Senin, 13 September 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 122

Sementara itu berpuluh jarum berbisa Siao-liong-li telah menancap semua pada tubuh Ciu Pek-thong. Mau-tak-mau nona itu merasa menyesal karena orang yang sudah mati masih harus tersiksa oleh jarumnya itu. Di luar dugaan, mendadak Ciu Pek-thong berteriak:

“Aduh, sakitnya! Barang apa lagi yang menggigit aku ini?”

Keruan Siao-liong-li kaget dan girang, cepat ia tanya: “Ciu Pek-thong, jadi kau belum mati?” Dasar nona yang masih polos dan tidak tahu tata kehidupan, sama sekali ia tidak paham bagaimana seharusnya memanggil seorang tua seperti Ciu Pek-thong, maka langsung saja ia sebut namanya.

Ciu Pek-thong menjawab: “Tadi rasanya sudah mati, tetapi sekarang hidup kembali. Entah matinya kurang beres atau hidupnya belum cukup?”

“Syukurlah kalau kau tidak mati,” ujar Siao-liong-li. “Hoat-ong itu sangat ganas, aku tidak dapat menandingi dia.” Segera dia keluarkan batu sembrani untuk mencabuti jarum-jarum yang menancap di tubuh Ciu Pek-thong.

Ciu Pek-thong mencaci-maki: “Bangsat Hoat-ong itu sungguh pengecut, selagi aku mati belum siuman kembali, dia malah mencocoki aku dengan jarum sehalus ini.”

Dengan tersenyum Siao-liong-li menjelaskan: “Ciu Pek-thong, akulah yang mencocoki kau dengan jarum ini.” Secara ringkas ia ceriterakan pertarungan tadi, kemudian ditambahkan pula: “Jarumku ini berbisa, apakah kau kesakitan?”

“O, tidak, malahan rasanya sangat enak, coba kau cocoki aku lagi,” jawab Ciu Pek-thong.

Tentu saja Siao-liong-li menyangka orang tua ini cuma bergurau. Ia lantas mengeluarkan satu botol porselen kecil dan berkata:

“lni adalah madu tawon yang khusus dapat menyembuhkan racun jarumku, coba kau minum sedikit.”

“Tidak, tidak!” Ciu Pek-thong menggeleng. “Enak rasanya jika dicocoki oleh jarummu, rasanya jarum ini adalah lawan laba-laba berbisa ini.”

Siao-liong-li tidak sependapat, tetapi orang tidak mau menerima, maka ia pun tidak dapat memaksa. Ia pikir lwekang orang tua ini sukar diukur, racun laba-laba itu saja tidak dapat membunuhnya, tentu juga tidak akan berhalangan kalau hanya terkena racun jarum tawon putih.

Padahal racun tawon itu meski cukup lihay, tetapi juga dapat digunakan menyembuhkan macam-macam penyakit seperti encok dan lain-lainnya, sebab itulah tiada peternak tawon yang mengidap penyakit encok. Namun Siao-liong-li dan Ciu Pek-thong tidak paham ilmu pengobatan, mereka tidak tahu racun dapat menawarkan racun, ternyata racun laba-laba dalam tubuh Ciu Pek-thong telah banyak dipunahkan oleh racun jarum tawon.

Dari luar goa Kim-lun Hoat-ong dapat mendengar suara pembicaraan Ciu Pek-thong, terdengar suaranya penuh tenaga seperti orang sehat, tentu saja Hoat-ong kaget, ia pikir apakah orang ini memiliki tubuh malaikat sehingga tidak mempan segala macam racun? Mumpung tenaga dalam orang ini belum pulih seluruhnya, dia harus segera kubinasakan, kalau tidak kelak pasti akan mendatangkan bahaya besar. Akan tetapi sepasang rodanya sudah terlempar ke dalam goa, terpaksa dia putar tali sutera berkelening milik Siao-liong-li dan berseru:

“Nona Liong, kupinjam saja senjatamu ini.” Sekuatnya dia ayun tali sutera itu ke dalam goa.

Karena ilmu silatnya sudah mencapai tingkatan yang tiada taranya, segala jenis senjata dapat dimainkan dengan sesuka hati, maka tali sutera itu pun dapat digunakannya sebagai cambuk, bahkan sangat baik untuk menyerang dari jauh dan tidak perlu lagi kuatir disambit oleh jarum berbisa Siao-liong-li. Seketika timbul hati kanak-kanak Siao-liong-li. Dia pun jemput roda emas dan perak milik Kim-lun Hoat-ong.

“Crengg...!” dia benturkan kedua roda sehingga menerbitkan suara nyaring, lalu berseru: “Baik, kita boleh bertukar senjata dan bertempur lagi.”

Tapi baru saja dia mengangkat kedua roda itu, ternyata bobotnya luar biasa, terlalu berat baginya untuk digunakan. Rupanya roda emas itu terbuat dari emas murni, beratnya lebih 30 kati, terpaksa Siao-liong-li menarik kedua roda itu untuk menjaga di depan dada.

Hoat-ong melihat kesempatan baik, segera dia menubruk maju, tangannya meraih hendak merebut kedua rodanya. Tapi Siao Iiong-li lantas menyurut mundur satu langkah, berbareng roda perak yang lebih enteng itu disambitkan. Sebenarnya sambitan roda perak ini cuma gertakan saja, pada saat lain segera ia pun menghamburkan lagi berpuluh Giok-hong-ciam. Jarum-jarum ini berasal dari tubuh Ciu Pek-thong yang dicabutnya, kadar racunnya sudah hilang, andaikan tercocok juga tidak beralangan. Akan tetapi Hoat-ong sudah kapok, dia tak berani menangkap roda perak melainkan terus melompat mundur ke atas sehingga terluput dari tancapan jarum-jarum itu.

Ciu Pek-thong bergelak tertawa dan berseru. “Bagus, apa bila bangsat gundul itu berani mendekat bolehlah kau serang dia dengan jarum. sebentar kalau tenagaku sudah pulih, segera aku keluar menangkapnya dan nanti kita gebuki pantatnya.”

“Tapi, ahh, jarumku sudah habis sama sekali,” kata Siao-liong-li.

“Wah, kalau begitu bisa konyol,” ujar Ciu Pek-thong sambil garuk-garuk kepala.

Kedua orang, yang satu tua bangka dan yang lain muda jelita, mereka sama-sama lugu dan polos, sama sekali tidak punya pikiran buruk terhadap orang lain, apa yang mereka pikirkan, itu pula yang mereka ucapkan. Sebaliknya Kim-lun Hoat-ong adalah manusia yang cerdik dan banyak tipu akal, hanya dia tidak kenal watak Ciu Pek-thong dan Siao-liong-li, ia tidak percaya bahwa di dunia ini ada orang yang mau berterus terang akan kelemahannya sendiri.

Menurut jalan pikirannya, kalau kedua orang itu mengatakan jarumnya habis, tentu sebaliknya dan sengaja memancing dia mendekat untuk kemudian menyerangnya dengan cara yang tidak terduga, Apa lagi kalau teringat pada kedua kaki Nimo Singh yang sudah buntung akibat terkena jarum berbisa Li Bok-chiu, betapa pun dia masih ngeri dan setiap tindakannya menjadi lebih hati-hati.



Sesudah berkutak-kutek sekian lama, lambat laun fajar pun menyingsing. Ciu Pek-thong duduk bersila dan mengerahkan tenaga dalamnya untuk mendesak keluar sisa racun yang masih mengeram dalam tubuhnya. Tetapi racun laba itu sungguh ganas luar biasa, setiap kali ia mengerahkan tenaga dada terasa sesak dan muak, sekujur badan juga terasa gatal pegal, kalau diam saja tanpa mengerahkan tenaga malah terasa aman. Ia mencoba beberapa kali namun tetap begitu, akhirnya ia putus asa dan berkata:

“Racun laba ini rasanya sukar disembuhkan.”

Sudah tentu Hoat-ong yang mengintai di luar goa tidak tahu kesukaran Ciu Pek-thong ini, sebaliknya dia menjadi kuatir melihat orang tua itu sedang menghimpun tenaga. Tiba-tiba timbul akalnya yang keji, segera ia mengeluarkan kotak berisi laba panca warna itu. Begitu tutup kotak dibuka, terlihatlah belasan ekor laba-laba ber-gerak dengan warna warni yang menarik.

Hoat-ong mengambil satu jepitan terbuat dari tungu badak, dengan jepitan itu dijepitnya seutas benang laba lantas dikibaskan perlahan. Benang lipas itu membawa serta seekor laba loreng yang kemudian menempel pada dinding muIut goa sebelah kiri. Beberapa kali Hoat-ong berbuat dengan cara yang sama, ia lepaskan seluruh laba-laba itu, setiap ekor membawa seutas benang lipas hingga penuh menempel di sekitar mulut goa.

Mungkin sudah lama laba itu tidak diberi makan sehingga tentu saja kelaparan dan perlu segera mencari mangsa, maka dalam waktu singkat saja kawanan laba-laba ini membuat sarang di mulut goa dan hanya sebentar saja mulut goa sudah tertutup oleh bentangan belasan sarang laba-laba. Kalau laba loreng itu sangat berbisa, tentu sarangnya itu juga berbisa, dengan demikian Siao-liong-li dan Ciu Pek-thong kini menjadi terkurung di dalam goa.

Waktu kawanan laba itu membuat sarang, Siao-liong-li dan Ciu Pek-thong sangat tertarik dan hanya menonton belaka tanpa peduli, sampai akhirnya lubang goa yang cukup lebar itu penuh dengan sarang laba, sedangkan laba berbisa berwarna loreng pun merayap kian kemari.
“Sayang jarumku telah habis, kalau tidak tentu akan kubersihkan semua,” ujar Siao-liong-li dengan suara tertahan.

Segera Ciu Pek-thong menjemput sepotong kayu dan bermaksud membobol sarang laba itu, tapi mendadak terlihat seekor kupu-kupu besar terbang mendekat dan tahu-tahu telah terperangkap sarang laba. Seharusnya serangga yang terjebak sarang itu akan meronta-ronta dan sebisanya berusaha lari dengan membobol sarang, tapi kupu-kupu yang besar ini seketika tak bisa bergerak lagi begitu lengket dengan benang sarang laba-laba itu. Karena itulah cepat Siao-liong-li berseru kepada Ciu Pek-thong:

“Awas, jangan mendekatinya, sarang itu pun berbisa!”

Ciu Pek-thong terkejut, cepat ia mundur kembali. Ia pikir tenaga sendiri sukar dipulihkan dalam waktu singkat, boleh juga duduk lagi lebih lama di dalam goa ini.


SATU ORANG DUA PERANAN

Tetapi Siao-liong-li menjadi gelisah. Dia tidak tahu keadaan yang serba tak biasa ini entah akan berlangsung hingga kapan, apa lagi tidak diketahui sisa racun dalam tubuh orang tua ini apakah sudah terkuras bersih atau belum. Karena itu ia lalu bertanya:

“Ciu Pek-thong, caramu mengerahkan tenaga menguras racun apakah cukup sehari semalam Iagi?”

Ciu Pek-thong menggeleng, jawabnya: “Wah, jangankan cuma sehari semalam, biar pun seratus hari seratus malam juga tak berguna.”

“Ahh, lalu bagaimana baiknya?” kata Siao-liong-li kuatir.

“Kalau saja bangsat gundul itu mau mengantar rangsum kepada kita, apa jeleknya kalau kita tinggal beberapa tahun lagi di sini?” ujar Ciu Pek-thong tertawa.

Siao-liong-li menghela napas, katanya: “Apa bila Yo Ko berada di sini, sekali pun tinggal selamanya aku mau.”

Ciu Pek-thong menjadi marah, dia berseru: “Persetan dengan Yo Ko segala, memangnya orang seperti aku ini kurang menarik dibandingkan Yo Ko? Apakah ilmu silatnya lebih tinggi dariku? Kurang apa lagi jika aku yang menemani kau di sini?”

Pada dasarnya kedua orang ini lugu dan polos, sebab itulah meski ucapan Ciu Pek-thong rada-rada tak genah, tapi Siao-liong-li juga tidak ambil pusing. Dengan tersenyum dia menjelaskan:

“Soalnya Yo Ko mahir memainkan ilmu pedang Coan-cin-pay yang lihay, kalau dia main berpasangan dengan aku akan dapat mengalahkan Hwesio Tibet ini.”

“Ha-ha-ha-ha, kalau bicara tentang ilmu pedang Coan-cin-pay, memangnya si Yo Ko bisa melebihiku?” ujar Ciu Pek-thong dengan tertawa.

“Tapi permainan ganda kami ini disebut Giok-li kiam-hoat, untuk ini harus cinta mencintai antara dia dan aku, dengan adanya paduan perasaan barulah bisa mengalahkan musuh,” tutur Siao-liong-li.

Bicara tentang cinta, seketika hati Ciu Pek-thong kebat-kebit. Cepat dia menggeleng dan berkata:

“Stop... stop! Jangan kau ucapkan lagi. Hanya ingin kukatakan kepadamu bahwa tinggal selama beberapa tahun di goa ini, sebenarnya bukan soal. Dulu aku pernah berdiam di goa di Tho hoa-to selama belasan tahun, aku sendirian tanpa seorang teman sehingga terpaksa aku berkelahi dengan diriku sendiri. Tapi sekarang kita tinggal berdua, bisa berbicara dan dapat tertawa, keadaan sangat berbeda.”

“Aneh sekali, berkelahi dengan dirinya sendiri, bagaimana caranya?” tanya Siao-liong-li terheran-heran.

Ciu Pek-thong sangat senang ada orang yang tertarik pada kepandaiannya yang khas. Segera dia menjelaskan secara ringkas ilmu ciptaannya, yakni cara berkelahi dengan tangan kanan melawan tangan kiri satu orang melakonkan peran dua orang. Hati Siao-Iiong-li tergerak. Ia pikir kalau ilmu aneh ini dapat kupelajari, dengan tangan kiri kumainkan Coan-cin-kiam-hoat dan tangan kanan memainkan Giok-li-kiam-hoat, sehingga jadilah gabungan ilmu pedang dari dua orang. Hanya saja kepandaian khas ini mungkin sukar dipelajari dalam waktu singkat. Segera ia bertanya:

“Apakah ilmu ini sukar dipelajari?”

“Dibilang sukar memang sangat sukar, dikatakan mudah juga sangat mudah,” ujar Ciu Pek-thong. “Ada orang ingin belajar, tapi selama hidup tak berhasil, sebaliknya ada orang yang dapat mempelajarinya dengan baik hanya dalam waktu beberapa hari saja, Nah, kau kenal suami isteri yang bernama Kwe Ceng dan Oey Yong bukan?”

Siao-liong-li mengangguk.

“Nah, coba katakan, siapa yang lebih pintar di antara mereka suami dan isteri itu?”

“Kwe-hujin sangat pintar dan cerdas, diberi-tahu satu segera paham seratus. Menurut Ko-ji, katanya di jaman ini mungkin tiada manusia lain yang lebih cerdas dari padanya. Ada pun Kwe tayhiap memang tinggi ilmu silatnya, tapi soal kecerdasan biasa saja.”

“Hanya biasa apa?” ujar Ciu Pek-thong dengan tertawa. “Lebih tepat dikatakan goblok. Nah, coba katakan, aku ini pintar atau goblok?”

“Kau sudah tua, tetapi masih ketololan dan dari cara bicaramu juga angin-anginan,” jawab Siao-liong-li tertawa.

“Benar, ucapanmu memang tidak salah,” kata Pek-thong, “llmu kanan kiri saling berkelahi adalah hasil pemikiranku, kemudian kuajarkan adik Kwe dan cuma beberapa hari saja sudah dikuasainya. Lalu dia mengajarkan lagi kepada isterinya, tapi apakah yang terjadi? Ha-ha-ha, jangan kau kira si Oey Yong itu pintarnya seperti setan, sebab ilmu ciptaanku itu justru tidak berhasil dipelajari olehnya. Tadinya kukira Kwe Ceng keliru mengajar, maka aku sendiri memberi petunjuk, namun pada pelajaran pertama saja dia gagal, coba, kan aneh dan lucu toh?”

“Bagaimanakah pelajaran pertama ilmu kepandaianmu itu?” tanya si nona.

“Pertama adalah ‘tangan kiri melukis persegi dan tangan kanan menggambar bundaran’, tapi biar pun berulang-ulang dia menggambar tetap tidak jadi, Sebab ituIah kukatakan ada orang segera berhasil sekali belajar, tetapi juga ada yang belajar selama hidup tetap tidak menguasai. Mungkin semakin pintar orangnya semakin tidak jadi.”

“Masakah di dunia ini ada orang bodoh lebih unggul belajar kepandaian dari pada orang pintar? Heh, aku tidak percaya,” kata Siao-liong-li.

Dengan tertawa Ciu Pek-thong berkata: “Kulihat kecerdasanmu dan kecantikanmu seimbang dengan si Oey Yong, ilmu silatmu juga tidak berselisih jauh dari pada dia. Kalau kau tak percaya, sekarang kau boleh coba melukis sebuah persegi dengan tangan kirimu dan berbareng menggambar sebuah bundaran dengan tangan kananmu.”

Siao-liong-li ingin mencobanya. Segera dia mengulurkan kedua jari telunjuk dari kedua tangannya dan berbareng menggambar di tanah, tapi hasilnya memang sangat mengecewakan, gambar persegi lebih tepat dikatakan jorong dan gambar bundaran malah mirip persegi. Ciu Pek-thong terbahak-bahak, katanya:

“Nah, apa kataku tadi? Kau anggap dirimu amat pintar, nyatanya pekerjaan sepele begitu juga tidak bisa.”

Siao-liong-li tersenyum, ia coba menghimpun semangat dan memusatkan pikiran, lalu ia mengulurkan kedua jari dan sekenanya menggambar lagi sebuah persegi dan sebuah bundaran, sekali ini perseginya benar-benar persegi dan yang bundar benar-benar bundar-dar.

“He, kau... kau...” tidak kepalang kejut Ciu Pek-thong.

Sejenak kemudian baru disambungnya kembali: “Apakah sebelum ini kau sudah pernah mempelajarinya?”

“Belum pernah,” jawab Siao-liong-li. “Memangnya apa sulitnya?”

“Habis cara bagaimana kau bisa melukisnya sebaik ini?” ujar Ciu Pek-thong sambil garuk-garuk kepala.

“Aku sendiri pun tak tahu caranya,” jawab Siao-liong-li. “Yang pasti aku tidak memikirkan apa-apa dan sekali jariku menggores lantas jadi.”

Segera dia memberi demonstrasi lagi, kembali kedua tangannya mencorat-coret di tanah, tangan kiri menulis ‘Lo-wan-tong’ dan tangan kanannya menulis ‘Siao-Iiong-li’, kedua tangan menulis berbareng, tulisannya rajin dan indah laksana tertulis dengan satu tangan saja. Ciu Pek-thong menjadi girang sekali, katanya:

“Wah, tampaknya kepandaian ini telah kau pelajari sejak kau berada dalam kandungan ibumu.”

BegituIah Ciu Pek-thong lalu mengajari Siao-liong-li ilmu berkelahi ‘Satu orang melakukan dua peranan’, kalau tangan kiri menyerang tangan kanan bertahan dan begitu pula sebaliknya. Dia ajarkan seluruhnya kepada si nona segenap teori kanghu (Kungfu) hasil pemikirannya ketika terkurung di goa Tho-hoa-to dahulu. Sesungguhnya Kanghu ciptaan Ciu Pek-thong ini kuncinya terletak pada ‘Hun-sim-ji-yong’ (membagi perhatian untuk dua peranan). Karena itu orang yang cerdik pandai, orang yang banyak berpikir dan suka berpikir, justru sulit disuruh belajar ilmu berkelahi ini.

Ada pun Siao-liong-li sejak kecil sudah digembleng menghilangkan perasaan dan napsu, ilmu dasar itu sudah terpupuk dengan kuat, meski kemudian dia jatuh cinta kepada Yo Ko hingga banyak mengganggu ilmunya, tapi sekarang hatinya lagi terluka dan membuat dia patah hati dan putus asa, maka sebagian besar ilmunya yang sudah dikuasainya pulih kembali. Dalam keadaan lapang pikiran dan benak kosong, sedikit diberi petunjuk oleh Ciu Pek-thong segera dapat dipahaminya.

Ciu Pek-thong sendiri belum sembuh, tapi ia dapat memberi petunjuk dengan ucapan dan gerakan tangan secara mengasyikkan, sedangkan Siao-liong-li juga tertarik dan berulang-ulang mengangguk sambil merentangkan tangan kanan menggunakan Giok-li-kiam-hoat dari Ko-bong-pay dan tangan kiri mempergunakan Coan-cin-kiam-hoat dari Coan-cin-pay, hanya dalam waktu beberapa jam saja sudah dapat dipahami seluruhnya.

“Cukupkah, aku telah paham semuanya,” kata Siao-liong-li, kedua tangannya lantas mainkan beberapa jurus dan ternyata sangat tepat tanpa kesalahan.

Keruan Ciu Pek-thong melongo bingung, ber-ulang ia menyatakan herannya. Dalam pada itu Kim-lun Hoat-ong dan Thio Ci-keng masih berjaga-jaga di luar goa. Mereka cuma mendengar suara Ciu Pek-thong dan Siao-liong-li yang berbicara tak henti-nya hingga sekian lama, ada omong ada tawa, sedikit pun tak merasa kesal sebagaimana orang tahanan umumnya. Tentu saja mereka pun heran. Mereka mencoba pasang kuping ikut mendengarkan, tetapi secara terputus mereka hanya dapat menangkap beberapa kalimat pembicaraan Ciu Pek-thong berdua, malahan sama sekali tidak paham arti ucapannya.

Suatu ketika Siao-liong-li berpaling dan kebetulan melihat Hoat-ong dan Ci-keng sedang melongak-longok ke dalam goa seperti maling mengincar jemuran. Segera dia bangkit dan mengajak Ciu Pek-thong:

“Mari kita pergi.”

“Ke mana?” tanya Pek-thong melengak.

“Keluar sana dan membekuk bangsat gundul itu untuk memberikan obat penawar padamu.”

“Apakah kau yakin dapat mengalahkan dia?” Ciu Pek-thong bertanya sambil menarik-narik janggutnya sendiri.

Belum lagi Siao-liong-li menjawab, tiba-tiba terdengar suara mengaungnya tawon, seekor tawon madu tampak terjebak dalam sarang laba di mulut goa dan meronta berusaha melepaskan diri. Kalau tadi kupu-kupu yang besar itu seketika mati begitu menyentuh benang sarang laba, ternyata tawon madu yang kecil ini tidak takut pada racun laba-laba loreng. Sesudah meronta-ronta, akhirnya sarang laba itu malah kebobolan satu lubang. Seekor laba loreng mengawasi dengan garangnya dekat tawon kecil itu, tapi tidak berani maju.

Dahulu ketika tinggal di kuburan kuno, Siao-liong-li pernah memelihara gerombolan tawon madu dan bisa menguasainya dengan baik, malahan dia menganggap kawanan tawon itu sebagai sahabat baik. Sekarang melihat tawon kecil terperangkap, dia menjadi tidak tega dan ingin menolong. Tiba-tiba saja terpikir olehnya:

“Meski bentuk laba ini sangat menakutkan, tetapi tawonku mungkin tidak takut padanya.”

Segera dia keluarkan botol porselen dan membuka tutupnya, dia kerahkan tenaga dalam sehingga hawa panas tersalur dari telapak tangannya ke botol itu. Hanya sebentar saja Siao-liong-li menggenggam botol kecil itu, lalu teruar bau harum madu tawon keluar goa menembus sarang laba.

Ciu Pek-thong menjadi heran dan bertanya: “Apa yang kau lakukan?”

“Ini permainan sulap yang menarik, kau ingin tahu tidak?” jawab Siao-liong-li.

“Wah, bagus, bagus sekali” seru Pek-thong kegirangan. “Tapi sulapan apakah itu?”

Siao-liong-li hanya tersenyum saja tanpa menjawab, diam-diam dia mengerahkan tenaga dalamnya lebih kuat untuk menambah panasnya botol porselen supaya bau harum madu teruar lebih cepat dan lebih keras. Tatkala itu adalah musim panas, bunga hutan di lembah pegunungan sedang mekar semerbak, di mana-mana terdapat gerombolan tawon liar yang mencari sari bunga. Ketika mencium bau harum madu, serentak kawanan tawon membanjir dari segenap penjuru.

Setiap tawon semua menerjang ke dalam goa, tetapi begitu menempel benang jaring laba lantas melengket dan berontak sekuatnya untuk membebaskan diri. Ada sebagian tergigit mati oleh laba berbisa itu, namun ada juga tawon yang sempat menyengat tubuh laba. Meski laba adalah makhluk maha berbisa tapi hukum alam selalu bekerja, makhluk yang satu dimatikan oleh makhluk yang lainnya, dan agaknya tawon adalah musuh besar laba itu. Begitu tersengat dan kena racun tawon, per-lahan laba itu pun kaku dan akhirnya mati.

Demikianlah terjadi perang tanding antara kawanan tawon dengan laba berbisa. Yang paling senang adalah Ciu Pek-thong, dia ber-jingkrak kegirangan menonton pertempuran yang aneh, sebaliknya Kim-lun Hoat-ong dan Ci-keng yang berada di luar goa menjadi melongo kesima dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.

Waktu itu kawanan laba masih di atas angin, hanya dua ekor saja yang mati, sebaliknya kawanan tawon telah binasa beberapa puluh ekor. Namun tawon liar itu makin membanjir, semula cuma beberapa ekor saja, kemudian beberapa puluh, bertambah lagi menjadi beberapa ratus dan akhirnya beribu-ribu. Hanya sekejap saja jaring laba yang memenuhi mulut goa itu menjadi bobol sama sekali, belasan ekor laba berbisa itu mampus semua tersengat tawon.

Ci-keng sudah merasa kapok karena dahulu pernah merasakan siksaan akibat sengatan tawon, maka begitu melihat gelagat jelek, dia segera mengeluyur ke semak-semak pohon. Hoat-ong sendiri cuma menyayangkan matinya laba-laba itu. Kehancuran barisan laba yang sukar dimengerti itu dikiranya karena dikerubuti kawanan tawon liar, dia pikir mungkin tawon suka bergerombol dan bersatu menghadapi musuh bersama sehingga kawanan laba dibinasakan seluruhnya. Dia tidak tahu bahwa datangnya gerombolan tawon itu sebenarnya sengaja dipancing oleh bau madu yang disiarkan oleh Siao-liong-li.

Malahan Hoat-ong memikirkan pula cara bagaimana agar dapat memaksa Ciu Pek-thong dan Siao-liong-li keluar goa untuk kemudian dibinasakan semua. Namun Siao-liong-li sudah bertindak lebih dulu. Dengan kuku jarinya dia mencukil sedikit madu tawon lalu disentilkan ke arah Hoat-ong, lalu jari telunjuk menuding ke kanan sekali dan ke kiri sekali, berbareng mulutnya juga membentak-bentak dua kali. Tiba-tiba kawanan tawon yang beribu-ribu jumlahnya itu menyambar keluar goa, ke arah Hoat-ong.

Keruan kaget Hoat-ong tidak kepalang, cepat ia membalik tubuh dan sekuatnya melompat hingga beberapa meter jauhnya. Ginkang-nya memang telah mencapai tingkatan maha tinggi, betapa pun cepat terbang kawanan tawon ternyata masih kalah cepat dari pada lompatan Hoat-ong dan sekejap saja dia sudah jauh meninggalkan kejaran kawanan tawon. Karena tidak dapat menyusul sasarannya, kawanan tawon itu pun lantas buyar sendiri-sendiri. Ber-uIang Siao-liong-li membanting kaki dan menyatakan sayang.

“Sayang apa?” tanya Ciu Pek-thong.

“Dia berhasil kabur, kita tidak dapat lagi merebut obat penawarnya,” kata Siao-liong-li.

Kiranya tadi Siao-liong-li mengerahkan kawanan tawon hendak mengurung Kim-lun Hoat-ong dari kanan dan kiri, tidak terpikir olehnya bahwa kawanan tawon itu bergabung secara liar dan bukan berasal dari satu sarang, dengan sendirinya tidak penurut sebagaimana tawon putih di kuburan kuno. Apa bila sekedar disuruh mengejar dan menyengat musuh sih bisa saja, tetapi lebih dari itu jelas tidak mungkin.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar