Selasa, 14 September 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 124

Ci-keng langsung menjengek: “Hm, kau pernah bertemu dengan Jengis Khan, lantas kau anggap hebat, begitu? Sekali ini aku pun bertemu sendiri dengan adik raja Mongol, yaitu Kubilai. Pangeran ini sangat baik hati dan bijaksana, tiada sedikit pun tanda-tanda ganas dan kejam.”

“Aha, bagus! Jadi kau mengemban tugas bagi Kubilai untuk menjadi mata-mata di sini?!” teriak Ong Ci-heng.

Ci-keng menjadi marah. “Apa katamu?!” bentaknya.

“Siapa yang bicara bagi orang Mongol, dia adalah pengkhianat!” teriak Ong Ci-heng pula.

Dengan murka Ci-keng lalu melompat maju, sebelah tangannya menghantam kepala Ong Ci-heng. Namun dari samping dua orang murid Khu Ju-ki yang lain telah menangkis pukulannya.

“Bagus!” Ci-keng berkaok-kaok lebih murka. “Anak murid Khu-supek memang banyak, jadi kalian hendak menang-menangan?”

Dalam keadaan tegang itu, Ci-peng menepuk tangan lantas berseru: “Harap para Suheng dan Sute duduk dengan tenang, dengarkanlah ucapanku.”

Pejabat ketua Coan-cin-kau memegang kekuasaan tertinggi dan biasanya berwibawa, maka para Tosu itu lantas duduk kembali dan tidak berani bersuara.

“Ya, memang seharusnya kita mendengarkan petuah pejabat ketua. Kalau dia menerima anugerahnya ya terimalah, kalau tidak ya tolak saja, Yang dianugerahi raja Mongol adalah dia dan bukan kau atau aku, buat apa kita ribut-ribut?” demikian Ci-keng berkata. Ia yakin bahwa In Ci-peng pasti akan mengikuti kehendaknya sebab rahasia orang telah terpegang olehnya.

Maka dengan suara perlahan Ci-peng mulai bicara: “Siauto memang tidak mampu, baru saja diberi tugas pejabat ketua, hari pertama saja ternyata sudah menghadapi persoalan maha penting dan sulit ini.” ia merandek sejenak dan termangu-mangu.

Sorot mata semua orang tertuju padanya, suasana di ruangan itu menjadi hening. Kemudian In Ci-peng melanjutkan

“Coan-cin-kau didirikan oleh Tiong-yang Cinjin, lalu dikembangkan oleh Ma-cinjin dan Khu-cinjin. Sekarang Siauto menjabat ketua, mana aku berani menentang ajaran ketiga Cinjin itu? Coba para Suheng jawab sendiri, selagi negeri kita berada di bawah penindasan pihak Mongol, andaikan ketiga cianpwe kita itu berada di sini, mereka akan menerima anugerah raja MongoI ini atau tidak?”

Semua orang terdiam dan sama-sama memikirkan tindak tanduk kaum tua yang disebut itu. Ong Tiong-yang telah lama wafat dan banyak di antara murid angkatan ketiga ini tidak pernah melihatnya, ada pun Ma Giok juga telah meninggal dan pribadinya terkenal ramah-tamah, setiap keputusan yang diambil mengutamakan ketenangan. Tetapi Khu Ju-ki berwatak keras, namun berbudi luhur dan berjiwa setia. Teringat kepada Khu Ju-ki, serentak semua orang berteriak:

“Khu-cinjin pasti tak akan menerima anugerah raja Mongol ini.”

Dengan suara keras Ci-keng lantas berteriak pula: “Tetapi pejabat ketua sekarang adalah kau dan bukan Khu-supek.”

“Tapi Siauto harus taat pada ajaran guru, apa lagi dosaku teramat besar, mati pun belum cukup untuk menebus dosaku,” jawab Ci peng, lalu dia menunduk.

Sudah tentu Tosu Iain tidak tahu arti yang terkandung dalam ucapan Ci-peng itu, hanya Ci-keng yang dapat menangkap maksudnya, ia lantas bangkit dan menjengek:

“Jika begitu, jadi sudah pasti kau tak mau terima?”

“Sebenarnya jiwaku tidak berarti, yang utama adalah nama baik Coan cin-kau,” jawab Ci-peng dengan suara pedih, namun suaranya kemudian berubah bersemangat pada saat ia menyambung lagi. “Apa lagi saat ini setiap ksatria perlu bersatu untuk melawan musuh dari Iuar. Coan-cin-pay terkenal sebagai tulang punggung dunia persilatan, kalau kita takluk kepada Mongol, ke mana lagi muka kita ini harus ditaruh?”

Serentak para Tosu itu bersorak gemuruh memuji ketegasan Ci-peng. Yang marah adalah Ci-keng, segera ia melangkah pergi. Setiba di ambang pintu ia menoleh dan mendengus:

“Ciangkau-suheng, cara bicaramu terdengar bagus sekali, tetapi... he-he-he, bagaimana akibatnya persoalan ini tentu kau sendiri sudah memikirkannya.”

Selesai berkata dia terus melangkah pergi tanpa berpaling lagi. Beberapa Tosu yang tadi mendukung Thio Ci-keng juga cepat geluyur pergi di tengah sanjung puji Tosu yang larut kepada sikap In Ci-peng. Ci-peng tidak bicara lagi, dengan muram ia kembali ke kamarnya sendiri. Ia tahu, setelah mengalami kegagalan tadi, Ci-keng pasti tidak akan menyerah begitu saja dan tentu akan membongkar rahasia perbuatannya yang kotor terhadap Siao-liong-li.

Sebenarnya Ci-peng sudah bertekad mati ketika dia menolak anugerah raja Mongol tadi. Selama beberapa bulan ini dia sudah kenyang menahan rasa takut, dia tersiksa batinnya. Teringat olehnya kalau sudah mati maka segala apa pun tidak perlu dikuatirkan lagi, maka hatinya malah menjadi lega. Segera dia menutup pintu kamar lantas dipalang, dengan ikhlas dia melolos pedang terus digorokkan ke lehernya sendiri.

Mendadak dari belakang rak buku muncul seseorang yang cepat merampas pedang In Ci-peng. Karena tidak berjaga-jaga, tahu-tahu pedang Ci-peng sudah terampas begitu saja. Keruan Ci-peng terkejut dan cepat menoleh, ternyata yang merampas pedangnya bukan lain dari pada Thio Ci-keng.

“Setelah kau merusak nama baik Coan-cin-kau kita, sekarang kau hendak bunuh diri dan habis perkara, begitu?” jengek Ci-keng, “Nona Liong masih menunggu di luar sana, kalau sebentar dia datang dan minta keadilan, lalu cara bagaimana kita akan menjawabnya?”

“Baik, akan kutemui dia kemudian bunuh diri di hadapannya untuk menebus dosaku,” kata Ci-peng.

“Biar pun kau sudah bunuh diri juga urusan tidak dapat diselesaikan,” ujar Ci-keng. “Nanti sesudah keluar dari menyepi tentu kelima guru kita akan mengusut persoalanmu. Sekali nama baik Coan-cin-kau kita runtuh, maka selamanya kau akan menjadi orang berdosa.”

Ci-peng merasa terdesak dan bingung. Ia menutupi mukanya, kemudian mendadak duduk di lantai dan menggumam sendiri:

“Habis apa yang harus kulakukan sekarang? Apa yang harus kulakukan?”

Kalau tadi di depan orang banyak dia dapat bicara dengan lancar, kini setelah berhadapan dengan Thio Ci-keng ternyata sedikit pun tidak dapat menguasai diri.

“Baik, asalkan kau tunduk kepada syaratku, persoalan mengenai nona Liong akan kututup rapat, nama baikmu dan Coan-cin-kau juga dapat dipertahankan,” kata Ci-keng.

“Kau ingin kuterima anugerah raja Mongol itu?” tanya Ci-peng.

“Tidak, tidak! Aku tidak ingin kau menerima anugerahnya,” jawab Ci-keng.

Ci-peng merasa lega, tanyanya pula: “Jadi apa kehendakmu? Lekas katakan, pasti akan kuturuti.”

Tak lama kemudian terdengar riuh ramai suara genta dan tambur di pendopo Tiong-yang-kiong sebagai tanda segenap anggota harus berkumpul. Li Ci-siang memerintahkan anak buahnya membawa senjata di dalam jubah untuk menjaga segala kemungkinan. Ruangan besar itu penuh berjubel Tosu tua dan muda, semuanya tegang ingin tahu apa yang bakal terjadi. Kemudian tampak Ci-peng melangkah keluar dari belakang, wajahnya pucat dan tidak bersemangat. Begitu berdiri di tengah ruangan segera dia berseru:

“Para Toheng, atas perintah Khu-ciangkau tadi Siauto telah ditunjuk sebagai pejabat ketua, tapi siapa tahu Siauto mendadak menderita penyakit maut yang tak dapat disembuhkan...”



Karena keterangan yang tak terduga-duga ini, seketika gemparlah para Tosu. Kemudian Ci-peng menyambung pula:

“Oleh karena itu, tugas sebagai pejabat ketua yang maha penting ini sukar dipikul, sekarang juga aku menunjuk murid tertua dari Ong-susiok, yakni Thio Ci-keng, sebagai pejabat ketua.”

Seketika suasana menjadi hening, tapi keadaan sunyi ini cuma berlangsung sekejap saja, segera terdengarlah suara protes beberapa orang, seperti Li Ci-siang, Ong Ci-heng, Song Tek-hong dan lain-lain. Beramai-ramai mereka berteriak.

“Tidak! Tidak bisa! Khu-cinjin menunjuk In-suheng sebagai pejabat ketua, tugas penting ini mana boleh diserahkan lagi kepada orang lain?”

“Ya, tanpa sebab mana bisa In-suheng terserang penyakit maut secara mendadak?”

“Betul, di balik urusan ini tentu ada sesuatu intrik keji, kita harap Ciangkau-suheng jangan terjebak oleh tipu muslihat kaum pengkhianat!”

Begitulah seketika seluruh ruangan menjadi panik, Li Ci-siang dan kawan-kawannya melotot kepada Thio Ci-keng, namun Ci-keng tampaknya tenang-tenang saja dan anggap sepi sikap pihak lawan. In Ci-peng lantas memberi tanda supaya semua diam, lalu berkata:

“Datangnya urusan ini terlampau mendadak, pantas bila saudara sekalian tidak paham persoalannya. Coan-cin-kau sedang menghadapi mala petaka, Siauto telah berbuat suatu kesalahan besar, sekali pun mati juga sukar bagiku untuk menebus dosaku dan sukar menghindari bahaya yang mengancam.” Sampai di sini air mukanya tampak sedih sekali, sejenak kemudian ia menyambung: “Sudah kupikirkan dengan masak, kurasa hanya Thio-suheng yang berpengetahuan luas yang dapat membawa Coan-cin-kau terhindar dari bahaya ini. Untuk itu para Suheng dan Sute harus kesampingkan pendirian pribadi dan bersama-sama membantu Thio-suheng melaksanakan tugas bagi keselamatan dan kejayaan Coan-cin-kau kita ini.”

Li Ci-siang menjadi sangat curiga. Dari sikap In Ci-peng itu jelas sang Suheng menahan sesuatu rahasia yang sulit diuraikan, tapi kalau sang Suheng yang menjabat ketua sudah memohon kerelaan para Sute, ia pun tidak enak untuk ngotot. Terpaksa ia menunduk dan tak bersuara lagi selain diam-diam memikirkan langkah selanjutnya yang perlu diambil.

Watak Ong Ci-heng sangat jujur, tanpa pikir dia berteriak: “Kalau Ciangkau-suheng betul-betul mau mengundurkan diri perlu menunggu selesainya guru kita menyepi, setelah dilaporkan barulah diambil keputusan yang lebih bijaksana.”

“Tapi urusannya terlalu mendesak, tidak bisa menunggu lagi,” ujar Ci-peng dengan muram.

“Baiklah, seumpama memang demikian, di antara sesama saudara seperguruan, baik mengenai budi pekerti mau pun mengenai Kanghu, rasanya masih cukup banyak saudara kita yang melebihi Thio-suheng,” kata Ci-heng. “Misalnya Li-suheng atau Song-sute, mereka lebih pintar dan tangkas, mengapa mesti serahkan tugas maha penting kepada Thio-suheng yang tidak dapat diterima oleh semua orang?”

Thio Ci-keng pemberang, sudah sejak tadi ia menahan perasaannya, sekarang ia tidak tahan lagi, segera ia menanggapi.

“Dan ada lagi Ong Ci-heng, Ong-sute yang berani bicara dan berani berbuat! Kenapa tidak kau calonkan sekalian?”

Ci-heng menjadi gusar, jawabnya: “Aku memang bodoh dan selisih jauh bila dibandingkan Suheng yang lain, tapi jika dibandingkan Thio-suheng, betapa pun kuyakin masih unggul setingkat. Ya, ilmu silatku mungkin bukan tandingan Thio-suheng, tetapi paling tidak aku pasti takkan menjadi pengkhianat.”

“Apa katamu?! Kalau berani katakan lebih jelas, siapa yang menjadi pengkhianat?” teriak Ci-keng dengan wajah merah padam. Begitulah kedua orang bertengkar semakin sengit dan siap berperang tanding.

“Kedua Suheng tidak perlu berdebat, dengarkanlah perkataanku,” sela Ci-peng.

Meski kedua orang lantas diam, namun masih saling melotot. Lalu Ci-peng berkata pula:

“Menurut peraturan kita, pejabat ketua baru ditunjuk oleh ketua lama dan bukan diangkat secara beramai-ramai betul tidak?” Sesudah semua orang mengiyakan, lalu Ci peng melanjutkan: “Karena itu, sekarang juga aku menunjuk Thio Ci-keng sebagai pejabat ketua penggantiku. Nah, para hadirin tidak perlu bertengkar lagi. Thio-suheng, silakan maju menerima pesan.”

Dengan berseri-seri Ci-keng maju ke tengah dan memberi hormat. Segera Ci-heng dan Song Tek-hong hendak bicara lagi, tetapi Li Ci-siang keburu menarik baju mereka dan mengedipi. Ci-heng berdua lantas tahu bahwa Ci-siang pasti mempunyai pandangan yang lebih baik, maka mereka pun segera diam.

“ln-suheng pasti ditekan oleh Thio Ci-keng sehingga dia tidak berani melawan,” kata Ci-siang dengan suara tertahan. “Maka kita harus membongkar muslihat Thio Ci-keng diam-diam. Sekarang In-suheng telah memutuskan demikian, kalau kita bicara lagi akan kelihatan pihak kita yang salah.”

Ong dan Song mengiyakan, mereka lantas turut dalam upacara serah terima kedudukan pejabat ketua itu. Bahwa dalam sehari terjadi penyerahan pejabat ketua dua kali, sungguh kejadian yang luar biasa. Selesai upacara, dengan pongahnya Ci-keng lantas berdiri di tengah didampingi oleh anak muridnya, lalu berseru:

“Silakan utusan Sri Baginda Raja MongoI hadir!”

Segera Ong Ci-heng hendak mendamperat, tetapi keburu dicegah Li Ci-siang. Selang tak lama beberapa Tosu penyambut tamu datang sambil membawa perwira Mongol itu dan Siau-siang-cu. Cepat Thio Ci-keng memburu maju untuk menyambut dengan munduk-munduk. Perwira Mongol itu sudah mendongkol karena telah menunggu sekian lama, kini In Ci-peng ternyata tidak menyambut kedatangannya, keruan mukanya tambah bersungut.

Tetapi segera seorang Tosu bagian protokol memberi-tahu bahwa mulai sekarang kedudukan pejabat ketua telah dilimpahkan kepada Thio Ci-keng. Perwira itu melengak kaget, tapi segera dia girang dan mengucapkan selamat kepada Ci-keng. Siau-siang-cu berdiri di belakang perwira Mongol itu dengan diam saja, mukanya kaku dingin, entah suka atau duka.

Dengan munduk-munduk pula Ci-keng membawa perwira Mongol itu ke tengah pendopo, lalu berkata:

“Silakan Tayjin membacakan titah raja.”

Diam-diam perwira itu bersyukur bahwa Coan-cin-kau sekarang diketuai orang macam Thio Ci-keng. Dia lantas mengeluarkan Sengci (titah raja), Ci-keng juga segera bertekuk lutut, lalu perwira itu mulai membaca titah raja:

“Dengan ini ketua Coan-cin-kau di...”

Melihat terang-terangan Ci-keng menerima anugerah raja Mongol, Ci-siang, Ci-heng dan lain-lain tidak tahan lagi, serentak mereka melolos pedang. Segera Ci-heng dan Tek-hong melangkah maju lantas mengancam punggung Ci-keng dengan ujung pedang mereka, Ci-siang lalu berseru dengan lantang:

“Coan-cin-kau berdiri berdasarkan cita-cita setia kepada negara dan bakti kepada rakyat, sekali-kali kita tidak sudi menyerah kepada Mongol. Thio Ci-keng sudah berkhianat, maka setiap orang wajib mengutuknya, dia tidak boleh menjabat ketua Coan-cin-kau dan kita pun tidak mengakuinya lagi.”

Sementara itu beberapa Tosu lain juga sudah mengelilingi perwira Mongol itu dan Siau-siang-cu dengan pedang terhunus. Peristiwa ini terjadi dengan sangat mendadak. Meski sebelumnya Ci-keng juga menduga Ci-siang dan kawannya pasti tak mau menyerah, tapi sama sekali tidak diduganya bahwa pihak lawan berani menggunakan kekerasan terhadap pejabat ketua yang biasanya amat dihormati dan dijunjung tinggi.

Kini senjata lawan telah mengancam, dia menjadi kaget dan gusar, tetapi dia tidak gentar, segera dia membentak:

“Kurang ajar. Kalian berani membangkang terhadap pimpinan?!”

Ci-heng balas membentak “Bangsat! Pengkhianat! Kalau kau berani bergerak, segera punggungmu akan tembus!”

Sesungguhnya kepandaian Ci-keng lebih tinggi dari pada kedua lawannya, tapi secara mendadak dia dikuasai selagi tengkurap, dengan sendirinya dia mati kutu. Sebelumnya ia juga menyiapkan belasan anak muridnya yang bersenjata lengkap, namun ternyata pihak lawan bertindak lebih dulu, betapa pun anak buah Ci-keng tak sempat berkutik lagi.

Segera Li Ci-siang berkata kepada perwira MongoI: “Kini Mongol sudah menjadi musuh Song Raya kami, rakyat Song mana boleh menerima anugerah dari pihak Mongol? Maka sekarang kalian silakan pulang saja, kelak kalau bertemu di medan perang bolehlah kita selesaikan di sana.”

Sungguh pun terancam bahaya, perwira Mongol itu ternyata tidak gentar sedikit pun, dia malah menjengek:

“Hm, kalian berani bertindak semberono, tampaknya Coan-cin-kau yang telah terpupuk kuat ini segera akan musnah dalam sekejap, sungguh harus disayangkan.”

“Negara kami yang seluas ini saja sudah terancam musnah, apa artinya Coan-cin-kau yang hanya secuil ini?” ujar Ci-siang. “Jika kalian tidak lekas pergi, kalau sebentar kalian diperlakukan secara kasar mungkin Siauto tidak dapat berbuat apa-apa lagi.”

Mendadak Siau-siang-cu menimbrung: “Bagaimana perlakuan kasarnya? Coba, aku ingin tahu!” Tiba-tiba kedua tangannya meraih, tahu-tahu pedang Ong Ci-heng dan Song Tek-hong yang mengancam punggung Ci-keng telah dirampasnya.

Cepat Ci-keng melompat bangun terus berdiri di samping perwira Mongol itu. Siau-siang-cu mengangsurkan sebuah pedang rampasan di tangan kirinya itu kepada Ci-keng, sedang pedang lain menusuk ke arah Li Ci-siang.

“Trangg...!”

Ci-siang menangkis serangan, mendadak tangannya terasa kesemutan, tenaga lawan ternyata kuat luar biasa. Diam-diam dia mengeluh, cepat dia pun mengerahkan tenaga dalam untuk bertahan. Tapi segera terdengar suara gemerantang nyaring, kedua pedang patah dan jatuh ke lantai.

Tindakan Siau-siang-cu itu dilakukan dengan luar biasa cepatnya. Merampas pedang dan menyerang serta menggetar pedang hingga patah, semua itu terjadi dalam sekejap saja. Menyusul lengan bajunya lantas mengebut dan kedua tangannya menyodok sekaligus ke depan sehingga empat murid tertua Coan-cin-kau yang mengitarinya didesak mundur. Keruan semua orang menjadi kaget, sungguh mereka tak menyangka bahwa orang yang mirip ‘mayat hidup’ ini memiliki kepandaian setinggi ini.

Biasanya Ci-keng suka meremehkan ilmu silat Ong Ci-heng, Song Tek-hong dan lain-lain, tapi sekarang di hadapan orang banyak dia telah diancam hingga tak bisa berkutik selagi mendekam di atas tanah, tentu saja dia sangat murka. Maka begitu dia menerima pedang dari Siau-siang-cu, segera dia menusuk ke perut Ong Ci-heng. Cepat Ci-heng mendoyong ke belakang, namun Ci-keng tidak kenal ampun, dia mendorongkan ujung pedang sehingga nasib Ci-heng tampaknya sulit dihindarkan. Semua orang ikut kuatir sehingga suasana menjadi hening.

Pada detik gawat itulah mendadak dari samping seseorang mengebaskan lengan bajunya, pedang Ci-keng tergulung dan tertarik ke samping.

“Brettt!” lengan baju Ci-keng robek terpotong.

Kesempatan itu cepat digunakan Ci-heng untuk melompat mundur, menyusul dua pedang terjulur dari samping untuk menahan pedang Ci-keng. Sesudah diawasi, orang yang mengebutkan lengan baju itu kiranya adalah In Ci-peng. Ci-keng menjadi marah, bentaknya sambil menuding Ci-peng:

“Kau... kau berani...”

“Thio-suheng,” kata Ci-peng, “tadi kau sendiri menyatakan takkan menerima anugerah raja Mongol, karena itulah aku menyerahkan pejabat ketua kepadamu. Mengapa dalam waktu sekejap kau sudah ingkar janji?”

“Bilakah aku pernah berjanji seperti itu?” jawab Ci keng. “Tadi kau bertanya soal anugerah raja MongoI ini, lalu aku menjawab: ‘Aku tidak ingin kau menerima anugerah raja Mongol!’ Nah, masa aku ingkar janji? Yang menerima anugerah sekarang kan aku dan bukan kau?”

“Oh, kiranya begitu, kiranya begitu...” Ci-peng menggumam penuh rasa pedih, “Licik benar kau, Thio-suheng!”

Dalam pada itu Li Ci-siang sudah menerima pedang dari seorang muridnya. Segera dia berseru:

“Saudara dalam agama, kita tetap mengakui In-suheng sebagai pejabat ketua, marilah kita tangkap pengkhianat she Thio ini.” Menyusul dia lantas menubruk maju dan menempur Ci-keng.

Ci-heng dan enam orang lainnya lantas memasang Pak-tau Kiam-hoat mengepung Siau-siang-cu di tengah. Meski tinggi ilmu silat Siau-siang-cu, tetapi barisan pedang Coan-cin-kau yang terkenal itu pun amat hebat, sekali bergebrak, daya tempurnya juga Iihay. Cepat Siau-siang-cu mengeluarkan pentungnya untuk menangkis kerubutan lawan.


SENGKETA ANTAR SAUDARA SEPERGURUAN

Perwira Mongol sudah mundur hingga ke pojok ruangan. Melihat gelagat jelek, segera dia mengeluarkan tanduk kerbau dan ditiup keras-keras.

Ci-peng terkejut, ia tahu orang sedang mengundang bala bantuan. Menghadapi ancaman bahaya, semangatnya bangkit, kemampuannya memimpin timbul Iagi. Segera ia memberi perintah:

“Ki Ci-seng, kau tangkap perwira itu, Ih To-hoan Suheng dan Ong Ci-kin Suheng, kalian bawa tiga kawan dan lekas ke Giok-bi-tong di belakang gunung untuk membantu Sun-suheng berjaga di sana agar kelima guru kita tidak terganggu oleh serbuan musuh. Tan Ci-ek Sute, lekas kau membawa enam orang pergi berjaga di depan gunung. Pang Ci-ki Sute dengan enam orang berjaga di kiri gunung dan Lau To-leng Sute bersama enam orang berjaga di kanan gunung.”

Para Tosu yang ditugaskan berjaga di kanan kiri dan muka belakang itu adalah murid Khu Ju-ki semua, ada pun Ih To-hian dan Ong Ci-kin adalah murid paman gurunya yang dapat dipercaya. Dengan cara pengaturan pertahanan Ci-peng ini, sekali pun musuh menyerbu besar-besaran sukar menembusnya.

Akan tetapi sebelum semua orang yang diberi perintah itu pergi, tiba-tiba terdengar suara teriakan ramai, belasan orang telah melompat masuk, dari kanan nampak dipimpin ln Kik-si dan sebelah kiri dipimpin Nimo Singh, dari depan dikepalai Be Kong-co, belasan orang yang dipimpin adalah jago-jago pilihan dari berbagai suku bangsa.

Kiranya sesudah berbulan-bulan Kubilai tidak berhasil memboboI pertahanan Siang-yang, mendadak berjangkit wabah di tengah pasukannya, maka setelah serangan terakhir pada Siang-yang gagal, segera ia pun mengundurkan pasukannya. Pasukan Mongol yang dilihat Siao-liong-li tempo hari ketika bergerak ke selatan itu merupakan serangan terakhir yang dilakukan Kubilai.

Berhubung sukarnya merebut Siang-yang, dengan sendirinya kerajaan Song juga sangat sukar diruntuhkan. Karena itu sebelum mengundurkan pasukannya Kubilai telah mengirim antek-anteknya mendekati dan membeli orang-orang gagah di Tionggoan. Raja Mongol sengaja merangkul pihak Coan-cin-kau termasuk tipu muslihat Kubilai. Tapi dia tahu Coan-cin-kau belum tentu mau menerima anugerah, maka Kim-lun Hoat-ong diperintahkan memimpin jago-jago lain bersembunyi di sekitar Cong-lam-san. Apa bila Coan-cin-kau menolak titah raja, segera gunakan kekerasan untuk menindasnya.

Biasanya penjagaan di Cong-Iam-san cukup ketat. Tapi lantaran dalam sehari terjadi dua kali penggantian pejabat ketua, suasana di Tiong-yang-kiong sedang kacau, maka anak murid yang bertugas berjaga di luar ditarik ke dalam untuk ikut hadir dalam upacara. Karena itulah kedatangan rombongan Nimo Singh, In Kik-si dan lain-lain tidak diketahui. Kini musuh mendadak muncul, seketika orang-orang Coan-cin-kau menjadi panik.

Perwira Mongol yang tadinya telah ditawan Ki Ci-seng itu sekarang berteriak: “Para Totiang dari Coan-cin-kau, bila ingin selamat, lekas kalian membuang senjata dan tunduk kepada perintah pejabat ketua Thio-totiang.”

Tetapi Ci-peng lantas membentak: “Thio Ci-keng telah berkhianat dosanya tak terampuni, dia bukan lagi pejabat ketua kita.”

Meski menyadari keadaan sangat gawat, tetapi Ci-peng bertekad melawan musuh dengan mati-matian, maka dia lantas memberi aba-aba untuk bertempur. Namun para Tosu sebagian tak membawa senjata dan terkepung, maka hanya sebentar saja sudah ada belasan orang yang terkapar tak bernyawa. Menyusul In Ci-peng sendiri, Li Ci-siang, Ong-Ci-heng, Song Tek-hong dan lain-lain juga kecundang, ada yang senjatanya terampas musuh, ada yang terluka hingga menggeletak, dan ada pula yang tak bisa bergerak karena Hiat-to tertotok. Sisa Tosu yang lain menjadi kelabakan bagaikan ular tanpa kepala, mereka terdesak ke pojok ruangan dan tidak dapat melawan lagi.

Perwira Mongol tadi tidak tinggi ilmu silatnya, akan tetapi pangkatnya sangat tinggi, maka In Kik-si, Siau-siang-cu dan lain-lain harus tunduk kepada perintahnya. Melihat pihaknya telah menang total, perwira itu lantas berseru kepada Thio Ci-keng:

“Thio-cinjin, mengingat kesetiaanmu, tentang pemberontakan Coan-cin-kau ini tidak akan kulaporkan kepada Sri Baginda.”

Ci-keng memberi hormat dan mengucapkan terima kasih. Tiba-tiba teringat sesuatu olehnya, cepat ia membisiki Siau-siang-cu:

“Masih ada satu urusan penting perlu bantuan cianpwe. Guruku dan para paman guruku kini sedang menyepi di belakang gunung, kalau mereka menerima berita dan memburu ke sini...”

“Malah kebetulan jika mereka ke sini, akan kubereskan mereka bagimu,” ujar Siau-siang-cu dengan tak acuh.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar