Sabtu, 11 September 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 119

TERUS MENGINTIL

Dengan Ginkang Ko-bong-pay yang tiada tandingannya, kalau mau sebetulnya dengan mudah Siao-liong-li dapat melampaui kedua buruannya. Cuma dia memang masih polos, jalan pikirannya sederhana, menghadapi persoalan maha besar ini dia menjadi bingung dan tidak tahu bagaimana harus bertindak. Karena itu terpaksa dia hanya mengintil saja di belakang mereka, selalu dalam jarak sama tapi juga tidak membiarkan lolosnya kedua orang itu.

Memang pikiran Ci-peng dan Ci-keng amat bingung, apa lagi Siao-liong-li terus menguntit dan tidak diketahui apa maksud tujuannya, makin dipikir mereka pun semakin takut. Mereka berlari dari pagi hingga siang, dari siang hingga sore hari. Sudah 6-7 jam mereka berlari-lari kesetanan, betapa pun kuatnya tenaga dalam mereka akhirnya juga terempas-empis, langkah pun mulai sempoyongan dan tidak sanggup berlari cepat lagi.

Dalam pada itu panas matahari yang menyengat sudah membuat mereka mandi keringat, malahan juga lapar dan haus. Ketika di depan tiba-tiba nampak ada sebuah sungai kecil, mereka menjadi nekat. Mereka pikir masa bodohlah andaikan mereka akan tertangkap di situ. Begitulah mereka terus menjatuhkan diri di tepi sungai kecil itu kemudian minum air sekenyangnya.

Dengan perlahan Siao-liong-li juga mendekati sungai bagian hulu, ia pun meraup air untuk diminum. Permukaan air sungai mencerminkan seorang nona jelita berbaju putih dengan ikal rambut hitam dan wajah cantik molek laksana dewi kahyangan. Tapi perasaan Siao-liong-li serasa hampa, dukanya tak kepalang sehingga cermin dirinya itu tidak menariknya melainkan termangu-mangu saja memandangi bayangan sendiri dalam air itu.

Sambil minum air, Ci-keng berdua senantiasa melirik Siao-liong-li. Melihat nona itu hanya termangu-mangu se-olah lupa daratan pada dunia fana ini, cepat mereka saling memberi isyara. Dengan perlahan mereka bangkit dan berjalan ber-jengket menjauh ke sana. Beberapa kali mereka menoleh dan melihat si nona masih terus termenung memandang air sungai, segera mereka percepat langkah terus berlari ke depan. Mereka mengira sekali ini pasti dapat lolos dari kuntitan Siao-liong-li, tetapi siapa duga, ketika kebetulan Ci-peng berpaling, ternyata si nona sudah mengintil lagi di belakang mereka.

Seketika muka Ci-peng menjadi pucat pasi seperti mayat, serunya: “Sudahlah, sudahlah Tio-suheng, kita toh tidak dapat lolos, jadi terserah saja apakah dia akan membunuh atau mencincang kita.” Habis berkata ia terus berhenti dan berdiri di situ.

Ci-keng menjadi gusar dan membentak: “Kau mati juga pantas, tetapi mengapa aku harus mati bersamamu?” Segera ia tarik tangan sang Sute untuk diajak lari lagi.

Akan tetapi Ci-peng telah putus asa dan tidak ingin lari lagi. Dasar Ci-keng memang amat pemberang, tanpa bicara lagi sebelah tangannya menggampar.

“Mengapa kau pukul aku?” teriak Ci-peng dengan marah.

Melihat kedua orang itu saling hantam lagi, Siao-liong-li menjadi heran. Pada saat itulah dari depan sana tampak mendatangi dua penunggadg kuda, rupanya dua kurir Mongol yang bertugas mengirim surat atau berita. Pikiran Ci-keng bergerak, dengan suara tertahan dia berkata kepada Ci-peng:

“Mari kita rebut kuda mereka. Kita pura-pura berkelahi supaya tidak menimbulkan curiga Siao-liong-li.”

Ci-peng menurut, lalu mereka pura-pura berhantam lagi sambil menggeser ke jalan raya. Karena jalan terhalang, kedua prajurit MongoI itu terpaksa menahan kuda mereka sambil membentak-bentak. Namun Ci-keng mendadak melompat ke atas, seorang satu seketika kedua prajurit Mongol itu disodok terjungkal ke bawah, lalu dengan kuda rampasan itulah mereka kabur ke utara. Kedua ekor kuda itu adalah kuda perang piIihan, perawakannya gagah dan larinya cepat. Pada waktu mereka menoleh, ternyata Siao-liong-li tidak mengejar lagi, maka legalah hati mereka. Mereka terus melarikan kuda ke utara, sesudah belasan li kemudian sampailah mereka pada jalan persimpangan tiga.

“Dia melihat kita kabur ke utara, sekarang justru membelok ke timur,” kata Ci-keng sambil membelokkan kuda ke kanan dan diikuti Ci-peng.

Menjelang magrib, sampailah mereka di suatu kota kecil. Sehari suntuk berlari tanpa mengisi perut barang sedikit pun, mereka sangat lelah dan lapar. Segera mencari sebuah warung makan dan pesan satu piring daging berikut beberapa bakpau. Sambil duduk menunggu daharan, hati Ci-keng masih berdebar-debar mengenang bahaya yang dihadapinya tadi. Ia tidak tahu mengapa Siao-liong-li menguntit saja dan tidak segera turun tangan. Dilihatnya Ci-peng juga duduk menunduk dengan muka pucat seperti orang linglung.

Tak lama kemudian makanan yang dipesan telah disuguhkan, segera mereka makan dan minum. Belum seberapa lama, tiba-tiba terdengar ribut di luar, seseorang sedang membentak-bentak dan bertanya:

“Siapa pemilik kedua ekor kuda ini? Mengapa berada di sini?” Dari logat suaranya agaknya orang Mongol.

Ci-keng berdiri dan mendekati pintu. Dilihatnya seorang perwira Mongol dengan beberapa orang anak buah sedang bertanya mengenai kedua ekor kuda rampasan Ci-keng berdua, pelayan rumah makan tampak ketakutan dan menyembah. Lantaran seharian diuber Siao-liong-li dan rasa dongkol Ci-keng belum terlampiaskan, kini ada orang mencari gara-gara, segera dia tampil ke muka dan berteriak:

“Itu kudaku! Ada apa?!”

“Dapat dari mana?” tanya perwira itu.

“Milikku sendiri, peduIi apa denganmu?” jawab Ci-keng.

Tatkala itu di utara Siang-yang sudah berada dalam pendudukan pasukan Mongol, rakyat Song hidup di bawah penindasan kejam, mana ada orang berani bersikap kasar terhadap perwira Mongol? Tapi lantaran melihat perawakan Ci-keng gagah dan kuat, membawa pedang pula, diam-diam perwira itu rada jeri, ia lantas tanya pula:

“Kau dapat beli atau mencuri?”

“Beli atau mencuri apa?” jawab Ci-keng dengan marah. “Kuda ini adalah piaraanku sendiri.”

“Tangkap!” mendadak perwira itu memberi aba-aba. Serentak beberapa prajurit mengerubut maju dengan senjata terhunus.

“Hm, berdasarkan apa kalian hendak menangkap orang?!” bentak Ci keng sambil meraba pedangnya.

“Berani kau melawan, maling kuda?” jengek perwira Mongol itu. “Ha-ha, barang kali kau telah makan hati macan maka berani melawan perwira markas besar. Hayo kau mengaku mencuri tidak?” Berbareng dia menyingkap bulu paha belakang kuda hingga kelihatan cap bakar dua huruf Mongol.

Rupanya setiap kuda perang Mongol pasti ditandai dengan cap bakar untuk menjelaskan kuda itu termasuk pasukan dan kelompok mana. Ci-keng merampas kuda itu di tengah jalan, sudah tentu dia tidak tahu seluk-beluk tanda cap bakar segala. Sebab itu dia tak bisa menjawab. Akan tetapi dia sengaja berdebat:

“Siapa bilang kuda perang Mongol? Di tempat kami banyak juga kuda yang diberi cap bakar seperti ini. Memangnya tidak boleh dan melanggar aturan?”

Perwira itu menjadi marah. Belum pernah ada orang yang berani membantah, masa sekarang ada maling kuda yang malah menantangnya? Segera dia melangkah maju hendak mencengkeram baju dada Ci-keng. Akan tetapi tangan kiri Ci-keng menangkis dan membalik, tangan perwira itu berbalik kena dipegangnya. Menyusul tangan kanan Ci-keng mencengkram punggung perwira itu lalu diangkat ke atas, setelah diputar beberapa kali terus dilemparkan.



Tanpa ampun perwira itu terbanting ke dalam sebuah toko barang pecah belah, seketika terdengarlah suara gemerantang nyaring berturut-turut, rak mangkok piring dan barang-barang porselin lain roboh dan hancur berantakan. Muka perwira itu pun babak belur terluka oleh pecahan beling serta tertindih oleh rak yang ambruk. Para prajurit Mongol cepat-cepat memberi pertolongan sehingga lupa menangkap orang.

Ci-keng terbahak-bahak gembira lalu masuk kembali ke warung makan untuk meneruskan daharannya tadi. Karena ribut-ribut itu, toko yang tadinya buka pasar seketika semua tutup pintu. Tetamu yang sedang makan di warung itu pun segera buyar. Tentara Mongol terkenal ganas dan kejam, tapi sekarang ada orang Han memukuli perwira Mongol, maka akibatnya dapatlah dibayangkan, bukan mustahil seluruh kota akan dibumi-hanguskan.

Belum banyak Ci-keng mengisi perutnya, tiba-tiba kuasa rumah makan itu mendekatinya dan berlutut di hadapannya. Ci-keng tahu maksud orang, pasti kuatir perusahaannya ikut terkena getahnya, maka minta penyelesaian sebaik-baiknya. Sambil tertawa ia lantas berkata:

“Kau jangan kuatir, setelah makan kenyang segera kami angkat kaki dari sini.”

Tapi kuasa rumah makan itu tetap menyembah dengan muka pucat. Ci-peng lantas berkata kepada Ci-keng:

“Rupanya dia takut bila kita pergi, sebentar lagi pasukan Mongol akan datang minta pertanggungan jawabnya.”

Dia memang lebih cerdik dari pada Ci-keng. Sesudah berpikir sejenak, segera dia berkata pula kepada kuasa rumah makan itu.

“Lekas ambilkan lagi daharan yang lezat, apa yang telah kami perbuat adalah tanggung jawab kami sendiri, kenapa mesti takut?”

Kuasa rumah makan itu mengiyakan dengan girang, cepat dia merangkak bangun sambil memerintahkan agar daharan ditambah dan membawakan arak pula. Sementara perwira Mongol yang babak belur itu telah dibangunkan anak buahnya dan dibawa pergi. Dengan tertawa Ci-keng berkata kepada Ci-peng:

“ln-sute, sudah seharian kita kenyang tersiksa, sebentar biarlah kita labrak mereka sepuasnya.”

Ci-peng hanya mendengus tanpa menanggapi, sementara itu pelayan sibuk membawakan daharan. Sesudah makan lagi sekedarnya, mendadak Ci-peng bangkit, pelayan yang meladeni di sebelahnya dihantam hingga terjungkal. Keruan si kuasa rumah makan kaget, cepat ia mendekati dan minta maaf bila mana ada kesalahan pelayanan. Namun kaki Ci-peng lantas melayang pula, dengan tepat dengkul kuasa rumah makan itu didepak sehingga jatuh terguling.

Ci-keng tidak tahu maksud tujuan sang Sute, dikiranya rasa dongkol Ci-peng itu sengaja dilampiaskan atas diri si pelayan. Dia berusaha mencegahnya, tetapi mendadak Ci-peng mendomplangkan meja yang penuh dengan mangkok dan piring, menyusul dua orang pelayan dipukul roboh lagi.

Cara memukul Ci-peng itu disertai dengan totokan Hiat-to, sebab itu setelah jatuh orang-orang itu sama tergeletak tak dapat berkutik. Habis ‘ngamuk’, Ci-peng kebut baju sendiri, lalu berkata:

“Sebentar kalau pasukan Mongol datang kembali dan melihat kalian kulabrak sedemikian rupa, tentu kalian takkan dimarahi, Nah, paham tidak? Bila perlu kalian boleh saling hantam lagi agar kelihatan lebih babak belur.”

Sekarang barulah orang-orang itu mengerti apa maksud tujuan Ci-peng memukuli mereka. Sesudah menyatakan akal bagus, segera mereka saling hantam hingga baju robek dan hidung bengkak. Pada saat itulah terdengar suara derap kaki kuda, ada beberapa orang datang. Serentak orang-orang rumah makan itu merebahkan diri sambil berteriak mengaduh kesakitan serta minta ampun segala.

Setiba di depan rumah makan, benar juga penunggang kuda itu lantas berhenti dan masuklah empat orang perwira Mongol, di belakang mereka ikut pula seorang paderi Tibet yang bertubuh tinggi kurus serta seorang asing yang tubuhnya pendek dan hitam. Kedua kaki orang asing itu sudah buntung dan kedua tangannya memegang tongkat penyanggah ketiak.

Melihat keadaan rumah makan yang porak poranda itu, sambil mengerutkan kering para perwira Mongol itu segera membentak:

“Lekas bawakan santapan enak, kami buru-buru mau berangkat lagi!”

Kuasa rumah makan tadi melengak, baru sekarang ia tahu rombongan ini bukanlah kawan rombongan pertama tadi. Dia menjadi bingung, kalau perwira Mongol yang dilabrak In Ci-peng tadi datang kembali, lalu cara bagaimana akan menghadapinya? Selagi dia bersangsi, perwira Mongol itu menjadi tidak sabar dan menyabetkan cambuk kudanya. Dengan menahan rasa sakit kuasa rumah makan itu terpaksa mengiyakan, tapi celakanya dia tak dapat bangun, syukur ada pegawai lain melayani kawanan Mongol itu dan mengatur meja kursi.

Paderi Tibet itu bukan lain dari pada Kim-lun Hoat-ong dan orang asing hitam pendek dan kaki buntung itu adalah Nimo Singh. Mereka merawat diri beberapa hari di lembah sunyi itu. Sesudah Hoat-ong mengeluarkan sisa racun di dalam tubuh dan luka kaki Nimo Singh mulai sembuh barulah mereka meninggalkan lembah itu hingga bertemu dengan perwira Mongol itu di tengah jalan, lalu bersama-sama pulang ke markas besar Kubilai.

Tentu saja Ci-peng dan Ci-keng terkejut bukan main melihat datangnya Kim-lun Hoat-ong. Mereka pernah menyaksikan kelihayan paderi Tibet itu, malahan kedua muridnya saja, yaitu Darba dan Hotu yang dulu pernah menyatroni Tiong-yang-kiong, sudah sukar ditandingi oleh tokoh-tokoh Coan-cin-pay, apa lagi sekarang kepergok Kim-lun Hoat-ong sendiri, diam-diam mereka kebat-kebit. Mereka saling memberi tanda dan segera mencari jalan meloloskan diri.

Meski Ci-keng berdua kenal Kim-lun Hoat-ong, sebaliknya Hoat-ong tak mengenal kedua Tosu itu. Walau pun keadaan rumah makan berantakan, tapi suasana perang tatkala itu tidak membuatnya heran jika menyaksikan keadaan rusak itu. Karena kepergiannya ke Siang-yang kali ini mengalami kekalahan, dia merasa malu bila nanti bertemu dengan Kubilai, maka yang dia pikirkan sekarang adalah cara bagaimana harus bicara kepada tuannya, sehingga kehadiran dua orang Tosu di rumah makan ini tidak digubris olehnya.

Pada saat itu tiba-tiba terjadi kegaduhan di luar rumah makan, sekawanan prajurit Mongol menyerbu masuk, begitu melihat Ci-keng berdua, sambil membentak-bentak hendak menangkapnya.

“Lari melalui pintu belakang,” demikian kata Ci-peng dengan suara tertahan kepada Ci-keng sembari mendomplangkan sebuah meja hingga mangkuk piring berserakan di lantai, berbareng mereka terus melompat menuju pintu belakang, sebab Kim-lun Hoat-ong duduk dekat pintu depan, kalau lari lewat di sebelahnya bisa jadi dia akan menghalangi mereka.

Ketika hampir sampai di ruang belakang, sekilas Ci-peng menoleh dan melihat Hoat-ong masih asyik minum tanpa gubris kekacauan itu. Diam-diam dia girang, asalkan paderi itu tidak ikut campur tentu tidak sukar untuk kabur. Tak terduga mendadak sesosok bayangan melayang tiba, orang cebol buntung tahu-tahu sudah melompat ke sana, sebelah tongkatnya menghantam sekaligus Ci-peng dan Ci-keng.

Tentu saja Ci-peng berdua belum kenal siapa Nimo Singh, maka cepat mereka mengelak. Heran juga Nimo Singh karena serangannya tak mengenai sasaran, ia merasa kedua Tosu ini ternyata bukan jago lemah. Segera kedua tongkatnya bergantian, yang satu dibuat menyanggah tubuh dan yang lain digunakan menyerang, dari bagian luar dia terus mendesak mundur Ci-peng berdua dan dengan sendirinya Ci-peng berdua balas menyerang sambil berusaha meloloskan diri.

Meski kepandaian Nimo Singh lebih tinggi dari pada Ci-peng berdua, tetapi lantaran kedua kakinya buntung belum lama ini, tenaganya belum pulih seluruhnya, apa lagi belum biasa memakai tongkat begitu, lama-lama dia sendiri menjadi kewalahan dikerubuti Ci-peng dan Ci-keng.

Melihat kawannya rada kerepotan, perlahan Hoat-ong mendekati mereka. Ketika pedang Ci-keng menusuk dada Nimo Singh dan orang Keling ini menangkisnya dengan tongkat, mendadak pedang Ci-peng sekaligus juga mengancam iga kanan Singh yang tak terjaga. Karena tidak ingin tertembus perutnya terpaksa Nimo Singh melompat ke samping. Ketika Hoat-ong melangkah tiba, kebetulan Nimo Singh melompat ke atas. Maka tangan kiri Hoat-ong digunakan mendukung bokong Nimo Singh dan memondongnya, ada pun tangan kanan memegangi lengannya.

Pada saat itu tongkatnya masih menempel pedang Ci-keng. Ketika Hoat-ong menyalurkan tenaga dalamnya melalui tongkat Nimo Singh, seketika Ci-keng merasa tangan kanannya tergetar dan dadanya terasa sesak.

“Trangg...!” pedang terpaksa dilepaskan dan jatuh ke lantai.

Meski tenaganya belum cukup kuat, namun perubahan serangan Nimo Singh amat cepat. Begitu pedang Ci-keng jatuh, segera ia memutar tongkatnya dan menempel pedang Ci-peng. Pada saat Hoat-ong menyalurkan lagi tenaga dalamnya, sekuatnya Ci-peng juga melawan dengan tenaga dalam, akan tetapi cara menguasai tenaga dalam Kim-lun Hoat-ong memang luar biasa, bisa keras bisa lunak.

“Krekk!” tahu-tahu pedang Ci-peng patah, yang terpegang olehnya hanya setengah potong pedang saja.

Dengan perlahan Hoat-ong menurunkan Nimo Singh. Begitu dua tangannya meraih, tahu-tahu pundak kedua Tosu sudah terpegang olehnya, katanya dengan tertawa:

“Kita belum pernah kenal, kenapa saling labrak? Kepandaian kalian boleh dikatakan jago pedang kelas satu di sini. Bagaimana kalau duduk dulu dan kita ngobrol.”

Cara memegang Hoat-ong biasa saja, tetapi ternyata sukar dielakkan Ci-peng berdua, mereka merasa ditindih tenaga yang maha kuat. Cepat mereka mengerahkan tenaga dalam untuk melawan dan tidak berani menjawab.

Sementara itu pasukan Mongol yang menyerbu masuk telah mengepung. Perwira yang memimpin adalah seorang Cian-hu-tiang (komandan seribu orang), dia kenal Kim-lun Hoat-ong sebagai Koksu atau Imam Negara yang sangat dihormati oleh pangeran Kubilai, cepat ia mendekati dan memberi hormat sambil menyapa:

“Koksuya, kedua Tosu ini mencuri kuda perang dan memukul anggota tentara kita, harap Koksuya suka...” baru sampai di sini, tiba-tiba saja dia mengamat-amati In Ci-peng, lalu berkata mendadak: “Hei, bukankah engkau ini In Ci-peng, In-totiang?”

Ci-peng mengangguk dan tidak menjawab, dia merasa tidak kenal dengan perwira Mongol yang menegurnya ini. Pegangan Hoat-ong dikendurkan, diam-diam ia pun mengakui Iwekang kedua Tosu itu ternyata cukup hebat meski usia mereka baru 40-an. Perwira Mongol itu lantas berkata pula dengan tertawa:

“Apakah In-totiang sudah pangling kepadaku? 19 tahun yang lampau kita pernah berkumpul di gurun pasir dan makan panggang kambing, masa sudah lupa? Namaku Sato!”

Sesudah mengamati dan mengingat sejenak, Ci-peng menjadi girang dan berseru: “Aha, betul, betul! Sekarang kau pelihara berewok lebat sehingga aku pangling.”

“Selama ini kami berjuang kian kemari hingga rambut dan jenggot putih semua, tapi wajah Totiang ternyata tak banyak berubah,” ujar Sato dengan tertawa, “Pantas saja Jengis Khan Agung kami mengatakan kaum beragama seperti kalian ini hidup laksana malaikat dewata.” Lalu dia berpaling kepada Hoat-ong dan menutur: “Koksuya, In-totiang ini dahulu pernah berkunjung ke negeri kami atas undangan Jengis Khan Agung, kalau dibicarakan kita adalah orang sendiri.”

Hoat-ong manggut-manggut, lalu melepaskan pundak Ci-peng berdua. Supaya diketahui, dulu waktu Jengis Khan mulai jaya, dia pernah mengundang kaum Tosu dari Coan-cin-kau ke Mongol agar mengajarkan ilmu panjang umur kepadanya. Untuk itu Khu Ju-ki telah berangkat ke sana dengan membawa 18 anak muridnya, In Ci-peng yang merupakan murid tertua dengan sendirinya ikut serta. Untuk mereka, Jengis Khan sudah mengutus 200 prajurit sebagai pengawal rombongan Khu Ju-ki, tatkala itu Sato hanya seorang prajurit biasa saja dan termasuk dalam pasukan pengawal, sebab itulah dia kenal In Ci-peng.

Selama 20 tahun Sato terus naik pangkat sehingga menjadi Cian-hu-tiang dan secara kebetulan bertemu kembali dengan Ci-peng, tentu saja ia amat gembira. Segera ia suruh menyediakan makanan untuk menghormati Ci-peng, urusan kuda serta memukuli prajurit Mongol dengan sendirinya tak diusut lagi. Kim-lun Hoat-ong juga pernah mendengar nama Khu Ju-ki dan mengetahui pula bahwa ia adalah tokoh nomor satu Coan-cin-pay. Sekarang dilihatnya kepandaian Ci-peng berdua juga tidak lemah, dia mengakui ilmu pedang dan Iwekang Coan-cin-pay memang lihay.

Dalam pada itu Sato sibuk menanyai Ci-peng mengenai kesehatan ke-18 murid Coan-cin-kau yang lainnya. Bicara kejadian pada masa lalu, Sato menjadi bersemangat dan sangat gembira. Pada saat itulah tiba-tiba masuk seorang perempuan muda berbaju putih. Serentak Hoat-ong, Nimo Singh, Ci-peng dan Ci-keng terkesiap. Ternyata pendatang ini adalah Siao-liong-li adanya! Di antara orang-orang itu hanya Nimo Singh yang tidak punya rasa dendam, segera dia menegur.

“Hai, pengantin perempuan Cui-sian-kok, baik-baik sajakah kau?”

Siao-liong-li hanya mengangguk saja tanpa menjawab. Dia pilih meja di pojok sana lantas duduk tanpa menggubris orang lain. Dia memberi pesan seperlunya kepada pelayan agar membuatkan santapan baginya. Air muka Ci-peng berdua menjadi pucat dan hati berdebar. Hoat-ong juga kuatir kalau Yo Ko menyusul tiba. Selamanya dia tidak gentar apa pun kecuali permainan ganda ilmu pedang Yo Ko dan Siao-liong-li. Begitulah ketiga orang memikirkan urusan sendiri dan tidak bicara lagi melainkan makan saja. Ci-peng berdua sebenarnya sudah kenyang makan, tetapi kalau mendadak terdiam bisa jadi akan menimbulkan curiga orang lain, terpaksa mereka makan lagi tanpa berhenti agar mulut tidak menganggur.

Hanya Sato saja yang tetap gembira ria. Dia tanya Ci-peng: “ln-totiang, apakah engkau pernah bertemu dengan Pangeran kami?”

Ci-peng hanya menggeleng saja tanpa bicara. Sato lantas menyambung: “Wah, pangeran kita ini sungguh pintar dan bijaksana, beliau adalah putera keempat pangeran Tulai, setiap prajurit sayang padanya, sekarang aku hendak menghadap beliau untuk memberi laporan keadaan, kalau kedua Totiang tiada urusan lain, bagaimana kalau ikut serta menghadap beliau?”

Ci-peng sedang bingung, maka tanpa pikir ia menggeleng, tapi pikiran Ci-keng lantas tergerak. Dia tanya Hoat-ong:

“Apakah Taysu juga hendak menghadap Ongya?”

“Ya,” jawab Hoat-ong. “Pangeran Kubilai adalah pahlawan yang tidak ada bandingannya di jaman ini, kalian harus berkunjung dan berkenalan dengan beliau.”

“Baiklah,” cepat Ci-keng menanggapi. “Kami akan ikut Taysu dan Sato-ciangkun ke sana.” kakinya menyenggol perlahan kaki Ci-peng serta mengedipinya.

Sesunguhnya Ci-peng lebih cerdik dari pada Ci-keng, cuma saja begitu melihat Siao-liong-li seketika dia menjadi linglung. Selang sejenak barulah dia ingat apa maksud tujuan Ci-keng, rupanya hendak meloloskan diri dari kejaran Siao-liong-li dengan bernaung di bawah lindungan Kim-lun Hoat-ong.

Begitulah setelah makan, berturut-turut semuanya berangkat. Diam-diam Hoat-ong merasa lega karena selama ini Yo Ko tidak kelihatan muncul, pikirnya: “Coan-cin-kau adalah sekte agama berpengaruh di daratan Tionggoan, kalau saja dapat dirangkul tentu akan banyak bermanfaat bagi pihak Mongol. Apa lagi tujuannya ke Siang-yang telah mengalami kegagalan total, jika dapat mengajak pulang kedua Tosu Coau-cin-kau ini kan juga suatu jasa besar. Sementara itu hari sudah mulai gelap, mereka terus melarikan kuda dengan cepat. Ketika di belakang terdengar pula derap kaki binatang, Ci-keng menoleh dan samar-samar kelihatan Siao-liong-li masih mengikuti dari jauh dengan menunggang seekor keledai.

Kim-lun Hoat-ong juga merinding sesudah mengetahui Siao-liong-li membuntuti mereka. Diam-diam dia pun heran mengapa Siao-liong-li berani mengikutinya sendirian, padahal satu lawan satu jelas nona itu pasti bukan tandinganku, jangan-jangan dia membawa bala bantuan tersembunyi? Demikianlah Hoat-ong menjadi sangsi, padahal kalau sekarang dia berani menyongsong kedatangan Siao-liong-li kemudian melabraknya, tentu nona itu akan celaka, kalau tidak terbunuh juga tertawan. Tapi Hoat-ong baru saja berkenalan dengan Ci-peng berdua dari Coan-cin-pay, ia menjadi kuatir jika kebetulan kecundang, hal ini tentu akan menurunkan pamornya, sebab itulah dia lebih suka cari selamat dan pura-pura tidak tahu penguntitan Siao-liong-li.

Setelah menempuh perjalanan setengah malaman, sampai di suatu hutan, Sato memerintahkan pasukan berhenti mengaso, masing-masing duduk istirahat di bawah pohon. Tampaklah Siao-liong-li juga turun dari keledainya lalu duduk di sana dalam jarak beberapa puluh meter jauhnya. Semakin misterius gerak-gerik si nona, semakin menimbulkan curiga Kim-lun Hoat-ong sehingga tak berani sembarangan bertindak. Yang paling ketakutan tentu saja In Ci-peng, memandang saja dia tidak berani. Setelah cukup mengaso, kemudian pasukan berangkat lagi.

Sesudah jauh meninggalkan hutan, terdengar suara “keteplak-keteplak” yang samar-samar, ternyata Siao-liong-li tetap menguntit di belakang dengan keledainya. Sampai pagi mendatang, Siao-liong-li tetap mengintil di belakang dalam jarak tetap.

Sementara itu rombongan sudah tiba di suatu tanah datar yang luas, sepanjang mata memandang tiada tampak suatu bayangan apa pun. Diam-diam timbul pikiran jahat Kim-lun Hoat-ong, ia membatin: “Sejak datang ke Tionggoan belum pernah aku bertemu tanding, tapi akhir-akhir ini berturut-turut dikalahkan oleh ilmu pedang gabungan Yo-Ko dan nona ini. Sekarang dia terus membuntuti aku, tentu dia mempunyai maksud buruk. Sebelum dia bertindak, kenapa tidak kubinasakan dia dahulu secara tak terduga olehnya, seumpama nanti bala bantuan tiba tentu juga tak akan keburu menoIongnya. Dan jika nona ini sudah mati, di dunia ini tiada orang lain lagi yang mampu melebihi aku.”

Setelah mengambil keputusan, baru saja dia mau menahan kudanya untuk menanti datangnya Siao-liong-li, tiba-tiba dari depan ada suara gemuruh datangnya serombongan orang disertai debu mengepul dan suara keleningan kuda atau unta.

“Wah, terlambat! Jika tahu bala bantuannya akan datang sekarang, tentu sejak tadi sudah kubinasakan dia,” demikian Hoat-ong membatin karena tidak sempat lagi menindak Siao-liong-li.

Pada saat lain mendadak terdengar Sato berseru menyatakan herannya. Waktu Hoat-ong melongok jauh ke sana, terlihat rombongan yang datang itu amat aneh, seluruhnya empat ekor unta tanpa penunggang, pada sisi kanan punggung unta pertama terpancang sebuah bendera besar, di ujung tiang bendera itu ikut berkibar pula tujuh ikat bulu putih, itulah panji pengenal Kubilai.

“Barang kali Ongya yang datang?” guman Sato sambil keprak kudanya menyongsong ke depan. Kurang lebih beberapa puluh meter lagi, Sato turun dari kudanya dan berdiri di tepi jalan dengan hormat.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar