinya timbul semacam hawa keangkeran yang membuat orang lain tak berani menindaknya secara sembarangan.

Akhirnya Siao-liong-li bertanya lagi: “Sebab apakah lenganmu buntung? Lekas katakan kepadaku.”

Dengan tersenyum getir Yo Ko menjawab: “Lengan buntung, dengan sendirinya lantaran ditebas orang.”







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar