Senin, 13 September 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 121

Kira-kira beberapa li dari perkemahan terdapat beberapa buah bukit. Dengan cara jalan cepat, sekejap mereka sudah sampai di tempat tujuan.

“Marilah kita mencari sebuah goa sebagai tempat menyimpan panji,” kata Hoat-ong.

Bukit pertama tandus dan tidak ada goa. Berturut-turut mereka melintasi dua-tiga bukit, sampai bukit ketiga yang banyak pepohonan, malahan banyak pula goanya.

“Bagus sekali bukit ini,” ujar Hoat-ong. Dilihatnya di antara celah-celah dua batang pohon besar ada sebuah goa, mulut goa teraling-aling oleh pohon sehingga tidak mudah terlihat. Segera dia berkata: “Nah, ingatlah tempat ini, aku sembunyikan panji di dalam goa ini, malam nanti kalau Ciu Pek-thong datang boleh kau membawanya ke sini.”

Dengan gembira Ci-keng mengiyakan saja. Dia mengamat-amati pula kedua pohon besar dan ingat baik-baik tempat itu, dia pikir pasti takkan salah. Setiba kembali di perkemahan, setelah makan malam, Ci-keng berusaha mengajak bicara Ci-peng, tapi Ci-peng masih lesu saja dan sungkan bicara.

Sementara itu malam tiba. Mendekati tengah malam, Ci-keng ngeluyur keluar dan duduk di samping sebuah gundukan pasir. Penjaga berkuda meronda kian kemari dengan ketat, dalam hati dia sangat kagum akan kepandaian Ciu Pek-thong yang maha sakti, di tengah penjagaan sekeras ini orang tua itu ternyata mampu datang dan pergi sesukanya dan berhasil mencuri panji kebesaran Kubilai.

Suasana sunyi senyap, langit membiru kelam hanya kelap-kelip bintang yang jarang. Tiba-tiba terpikir oleh Ci-keng: “Kalau apa yang dikatakan Hoat-ong terlaksana, tiga bulan kemudian aku akan menjadi ketua Coan-cin-kau, ketika itu namaku akan termashur di segenap penjuru, beribu Tokoan (kuil agama To) dengan penganut yang tidak terhitung jumlahnya akan tunduk semua kepada perintahku Hmm, tatkala itu kalau mau mencabut nyawa bocah she Yo boleh dikatakan mudah seperti merogoh barang di saku sendiri.”

Begitulah makin dipikir semakin senang hatinya sehingga dia berdiri dan memandang jauh ke sana. Samar-samar tampak Siao-liong-li masih duduk di bawah pohon, segera terpikir pula olehnya: “Nona Liong itu memang cantik luar biasa dan setiap orang pasti suka padanya, pantas Ci-peng edan kasmaran padanya. Tapi seorang ksatria sejati yang mengutamakan tugas besar mana boleh hilang akal dan tergoda oleh kecantikan wanita?”

Pada saat itulah mendadak terlihat sesosok bayangan orang berlari datang dengan cepat sambil menyusuri kian kemari di antara perkemahan, hanya sekejap saja bayangan itu sudah sampai di bawah tiang bendera. Orang itu berjubah longgar, jenggotnya yang putih bergontai tertiup angin, siapa lagi kalau bukan Ciu Pek-thong.

Melihat tiang kosong tiada benderanya, Pek-thong terkesiap. Tadinya dia menyangka Kim-lun Hoat-ong pasti menyembunyikan jago-jago di sekitar situ untuk mencegatnya dan inilah yang dia harap, sebab dengan demikian dia dapat berkelahi sepuasnya. Siapa tahu tiang bendera itu kosong. Dia coba memandang sekeliling, tampak beribu-ribu kemah berderet dan ke mana harus mencari panji kebesaran Kubilai.

Cepat Ci-keng menyongsong ke depan. Baru saja ia hendak menyapa, tapi lantas terpikir jika begitu saja dia memberi-tahu tempat bendera itu, pasti malah akan menimbulkan rasa sangsi orang. Sebaiknya biarkan saja orang tua itu mencari dengan kelabakan, nanti bila sudah tak dapat menemukannya barulah aku muncul, dengan begitu dia baru merasakan betapa berharganya bantuanku dan pasti akan sangat berterima kasih.

Segera dia sembunyi di balik sebuah kemah mengawasi gerak-gerik Ciu Pek-thong. Dilihatnya sekali lompat saja orang tua itu sudah memanjat ke atas tiang bendera, hanya beberapa kali kedua tangannya bekerja, segesit kera pucuk tiang bendera sudah dicapainya. Diam-diam Ci-keng melongo kaget, padahal usia Ciu Pek-thong sedikitnya sudah lebih dari 90 kalau belum genap seabad, tapi gerak-geriknya masih gesit dan tangkas seperti orang muda, sungguh luar biasa!

Setiba di atas pucuk tiang bendera Ciu Pek-thong memandang sekelilingnya, yang terlihat cuma ribuan panji kecil yang berkibaran, hanya panji besar milik Kubilai itulah yang tidak terlihat. Ia menjadi marah dan berteriak:

“Hai, Kim-lun Hoat-ong, di mana kau sembunyikan Ongki (panji raja) itu?”

Bcgitu keras dan nyaring suaranya hingga berkumandang sampai jauh dan didengar oleh segenap prajurit Mongol, bahkan suara kumandang juga sayup-sayup terdengar membalik dari kejauhan sana.

Sebelumnya Hoat-ong sudah lapor kepada Kubilai tentang urusan ini, maka perkemahan pasukan Mongol itu tetap sunyi senyap biar pun mendengar suara teriakan Ciu Pek-thong.

Terdengar Ciu Pek-thong menggembor kembali. “Wahai, Kim-lun Hoat-ong, jika kau tidak menjawab, akan kumaki kau!”

Selang sebentar kemudian dan tetap tiada orang menggubris, segera saja Ciu Pek-thong mencaci-maki

“Kim-lun busuk, Hoat-ong anjing, kau ini ksatria macam apa? Engkau lebih tepat disebut kura-kura yang mengerutkan kepala!”

Sekonyong-konyong di sebelah timur sana ada orang berseru: “Lo-wan-tong, Ongki yang kau cari berada di sini, kalau mampu boleh kau mencurinya!”

Secepat terbang Ciu Pek-thong melayang turun kemudian berlari ke sana sambil membentak:

“Kemana?!”

Tapi sesudah berseru, orang itu tidak bersuara lagi. Sambil memandangi kemah yang tidak terhitung banyaknya, Ciu Pek-thong merasa bingung tidak tahu cara bagaimana harus bertindak. Pada saat itulah mendadak di sebelah barat ada suara melengking teriakan orang macam menguiknya babi disembelih:

“Ongki berada di sini!”

Seperti orang kesetanan Ciu Pek-thong memburu ke sana. Suara orang itu masih terdengar tanpa berhenti, tapi makin lama semakin lirih dan akhirnya lenyap tak terdengar lagi. Dengan ter-bahak Ciu Pek-thong berteriak:

“Ha-ha-ha, Hoat-ong busuk, memang kau sengaja main kucing-kucingan dengan aku ya? Ha-ha, sebentar kalau kubakar perkemahan kalian ini barulah kau tahu rasa!”

Diam-diam Ci-keng kuatir. Kalau betul orang tua ini main bakar, urusan bisa berubah runyam. Cepat dia melompat keluar dari tempat sembunyinya lantas mendesis:

“Ssstt...! Ciu-susiokco, tidak boleh main bakar.”

“Eh, kau, Tosu kecil!” tegur Pek-thong. “Kenapa kau bilang tidak boleh main bakar?”

“Mereka justru sengaja memancing kau agar menyalakan api,” demikian Ci-keng sengaja membual. “Di perkemahan ini penuh tersimpan bahan peledak, sekali engkau menyalakan api, semuanya akan meledak dan badanmu akan hancur lebur.”

Ciu Pek-thong menjadi kaget dan memaki. “Keji juga muslihat busuk mereka!”

Ci-keng girang karena orang tua itu percaya pada ocehannya. Segera ia berkata pula: “Cucu murid mengetahui muslihat mereka dan kuatir Susiokco terjebak, maka sejak tadi hati cucu murid sangat cemas dan gelisah, sebab itulah kutunggu di sini.”

“Wow, baik hati juga kau,” ujar Ciu Pek-thong. ”Untung kau memberi-tahu, kalau tidak Lo-wan-tong sudah mampus.”



“Malahan dengan menyerempet bahaya cucu murid sudah mendapat keterangan tempat penyimpanan Ongki itu. Marilah Susiokco ikut,” bisik Ci-keng.

Akan tetapi Ciu Pek-thong lantas menggeleng dan berkata: “Jangan, jangan kau katakan padaku. Kalau aku tak dapat menemukannya, anggaplah aku kalah.”

Rupanya pertaruhan mencuri panji ini bagi Ciu Pek-thong adalah permainan yang amat menarik, maka kalau Ci-keng memberi petunjuk, andaikan berhasil juga terasa kurang nikmat baginya, apa lagi setiap perbuatan selamanya dilakukan secara terang-terangan dan tidak suka main sembunyi.

Karena bujukannya tidak berhasil, Ci-keng menjadi kelabakan, mendadak teringat bahwa kelakuan sang Susiokco ini lain dari pada yang lain, untuk bisa berhasil harus dengan cara memancingnya. Segera ia berkata:

“Susiokco, kalau begitu akan kucari sendiri Ongki itu. Lihat saja nanti, kau lebih dulu berhasil atau aku.” Habis berkata dia ierus mendahului berlari ke arah bukit-bukit.

Tidak jauh berlari, Ci-keng mencoba melirik ke belakang dan dilihatnya Ciu Pek-thong juga mengintilnya. Langsung saja dia berlari ke bukit ketiga yang ada pepohonan itu, di sana dia menggumam sendiri: “Mereka mengatakan Ongki itu disembunyikan dalam goa yang teraling oleh dua pohon besar, mana ada dua pohon besar yang dikatakan itu?”

Dia sengaja pura-pura celingukan kian kemari, tetapi tidak mendekati goa yang dikatakan Kim-lun Hoat-ong. Mendadak terdengar Ciu Pek-thong berseru gembira.

“Aha, kutemukan lebih dulu di sini!” ia terus menerobos ke sela-sela dua pohon.

Diam-diam Ci-keng tersenyum karena maksud tujuannya sudah tercapai. Ia pikir sesudah sang Susiokco berhasil menemukan Ongki, pasti dia akan berterima kasih, dia pasti merasa berutang budi kepadaku karena aku sudah menghindarkan dia dari kematian apa bila dia jadi menyalakan api. Dengan hati senang ia lantas mendekati goa itu, tapi mendadak terdengar jeritan Ciu Pek-thong, suaranya sangat ngeri menyeramkan, menyusul terdengar teriakannya:

“Ular! Ular berbisa!”

Keruan Ci-keng terkejut sekali, sebelah kakinya yang sudah melangkah ke dalam goa cepat ditariknya kembali, lalu berseru:

“Susiokco, masa ada ular berbisa?”

“Buk... bukan ular... bukan ular...” Terdengar teriakan Ciu Pek-thong, suaranya sudah jauh lebih lemah.


TERPERANGKAP DALAM GOA

Kejadian ini sama sekali di luar dugaan Thio Ci-keng, cepat ia menjemput sepotong kayu kering dan dinyalakan sebagai obor. Dilihatnya Ciu Pek-thong tergeletak di tanah, tangan kiri memegangi sehelai kain panji dan berulang-ulang dikebutkan seperti sedang menghalau makhluk aneh.

“Susiokco, ada apakah?” tanya Ci-keng kuatir.

“Aku digigit... digigit makhluk ber... makhluk berbisa...” kata Ciu Pek-thong dengan suara lemah dan terputus-putus. Sampai di sini tangannya lantas melambai ke bawah dan tidak kuat mengebutkan kain bendera lagi.

Ci-keng heran sekali. Makhluk berbisa apakah yang sedemikian lihaynya sehingga dapat membuat Ciu Pek-thong yang maha sakti itu tidak dapat berkutik dalam waktu sesingkat itu? Segera dilihatnya bahwa kain panji yang dipegang Ciu Pek-thong ternyata sebuah panji tentara biasa dan bukan panji kebesaran Kubilai yang dicari. Diam-diam dia bertambah ngeri. “Kiranya paderi Tibet itu sengaja menipuku memancing Susiokco ke sini, dalam goa telah disebarkan makhluk berbisa.”

Dalam keadaan demikian, bagi Ci-keng yang terpenting adalah menyelamatkan jiwanya sendiri, mana dia sempat memikirkan mati-hidupnya Ciu Pek-thong? Dia pun tidak berani memeriksa keadaan sang Susiokco dan makhluk berbisa apa yang menggigitnya, dan tanpa bicara lagi ia membuang obor lalu melarikan diri. Tetapi sebelum obor itu jatuh ke tanah, mendadak berhenti di tengah jalan, rupanya kena ditangkap oleh tangan seseorang, terdengar orang itu berkata:

“Kenapa? Masa orang tua ditinggalkan begitu saja?” suaranya halus nyaring.

Tampak baju putih berkelebat, jelas itulah Siao-liong-li, di bawah cahaya obor wajahnya yang moIek itu tampak tidak mengunjuk perasaan girang atau gusar. Sungguh kejut Ci-keng tak terkatakan. Sama sekali dia tidak menduga bahwa Siao-liong-li berada begitu dekat di belakangnya, ingin sekali ia melarikan diri, tapi kakinya terasa berat dan sukar melangkah. Padahal semenjak tadi Siao-liong-li mengawasi dia dari jauh, setiap gerak gerik Thio Ci-keng tak pernah terlepas dari pengamatannya.

Ketika Ci-keng memancing Ciu Pek-thong ke bukit, secara diam-diam Siao-liong-li juga menguntit di belakangnya. Ciu Pek-thong mengetahuinya, tapi dia tidak ambil pusing, hanya Ci-keng saja yang tidak tahu. Dengan obor yang dipegangnya Siao-liong-li lantas menerangi tubuh Ciu Pek-thong, terlihat muka orang tua samar-samar bersemu hijau. Segera ia Iepaskan sarung tangan benang emas, lalu memegang tangan Ciu Pek-thong dan diperiksa. Seketika Siao-liong-li terperanjat, ternyata ada tiga ekor laba-laba sebesar ibu jari sedang menggigit tiga jari tangan kiri Ciu Pek-thong.

Bentuk ketiga ekor laba-laba itu sangat aneh, seluruh badannya loreng merah dan hijau menyolok, sekali pandang saja orang akan merasa ngeri. Siao-liong-li tahu makhluk berbisa apa pun semakin bagus warnanya semakin jahat racunnya, apa lagi ini belum pernah dilihatnya, walau pun memakai sarung tangan tak berani ditangkapnya. Cepat dia mengambil sepotong ranting kayu dan bermaksud mencukit ketiga ekor laba-laba itu.

Tak terduga gigitannya sangat kencang di jari Ciu Pek-thong, beberapa kali Siao-liong-li mencukilnya tetap tak terlepas. Tanpa pikir dia lantas menyambitkan tiga buah Giok-hong-ciam (jarum tawon putih), kontan tiga ekor laba-laba itu tertembus perutnya dan mati seketika. Cara Siao-liong-li menyambitkan jarumnya sangat hebat sekali, tenaga yang digunakan begitu tepat, laba-laba mati tertusuk jarum, tapi tidak sampai melukai Ciu Pek-thong.

Kiranya laba-laba itu disebut ‘Cay-swat-tu’ (laba-laba salju panca warna) dan hidup di pegunungan bersalju daerah Tibet, tergolong satu di antara tiga jenis makhluk berbisa paling jahat di dunia. Kim-lun Hoat-ong membawa laba-laba berbisa ini ke Tionggoan maksudnya hendak mengadu kepandaian menggunakan racun dengan ahli racun di Tionggoan. Tempo hari waktu dia berusaha membunuh Kwe Ceng, akan tetapi karena tiada rencana menggunakan racun, maka dia tidak membawanya. Tanpa terduga ia sendiri malah terkena jarum berbisa Li Bok-chiu. Saking gemasnya, setibanya kembali di markas Kubilai dia lantas keluarkan kotak penyimpan laba-laba itu dan disiapkan untuk menghadapi Li Bok-chiu apa bila kepergok lagi setiap saat.

Kini dia bertaruh mencuri bendera dengan Ciu Pek-thong dan juga bertemu dengan orang yang kemaruk menjadi ketua agama seperti Thio Ci-keng, maka diam-diam dia telah mengatur tipu muslihat keji, lebih dulu dia menaruh sebuah bendera dalam goa, di dalam bendera terbungkus tiga ekor laba-laba berbisa.

Laba-laba panca warna amat ganas, sekali menggigit dan merasakan darah maka takkan dilepaskan sebelum kenyang mengisap. Kadar racunnya juga amat jahat dan tak dapat disembuhkan dengan obat, sekali pun Hoat-ong sendiri juga tidak memiliki obat penawarnya. Itulah sebabnya maka dia tidak berani selalu membawa laba-laba itu, yaitu untuk menjaga segala kemungkinan kelengahan diri sendiri, sebab akibatnya sukar dibayangkan.

Tak tersangka sambitan tiga batang jarum Siao-liong-li dengan tepat sudah mengenai sasarannya, sekaligus menyelamatkan nyawa Ciu Pek-thong. Soalnya begini: Giok-hong-ciam itu mengandung racun tawon putih, biar pun kadar racunnya tidak sejahat laba-laba panca warna, tapi begitu tertusuk jarum, sebelum ajalnya laba-laba itu mengeluarkan serum penangkis racun. Perlu diketahui bahwa berkat memiliki serum penangkis racun itu dalam tubuhnya, maka laba-laba tidak sampai mati sendiri oleh racun yang terkandung dalam badannya.

Ketika serum anti racun itu menyemprot keluar dari mulutnya dan masuk dalam darah Ciu Pek-thong, hanya sebentar saja laba-laba itu jatuh dan mati. Bayangkan saja, apa bila racun itu hanya bisa ditawarkan olehnya sendiri dan tiada lain cara pengobatan lain, karena tatkala itu belum ada cara pembuatan serum anti racun seperti jaman sekarang, dengan sendirinya tidak dapat mengambil serum anti racun itu dari tubuh laba-laba.

Untunglah Siao-Iiong-li buru-buru ingin menolong Ciu Pek-thong. Ia merasa seram melihat bentuk laba-laba yang mengerikan itu, maka dia menggunakan senjata rahasianya yang halus, justru kebetulan telah menyelamatkan nyawa orang tua itu. Sesudah ketiga ekor laba-laba jatuh ke tanah dan mati, melihat warnanya yang loreng, Siao-liong-li tetap merasa ngeri.

Ciu Pek-thong yang tadinya menggeletak kaku sekarang tiba-tiba bisa menggerakkan tangan kirinya dan bertanya dengan suara perlahan:

“apakah yang menggigit aku, sungguh lihay amat.”

Tampaknya dia hendak bangun, tapi baru sedikit mengangkat badannya dia jatuh terbaring lagi. Siao-liong-li sangat girang melihat Ciu Pek-thong tidak mati. Dia coba memeriksa sekitar goa dengan obor dan dia merasa lega setelah tidak lagi menemukan laba-laba berbisa seperti tadi. Dia coba tanya:

“Ciu-loyacu, engkau tidak mati kan?”

“Rasanya belum mati sama sekali, baru mati separoh dan hidup setengah, ha-ha-ha-ha...!” Ciu Pek-thong ingin tertawa keras, tetapi segera terasa kaki dan tangannya kaku kejang sehingga suara tertawanya kedengaran aneh.

Pada saat itulah tiba-tiba seorang bergelak tertawa di luar goa, suaranya keras menggetar telinga, kemudian terdengar ucapannya:

“He, Lo-wan-tong! Ongki itu sudah dapat kau curi belum? Pertaruhan kita ini dimenangkan kau atau aku?” Jelas itulah suara Kim-lun Hoat-ong.

Cepat Siao-liong-li memadamkan api obor dengan tangannya yang mengenakan sarung benang mas yang tidak takut senjata tajam mau pun api, sedangkan Ciu Pek-thong berkata dengan suara lemah:

“Permainan ini sudah jelas Lo-wan-tong yang kalah, bisa jadi jiwaku juga akan kuserahkan kepadamu. He, Hoat-ong busuk, barang apakah laba-laba yang kau sebarkan ini, sungguh jahat amat.”

Meski suaranya kedengaran lemah, tapi suara tertawa Hoat-ong yang keras ternyata tak dapat melenyapkan suara perkataannya itu. Keruan Hoat-ong terkejut, jelas dia tergigit laba-laba, tapi ternyata belum mati. Dalam pada itu Ciu Pek-thong sudah berkata pula.

“Kau Thio Ci-keng si Tosu brengsek, kau makan dalam bela luar, sungguh terlalu. Boleh katakan kepada Khu supek-mu, suruh dia bunuh saja kau!”

Tentu saja Ci-keng sangat ketakutan dan bersembunyi di belakang Kim-lun Hoat-ong. “Eh, Tosu she Thio ini amat baik, malahan Ongya akan memohon pada Sri Baginda agar mengangkat dia menjadi ketua Coan-cin-kau,” kata Hoat-ong dengan tertawa.

Ciu Pek-thong menjadi marah, dia hendak mendamperat, tapi racun laba-laba itu sungguh luar biasa jahatnya, meski sebagian kadar racunnya sudah hilang, namun sedikit sisa saja sudah cukup membinasakan orang, untung tenaga dalam Ciu Pek-thong sangat kuat, tapi jika tenaganya kendur sedikit saja, segera ia jatuh pingsan Iagi.

“Kim-lun Hoat-ong,” mendadak Siao-liong-li ikut bicara. “Kau adalah maha guru aliran tersendiri tapi kau menggunakan makhluk berbisa begini. Apakah kau tidak malu? Lekas keluarkan obat penawar untuk menyembuhkannya.”

Melihat Ciu Pek-thong jatuh pingsan, Hoat-ong mengira racun dalam tubuh orang tua itu telah bekerja dan orangnya mati, diam-diam dia sangat girang dan merasa tidak perlu lagi gentar terhadap Siao-liong-li. Apa lagi kalau teringat ucapan Thio Ci-keng siang tadi yang mengatakan semua orang mengetahui dia pernah dikalahkan Siao-liong-li, maka sekarang dia bertekad akan menawan si nona untuk memperlihatkan kemampuannya. Tiba-tiba tangan kiri Hoat-ong disodorkan sedangkan tangan kanan terus mencengkeram Siao-liong-li sambil berseru:

“Ini obat penawarnya, terimalah.”

Siao-liong-li terkejut, cepat dia pun bergerak. “Trangg...!” terdengar suara nyaring, selendang berkeleningan segera mengetok Hiat-to di pergelangan tangan musuh.

“Hm, kalau aku sampai bergebrak berjurus-jurus dengan kau akan ditertawakan Tosu she Thio,” demikian Hoat-ong membatin sambil menghindari serangan Siao-liong-li, menyusul ia pun mengeluarkan sepasang rodanya dan sekali digesekkan, terdengarlah suara nyaring mengilukan.

Cepat Siao-liong-li menarik balik tali suteranya setelah serangannya tadi luput. Segera dia menghantam Tay-cui-hiat di punggung lawan, serangan kedua ini sangat cepat dan ganas, tampaknya sukar untuk dielakkan. Akan tetapi Hoat-ong meloncat ke atas sambil memuji:

“Kepandaianmu ini sungguh jarang ada bandingannya di kalangan wanita.”

BegituIah kedua orang lalu bertempur di lorong goa yang sempit, dalam sekejap saja belasan jurus sudah berlalu. Jika Hoat-ong menyerang sekuatnya sebenarnya sukar bagi Siao-liong-li untuk menahan, tetapi beberapa hari yang lalu Hoat-ong baru saja terluka oleh jarum berbisa, bahkan jiwanya hampir melayang. Sekarang dilihatnya gaya ilmu silat Siao-liong-li serupa dengan Li Bok-chiu, malahan jurus serangannya lebih bagus dan lihay, sudah tentu ia menjadi waswas dan tidak ingin kejeblos untuk kedua kalinya.

Sebab itulah hatinya sangat gelisah karena tidak dapat mengalahkan lawan dengan cepat, tapi ia pun tak berani menyerang sembrono. Dalam kegelapan terdengarlah suara mendering benturan roda emas dan perak terseling oleh suara “tring-ting” genta kecil pada ujung senjata Siao-liong-li, bagi orang yang tidak tahu mungkin malah menyangka kedua orang sedang menabuh alat musik.

Ci-keng berdiri menonton dari tempat rada jauh, setiap kali dia mendengar suara nyaring benturan senjata, setiap kali pula jantungnya berdebar. Teringat kematian sang Susiokco, sungguh pun bukan direncanakan oleh dirinya tetapi betapa pun juga dia tak terlepas dan ikut tersangkut. Dosa membunuh orang tua demikian ini tiada ampun dalam dunia persilatan. Kalau saja Hoat-ong dapat membunuh Siao-liong-li tentu saja urusan menjadi beres seluruhnya, namun apa bila Siao-liong-li yang menang maka akibatnya bisa runyam.

Karena Hoat-ong tak dapat menyerbu ke dalam goa, dengan sendirinya sulit baginya untuk mengalahkan Siao-liong-li. Sebentar saja mereka sudah bergebrak beberapa puluh jurus dan tetap belum bisa dibedakan unggul dan asor. Siao-liong-li menjadi gelisah dan kuatir. Dilihatnya Ciu Pek-thong menggeletak tak bergerak sedikit pun, besar kemungkinan jiwa orang tua ini akan melayang. Dia berpikir hendak menolongnya, tetapi serangan Hoat-ong teramat gencar dan sukar menarik diri.

Pertarungan di tempat gelap itu sudah tentu lebih menguntungkan Siao-liong-li karena dia sudah lama hidup di kuburan kuno yang gelap. Ketika dilihatnya Hoat-ong menyerang dari sisi kanan dan sebelah kirinya tidak terjaga, cepat dia memutar tali sutera bergenta emas itu untuk mengetok iga kirinya, berbareng belasan jarum Giok-hong-ciam dihamburkan.

Karena jaraknya teramat dekat, pula sambaran jarum itu tak mengeluarkan suara, ketika Hoat-ong merasakan gelagat jelek, sementara jarak jarum cuma tinggal beberapa senti saja di depan tubuhnya. Syukur ilmu silatnya memang maha tinggi. Dalam detik berbahaya itu roda peraknya berputar dan tepat menggulung tali sutera, berbareng kedua kakinya memancal sekuatnya sehingga dia mengapung ke atas dan belasan jarum berbisa menyambar lewat di bawah kakinya.

Dalam keadaan kepepet, saking kerasnya dia mempergunakan tenaga, sewaktu tubuhnya mengapung ke atas kedua tangannya juga ikut terangkat, maka sepasang roda berikut tali sutera bergenta milik Siao-liong-li ikut terbetot lepas dari cekalannya dan mencelat ke udara dengan menerbitkan suara nyaring gemerincing.

Sebelum tubuh lawan turun, cepat Siao-liong-li menghamburkan segenggam Giok-hong-ciam. Dalam keadaan masih terapung di udara, betapa pun tinggi ilmu silatnya sukar menghindar, apa lagi jaraknya amat dekat, keadaannya menjadi lebih bahaya dari pada tadi.

Namun Hoat-ong benar-benar maha sakti. Pada saat meloncat ke atas tadi sudah terpikir olehnya kemungkinan pihak lawan akan menyusulkan serangan lagi, maka dua tangannya sudah siap menarik baju sendiri, begitu dipentang, seketika jubahnya terobek menjadi dua bagian. Pada saat itu juga jarum Siao-liong-li sudah menyambar tiba, tetapi kain baju yang dipegangnya lantas di-kebutkan sehingga jarum berbisa itu tergulung seluruhnya dalam baju.

Sambil terbahak Hoat-ong tancapkan kakinya ke bawah dan melemparkan baju robek, tangan diulurkan untuk menangkap sepasang roda yang baru jatuh dari atas. Dua kali dia lolos dari ancaman maut, semua berkat kehebatan ilmu silatnya dan juga kecerdikannya sehingga pada detik terakhir dia masih dapat menyelamatkan diri, malahan dengan begitu senjata Siao-liong-li dapat direbutnya. Sesudah unggul, segera Hoat-ong menghadang di mulut goa, katanya dengan tertawa:

“Nah, nona Liong, masa kau tidak lekas menyerah?”

Namun dia masih kuatir kalau Siao-liong-li memasang perangkap di dalam goa, sebab itu dia tidak berani menyerbu ke dalam. Dia tidak tahu bahwa saat itu Siao-liong-li justru lagi kelabakan, senjatanya hilang, jarum juga sudah terpakai sebagian besar, kini tangannya cuma bersisa satu genggam jarum berbisa dan sembunyi di samping mulut goa.

Hoat-ong menunggu sebentar, tetapi tidak nampak sesuatu. Tiba-tiba timbul akalnya. Dia jemput kedua potong robekan bajunya, lalu kedua rodanya dilemparkan ke dalam goa, selagi roda itu menggelinding, ia terus melompat dan berdiri di atas roda. Tindakannya ini adalah untuk menjaga kemungkinan adanya jarum berbisa di atas tanah, menyusul ia terus putar kain bajunya untuk melindungi tubuh, kira-kira dua-tiga meter di dalam goa, sebelah tangannya meraih untuk menangkap lawan.

Robekan bajunya telah tercocok puluhan jarum berbisa yang disambitkan Siao-liong-li tadi sehingga berubah menjadi semacam senjata yang lihay, dengan tertawa ia berkata:

“Nah, nona Liong, boleh kau coba senjataku yang menyerupai kulit landak ini.”

Belum lenyap suaranya, sekonyong-konyong tangannya terasa kencang, ujung kain baju yang diputarnya mendadak terpegang oleh Siao-liong-li. Maklumlah ia memakai sarung tangan benang emas yang tak mempan ditebas senjata tajam. Jangankan cuma kain baju yang penuh jarum, sekali pun pedang juga berani direbutnya.

Karena tak terduga-duga, dengan kaget Hoat-ong cepat membetot sekuatnya, tapi sedikit merandek itu dia sudah memberi kesempatan kepada Siao-liong-li untuk menghamburkan genggaman jarumnya. Tak kepalang kagetnya Hoat-ong. Dalam keadaan kepepet timbul juga akalnya, sebisanya dia tarik tubuh Ciu Pek-thong yang menggeletak di atas tanah untuk digunakan sebagai tameng, menyusul dia terus melompat keluar goa dengan mandi keringat dingin dan napas terengah-engah, diam-diam dia bersyukur karena jiwanya dapat lolos dari lubang jarum.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar