Rabu, 15 September 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 125

Thio Ci-keng tidak berani bicara lagi, dalam hati ia amat mendongkol karena orang berani meremehkan gurunya. Namun dia pun serba susah, kalau guru dan para paman gurunya dapat mengusir orang-orang Mongol berarti jiwanya sendiri terancam.

Sementara itu perwira Mongol tadi telah berkata lagi: “Thio-cinjin, silakan kau terima dulu anugerah Sri Baginda, habis itu baru kau selesaikan kawanmu yang memberontak.”

Ci-keng mengiyakan dan segera berlutut mendengarkan titah raja Mongol. Ci-peng, Ci-siang dan lain-lain dapat mengikuti kejadian itu dengan dada seakan-akan meledak saking marahnya. Song Tek-hong duduk di sebelah Li Ci-siang, ia coba membisiki sang Suheng:

“Li-suheng, harap lepaskan pengikat tanganku, biar kuterjang keluar untuk melapor kepada guru kita.”

Ci-siang mengangguk, punggungnya lantas dirapatkan di punggung Tek-hong. Segera dia kerahkan tenaga dalam pada jarinya untuk membuka tali pengikat tangan Song Tek-hong. Setelah berhasil dengan suara tertahan ia memberi pesan:

“Kau harus hati-hati, jangan sampai kelima guru kita terkejut.”

Tek-hong mengangguk dan bersiap-siap untuk meloloskan diri. Sementara itu pembacaan titah raja telah selesai, Ci-keng telah berdiri, perwira Mongol itu dan Siau-siang-cu sedang mengucapkan selamat padanya. Melihat semua orang sedang mengitari Thio Ci-keng, cepat Song Tek-hong melompat ke sana, segera dia berlari ke balik altar pemujaan.

“Berhenti!” Nimo Singh membentak. Namun Tek-hong tidak ambil pusing, ia malah berlari lebih cepat.

Karena kedua kakinya sudah buntung, maka sukarlah bagi Nimo Singh untuk mengejar. Sebelah tangannya lantas mengambil sebuah Piau kecil berbentuk ular terus disambitkan.

“PIok!” dengan tepat kaki kiri Tek-hong tertimpuk Piau.

Akan tetapi Tek-hong hanya sempoyongan sedikit saja dan tetap kabur ke depan dengan menahan sakit. Beberapa jago Mongol segera mengejar, tapi bangunan rumah di kompIek Tiong-yang-kiong sangat banyak, hanya memutar beberapa rumah saja Tek-hong sudah menghilang dari kejaran musuh. Sesudah tiba di tempat sepi, dengan menahan sakit Tek-hong mencabut Piau yang masih tertancap di kakinya, kemudian membalut lukanya. Ia kembali dulu ke kamarnya untuk mengambil pedang, lalu berlari ke Giok-hi-tong di belakang gunung, di mana guru dan para paman gurunya sedang menyepi.

Sesudah dekat, dari balik pepohonan ia memandang ke sana. Segera ia mengeluh ketika dilihatnya ada lebih 20 orang Mongol sedang sibuk memindahkan batu-batu besar untuk menyumbat mulut goa Giok-hi-tong. Seorang paderi Tibet tinggi kurus mengawasi sambil memberi petunjuk cara menyumbat goa itu. Di samping itu terdapat pula dua orang lagi sedang sibuk mengatur ini dan itu.

Tek-hong kenal kedua orang di samping itu itu adalah Darba dan Hotu yang dulu pernah cari setori ke Tiong-yang-kiong, dengan sendirinya ia pun kenal ilmu silat kedua orang itu. Sedang paderi yang tinggi itu jelas kepandaiannya lebih tinggi dari pada Darba dan Hotu. Mulut goa Giok-hi-tong kini sudah tinggal sedikit saja yang belum tersumbat batu, entah bagaimana keadaan kelima guru dan paman gurunya?

Song Tek-hong menyadari tenaga sendiri takkan berguna andaikan menerjang maju untuk menghalangi perbuatan musuh, paling-paling jiwa sendiri ikut melayang, tapi mengingat keselamatan para guru dan nasib Coan-cin-kau yang menghadapi kehancuran, mana boleh ia cuma memikirkan keselamatannya sendiri. Segera ia melompat keluar dari tempat sembunyinya, lalu secepat kilat ia menusuk paderi Tibet yang berdiri membelakanginya. Ia pikir kalau menyerang harus lebih dulu serang pimpinannya, kalau berhasil tentu pihak musuh kacau lebih dulu.

Paderi Tibet itu adalah Kim-lun Hoat-ong. Tempo hari dia sudah bertanya kepada Thio Ci-keng tentang seluk-beluk Coan cin-kau, maka begitu sampai di Tiong-yang-kiong segera ia menuju belakang gunung untuk menyumbat Giok-hi-tong serta mengurung kelima tokoh utama Coan-cin-kau itu di dalam goa, dengan begitu sisa anak murid Coan-cin-kau yang lain tentu mudah di atasi. Ketika ujung pedang Song Tek-hong hampir mengenai punggungnya, ternyata Hoat-ong tidak merasakan apa-apa, sebab itu Tek-hong girang.

“Trangg...!”

Tak terduga mendadak cahaya kuning berkelebat, menyusul terdengar suara dan sejenis senjata aneh paderi itu telah menyambar ke belakang dan membentur pedangnya. Tek-hong merasakan tangannya kesakitan, pedang terlepas dari cekalan, hanya benturan itu saja sudah membuat dia muntah darah dan pandangan menjadi gelap. Dalam keadaan sadar tak sadar, sayup-sayup dia dengar suara teriakan orang ramai di ruangan pendopo, entah peristiwa apa lagi yang terjadi, tapi segera dia tak ingat apa-apa, dia jatuh pingsan.

Kim-lun Hoat-ong juga mendengar suara teriakan ramai itu, tapi dia pikir Siau-siang-cu, In Kik-si dan lain-lain berada di situ, tentu anak murid Coan-cin-kau takkan mampu melawan mereka, maka ia tidak kuatir. Ia perintahkan para busu Mongol mempercepat penyumbatan goa dengan batu agar Khu Ju-ki berlima tidak sempat menerjang keluar secara mendadak.

Sesudah Song Tek-hong pergi, di ruangan pendopo memang terjadi lagi sesuatu. Perwira Mongol sudah berkata kepada Ci-keng:

“Thio-cinjin, anggota kalian yang memberontak tampaknya tidak sedikit, agaknya kedudukanmu tidak begitu enak bagimu.”

Sudah tentu Ci-keng juga menyadari hal ini, tapi keadaan sudah telanjur, ibaratnya sudah berada di punggung macan, jika melompat turun tentu malah akan dicaplok sang harimau. Karena itu segera Ci-keng berteriak:

“Menurut undang-undang kita, apa hukumannya bagi kaum pemberontak?”

Para Tosu diam-diam saja, malah dalam hati mereka berpikir: “Kau sendiri pemberontak dan pengkhianat.”

Ci-keng bertanya lagi satu kali, tetapi tetap tiada yang menggubrisnya, diam-diam Ci-keng sangat mendongkol. Dia lantas bertanya sekali lagi sambil memandangi muridnya sendiri, yaitu Ceng-kong, agar dia menjawabnya. Ceng-kong ini adalah Tosu gemuk yang dulu menganiaya Yo Ko. Dia lantas menjawab:

”Pemberontak harus membunuh diri di depan pemujaan Cousuya.”

“Betul!” seru Ci-keng. “Nah, In Ci-peng, sudah tahu dosamu belum? Kau terima tidak?”

“Tidak!” jawab Ci-peng tegas.



“Baik, bawa dia ke sini!” kata Ci-keng.

Segera Ceng-kong mendorong Ci-peng ke depan dan berdiri di hadapan arca pemujaan. Lalu Ci-keng menanyai Ci-siang, Ci-heng dan lain-lain, tetapi semuanya juga menyatakan tidak terima. Di antara mereka hanya tiga orang saja yang ketakutan dan minta ampun, segera Ci-keng memerintahkan agar mereka dibebaskan, sedangkan 20-an orang tetap berdiri tegak tidak mau menyerah, malah Ci-heng beserta beberapa Tosu yang berwatak keras segera mencaci-maki.

“Kalian teramat kepala batu dan sukar diampuni,” kata Ci-keng kemudian. “Baiklah, Ceng-kong, boleh kau melaksanakan hukuman bagi Coan-cin-kau kita.”

Ceng-kong mengiyakan, ia melangkah maju dan mengangkat pedangnya, sekali tusuk ia binasakan In To-hian yang berdiri di ujung kiri. Serentak para Tosu berteriak murka dan mencaci-maki lebih keras lagi, suara riuh ramai inilah yang tadi didengar oleh Song Tek-hong dan Kim-lun Hoat-ong dari belakang gunung. Ceng-kong adalah manusia yang berani pada yang lemah dan takut pada yang keras, dia menjadi jeri mendengar suara ramai orang banyak.

“Lekas kerjakan, mengapa ragu-ragu?!” bentak Ci-keng.

Terpaksa Ceng-kong mengiyakan lantas membunuh dua orang lagi. Yang berdiri nomor empat adalah In Ci-peng. Baru saja Ceng-kong mengangkat pedangnya hendak menusuk dada Ci-peng, tiba-tiba seorang perempuan membentaknya:

“Nanti dulu!”

Pada waktu dia menoleh, dilihatnya seorang perempuan muda berbaju putih sudah berdiri di ambang pintu, siapa lagi dia kalau bukan Siao-liong-li.

“Kau minggir ke sana, orang ini akan kubunuh sendiri,” demikian kata Siao-liong-li.

Ci-keng menjadi girang melihat Siao-liong-li tiba-tiba muncul. Ia pikir di tengah tokoh-tokoh sakti sebanyak ini, kedatanganmu ini berarti mengantarkan kematianmu. Maka dia lantas membentak:

“Perempuan siluman ini bukan manusia baik-baik, tangkap saja!”

Namun para Busu Mongol tidak tunduk pada perintahnya, semua tidak menggubris. Hanya dua murid Ci-keng sendiri lantas melompat maju, tanpa dipikir mereka hendak memegang lengan Siao-liong-li.

Siao-liong-li sama sekali tidak ambil pusing terhadap serbuan para Busu MongoI mau pun kekacauan yang terjadi di antara orang Coan-cin-pay sendiri. Hanya ketika melihat Ceng-kong hendak membunuh ln Ci-peng, betapa pun juga ia tidak mau membiarkan orang lain membinasakan Tosu itu, maka ia lantas bersuara mencegah.

Belum lagi tangan kedua murid Ci-keng sempat menyentuh bajunya, tangan mereka sendiri terasa sakit, sinar perak berkelebat, cepat mereka melompat mundur. Waktu mereka mengawasi, kiranya pedang mereka yang tergantung di pinggang tahu-tahu telah dilolos oleh Siao-liong-li dan dalam sekejap pergelangan tangan mereka terluka.

Gerakan Siao-liong-li ini sungguh cepat luar biasa, sebelum orang lain melihat jelas cara bagaimana dia merebut pedang dan menyerang, tahu-tahu kedua Tosu itu sudah terluka dan melompat mundur. Keruan anak murid Ci-keng yang lain melengak kaget. Segera Ceng-kong berseru:

“Hayo maju beramai-ramai, kita berjumlah lebih banyak, mengapa kita gentar padanya?” Dia langsung mendahului menerjang dan menusuk.

Akan tetapi sebelum orang mendekat, ujung pedang Siao-liong-li bergetar, tahu-tahu pergelangan tangan kanan kiri Ceng-kong dan kedua kakinya terkena tusukan pedang. Sambil mengaung keras Ceng kong menggeletak tak bisa bangun. Empat kali tusukan Siao-liong-li itu sungguh cepat luar biasa, sampai tokoh kelas wahid seperti Siau-siang-cu dan lain-lain juga tercengang. Mereka heran kenapa ilmu pedang si nona maju sepesat ini, padahal tempo hari waktu bertempur melawan Kongsun Ci belum tampak sesuatu yang luar biasa, apakah mungkin ketika itu ia sengaja menyimpan kepandaian?

Setelah mendapat ajaran Ciu Pek-thong, rupanya Siao-liong-li dapat sekaligus memainkan sepasang pedang dengan cara yang berbeda, kini kepandaiannya memang sudah berlipat ganda. Sudah sekian lama dia menguntit In Ci-peng dan Thio Ci-keng dan merasa bingung cara bagaimana harus menyelesaikan kedua orang itu. Kini orang Coan-cin-kau menyerangnya lebih dulu, maka kesempatan ini segera digunakan untuk balas menyerang dan sekali pedangnya berbau darah, serentak dendam kesumatnya meledak.

Di tengah berkelebatnya sinar pedang dan bayangan baju putih, dalam sekejap saja pedang para Tosu berjatuhan di lantai, pergelangan tangan setiap orang tertusuk pedang tanpa diberi kesempatan untuk menangkis atau mengelak. Sungguh kejut para Tosu itu tak terkatakan. Bayangkan saja, kalau serangan Siao-liong-li tidak mengarah tangan, tetapi menusuk perut, maka jiwa para Tosu itu pasti sudah melayang sejak tadi.

Keruan para Tosu itu ketakutan dan berlari menyingkir sehingga di tengah ruangan pendopo itu tertinggal In Ci-peng dan kawan-kawannya yang teringkus. Melihat mereka tak bisa berkutik dan tidak memusuhi dirinya, untuk sementara Siao-liong-li juga tidak mencelakai mereka. Diam-diam dia pun terkejut sendiri atas kepandaian yang dipelajarinya dari Ciu Pek-thong. Sungguh tak diduganya ilmu berkelahi yang aneh itu mempunyai daya tempur selihay ini.

Melihat gelagat jelek, sambil menghunus pedang untuk menjaga diri, diam-diam Ci-keng menggeser mundur dan bila ada kesempatan segera akan kabur. Akan tetapi Siao-liong-li sudah teramat benci padanya, sekali melompat ia telah mencegat jalan mundur dan maju Thio Ci-keng dengan kedua pedangnya. Dalam keadaan kepepet Ci-keng putar pedangnya hendak cari jalan lagi.

“Trangg...!”

Tiba-tiba terdengar suara nyaring, kemudian In Kik-si berkata padanya: “Kau takkan berhasil, mundur saja sana!”

Kiranya In Kik-si telah menangkiskan pedang Siao-liong-li dengan ruyung emasnya yang lemas. Baru sekarang ada orang yang mampu menangkis pedang Siao-liong-li sejak berpuluh Tosu itu dilukainya.

“Tujuanku sekarang hanya ingin menuntut balas kepada Tosu Coan-cin-kau dan tidak ada sangkut pautnya dengan orang luar. Lekas kau menyingkir!” seru Siao-liong-li.

Meski rada jeri menyaksikan kelihayan ilmu pedang Siao-liong-li, namun In Kik-si adalah tokoh kelas wahid, betapa pun juga dia tak dapat mundur begitu saja hanya karena ucapan Siao-liong-li. Maka dengan tertawa dia menjawab:

“Orang Coan-cin-kau sangat banyak dan dengan sendirinya ada yang baik dan ada yang busuk, memang ada sebagian yang pantas dibinasakan. Entah Tosu bangsat yang manakah yang telah bersalah kepada nona?”

Akan tetapi Siao-liong-li hanya mendengus saja dan tidak menjawab, sorot matanya tidak pernah meninggalkan In Ci-peng dan Thio Ci-keng seakan-akan kuatir kaburnya kedua Tosu itu.

“Untuk apa nona marah kepada kawanan Tosu keparat ini, asalkan nona memberi tanda Tosu mana yang harus dibereskan, segera Cayhe wakili nona untuk membereskannya,” kata In Kik-si.

“Baik, lebih dulu kau binasakan dia ini!” kata Siao-liong-li sambil menuding Thio Ci-keng.

“Tapi Thio-cinjin ini cukup baik orangnya, mungkin ada salah paham antara nona dan dia, biarlah kusuruh dia minta maaf saja kepadamu,” kata In Kik-si.

Siao-liong-li mengernyitkan dahinya. Mendadak pedangnya menyambar ke depan secepat kilat, tampaknya hendak menusuk In Kik-si. Dengan sendirinya In Kik-si segera angkat ruyungnya menangkis. Namun mendadak terdengar jeritan, ternyata Thio Ci-keng yang berdiri tegak di belakang In Kik-si terkena tusukan di pundaknya.

Keruan In Kik-si terkejut sekali. Meski tusukan itu tidak mengenai dirinya, tapi dirinya tak mampu melindungi Ci-keng, rasanya sama memalukan baginya. Cuma serangan lawan teramat cepat datangnya dan tak jelas cara bagaimana Siao-liong-li memutar pedang mengarah sasaran. Apa bila pertarungan demikian dilanjutkan jelas dirinya pasti kalah, diam-diam dia menjadi jeri. Ia coba berseru pula.

“Nona Liong, harap kau bermurah hati!”

Siao-liong-li tidak menjawab, sikapnya seperti tidak mau bermusuhan tapi juga tidak ingin berkawan. Ia menggeser perlahan ke kiri, ln Kik-si juga ikut memutar dan tetap ingin membela Thio Ci-keng. Tapi mendadak terdengar pula Ci-keng menjerit tertahan, waktu dia melirik, ternyata bahu kiri Ci-keng terluka lagi. Cara bagaimana Siao-liong-li menusuk Ci-keng lagi, orang lain tetap tidak tahu dan sama melongo heran. Sungguh cepat luar biasa ilmu pedangnya, bukan saja gerakannya tak kentara, bahkan pedangnya seperti bisa membelok sendiri.

Berturut-turut tertusuk dua kali, Ci-keng menjadi ketakutan setengah mati. Ia menyangka kepandaian ln Kik-si terlampau rendah dan tidak sanggup dimintai perlindungan, segera ia melompat ke sana untuk berlindung di belakang Siau-siang-cu. Tapi Siao-liong-Ii anggap seperti tidak tahu saja, dia memutar tubuh, pedang di tangan kiri menusuk ke arah In Kik-si dan pedang tangan kanan menusuk Nimo Singh. Cepat Nimo Singh menggunakan tongkat kiri untuk menahan tubuh, tangan kanan menangkis dengan senjata ular besi.

Namun kembali terdengar jeritan Ci-keng disusul dengan suara nyaring jatuhnya pedang, pergelangan tangan Ci-keng kembali terkena pedang lagi. Serangan ini lebih aneh dari pada yang tadi. Sudah jelas jarak antara Siao-liong-li dengan Ci-keng sangat jauh, ketika dia menyerang In Kik-si dan Nimo Singh, tahu-tahu dia sempat pula melukai Ci-keng.

“Hm, hebat benar ilmu pedang nona, biarlah aku pun belajar kenal padamu,” jengek Siau-siang-cu sambil mendorong dengan tangan kirinya ke samping.

Ci-keng merasa ditolak satu tenaga raksasa kemudian jatuh terguling hingga beberapa meter jauhnya. Untung Iwekang-nya cukup kuat, meski sudah terluka pada tiga tempat tapi dia masih sanggup bertahan dan merangkak bangun. Dalam pada itu pentung Siau-siang-cu juga lantas menghantam ke arah Siao-liong-li.

Si dogol Be Kong-co selalu bersimpati kepada Yo Ko dan Siao-liong-li. Kini ia pun merasa tidak adil ketika melihat Siao-liong-li diserang In Kik-si dan Siau-siang-cu. Segera dia berteriak:

“Huh, tidak tahu malu, beberapa tokoh Bu-lim mengerubut seorang nona cilik!”

Sudah tentu Siau-siang-cu dan In Kik-si merasa jengah. Sungguh pun mereka tidak ambil pusing urusan harga diri segala, tapi biasanya mereka pun cukup angkuh, jangankan main keroyok, sekali pun satu lawan satu mereka merasa kurang terhormat bila berkelahi dengan seorang nona muda. Tetapi sekarang menyadari pasti bukan tandingan ilmu pedang Siao-liong-li yang ajaib itu jika cuma mengandalkan kepandaian satu orang saja, maka mereka pura-pura tidak tahu olok-olok Be Kong-co, diam-diam mereka mengomel dalam hati terhadap si dogol yang malah membela orang luar dari pada kawan sendiri.

Mereka tidak berani lagi meremehkan Siao-liong-li, mereka pikir kalau berlangsung lama, mungkin ilmu pedang Siao-liong-li itu akan dapat ditemukan titik kelemahannya. Sebab itu mereka lantas mainkan segenap kepandaian untuk menjaga diri, senjata mereka berputar sedemikian kencang sehingga yang terlihat hanya selapis kabut belaka yang mengelilingi tubuh mereka.

Siao-liong-li memandang tenang ketiga orang itu, pikirnya: “Aku tak ada permusuhan apa-apa dengan kalian, siapa ingin bergebrak dengan kalian?”

Dilihatnya Ci-keng mengkeret ke sana dan hendak ngeluyur pergi, segera dia pun melangkah maju. Tapi Nimo Singh dan Siau-siang-cu menghalanginya dengan rapat.

“Kalian mau menyingkir tidak?!” bentak Siao-liong-li mendongkol.

“Tidak mau! Apa kemampuanmu keluarkan saja semua, kami tidak takut!” tantang Nimo Singh yang berangasan.

Karena kedua kakinya buntung akibat jarum berbisa Li Bok-chiu dan Yo Ko, juga dia tahu bahwa Yo Ko adalah kekasihnya Siao-liong-li, maka rasa dendamnya sebisanya akan dilampiaskan atas diri Siao-liong-li. Karena itu pikirannya sekarang berbeda dengan Siau-siang-cu dan In Kik-si, dia sudah nekad, kalau perlu hendak mengadu jiwa dengan Siao-liong-li.

Sama sekali Siao-liong-li tidak marah. Dilihatnya Ci-keng sudah kabur ke ruangan belakang, dia mencoba memburu, tapi dirintangi lagi oleh Nimo Singh dan Siau-siang-cu. Watak Siao-liong-li adalah pendiam dan sabar, urusan apa pun tidak pernah membuatnya gelisah atau terburu-buru, seperti halnya pengejaran terhadap ln Ci-peng dan Thio Ci-keng yang berlangsung bulanan dan tetap hanya dikuntit belaka. Sekarang dia pun tetap sabar, dia biarkan ketiga lawannya memutar senjata sekencangnya, ia sendiri malah menonton belaka seperti tiada terjadi apa-apa.

Orang pertama yang merasa tidak tahan lagi adalah Nimo Singh. Sambil meraung ia terus menerjang maju dengan senjata ular besinya. Tetapi sekali dia menyerang, segera beberapa tempat di tubuhnya menjadi luang. Ketika Siao-liong-li putar pedang, cepat Nimo Singh menangkis dengan tongkatnya sambil melompat mundur. Namun begitu bahunya sudah terasa sakit, waktu ia mengamati kiranya baju pada bagian bahu kiri ada lima lubang kecil, darah segar merembes dari situ.

Sekali menyerang tidak berhasil malah berbalik dia sendiri yang terluka, tentu saja Nimo Singh sangat penasaran, tapi juga tambah jeri, ia tidak berani lagi sembarangan bertindak. Mereka hanya berdiri di tempatnya sambil memutar senjatanya. Siao-liong-li tetap berdiri di tengah dan tenang-tenang saja menghadapi ketiga lawan yang memutar senjatanya seperti kitiran itu, Lama-lama Siau-siang-cu bertiga menjadi gemas karena si nona diam saja tidak melayani mereka. Tak lama kemudian tiba-tiba In Kik-si mendapat akal, ia berseru:

“Siau-heng dan saudara Singh, marilah kita mendesak maju dengan perlahan.”

Nimo Singh dan Siau-siang-cu tidak mengerti maksud sang kawan, namun mereka kenal In Kik-si sebagai saudagar besar negeri Persi, pengalamannya luas dan pengetahuannya juga tinggi, cerdik dan pintar, maka mereka percaya tujuannya pasti bagus. Segera mereka menurut lantas melangkah maju satu tindak, berbareng In Kik-si juga ikut melangkah maju sambil memutar senjatanya tanpa peluang sedikit pun. Habis itu, setelah merasa pertahanan mereka tetap rapat dan kuat, In Kik-si menyerukan kawannya agar melangkah maju lagi setindak.

Sekarang barulah Nimo Singh dan Siau-siangcu melihat jelas bahwa lingkaran kepungan mereka terhadap Siao-liong-li sudah semakin ciut. Walau pun begitu mereka tidak berani menyerang melainkan cuma bertahan saja, mereka putar senjata dengan kencang hingga mirip tembok baja yang tak tertembuskan dan sebentar-sebentar lantas mendesak maju lagi satu langkah.

Melihat musuh semakin mendesak maju, lama-lama dirinya tentu akan tergencet mati di tengah, mau tak mau Siao-liong-li harus bertindak. Mendadak kedua pedangnya menusuk berulang-ulang.

“Trangg...! Tringg...! Trangg...! Tringg...!”

Terdengar suara ramai, setiap tusukan terbentur senjata lawan. Beberapa puluh kali dia menyerang dan selalu tertangkis oleh lawan, sementara itu ketiga orang itu telah melangkah maju lagi. Siao-liong-li menjadi tidak sabar. Pada waktu melangkah mundur, terasa kakinya tersandung sesuatu dan tergeliat, untung Siau-siang-cu bertiga cuma bertahan saja dan tidak menggunakan kesempatan itu untuk menyerang, kalau tidak tentu Siao-liong-li bisa celaka. Di lantai banyak berserakan senjata para Tosu yang terjatuh tadi, karena kesandung itu mendadak timbul pikiran Siao-liong-li untuk memanfaatkan senjata itu guna membobol pertahanan ketiga musuh.

Karena pikiran itu, sedikit ia menggeser ke kanan, segera kaki kirinya mencukil sebatang pedang di lantai, secepat kilat pedang menyambar ke arah Nimo Singh, menyusul kaki Siao-liong-li yang lain mencukil lagi dan sebatang pedang menyambar lagi ke muka Siau-siang-cu dan begitu seterusnya hingga belasan pedang dia hamburkan ke arah lawan.

Beberapa pedang yang menyambar tiba itu bisa ditangkis oleh Nimo Singh dan kawannya hingga terbang balik ke arah Siao-liong-li, tapi sekali sampuk dengan pedangnya, pedang tak bertuan itu kembali menyambar ke arah In Kik-si.
Begitulah terjadi hujan pedang, keruan Siau-siang-cu bertiga menjadi kelabakan. Semula mereka masih dapat menyampuk dan menangkis pedang yang menyambar, namun makin lama pedang itu datangnya makin cepat, mereka dibikin kerepotan.

Suatu saat In Kik-si tengah menangkis sebatang pedang yang nyelonong ke mukanya, tahu-tahu pedang yang lain menyambar tiba ke perutnya, terpaksa In Kik-si melompat mundur ke samping, dan karena inilah pertahanan mereka bobol. Peluang itu segera digunakan oleh Siao-liong-li untuk menyelinap ke ruang belakang. Ginkang Siao-liong-li jauh lebih tinggi dari pada Siau-siang-cu bertiga, sebab itu begitu dia sudah lepas dari rintangan, secepat terbang dia segera mengejar ke arah larinya Thio Ci-keng.

Ketika itu Siau-siang-cu bertiga masih sibuk melayani berpuluh senjata yang dihamburkan Siao-Iiong-Ii. Sesudah senjata itu dipukul jatuh barulah mereka dapat berhenti. Sejenak kemudian dari belakang sana terdengar kumandangnya suara benturan senjata, dari suara menderingnya jelas Siao-liong-li sudah kepergok oleh Kim-lun Hoat-ong dan mulai bertempur.

Sebenarnya ketiga orang itu sudah jeri menghadapi Siao-liong-li, sekarang mendapat angin lagi karena Kim-lun Hoat-ong juga sudah tiba. Segera ln Kik-si berseru:

“Mari kita susul ke sana.”

Cepat ia mendahului berlari ke belakang, disusul oleh Siau-siang-cu, Nimo Singh dan para Busu Mongol. Semua orang memandang Siao-liong-li sebagai satu-satunya musuh sehingga tidak menaruh perhatian lagi terhadap para Tosu Coan-cin-kau. Maka, sesudah semua musuh pergi meninggalkan tempat itu, Ci-peng, Ci-siang dan lain-lain lantas saling tolong melepaskan tali ikatan dan menjemput pedang masing-masing, kemudian ber-bondong mereka pun cepat menyusul ke belakang.


KEHILANGAN LENGAN KANAN

Begitu rombongan Siau-siang-cu sampai di depan Giok-hi-tong, tampaklah bayangan roda berkelebatan dan cahaya pedang berseliweran, diselingi suara geraman Kim-lun Hoat-ong yang terdengar menggelegar, sedangkan Siao-liong-li dengan baju putihnya tampak lemah gemulai, kedua orang sedang bertempur dalam jarak jauh.

Sementara itu rombongan In Ci-peng juga sudah menyusul tiba. Melihat mulut goa Giok-hi-tong sudah tersumbat batu, nasib kelima guru mereka tak diketahui, tentu saja mereka sangat kuatir. Beramai-ramai mereka mendekati mulut goa, namun mereka dicegat oleh Darba dan Hotu, hanya dalam beberapa gebrakan saja para Tosu Coan-cin-kau itu didesak mundur.

“Suhu, Suhu! Baikkah engkau?!” seru Ci-heng kuatir seolah-olah orang hendak menangis.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar