Sabtu, 11 September 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 120

Kim-lun Hoat-ong merasa tidak leluasa lagi untuk membunuh Siao-liong-li jika betul Kubilai yang datang. Dia hendak menjaga harga diri, sebab kalau sampai dilihat Kubilai bahwa dia membunuh seorang perempuan muda, tentu dia akan dipandang hina. Sementara itu keempat unta tadi masih terus berlari cepat mendatangi, namun Hoat-ong tidak turun dari kudanya melainkan perlahan-lahan memapak ke depan. Terlihat di tempat luang antara keempat ekor unta itu ada seseorang yang duduk terapung. Orang itu berjenggot dan beralis putih dengan wajah selalu tersenyum, kiranya adalah Ciu Pek-thong yang baru mengacaukan Cui-sian-kok.

Terdengar Ciu Pek-thong berteriak dari jauh: “Bagus, bagus sekali! Hwesio gede dan si cebol hitam, kita berjumpa kembali di sini, ada lagi nona cilik yang cantik molek itu!”

Hoat-ong sangat heran, ia tidak mengerti mengapa Cui Pek-thong bisa duduk terapung di tengah-tengah keempat unta itu, tetapi sesudah dekat barulah dia tahu duduknya perkara. Kiranya di antara unta-unta itu terbentang beberapa utas tali yang ujungnya terikat pada punuk tiap-tiap unta dan di tengah-tengah persilangan tali itulah Ciu Pek-thong duduk.

Ciu Pek-thong adalah Sute cikal-bakal Coan-cin-kau, yaitu Ong Tiong-yang yang pernah menjalin cinta dengan nenek guru Siao-liong-li. Kalau bicara tentang kedudukan di Coan-cin-kau, dialah yang paling top, tetapi selangkah pun dia tidak pernah menginjak Tiong-yang-kiong dan jarang pula berhubungan dengan Ma Giok, Khu Ju-ki dan lain-lain. Sebab itulah Ci-peng dan Ci-keng tidak mengenalnya.

Meski mereka pernah mendengar cerita dari guru masing-masing bahwa mereka memiliki seorang Susiokco (kakek guru muda), tetapi sudah lama tidak ada kabar beritanya, besar kemungkinan sudah meninggal dunia, maka sekarang mereka pun tidak menduga bahwa tokoh aneh ini adalah sang Susiokco yang maha sakti itu.

BegituIah Hoat-ong mengernyitkan dahinya melihat kelakuan Ciu Pek-thong. Dia pikir ilmu silat orang ini teramat tinggi dan sukar dilawan, maka ia coba menanyainya:

“Apakah Ongya berada di belakang sana?”

“Kira-kira 40 li di belakang sana adalah perkemahannya,” jawab Ciu Pek-thong dengan tertawa sambil menuding ke belakang. “Ehh, Toa-hwesio, kunasehati kau. Sebaiknya kau jangan pergi ke sana.”

“Sebab apa?” tanya Hoat-ong heran.

“Sebab dia sedang marah-marah. Kalau kau ke sana, mungkin kepalamu yang gundul itu akan dipenggal olehnya,” ujar Pek-thong.

“Ngaco-balo!” omel Hoat-ong dengan mendongkoI. “Sebab apa Ongya marah?”

Sambil menuding panji tanda pengenal Kubilai, Ciu Pek-thong berkata dengan tertawa: “Lihat ini, panji kebesaran Ongyamu kucuri, mustahil dia tidak marah-marah.”

Hoat-ong meIengak. Diam-diam ia pun percaya apa yang dikatakan itu, ia yakin Ciu Pek-thong pasti tidak berdusta. Segera ia tanya:

“Untuk apa kau mencuri panji kebesaran Ongya?”

“Kau kenal Kwe Ceng bukan?” tanya Pek-thong.

“Ya, ada apa?” Hoat-ong mengangguk.

“Dia adalah saudara mudaku.” tutur Pek-thong. “Sudah belasan tahun aku tidak bertemu dengannya. Aku amat kangen padanya, maka aku buru-buru hendak menjenguk ke sana. Kudengar dia sedang berperang dengan orang Mongol di Siang-yang, maka aku sengaja mencuri panji kebesaran pangeran Mongol ini sebagai kado untuk saudara angkatku.”

Hoat-ong terkejut, dia pikir urusan bisa celaka. Sedang Siang-yang belum dapat dibobol, sekarang panji kebesaran panglimanya direbut musuh, hal ini teramat memalukan.

“Hmm, aku harus mencari akal merampas kembali panji ini.”

Mendadak terdengar Ciu Pek-thong membentak, empat ekor unta itu terus bergerak dan berbondong-bondong berlari ke sana, setelah mengitar satu lingkaran, lalu berlari kembali. Panji besar itu berkibar tertiup angin, Ciu Pek-thong berdiri menegak di tengah persilangan tali, dengan tangan memegang tali kendali keempat unta, lagaknya mirip panglima besar saja.


TARUHAN JEBAKAN

Dengan berseri-seri ia melarikan kawanan unta. Sesudah dekat cambuknya berkelebat dan berbunyi nyaring.

“Tarrr...!”

Serentak unta itu berhenti, entah dengan cara bagaimana Ciu Pek-thong ternyata dapat mengendalikan unta itu menjadi sangat penurut.

“Toa-hwesio, bagus tidak barisan unta pimpinanku ini?” tanya Pek-thong dengan tertawa.

“Bagus sekali!” jawab Hoat-ong sambil mengacungkan ibu jarinya, akan tetapi diam-diam dia sedang memikirkan cara bagaimana merebut kembali panji itu.

Tiba-tiba Ciu Pek-thong mengangkat tangannya dan berseru: “Toa-hwesio, nona cilik, Lo wan-tong mau berangkat!”

Mendengar sebutan ‘Lo-wan-tong’, serentak Ci-peng dan Ci-keng berseru: “Susiokco!” Berbareng mereka pun melompat turun dari kudanya.

“Apakah ini Ciu-locianpwe dari Coan-cin-pay?” tanya Ci-peng.

Biji mata Ciu Pek-thong tampak berputar-putar, lalu menjawab: “Hmm, ada apa? Kalian ini anak murid ‘hidung kerbau’ yang mana?”

Dengan hormat Ci-peng menjawab: “Thio Ci-keng murid Giok-yang-cu Ong-totiang dan Tecu sendiri In Ci-peng murid Tiang-jun-cu Khu-totiang.”

“Huh, Tosu kecil Coan-cin-kau semakin lama semakin tak keruan, tampaknya kalian juga tidak becus,” dengus Pek-thong. Tiba-tiba kedua kakinya memancal ke depan, sepasang sepatunya menyambar ke muka Ci-peng berdua.

Ci-keng terkejut, cepat dia hendak menangkapnya. Tapi Ci-peng sudah yakin orang tua ini pasti Ciu Pek-thong adanya, ia pikir kalau Susiokco mau memberi hukuman, betapa pun tidak boleh menghindar apa lagi tenaga sambaran sepatu itu tampaknya juga tidak keras, kalau kena rasanya tidak terlalu sakit, karena itulah ia tidak ambil pusing sambaran sepatu dan tetap memberi hormat. Di luar dugaan, pada saat sepatu itu menyambar sampai di depan muka Ci-peng berdua, sekonyong-konyong sepatu itu dapat memutar balik. Tangan Ci-keng menangkap tempat kosong, sementara kedua buah sepatu masuk kembali ke kaki Ciu Pek-thong.

Meski pun perbuatan Ciu Pek-thong itu menyerupai permainan jahil, tapi kalau tidak memiliki tenaga dalam yang maha sakti pasti tidak bisa melakukannya. Kim-lun Hoat-ong dan Nimo Singh sudah pernah menyaksikan Anak Tua Nakal itu mempermainkan orang di kemah Kubilai dengan pura-pura menimpukkan ujung tombak, maka mereka tidak merasa heran, sebab dasarnya sama saja seperti permainan sepatu terbang ini.



Akan tetapi Ci-keng menjadi amat kaget tak terhingga. Dengan kepandaiannya sekarang, betapa pun lawan menyerangnya dengan senjata rahasia pasti dapat ditangkapnya tanpa meleset, siapa tahu sebuah sepatu butut yang tampaknya menyambar tiba dengan perlahan itu ternyata tidak dapat ditangkapnya. Keruan ia tidak berani ragu lagi, segera ia ikut menyembah dan memperkenalkan namanya.

“Ha-ha-ha,” Ciu Pek-thong tertawa. “Penilaian Khu Ju-ki dan Ong Ju-it sungguh rendah, mengapa menerima murid-murid tak becus begini? Sudahlah, siapa yang minta disembah kalian?” Setelah itu mendadak dia membentak: “Serbu!” serentak keempat ekor unta membedal cepat ke depan.

Namun secepat burung terbang Hoat-ong sudah melayang ke sana lantas menghadang di depan kawanan unta sambil berseru:

“Nanti dulu!” Kedua tangannya menahan batok kepala dua ekor unta yang di depan, seketika unta yang sedang berlari itu dapat dihentikan dan bahkan didorong mundur beberapa langkah.

Ciu Pek-thong menjadi marah, teriaknya: “Toa-hwesio, apakah kau mengajakku berkelahi? Sudah belasan tahun Lo-wan-tong tidak menemukan tandingan, kini kepalanku memang sedang gatal, mari kita coba-coba beberapa jurus!”

Sifat Ciu Pek-thong memang keranjingan ilmu silat, semakin tua bukannya semakin loyo, tapi kepandaiannya semakin tinggi sehingga tidak ada seorang pun yang berani bergebrak dengannya. Tetapi dia pun tahu bahwa ilmu silat Kim-lunHoat-ong cukup lihay dan dapat diajak berkelahi, maka segera dia menggosok kepalan dan ingin bergebrak. Namun Hoat-ong meng-goyang tangannya sambil berkata:

“Tidak, selamanya aku tidak sudi bergebrak dengan manusia yang tidak tahu malu. Kalau kau memaksa, silakan kau pukul saja dan pasti takkan kubalas.”

Tentu saja Pek-thong menjadi marah, damperatnya: “Mengapa kau berani menganggap aku manusia tidak tahu malu?”

“Habis, sudah jelas kau tahu aku tidak berada di tempat, kau mencuri panji kebesaran ini, apa namanya perbuatanmu ini kalau bukan tidak tahu malu?” jawab Hoat-ong. “Huh, kau merasa bukan tandinganku, maka ketika aku pergi, kesempatan baik lantas kau gunakan. He-he, Ciu Pek-thong, kau benar-benar tidak punya muka.”

“Baik, aku dapat menandingi kau atau tidak mari kita berkelahi saja dan segera dapat diketahui,” tantang Pek-thong.

Hoat-ong sengaja menggeleng dan menjawab. “Sudah kukatakan aku tak sudi bertempur dengan manusia tak tahu malu, kau tidak dapat memaksaku. Kepalanku cukup terhormat, jika menghantam badan manusia tidak tahu malu, kepalanku bisa berbau busuk dan bau busuknya takkan hilang selama 3 tahun 3 bulan.”

Ciu Pek-thong tambah murka, teriaknya: “Habis bagaimana menurut kau?!”

“Kau harus menyerahkan kembali panji itu padaku kemudian malam nanti boleh kau coba-coba mencurinya lagi,” ujar Hoat-ong. “Aku akan berjaga di markas sana, dan kau boleh merebutnya terang-terangan atau mencurinya gelap-gelapan, asalkan kau dapat memegangnya lagi, segera aku menyerah dan mengakui kau memang pahlawan besar dan ksatria terhormat!”

Watak Ciu Pek-thong paling kaku, mudah dibakar, sesuatu urusan, semakin sulit semakin ingin diiakukannya. Segera dia cabut panji besar itu terus dilemparkan kepada Hoat-ong sambil berseru:

“Baik, terimalah, malam nanti akan kucuri kembali.”

Begitu tangan Hoat-ong menangkap panji itu, segera diketahui tenaga lemparan Ciu Pek-thong sangat kuat. Cepat dia bertahan, tetapi tidak urung tergetar mundur dua-tiga tindak. Karena pegangan Hoat-ong pada unta dilepaskan, serentak keempat unta itu berjingkrak terus membedal lagi ke depan. Semua orang mengikuti bayangan Ciu Pek-thong dengan barisan unta yang aneh itu hingga jauh dan menghilang.

Sejenak Hoat-ong tertegun, kemudian dia serahkan panji kebesaran itu kepada Sato dan mengajaknya berangkat Iagi. Diam-diam dia pun merenungkan bagaimana caranya harus menghadapi Lo-wan-tong yang tindak tanduknya aneh dan sukar diraba itu. Tapi dia tak dapat menemukan akal yang bagus. Ketika tanpa sengaja ia menoleh, dilihatnya Ci-peng dan Ci-keng sedang bicara bisik-bisik sambil beberapa kali berpaling dan melirik Siao-liong-li, tampaknya kedua Tosu itu sangat takut. Tergerak hati Hoat-ong, ia pikir jangan-jangan pengintilan nona itu ditujukan kepada kedua Tosu ini. Segera dia coba memancing dengan kata-kata:

“In-toheng, apakah kau memang kenal nona Liong itu?”

Air muka Ci-peng tampak berubah dan mengiakan perlahan. Hoat-ong tambah yakin akan dugaan tadi, segera dia tanya lagi:

“Kalian telah berbuat salah padanya dan dia hendak mencari perkara kepada kalian, begitu bukan? Nona itu memang sangat lihay, jika kalian memusuhi dia, lebih banyak celaka dari pada selamatnya.”

Sudah tentu Hoat-ong tidak tahu menahu mengenai pertengkaran antara kedua Tosu itu, cuma dilihatnya kedua orang itu tampak gelisah dan berbisik-bisik, maka dia pun sengaja memancingnya dan dugaannya memang tidak meleset. Akan tetapi Ci-keng menanggapi:

“Tapi nona itu pun pernah berselisih dengan Taysu, malah Taysu pernah kecundang di tangannya, masa kekalahan itu tidak Taysu balas?”

“Dari mana kau tahu?” dengus Hoat-ong.

“Kejadian itu tersiar di seluruh jagat, siapa yang tidak tahu?” ujar Ci-keng.

Diam-diam Hoat-ong mengakui kelihayan kedua Tosu itu. Ia bermaksud hendak menakuti mereka, ternyata Ci-keng berbalik hendak memperalatnya. Rasanya urusan ini lebih baik dibicarakan terus terang saja. Maka ia pun berkata:

“Nona Liong itu hendak membunuh kalian, akan tetapi kalian merasa bukan tandingannya, karena itu kalian ingin perlindunganku. Begitu, bukan?”

Dengan marah Ci-peng menjawab: “Biar pun mati aku tidak perlu minta perlindungan orang, apa lagi Taysu juga belum tentu bisa mengalahkan dia.”

Melihat sikap Ci-peng yang tegas dan berani, Hoat-ong menjadi sangsi, jangan-jangan perkiraannya tidak betul. Tapi dengan tertawa dia berkata:

“Jika dia main berganda dengan Yo Ko, tentu saja ilmu pedang mereka cukup lihay. Tetapi sekarang dia sendirian, kaIau mau aku dapat membinasakan dia dengan mudah.”

“Belum tentu bisa,” ujar Ci-keng sambil menggeleng. “Setiap orang Kangouw sama tahu bahwa Kim-lun Hoat-ong sudah pernah dikalahkan oleh Siao-liong-li!”

“Ha-ha, sudah lama aku bertapa, tiada gunanya kau membakar aku dengan perkataanmu itu!” jawab Hoat-ong.

Dari kata-kata Ci-keng itu kini dia yakin benar bahwa Tosu itu memang berharap dirinya bergebrak dengan Siao-liong-li. Sebelum Ciu Pek-thong muncul tadi sesungguhnya ada maksud Kim-lun Hoat-ong untuk membinasakan Siao-liong-li, tetapi sekarang dia telah berjanji dengan Ciu Pek-thong agar mencuri lagi panji kebesaran Kubilai, untuk itu tenaga kedua Tosu rasanya ada gunanya, jika Siao-liong-li dibunuh lebih dulu berarti hilanglah alat pemerasnya terhadap kedua Tosu ini. Maka dengan sikap tak acuh dia lantas berkata:

“Kalau begitu baiklah aku berangkat lebih dahulu, nanti kalau kalian sudah selesaikan urusan nona itu, silakan berkunjung ke kemah Ongya.”

Habis berkata dia terus melarikan kudanya ke depan, jelas tujuannya agar kedua Tosu itu tidak mengikuti dia. Tentu saja Ci-keng menjadi gelisah. Kalau paderi Tibet itu pergi dan Siao-liong-li memburu, entah cara bagaimana dirinya akan disiksa oleh nona itu, apa lagi kalau ingat betapa sakitnya sengatan tawon di Cong-lam-san dahulu, tanpa terasa nyalinya menjadi pecah. Tanpa memikirkan harga diri lagi segera ia melarikan kudanya menyusul ke depan sambil berseru:

“Nanti dulu, Taysu! Jalanan di sini kurang kupahami, jika sudi memberi petunjuk tentu budi pertolonganmu takkan kulupakan!”

Hoat-ong tertawa geli mendengar seruan Ci-keng, dia pikir tentu Tosu ini sudah bersalah pada nona Liong itu sehingga ketakutan sedemikian rupa. Ada pun Tosu she In itu tampak adem ayem saja, agaknya tidak tersangkut dalam persoalan mereka. Dengan tertawa dia lantas menjawab:

“Baiklah, bisa jadi nanti aku pun perlu bantuanmu.”

“Jika Taysu memerlukan tenagaku, pasti akan kulakukan,” cepat Ci-keng menanggapi.

Hoat-ong lantas meneruskan perjalanan berjajar dengan Ci-keng sambil menanyai keadaan Coan-cin-kau sekarang yang dijawab seperlunya saja oleh Ci-keng. Dengan pikiran linglung Ci-peng mengikut dari belakang tanpa memperhatikan apa yang dibicarakan kedua orang itu.

Sementara itu Hoat-ong berkata: “Konon Ma-totiang telah mengundurkan diri dari tugasnya dan menyerahkan jabatan ketua kepada Khu-totiang yang kabarnya juga sudah tua, kukira jabatan ketua berikut tentu akan jatuh pada gurumu, Ong-totiang.”

Agaknya perkataan Hoat-ong itu rada menyentuh isi hati Ci-keng, mendadak air mukanya berubah, jawabnya:

“Usia guruku juga sudah lanjut sehingga akhir-akhir ini beliau jarang mengurusi pekerjaan umum, besar kemungkinan jabatan ketua nanti akan dilanjutkan oleh In-sute ini.”

Melihat air muka Ci-keng menampilkan rasa penasaran, dengan suara lirih Hoat-ong coba membakarnya:

“Tampaknya ilmu silat In-toheng juga tak melebihi Thio-toheng sendiri, mengenai kecerdikan dan kecekatan kerja tentu juga selisih jauh dengan dirimu, sebab itu jabatan ketua yang penting itu seharusnya diserahkan kepadamu.”

Hal ini sebenarnya telah terpendam selama beberapa tahun dalam hati Ci-keng, sekarang Hoat-ong yang membeberkan isi hatinya, tentu saja rasa dendam dongkolnya semakin kentara. Sebenarnya secara Iisan In Ci-peng telah ditetapkan sebagai pejabat ketua yang akan datang. Semula Ci-keng hanya penasaran dan iri saja, tetapi sejak dia mengetahui kesalahan Ci-peng, segera dia berdaya upaya hendak merebut kedudukannya.

Ci-keng yakin kalau dia membeberkan rahasia In Ci-peng yang diam-diam jatuh cinta dan bahkan menodai Siao-liong-li, akibatnya Ci-peng pasti akan dihukum mati. Tetapi dia pun menyadari bahwa dirinya kurang disukai para paman gurunya, antar sesama saudara seperguruan juga banyak yang tidak cocok, ia pikir akhirnya jabatan ketua itu takkan jatuh padanya, sebab itulah sampai sekarang ia belum membongkar dosa Ci-peng.

Dari gerak-gerik dan sikap kedua Tosu ini, Hoat-ong dapat menerka jalan pikiran Ci-keng, ia pikir: “Kalau kubantu dia merebut jabatan ketua, tentu kelak dapat kuperalat dengan baik. Pengaruh Coan-cin-kau cukup besar, maka tentu akan bermanfaat bagi penyerbuan Ongya ke selatan, bagiku berarti jasa besar dan mungkin lebih besar dari pada jasa membunuh Kwe Ceng.” Begitulah Hoat-ong merancang tindakan selanjutnya.

Menjelang lohor sampailah rombongan di markas besar Kubilai. Sebelum masuk ke kemah, Hoat-ong coba berpaling, Siao-liong-li dengan keledainya berdiri jauh di sana dan tidak mendekat. Dia pikir dengan adanya nona itu, mustahil kedua Tosu ini takkan masuk perangkapku.

Sesudah berhadapan dengan Kubilai, ternyata pangeran Mongol itu sedang uring-uringan berhubung panji kebesarannya dicuri orang. Padahal panji itu adalah simbol kebesaran dan kepemimpinan, maju mundurnya pasukan selalu mengikuti arah kibaran panji, tapi sekarang dicuri orang tanpa berdaya, hal ini sama saja mengalami kalah perang besar-besaran. Kubilai girang sekali melihat Kim-lun Hoat-ong telah kembali, cepat ia berdiri menyambut. Kubilai memang seorang pemimpin berbakat lagi bijaksana melebihi sang kakek, yakni Jengis Khan. Untuk sementara dia kesampingkan urusan kehilangan panji itu, sebaliknya lantas menerima Ci-peng dan Ci-keng yang diperkenalkan oleh Hoat-ong sebagai tanda simpatiknya terhadap kaum ksatria, Segera ia menyuruh menyediakan perjamuan.

In Ci-peng tetap lesu Iinglung, segenap pikirannya hanya melayang kepada Siao-liong-li. Sebaliknya Ci-keng adalah manusia yang kemaruk kedudukan, melihat raja Mongol sedemikian menghormatinya, dia menjadi kegirangan. Sama sekali Kubilai tidak menyinggung mengenai kegagalan usaha Hoat-ong membunuh Kwe Ceng, dia hanya terus memuji kesetiaan Nimo Singh pada tugasnya sehingga kedua kakinya menjadi korban. Maka dalam perjamuan ini Nimo Singh diberi tempat utama dan berulang-ulang mengajak minum. Dengan demikian bukan saja kesetiaan Nimo Singh menjadi lebih bulat, orang lain juga merasakan budi kebaikan pangeran Mongol itu sungguh sangat luhur.

Selesai perjamuan Hoat-ong mengiringi Ci-peng dan Ci-keng mengaso ke perkemahan di samping sana. Ci-peng sudah lelah lahir batin, maka begitu membaringkan diri dia segera tertidur pulas.

“Thio-toheng, dari pada iseng, marilah kita jalan keluar,” ajak Hoat-ong.

Mereka lantas berjalan keluar kemah. Dari jauh kelihatan Siao-liong-li duduk di bawah pohon dan keledainya juga tertambat di sana, tanpa terasa air muka Ci-keng berubah lagi. Akan tetapi Hoat-ong pura-pura tidak tahu, malahan dia sengaja mengajak ngobrol dan menanyai berbagai keadaan Coan-cin-kau. Lantaran sudah menganggap Hoat-ong sebagai teman karibnya, Ci-keng lantas menjawab dengan terus terang.

Sambil bicara sambil berjalan terus ke depan, lambat-laun mereka sampai di tempat yang sepi. Tiba-tiba Hoat-ong menghela napas dan berkata:

“Thio-toheng, sungguh tak mudah Coan-cin-kau bisa berkembang sebaik ini, tapi terus terang ingin kukatakan bahwa para paman gurumu itu mengapa begitu gegabah untuk menyerahkan jabatan ketua yang penting itu kepada In-toheng?”

Sesungguhnya sudah lama Ci-keng menginginkan kedudukan itu, akan tetapi dia sendiri menyadari harapannya tipis, maka dia pun menghela napas demi mendengar Hoat-ong menyebut hal itu, lalu dia pun memandang sekejap ke arah Siao-liong-li.

“Urusan nona Liong itu adalah soal kecil, asalkan aku turun tangan, dengan mudah saja dapat kubereskan dia dan kau pun tak perlu kuatir lagi,” kata Hoat-ong, “Justru yang terpenting adalah jabatan ketua agama kalian itu tidak boleh jatuh ke tangan orang yang kurang tepat.”

“Apa bila Taysu dapat memberi petunjuk jalan yang baik, selama hidup aku rela menuruti perintahmu,” jawab Ci keng.

Tentu saja janji inilah yang diharap-harapkan oleh Kim-lun Hoat-ong. Segera ia menegas:

“Kata-kata seorang lelaki sejati harus ditepati dan tidak boleh menyesal di belakang hari.”

“Sudah tentu,” jawab Ci-keng.

“Baiklah, dalam waktu tiga bulan akan kuusahakan kau diangkat menjadi ketua Coan-cin-kau,” kata Hoat-ong.

Girang sekali Ci-keng, tapi mengingat urusan ini sesungguhnya sangat suIit, mau tak mau dia menjadi ragu-ragu.

“Apakah kau percaya?” tanya Hoat-ong.

“Percaya, pasti percaya,” jawab Ci-keng. “Kepandaian Taysu maha sakti, tentu engkau mempunyai daya upaya yang bagus.”

“Sebenarnya aku tidak ada sangkut paut apa pun dengan agama kalian, siapa pun yang menjadi ketuanya juga sama saja bagiku, tetapi entah mengapa, baru berkenalan rasanya aku cocok dengan kau dan ingin membantu,” kata Hoat-ong dengan tertawa, “Maka langkah pertama kita harus diusahakan ada seorang kuat di dalam agamamu yang akan menjadi pendukungmu. Saat ini siapakah yang paling tinggi menurut angkatannya di agamamu?”

“Ciu-susiokco yang kita jumpai di tengah jalan tadi,” jawab Ci-keng.

“Benar, kalau dia membantu kau dengan sepenuh tenaga, maka tiada seorang pun yang dapat menandingi kau lagi,” ujar Hoat-ong.

“Betul, apa yang dikatakan Susiokco sudah tentu mempunyai bobot dan harus diturut oleh Ma-supek, Khu-supek dan yang lainnya!” kata Ci-keng dengan girang, “Tapi dengan cara bagaimana Taysu akan membuat Ciu-susiokco memihak diriku?”

“Tadi dia telah berjanji padaku akan datang ke sini untuk mencuri panji kebesaran Ongya,” tutur Hoat-ong, “Nah, menurut pendapatmu, dia akan datang atau tidak?”

“Tentu saja datang,” jawab Ci-keng.

“Tetapi panji ini tidak kita kerek pada tiangnya melainkan kita sembunyikan di tempat yang dirahasiakan. Di tengah perkemahan yang beratus buah ini, walau pun Ciu Pek-thong mempunyai kepandaian setinggi langit takkan menemukan panji itu hanya dalam semalam saja.”

“Ya, memang,” ujar Ci-keng, tapi dalam hati dia anggap cara bertaruh begitu kurang jujur, andaikan menang juga kurang terhormat.

“Tentunya kau anggap pertaruhan secara demikian kalau menang juga kurang terhormat begitu bukan?” tanya Hoat-ong tiba-tiba. “Tapi semua ini adalah demi kepentinganmu.”

Ci-keng jadi melenggong memandang Hoat-ong, lebih tidak paham seluk beluknya.

Hoat-ong menepuk perlahan pundak Ci-keng, dan berkata: “Begini, akan kukatakan padamu tempat penyimpanan panji itu, lalu dengan diam-diam kau memberi-tahukan kepada Ciu Pek-thong agar dia dapat menemukan panji itu, jadi kau akan berjasa besar baginya.”

“Benar, itu benar sekali, dengan demikian Ciu-susiokco pasti akan senang!” seru Ci-keng dengan girang. tetapi segera terpikir olehnya, katanya lagi: “Namun pertaruhan Taysu itu kan menjadi kalah?”

“Yang penting adalah persahabatan kita, soal kalah menang urusan pribadi bukan apa-apa bagiku,” kata Hoat-ong.

Tentu saja Ci-keng amat berterima kasih, katanya pula: “Budi kebaikan Taysu entah cara bagaimana harus kubalas.”

Hoat-ong tersenyum, katanya: “Asalkan kau sudah mendapatkan bantuan Ciu Pek-thong, lalu kubantu lagi dengan perencanaan yang lebih sempurna, dengan begitu jabatan ketua pasti akan jatuh di tanganmu.” Habis ini dia menuding bukit di sebelah sana dan berkata: “Marilah kita lihat-lihat ke bukit sana.”







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar