Selasa, 14 September 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 123

Namun begitu Ciu Pek-thong juga sudah kagum luar biasa terhadap kesaktian Siao-liong-li yang mahir mengendalikan kawanan tawon, ia merasa permainan ini jauh lebih menarik dari pada semua permainan yang pernah dilihatnya, seketika ia menjadi lupa pada badan sendiri apakah sisa racunnya dapat dipunahkan seluruhnya atau tidak. Karena sarang laba di mulut goa sudah habis, segera Siao-liong-li melompat keluar, lalu dia memanggil Ciu Pek-thong agar ikut keluar. Menyusul Ciu Pek-thong melompat keluar, namun segera dia terbanting jatuh,

“Wah, cialat! Tenaga sukar dikeluarkan!” katanya dengan gegetun, sekujur badan gemetar dan gigi berkerutukan.

Kiranya jatuhnya itu memancing bekerjanya sisa racun laba yang masih mengeram dalam tubuh, seketika ia menggigil kedinginan seperti kejeblos dalam peti es, bibir dan mukanya menjadi pucat pasi.

“He, Ciu Pek-thong, kenapa kau?” tanya Siao-liong-li kaget.

Badan Ciu Pek-thong masih menggigil, jawabnya dengan suara gemetar: “Lekas... lekas kau cocok aku dengan... dengan jarum itu.”

“Tapi jarumku ini berbisa,” kata Siao-liong-li.

“Ya, justru... justru karena berbisa itulah, lekas!” pinta Pek-thong pula.

Tergerak pikiran Siao-liong-li. Teringat pertempuran antara kawanan tawon dengan laba berbisa tadi, ia pikir jangan-jangan racun tawon merupakan lawan racun laba itu? Segera ia jemput sebuah jarum dan mencoba mencocoki lengan Ciu Pek-thong. Mendadak Pek-thong berteriak:

“Bagus! Lekas tusuk beberapa kali lagi!”

Berturut-turut Siao-liong-li mencocoki beberapa kali lagi dan berulang-ulang Ciu Pek-thong berteriak bagus. Tampaknya kadar racun pada jarum itu sudah lenyap, maka Siao-liong-li berganti jarum yang lain, seluruhnya belasan jarum digunakan mencocoki tubuh Ciu Pek-thong. Akhirnya orang tua itu tidak menggigil lagi, dia menghela napas lega dan berkata:

“Ehm, menyerang racun dengan racun, memang resep paling mujarab.”

Sesudah itu dia coba mengerahkan tenaga dalam, tapi masih ada sisa racun yang belum hilang. Mendadak dia menepuk paha dan berseru:

“Aha, tahulah aku. Nona Liong, racun tawon pada jarummu itu agaknya kurang segar, sudah basi.”

“Jika begitu, apa kau mau kalau kusuruh kawanan tawon liar itu untuk menyengat kau?” ujar Siao-liong-li tertawa.

“Aha, terima kasih sebelumnya, lekas kau mengundangnya, lekas!” seru Ciu Pek-thong.

Siao-liong-li lantas membuka botol madunya untuk memancing kedatangan kawanan tawon liar. Semua tawon mengantupi badan Ciu Pek-thong, bukannya mengeluh sakit, sebaliknya, Anak Tua Nakal itu malah tertawa gembira. Sekalian dia buka bajunya, punggung yang telanjang itu sengaja dibiarkan disengat oleh kawanan tawon, berbareng dia pun mengerahkan tenaga dalam untuk melancarkan jalan darah dan menghalau sisa racun laba.

Agak lama juga dia diantupi tawon hingga punggungnya penuh bintik-bintik merah bekas sengatan. Akhirnya sisa racun dapat dihilangkan semua, kalau disengat lagi lantas terasa sakit, maka berteriaklah Ciu Pek-thong:

“Cukup, sudah cukup! Kalau diantupi lagi jiwaku bisa melayang!”

Siao-liong-li tersenyum dan menghalau pergi kawanan tawon itu. Ia menjemput tali sutera berkeleningan yang terjatuh di sebelah sana, kemudian ia tanya Ciu Pek-thong:

“Aku akan pergi ke Cong-Iam-san, kau ikut tidak?”

Ciu Pek-thong menggeleng dan menjawab: “Tidak, aku masih punya urusan lain, silakan engkau pergi sendiri saja.”

“Oya, kau perlu ke Siang-yang untuk membantu Kwe-tayhiap,” kata Siao-liong-li. Begitu menyebut nama ‘Kwe-tayhiap’ ia lantas teringat kepada Kwe Hu, dari Kwe Hu lantas terkenang kepada Yo Ko.

“Ciu Pek-thong,” katanya kemudian dengan muram, “Kalau kau bertemu dengan Yo Ko, janganlah kau bilang pernah bertemu dengan diriku.”

Akan tetapi Ciu Pek-thong tidak menjawabnya. Waktu Siao-liong-li mengawasi, tampak orang tua itu sedang berkomat-kamit, entah apa yang sedang digumamkan, malah mimik wajahnya sangat aneh, entah sedang main gila apa! Selang sejenak barulah mendadak Ciu Pek-thong mendongak dan bertanya:

“Apa katamu tadi?”

“Oh, tidak apa-apa,” jawab Siao-liong-li. “Sampai bertemu pula.”

Tampaknya Ciu Pek-thong tidak menaruh perhatian pada ucapan Siao-liong-li, ia cuma mengiyakan, lalu berkomat-kamit lagi. Tanpa bicara lagi Siao-liong-li berangkat sendirian, sesudah melintasi sebuah tanah tanjakan, mendadak terdengar suara bentakan Ciu Pek-thong, suaranya seperti lagi menirukan Siao-liong-li ketika mengendalikan kawanan tawon.

Siao-liong-li sangat heran, diam-diam dia memutar balik ke tempat tadi dan mengintai dari balik pohon. Dilihatnya Ciu Pek-thong memegangi sebuah botol porselen kecil dan sedang berjingkrak-jingkrak sambil berkaok-kaok aneh. Waktu Siao-liong-li meraba sakunya, ternyata botol madunya telah lenyap, entah sejak kapan dicuri si Anak Tua Nakal itu. Rupanya suara Ciu Pek-thong itu rada mirip cara Siao-liong-li memberi perintah kepada kawanan tawon, tetapi lebih banyak salahnya. Meski ada juga beberapa ekor tawon yang muncul karena mencium bau harum madu, tetapi tidak ada satu pun yang tunduk kepada perintah Ciu-Pek-thong, tawon itu cuma terbang kian kemari mengitari botol porselen.

Siao-liong-li tertawa geli melihat tingkah Anak Tua Nakal itu, segera ia menampakkan diri dan berseru:

“Sini, kuajarkan kau!”



Melihat rahasianya terbongkar dan tertangkap basah dengan bukti barang curiannya, Ciu Pek-thong menjadi malu. Tanpa bicara lagi dia terus berlari pergi dan dalam sekejap saja menghilang. Siao-liong-li bergelak tertawa melihat tingkah laku si tua yang lucu itu. Suara tertawanya berkumandang membalik, mendadak ia merasa hampa dan kesepian, tanpa terasa ia pun meneteskan air mata. Bila mana dia mengadu kecerdasan dan tenaga dengan Kim-lun Hoat-ong, kemudian dia ditemani Lo-wan-tong dan bercanda sekian lama, sekarang musuh sudah kabur, kawan pun sudah pergi, di dunia ini rasanya tertinggal dia seorang diri saja.

Sepanjang jalan ia menguntit Ci-keng dan Ci-peng. Ia merasa kedua Tosu itu amat busuk, walau pun dicincang hingga hancur lebur sukar terlampias rasa dendamnya. Padahal sekali dia turun jangan saja kedua orang itu pasti akan binasa, namun hati selalu enggan, rasanya sekali pun mereka dibinasakan, habis mau apa lagi? Sendirian dia duduk termangu-mangu di bawah pohon, akhirnya dia menggumam sendiri: “Agaknya harus mencari mereka lagi!”

Dia lantas turun dari bukit itu dan mencemplak di atas keledai yang dilepas untuk makan rumput bawah bukit itu. Baru saja dia mau berangkat ke arah pasukan Mongol, tiba-tiba di depan terlihat debu mengepul tinggi disertai suara terompet yang bergema riuh, pasukan tampak sedang bergerak menuju selatan secara besar-besaran, jelas pihak Mongol mulai menggempur Siang-yang lagi. Siao-liong-li menjadi ragu-ragu, di tengah pasukan besar itu bagaimana cara dia mencari kedua Tosu itu. Tapi pada saat itu juga se-konyong tiga penunggang kuda berlari lewat di bawah bukit, para penunggang kuda itu jelas berjubah kuning dan berkopiah kaum Tosu.

Siao-liong-li menjadi heran mengapa sekarang bisa bertambah seorang Tosu lagi. Ia coba mengamati dari jauh, jelas yang paling belakang adalah Ci-peng sedangkan Thio Ci-keng mengaburkan kudanya bersama Tosu ketiga yang berusia jauh lebih muda. Tanpa pikir Siao-liong-li lantas keprak keledainya menyusul ke sana.

Pada saat mendengar suara kaki kuda, In Ci-peng menoleh ke belakang dan ternyata Siao-liong-li sudah mengintil lagi, keruan air mukanya berubah pucat. Segera Ci-keng dan Tosu yang muda juga mengetahui penguntilan Siao-liong-li.

“Siapakah perempuan muda ini, Thio-supek?” tanya Tosu muda itu.

“Dia adalah musuh besar Coan-cin-kau kita, sutit jangan banyak tanya,” jawab Ci-keng.

Toso muda itu terkejut, lalu ia tanya pula dengan suara rada gemetar: “Apakah dia ini Jik-lian siancu Li Bok-chiu?”

“Bukan, tapi Sumoay-nya,” kata Ci-keng.

Kiranya Tosu muda itu bernama Ki Ci-seng. Meski pun namanya juga pakai ‘Ci’, tetapi dia termasuk anak murid Coan-cin-kau angkatan ke empat, lebih rendah satu angkatan dari pada In Ci-peng dan Thio Ci-keng. Yang diketahuinya hanya Li Bok-chiu sudah beberapa kali bertengkar dengan para kakek gurunya, malah pihak Coan-cin beberapa kali kecundang.

Begitulah Ci-keng lantas mencambuk kudanya agar berlari lebih cepat dan diikuti oleh Ci-peng berdua, hanya sekejap saja Siao-liong-li sudah tertinggal jauh. Tetapi keledai belang yang ditunggangi Siao-jong-li itu amat kuat larinya, meski tidak cepat namun dapat berlari teratur tanpa lelah. Sedangkan kuda itu sesudah berlari cepat, kemudian megap-megap napasnya dan mulai lamban larinya sehingga keledai belang dapat menyusulnya lagi. Waktu Ci-keng menoleh dan melihat Siao-liong-li sudah mendekat lagi, cepat dia cambuk kudanya lagi. Tapi kudanya cuma berlari kencang sebentar, lalu berlari lambat lagi.

“Thio-supek, tampaknya kita tak dapat lari. Marilah kita balik ke sana untuk mencegatnya dan biar In-supek lolos sendiri,” kata Ki Ci-seng.

Dengan wajah geram Ci-keng menjawab: “Hmm, mudah saja kau bicara, memangnya kau tidak ingin hidup lagi?”

“Tapi... tapi In-supek mengemban tugas berat sebagai pejabat ketua, kita harus berusaha menyelamatkannya,” ujar Ci-seng.

Ci-keng sangat mendongkol, dia hanya mendengus saja tanpa menjawab. Melihat air muka sang paman guru yang marah itu, Ki Ci-seng tidak berani bicara lagi. Ia tunggu setelah Ci-peng mendekat, lalu berbisik padanya:

“In-supek, paling penting engkau harus jalan lebih dulu.”

“Ahh, biarkan saja dia menyusul ke sini,” jawab Ci-peng tak acuh.

Diam-diam Ci-seng sangat kagum melihat sikap sang paman guru yang sangat tenang, ia pikir sikap ksatria demikian sungguh sulit dicari bandingannya di antara tokoh angkatan ketiga, pantas para kakek guru memilih In-supek sebagai pejabat ketua. Betapa pun ia tidak tahu bahwa perasaan Ci-peng saat ini sungguh aneh luar biasa, andai kata Siao-liong-li ingin membunuhnya, maka ia pun sudah siap memasangkan lehernya di depan si nona, sedikit pun tiada pikiran buat melawan.

Melihat kedua kawannya tidak cemas akan kedatangan musuh, Ci-keng menjadi serba susah, hendak lari lebih dahulu terasa malu. Untunglah sementara ini tiada tanda-tanda Siao-liong-li akan bertindak kepada mereka. Tetapi hatinya tetap kebat-kebit, sebentar-sebentar ia menoleh ke belakang.

Begitulah tiga orang di depan dikuntit oleh satu orang dari belakang, mereka meneruskan perjalanan ke utara tanpa bicara lagi, sementara suara gemuruh gerakan pasukan Mongol ke selatan sudah Ienyap, hanya terkadang samar-samar terdengar suara riuh rendahnya pertempuran di kejauhan yang terbawa angin, tetapi setelah arah angin berganti, suara itu pun tak terdengar.

Sepanjang jalan, karena menghindari gangguan pasukan tentara yang besar, semua rumah penduduk boleh dikatakan kosong melompong, bahkan ayam dan anjing pun tidak tampak seekor pun. Tempo hari Ci-peng dan Ci-keng berlari ke jurusan yang sepi, tapi terkadang dapat ditemukan rumah makan kecil yang sederhana di pedusunan. Sekarang mereka melalui jalan besar, jangankan rumah makan, sebuah rumah penduduk yang utuh pun sukar ditemukan.

Malamnya Ci-peng bertiga mondok di sebuah rumah bobrok yang tiada daun pintu dan jendela. Sekali-sekali Ci-keng mencoba mengintip keluar, dilihatnya Siao-liong-li telah memasang seutas tali antara dua batang pohon besar, di atas tali yang terbentang itulah si nona berbaring. Ci-seng ikut pula mengintai. Melihat betapa hebatnya kepandaian Siao-liong-li, hati Tosu ini menjadi takut. Hanya Ci-peng tidur dengan nyenyaknya tanpa pedulikan urusan lain. Semalaman Ci-keng tidak bisa pulas, sebentar bangun sebentar berbaring lagi. Dia sudah bersiap-siap, apa bila ada suara yang mencurigakan segera dia akan kabur lebih dulu.

Esok paginya mereka melanjutkan perjalanan lagi. Karena semalam suntuk tidak tidur dan ditambah rasa takutnya yang menumpuk, Ci-keng menjadi rada pusing kepala di atas kudanya. Ci-seng mendampingi Ci-peng ketinggalan di belakang. Dengan lesu Ci-peng menanyai Ci-seng mengenai keadaan di Cong-lam-san serta kesehatan para paman guru dan gurunya. Menurut Ci-seng, Coan-cin-ngo-cu (lima murid utama Coan-cin-kau, tadinya tujuh orang, Tam Ju-hoat dan Ma Giok sudah meninggal sehingga tinggal lima orang), sekarang mulai bertapa atau menyepi untuk waktu yang cukup lama, bisa setahun atau paling sedikit tiga bulan, sebab itu ln Ci-peng diharapkan pulang ke Tiong-yang-kiong untuk menerima tugas sebagai pejabat ketua.

Ci-peng ter-mangu mendengar cerita itu, ia menggumam sendiri: “Kepandaian mereka itu sudah tiada taranya, entah apa lagi yang hendak mereka latih?”

Dengan suara tertahan Ci-seng membisiki: “Konon kelima kakek guru bertekad hendak menyelami dan menciptakan semacam ilmu yang dapat mengalahkan ilmu silat Ko-bong-pay.”

“Ohh,” Ci-peng bersuara singkat dan tanpa terasa menoleh memandang sekejap kepada Siao-liong-li.

Kiranya sesudah Siao-liong-li bergabung dengan Yo Ko mengalahkan Kim-lun Hoat-ong di pertempuran besar ksatria dulu, ilmu silat kedua muda-mudi telah menggemparkan dunia persilatan, tetapi lantaran Yo Ko berdua sedang mabok kepayang maka mereka tidak lagi memikirkan kejadian itu. Akan tetapi dunia persilatan sudah kadung geger, katanya ilmu silat di dunia ini tidak ada yang bisa menandingi pewaris dari Ko-bong-pay. Sudah tentu desas-desus begitu banyak dibumbui pula.

Apa lagi kejadian itu juga disaksikan oleh Hek Tay-thong, Sun Put-ji, Ci-peng dan Ci-keng, ditambah pula berita kemudian mengatakan Kim-lun Hoat-ong sekali lagi dikalahkan Yo Ko dan Siao-liong-li sehingga paderi itu harus lari terbirit-birit, tentu saja semua itu sangat mencemaskan pimpinan Coan-cin-kau, terutama kalau teringat pada suatu ketika Li Bok-chiu, Siao-liong-li atau Yo Ko pasti akan menuntut balas kepada mereka.

Menghadapi Li Bok-chiu seorang saja sudah sulit, apa lagi jika ditambah Yo Ko dan Siao-liong-li berdua. Bahwa di antara Li Bok-chiu dan Siao-liong-li juga terjadi sengketa ternyata tidak diketahui oleh pihak Coan cin-kau. Kini pucuk pimpinan Coan-cin-kau hanya tinggal lima orang, semuanya sudah tua dan loyo, sedangkan anak murid angkatan muda juga tiada tokoh yang menonjol, bila nanti pihak Ko-bong-pay datang, pasti Coan-cin-pay akan kalah habis-habisan.

Sebab itulah kelima tokoh Coan-cin-kau itu memutuskan menyepi untuk memikirkan satu macam ilmu silat yang maha hebat sebagai persiapan menghadapi pihak Ko-bong-pay. Lantaran itu pula In Ci-peng lalu dipanggil pulang ke Cong-lam-san untuk menerima tugas sebagai pejabat ketua.

Demikianlah mereka terus melanjutkan perjalanan ke barat laut, Siao-liong-li masih tetap menguntit di belakang dalam jarak tertentu.


PEJABAT KETUA COAN-CIN-KAU

Suatu hari sampailah mereka di wilayah Siam-say, sudah dekat dengan Cong-lam-san. Ci-peng tidak mengerti apa kehendak Siao-liong-li yang menguntitnya terus menerus, pikirnya: “Apakah dia hendak melapor kepada Suhu-ku tentang perbuatanku yang rendah itu atau dia akan mengobrak-abrik Coan-cin-kau lagi untuk menuntut balas sakit hatinya? Atau bisa jadi dia akan pulang ke Ko-bong-pay yang satu jurusan ini atau... atau...” sampai di sini ia tidak berani melanjutkan pikirannya lagi, yang jelas ia sudah tidak memikirkan mati-hidup selanjutnya, maka rasa takutnya menjadi banyak berkurang pula.

Selang beberapa hari akhirnya mereka sampai di kaki gunung Cong-lam. Segera Ci-seng melepaskan sebuah anak panah berwarna dan tidak lama kemudian empat Tosu tampak berlari turun dari atas gunung kemudian memberi hormat kepada Ci-peng dan menyambut kembalinya dengan hangat. Tosu yang tertua lantas berkata:

“Menurut keputusan kelima paman guru, begitu Jing-ho Cin-Jit (gelar agama In Ci-peng) tiba diharuskan segera bertugas sebagai pejabat ketua, tentang upacara serah terima boleh menunggu sehabis Khu-susiok selesai menyepi.”

“Apakah kelima paman guru sudah mulai menyepi?” tanya Ci-peng.

“Sudah mulai 20 hari lebih,” jawab Tosu itu.

Tengah bicara, ber-turut datang pula belasan Tosu yang lain dan menyambut pulangnya ln Ci peng dengan tetabuhan. Berbondong-bondong Ci-peng lantas di arak ke atas gunung sehingga Ci-keng tertinggal di belakang tanpa diperhatikan. Tentu saja Ci-keng mendongkol dan gemas serta iri, tapi dalam hati ia pun girang. “Nanti kalau kedudukan pejabat ketua sudah kupegang barulah kalian tahu rasa.”

Menjelang petang tibalah rombongan mereka di depan Tiong-yang-kiong. Penghuni istana agama yang berjumlah lebih 500 orang itu berbaris memanjang di luar pintu disertai suara genta dan tambur yang ditabuh ber-taIu-talu. Melihat keadaan yang khidmat itu, Ci-peng yang tadinya lesu seketika bersemangat kembali. Di bawah iringan 16 murid tertua ia masuk ke ruangan pendopo untuk memberi sembah kepada lukisan Ong Tiong-yang, yaitu cikal-bakal Coan-cin-kau, lalu masuk lagi ke ruangan berikutnya untuk memberi hormat kepada tujuh kursi yang biasanya menjadi tempat duduk Coan-cin-jit-cu jika berkumpul. Habis itu ia balik lagi ke ruangan pendopo di depan.

Murid Khu Ju-ki yang kedua, yakni Li Ci-siang, lantas mengeluarkan surat keputusan sang ketua dan dibacakan di hadapan orang banyak. Menurut surat keputusan itu, In Ci-peng diperintahkan menerima jabatan ketua. Dengan sendirinya Ci-peng langsung berlutut dan menerima perintah itu dengan perasaan terima kasih dan malu. Sekilas ia melihat Ci-keng berdiri di samping, tampak air mukanya tersenyum mengejek, seketika hati Ci-peng tergetar.

Sesudah menerima surat perintah itu, Ci-peng berdiri dan hendak memberikan kata-kata sambutan sekedarnya, pada saat itulah masuk seorang Tosu penjaga dan melapor:

“Lapor ketua, ada tamu di luar.”

Ci-peng melengak, sama sekali tak dikiranya kalau Siao-liong-li akan berkunjung secara terang-terangan. Dia menjadi bingung bagaimana harus menghadapi si nona? Namun urusan sudah telanjur begini, hendak lari pun sudah tak bisa lagi, terpaksa ia berkata:

“Silakan tamunya masuk ke sini.”

Tosu itu berlari keluar, tidak lama ia masuk lagi dengan membawa dua orang. Tapi semua orang merasa amat heran melihat kedua tamu ini, lebih-lebih Ci-peng, ia tidak tahu untuk maksud apakah kedatangan kedua orang ini. Kiranya kedua tamu ini yang seorang berdandan sebagai perwira Mongol dan seorang lagi adalah Siau-siang-cu yang pernah dilihatnya di markas Kubilai tempo hari.

“Ada titah Sri Baginda Raja untuk memberi anugerah kepada pejabat ketua Coan-cin-kau!” segera perwira Mongol itu berseru lantang. Dia terus maju ke tengah dan mengeluarkan segulungan sutera kuning yang lantas dibentang dan dibacanya: “Pejabat ketua Coan-cin-kau dengan ini dianugerahi sebagai pemimpin besar golongan agama To dengan gelar...” sampai di sini dilihatnya tiada seorang pun berlutut untuk menerima anugerah itu, maka ia lantas berteriak: “Silakan pejabat ketua menerima titah Sri Baginda ini!”

Ci-peng melangkah maju dan memberi hormat kepada perwira itu, lalu berkata: “Saat ini ketua kami Khu-cinjin sedang menyepi, maka untuk sementara waktu Siauto ditugaskan sebagai pejabat ketua. Anugerah raja Mongol ini bukan ditujukan kepadaku maka Siauto tak berani menerimanya.”

“Sri Baginda memberi pesan bahwa Khu-cinjin adalah tokoh yang amat dihormati dan diketahui usianya sudah lanjut serta tidak tahu apakah beliau masih sehat ataukah sudah wafat, sebab itu anugerah ini tidak ditujukan kepada Khu-cinjin melainkan ditujukan kepada pejabat ketua Coan-cin-pay sekarang,” demikian kata perwira Mongol itu dengan tertawa.

“Tapi... tapi Siauto tidak berjasa apa-apa. Sesungguhnya tidak berani menerima anugerah ini,” ujar Ci-peng dengan ragu-ragu.

Tapi perwira itu mendesak. Akhirnya Ci-peng menambahkan: “Karena persoalan ini cukup penting dan datangnya amat mendadak, silakan Tayjin duduk minum sebentar di ruangan dalam, biarlah Siauto mengadakan perundingan dulu dengan para saudara seperguruan.”

Perwira itu tampak kurang senang, tetapi apa boleh buat, terpaksa dia menurut. Bersama Siau-siang-cu mereka lantas dibawa ke ruangan belakang. Ci-peng sendiri lantas mengundang ke-16 murid tertua Coan-cin-kau untuk berunding di ruangan samping. Setelah semua orang duduk, dia berkata:

“Urusan ini sangat penting dan Siauto tak berani memutuskannya sendiri, untuk itu aku ingin mendengar bagaimana pendapat saudara sekalian.”

Segera Ci-keng mendahului bicara: “Maksud baik raja MongoI ini harus kita terima, hal ini menandakan Coan-cin-kau makin jaya, sampai raja Mongol juga tidak berani memandang enteng kepada kita.” Habis berkata, dengan sikap yang gembira ia lantas bergelak tawa.

“Kukira tidak demikian,” Ci-siang turut berbicara. “Bangsa Mongol menyerbu negeri kita, rakyat jelata banyak menjadi korban, mana boleh kita menerima anugerahnya?”

“Dahulu Khu-supek sendiri juga pernah menerima undangan cikal-bakal kerajaan Mongol yang bernama Jengis Khan dan jauh-jauh menuju ke daerah barat, tatkala itu In-ciangkau dan Li-suheng juga turut serta. Berdasarkan kenyataan itu, apa salahnya kalau sekarang kita menerima anugerah raja Mongol?” ujar Ci-keng.

“Waktu itu dan keadaan sekarang jelas sangat berbeda,” jawab Ci-siang. “Ketika itu pihak Mongol hanya memusuhi kerajaan Kim dan belum menyerbu negara kita, dua hal ini mana boleh di sama-ratakan?”

“Cong-Iam-san kita ini termasuk wilayah kekuasaan Mongol, kuil kita juga banyak yang tersebar di daerah kekuasaan pemerintah Mongol. Jika kita menolak anugerah ini, jelas Coan-cin-kau akan segera menghadapi bahaya,” kata Ci-keng lagi.

“Ucapan Thio-suheng ini tidak tepat,” kata Ci-siang.

“Di mana letak tidak tepatnya, coba jelaskan!” seru Ci keng aseran.

“Harap Thio-suheng menjawab dulu, siapakah Tiong-yang Cin-jin, cikal bakal agama kita ini? Dan siapa pula guru kita yang termasuk dalam Coan-cin jit-cu ini?” tanya Li Ci-siang dengan tenang.

“Kakek guru dan Suhu kita adalah para pendeta agama yang setia, mereka adalah tokoh termashur di dunia Kangouw, siapakah yang tidak menghormat dan mengagumi mereka?” jawab Ci-keng.

“Bagus! Malahan dapat kutambahkan, mereka adalah lelaki sejati, pahlawan besar yang cinta negeri dan pembela bangsa, semuanya pernah berjuang mati-matian dan bertempur melawan penyerbu dari negeri Kim!” seru Ci-siang. “Nah, jika angkatan tua Coan-cin-kau kita tiada seorang pun gentar menghadapi musuh, sekarang biar pun Coan-cin-kau akan tertimpa bahaya, kenapa kita harus takut? Harus diketahui bahwa kepala kita boleh saja dipenggal, tapi cita-cita kita tidak boleh luntur!”

Ucapan Ci-siang ini amat tegas dan gagah berani sehingga In Ci-peng dan belasan orang lainnya semua bangkit semangatnya.

“Hm, memangnya cuma Li-suheng saja yang tak takut mati dan kami ini adalah manusia pengecut semua?” jengek Ci-keng. “Yang perlu kukemukakan adalah jerih payah Cosuya (cikal-bakal), bahwa Coan-cin-kau dapat berkembang seperti sekarang ini, betapa banyak Cosuya dan ketujuh guru dan paman guru kita telah mengucurkan darah dan keringatnya? Kalau tindakan kita kurang benar sehingga menghancurkan Coan-cin-kau dalam sekejap mata saja, lalu cara bagaimana kita akan bertanggung-jawab kepada Cosuya di alam baka? Dan cara bagaimana pula kita akan memberi alasan bila kelima guru selesai menyepi nanti?”

Karena ucapannya cukup beralasan, segera ada dua-tiga tosu lain yang mendukungnya. Segera Ci-keng berkata Iagi:

“Bangsa Kim adalah musuh bebuyutan Coan-cin-kau. Bahwa orang Mongol sudah menghancurkan kerajaan Kim, hal ini sungguh cocok dengan tujuan kita. Kalau saja Cosuya mengetahui hal ini, entah betapa beliau akan bergembira.”

Salah seorang murid Khu Ju-ki yang lain, yakni Ong Ci-heng, mendadak ikut bicara: “Jika sehabis menghancurkan kerajaan Kim kemudian orang Mongol bersahabat dengan negeri Song, dengan sendirinya kita akan menerima mereka sebagai negeri tetangga yang terhormat. Tapi sekarang pasukan Mongol menyerbu ke selatan dan sedang menggempur Siang-yang. Tanah air kita sedang terancam bahaya, dan kita adalah rakyat jelata Song Raya, mana boleh menerima anugerah raja pihak musuh?”

Sampai di sini ia terus berpaling kepada In Ci-peng dan menegaskan: “Ciangkau-suheng (kakak guru pejabat ketua), kalau saja engkau menerima anugerah raja MongoI, itu berarti engkau adalah penghianat bangsa, orang berdosa dalam agama kita. Untuk itu sekali pun aku orang she Ong harus mengalirkan darah takkan mengampuni kau.”

Mendadak Thio Ci-keng berdiri sambil menggebrak meja, bentaknya: “Ong-sute, apakah kau ingin main kasar? Kau berani bersikap kurang ajar begini terhadap pejabat ketua?”

“Yang kita utamakan adalah kebenaran, kalau perlu main kasar, memangnya aku takut padamu?” jawab Ong Ci-heng dengan suara keras.

Karena sama-sama ngotot, tampaknya kedua pihak segera akan main kepalan dan adu senjata. Tiba-tiba seorang Tosu bertubuh pendek kecil membuka suara:

“Sungguh sayang bahwa di antara kita sendiri harus berbeda pendapat. Padahal keadaan sekarang berbeda dengan masa dahulu. Waktu itu Siaute juga ikut ke barat bersama Suhu untuk menemui Jengis Khan, dan menyaksikan sendiri keganasan prajurit Mongol. Jika sekarang kita menerima anugerah dan menyerah pada Mongol, ini berarti kita membantu pihak yang lalim dan ikut berbuat jahat.”

Tosu pendek kecil ini bernada Song Tek-hai, dia termasuk salah seorang dari ke-18 anak murid yang ikut Khu Ju-ki melawat ke Mongol dahulu.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar