Jumat, 10 September 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 118

PENGAKUAN YANG MENYAKITKAN

Kuda merah itu teramat cepat larinya, sekejap sudah belasan li jauhnya. Ketika dia putar balik, Yo Ko sudah menghilang di lembah pegunungan itu. Tanpa kenal lelah Siao-liong-li terus mencari di sekitar Siang-yang, sampai tengah malam barulah dia mendengar suara raung tangis Bu Sam-thong di kejauhan. Cepat Siao-liong-li mencari ke arah datangnya suara, dan tidak lama kemudian dapatlah didengarnya suara pertempuran kedua saudara Bu, menyusul terdengar suara bicara Yo Ko.

Tentu saja dia girang bukan main. Dia kuatir Yo Ko ketemu musuh tangguh, maka dia ingin membantunya secara diam-diam saja. Segera ia turun dari kudanya, ia tambat kuda merah itu pada sebatang pohon, lalu merunduk ke sana dan sembunyi di balik sepotong batu padas untuk mengintip cara bagaimana Yo Ko menghadapi musuh.

Celakanya yang terdengar adalah ucapan Yo Ko yang berulang-ulang menyatakan sudah dijodohkan dengan Kwe Hu, nona itu disebutnya sebagai bakal isterinya, Kwe Ceng dan Oey Yong dipanggilnya ayah dan ibu mertua. Didengarnya pula Yo Ko mengaku sudah menerima ajaran ilmu silat secara diam-diam dari Oey Yong, dilihatnya pula Yo Ko sangat marah kepada kedua saudara Bu, serta melarang kedua anak muda itu untuk selanjutnya menyebut nama Kwe Hu. Begitulah setiap Yo Ko mengucapkan hal itu, setiap kali pula Siao-liong-li bagai disambar petir, pikirannya menjadi kacau, dunia mendadak dirasakan sudah kiamat.

Kalau orang lain, tentu akan timbul rasa sangsinya melihat kata dan perbuatan Yo Ko itu sama berbeda. Namun Siao-liong-li memang orang yang lugu, hatinya bersih, pikirannya sederhana, sedikit pun tidak paham seluk beluk kepalsuan kehidupan manusia. Meski pun terhadap orang lain Yo Ko memang suka membual, tetapi biasanya terhadap dirinya tidak pernah membual sedikit pun, sebab itulah Siao-liong-li menaruh kepercayaan penuh terhadap apa yang diucapkan Yo Ko.

Begitulah ketika melihat kedua Bu cilik bukan tandingan Yo Ko, Siao-liong-li yang sedang berduka dan menyesali nasibnya itu tanpa terasa mengeluarkan suara tarikan napas panjang sebagaimana yang didengar Yo Ko itu sehingga pemuda ini hampir saja berseru memanggilnya. Pada saat itu juga Siao-liong-li lantas pergi dengan berlinangan air mata. Sambil menuntun kuda merah Siao-liong-li berkeliaran semalaman di ladang sunyi itu, pikirannya kacau dan bingung.

Usianya sudah lebih 20 tahun, tapi selama hidupnya berdiam di kuburan kuno, seluk-beluk kehidupan manusia sedikit pun tak dipahaminya, hakekatnya jalan pikirannya masih polos dan bersih seperti anak kecil. Dia pikir: “Yo Ko sudah terikat jodoh dengan nona Kwe, dengan sendirinya tidak dapat menikahi diriku lagi. Pantas Kwe-tayhiap suami-isteri ber-ulang merintangi hasrat Ko-ji yang ingin menikahi aku. Bahwa selama ini Ko-ji tidak memberi-tahukan padaku tentang ikatannya dengan nona Kwe, tentu karena dia kuatir aku akan berduka. Ai, dia memang sangat baik padaku.”

Begitulah lantaran dia juga amat mencintai Yo Ko, walaupun dengan mata telinga sendiri mendengar anak muda itu mengatakan hendak menikah dengan Kwe Hu, namun ia tidak dendam sedikit pun, ia hanya berduka sambil menyesali nasibnya sendiri. Malahan lantas terpikir lagi olehnya:

“Sebabnya Ko-ji tidak cepat-cepat membunuh Kwe-tayhiap untuk membalas sakit hati kematian ayahnya, kiranya persoalan nona Kwe inilah yang membuatnya bimbang, jika begitu tampaknya dia juga amat baik kepada nona Kwe. Kalau sekarang kuberikan kuda merah ini padanya, bisa jadi dia akan teringat lagi kepada kebaikanku dan perjodohannya dengan nona Kwe mungkin akan terganggu lagi. Rasanya lebih baik aku pulang sendirian saja ke kuburan kuno, dunia yang fana ini cuma membikin kacau dan membingungkan pikiranku saja.”

Setelah berpikir lagi, akhirnya ia membulatkan tekad. Meski hatinya terasa disayat-sayat, cintanya kepada Yo Ko terasa berat sekali untuk diputuskan, namun terpikir pula olehnya bahwa menyelamatkan jiwa anak muda itu terlebih penting. Karena itu malam itu juga dia pulang ke Siang-yang dan minta pertolongan Cu Cu-liu agar suka mengantarkan kuda merah kepada Yo Ko yang masih berada di lembah sunyi. Waktu itu Siang-yang belum tenang, Kwe Ceng dan Oey Yong belum sehat pula, maka tugas pertahanan kota diurus oleh Loh Yu-kah dibantu oleh Cu Cu-liu.

Di tengah kemelut itulah Siao-liong-li membawa kuda merah datang pada Cu Cu-liu dan minta bantuannya mengantar kuda itu kepada Yo Ko agar anak muda itu bisa lekas pergi ke Coat-ceng-kok dan menukar obat penawar dengan bayi yang baru dilahirkan Oey Yong.

Sudah tentu Cu Cu-liu merasa bingung oleh penuturan yang tak diketahui awal mulanya. Dia coba bertanya lebih jelas, tetapi Siao-liong-li sendiri sedang kesal dan tidak ingin banyak bicara, dia hanya mendesak Cu Cu-liu lekas berangkat, katanya kalau terlambat bisa jadi jiwa Yo Ko akan melayang. Sama sekali Siao-liong-li tidak pedulikan bahwa waktu itu Kwe Hu juga berada di sebelah Cu Cu-liu. Ia pikir adikmu itu dibawa sementara ke Coat-ceng-kok, tentu tak berhalangan, apa lagi demi menyelamatkan jiwa bakal suamimu.

Biasanya Siao-liong-li bisa menguasai perasaannya, suka mau pun duka jarang dipikirkan olehnya, tapi semenjak jatuh cinta pada Yo Ko, segala ilmu menguasai perasaan yang dilatihnya sejak kecil hampir tidak dapat digunakannya lagi, guncangan perasaan bahkan jauh lebih hebat dari pada orang biasa. Maka sesudah memberi pesan kepada Cu Cu-liu, lantaran beberapa kali menyebut nama Yo Ko, tanpa terasa air matanya bercucuran, cepat ia berlari kembali ke kamarnya dan menangis sedih di tempat tidur.

Biar pun Cu Cu-liu adalah seorang cerdik pandai, tapi lantaran tidak tahu seluk-beluknya persoalan, uraian Siao-liong-li yang tidak keruan juntrungannya itu membuatnya bingung. Tapi ingat bahwa kalau terlambat bisa jadi jiwa Yo Ko akan melayang, dia pikir terpaksa harus cepat ke lembah itu dan bertindak menurut keadaan di sana. Akan tetapi, ketika dia mau berangkat, ternyata kuda merah yang dibawakan Siao-liong-li itu sudah hilang, waktu ditanyakan penjaga, katanya nona Kwe yang membawanya pergi. Ketika dia mencari Kwe Hu, ternyata bayangan nona itu pun tak dapat diketemukan.

Karena menguatirkan keselamatan Yo Ko, terpaksa Cu Cu-liu menunggang kuda lain dan membawa belasan anggota Kay-pang menuju ke lembah yang ditunjuk Siao-liong-li. Di situ dilihatnya Yo Ko dan ayah beranak keluarga Bu itu sama-sama menggeletak tak bisa berkutik. Mereka segera dibawa pulang ke Siang-yang. Kebetulan paman gurunya, yaitu si paderi Hindu datang dari negeri Tayli, dan paderi inilah yang menyadarkan Yo Ko dan lain-lain.

Demikianlah Siao-liong-li menangis di kamarnya, makin dipikir makin sedih, air mata pun sukar dibendung lagi sehingga membasahi baju dan tempat tidurnya. Dia bermaksud mengambil sapu tangan untuk mengusap air mata, tiba-tiba tangannya menyentuh Siok-li-kiam yang terselip di tali pinggangnya. Tiba-tiba timbul pikirannya hendak memberikan pedang itu kepada Kwe Hu agar nona itu dan Yo Ko benar-benar menjadi pasangan yang setimpal. Maklumlah, Siao-liong-li teramat cinta kepada Yo Ko, segala apa yang bermanfaat bagi anak muda itu dengan rela dilakukannya. Karena itulah ia lantas menuju ke kamar Kwe Hu.

Tatkala itu sudah lewat tengah malam, Kwe Hu sudah tidur. Tanpa mengetok pintu Siao-liong-li membuka daun jendela kemudian melompat masuk ke kamar. Serta merta dia membangunkan Kwe Hu dan mengatakan ‘kalian memang pasangan setimpal’ sebagaimana diuraikan kembali oleh Kwe Hu kepada Yo Ko. Sesudah menyerahkan Siok-li-kiam kepada Kwe Hu segera Siao-liong-li pergi.

Sudah tentu Kwe Hu terheran-heran dan bertanya apa yang dimaksud, namun Siao-liong-li tidak menjawab melainkan terus melompat keluar jendela.

“Kembalilah, Liong-kokoh!” cepat Kwe Hu berteriak sambil melongok keluar, tetapi terlihat Siao-liong-li sudah melangkah pergi tanpa berpaling lagi.

Dengan menundukkan kepala menahan rasa sedih Siao-liong-li masuk ke taman bunga. Bau bunga mawar yang sedang mekar mewangi mengingatkan dia pada saat bersama Yo Ko berlatih Giok-li-sim-keng diselingi oleh semak-semak bunga dahulu. Untuk berkumpul lagi seperti dahulu rasanya sukar terjadi lagi. Selagi melayang pikirannya, mendadak dari pojok rumah di sebelah kiri ada seseorang sedang berkata:

“Kau sebentar-sebentar mengucap Siao-liong-li, apakah kau tidak dapat berhenti menyebutnya?”



Keruan Siao-liong-li terkejut, ia heran siapakah yang selalu menyebut namaku? Segera ia berhenti di situ untuk mendengarkan lebih cermat. Segera terdengar suara seorang lainnya tertawa mengejek dan berkata:

“Kau sendiri boleh berbuat, masa aku tidak boleh menyebutnya?”

Terdengar orang pertama tadi menjawab: “lni rumah orang lain, mata telinga amat banyak, bila didengar orang lain, ke mana lagi nama baik Coan-cin-kau kita akan ditaruh?”

“He-he, kiranya kau masih ingat kepada nama baik Coan-cin-kau kita,” jengek orang kedua tadi. “He-he, malam itu di tepi semak bunga mawar di Cong-lam-san, rasa nikmat naik surga itu... Wah, ha-ha-ha...!” Sampai di sini ia hanya terkekeh-kekeh saja dan tidak melanjutkan.

Siao-liong-li tambah kaget dan sangat curiga. Dia pikir apakah mungkin malam itu waktu Ko-ji melaksanakan cintanya padaku telah dapat diintip oleh kedua Tosu ini? Dari suara kedua orang itu Siao-liong-li sudah tahu mereka adalah In Ci-peng dan Thio Ci-keng. Maka diam-diam dia mendekati jendela rumah itu kemudian berjongkok di situ untuk mendengarkan lebih Ianjut.

Sementara itu suara bicara kedua orang itu berubah menjadi lirih, tapi jarak Siao-liong-li sekarang sangat dekat, pendengarannya tajam, biar pun kedua orang bisik-bisik cara bicaranya juga dapat didengarnya dengan jelas. Terdengar Ci-peng sedang berkata:

“Tio-suheng, setiap hari siang dan malam kau selalu menyiksa aku, sebenarnya apa tujuanmu?”

“Kau sendiri paham, masa perlu kuterangkan?” jawab Ci-keng.

“Apa yang kau kehendaki dariku telah kusanggupi, aku cuma memohon urusan ini jangan kau sebut lagi, tapi makin lama makin sering kau mengungkitnya, apakah sengaja hendak menyiksa aku sampai mati di depanmu?”

“Hm, aku pun tidak tahu, tapi yang jelas aku tidak tahan dan harus kuucapkan,” jengek Ci-keng.

Mendadak In Ci-peng perkeras suaranya dan berkata: “Hm, memangnya kau sangka aku tidak tahu? Yang benar kau cemburu, kau cemburu kepadaku pada saat menikmati surga dunia itu.”

Ucapan Ci-peng ini amat aneh, tapi Ci-keng ternyata tidak menjawab. Dia seperti hendak mengejek, tapi tak terucapkan. Selang sebentar kembali In Ci-peng berbicara lagi:

“Ya, memang benar, malam itu di balik semak-semak bunga mawar dia tak bisa berkutik karena Hiat-to tertotok oleh Auyang Hong sehingga cita-citaku terpenuhi. Ya, tidak perlu aku menyangkal di depanmu, andaikan tak kukatakan padamu juga kau takkan tahu, betul tidak? Karena telah terlanjur kuberi-tahukan padamu, lalu kau terus menerus menggoda aku dan menyiksa pikiranku. Akan tetapi aku tidak menyesal. Tidak, sedikit pun aku tak menyesal...” sampai akhirnya suaranya berubah menjadi halus dan lembut seakan-akan orang sedang mengingat.

Sambil mendengarkan hati Siao-liong-li serasa mendelung ke bawah, otaknya pun segera mengingat.

“Masa dia dan bukan Ko-ji yang kucintai itu? Tidak, tidak mungkin! Pasti Ko-ji adanya, dia berdusta, dusta!”

Terdengar Ci-keng berkata pula dengan suara kaku dingin: “Ya, dengan sendirinya kau tidak menyesal sedikit pun. Sesungguhnya tidak perlu kau katakan kepadaku, akan tetapi saking senangnya karena kau telah melakukan hal itu, kau merasa perlu diutarakan pada seseorang. Nah, karena itu aku pun membicarakan hal itu padamu setiap hari, setiap saat aku mengingatkanmu, tapi mengapa kau menjadi takut mendengarnya?”

“Blang! Blung!”

Mendadak terdengar suara beberapa kali, kiranya Ci-peng mem-benturkan kepala sendiri pada tembok, lalu berkata:

“Baiklah, bicaralah, bicara lagi supaya setiap orang di dunia ini tahu semua, aku pun tidak takut... tidak... tidak... Oh, Tio-suheng, apa yang kau inginkan dariku sudah kusanggupi, yang kumohon sukalah kau jangan mengungkapnya lagi.”

Dalam waktu yang singkat saja ber-turut Siao-liong-li sudah mendengar dua pertanyaan yang membuat hatinya hancur. Seketika ia berdiri termangu-mangu di luar jendela, meski dapat mendengar jelas pembicaraan Ci-peng dan Ci-keng, tapi arti percakapan mereka itu seketika sukar dipahami. Sementara terdengar Ci-keng lagi berkata dengan tertawa:

“Orang beragama seperti kita ini sekali kejeblos harus dapat mengendalikan diri agar bisa kembali ke arah yang terang. Bahwa senantiasa aku mengingatkanmu akan nama Siao-liong-li agar kau menjadi biasa mendengarnya hingga kemudian menjadi jemu, dan dari jemu akhirnya menjadi benci, ini kan maksud baikku untuk menyelamatkanmu dari jalan tersesat.”

“Dia adalah jelmaan bidadari, mana mungkin aku jemu dan benci padanya?” ujar Ci-peng, Habis ini mendadak suaranya berubah keras: “Hmm, tidak perlu kau bicara muluk-muluk, pikiranmu yang keji dan berbisa itu masa aku tidak tahu? Yang benar adalah kau iri kepadaku, kedua karena kau dendam pada Yo Ko, kau ingin mengungkapkan peristiwa ini untuk menghancurkan kehidupan mereka guru dan murid, menyesal selama hidup.”

Hati Siao-liong-li berdetak keras demi mendengar nama Yo Ko disebut, tanpa terasa dia pun menggumam perlahan nama anak muda itu dan timbul semacam perasaan bahagia yang tidak terhingga. Dia berharap kedua Tosu terus membicarakan si Yo Ko, asal ada orang menyebut nama anak muda itu maka gembiralah hatinya. Terdengar Ci-keng juga memperkeras suaranya dan berkata dengan gemas:

“Hmm, kalau aku tak dapat membikin anak jadah itu sekarat, hm, rasanya tak terlampias dendamku ini. Cuma... cuma...”

“Cuma ilmu silatnya teramat tinggi dan kita bukan tandingannya, begitu bukan?” jengek Ci peng.

“ltu belum pasti,” kata Ci-keng. “Sedikit ilmu silat colongannya yang liar itu mengapa mesti diherankan? In-sute, boleh kau lihat saja, suatu ketika bila dia kepergok olehku, hm, tentu dia akan tahu rasa, tidak kubiarkan dia mati dengan enak, kalau bukan kedua biji matanya tentu akan kukutungi kedua tangannya agar mati tidak hidup pun tidak, tatkala mana nonamu si Siao-liong-li itu boleh menyaksikannya supaya senang hatinya.”

Siao-liong-li bergidik mendengar itu. Kalau waktu biasa tentu dia sudah menerjang dan menghabisi jiwa kedua orang itu, tetapi sekarang pikirannya lagi bingung, kaki tangan terasa lemas tak bertenaga. Sementara itu In Ci-peng sedang mendengus.

“Hm, kau cuma mimpi kosong belaka, ilmu silat golongan kita rasanya sukar menandingi ilmu silat golongan liar macam mereka itu.”

“Keparat, kau ada main dengan Siao-liong-li, lantas ilmu silatnya juga kau puji setinggi langit,” damperat Ci-keng.

Rupanya selama ini Ci-peng sudah kenyang dihina, sekarang dia sudah tidak tahan lagi, segera ia balas membentak:

“Apa katamu? Kau punya perasaan tidak, jadi manusia harus tahu batas-batas tertentu!”

Ci-keng merasa titik kelemahan orang telah tergenggam dalam tangannya, asalkan hal itu diumumkan di Tiong-yang-kiong, akibatnya In Ci-peng pasti akan dijatuhi hukuman mati, sebab itulah dia menghina In Ci-peng dengan segala macam cara dan selama ini Ci-peng tidak berani melawan sedikit pun. Tetapi sekarang Ci-peng ternyata berani melawannya dengan kata-kata kasar, ia menjadi marah, mendadak ia melangkah maju terus menggampar. Ci-peng tidak menduga sang Suheng akan menghantamnya, cepat ia menunduk.

“Plok!” dengan tepat kuduknya kena tampar.

Betapa pun Ci-keng adalah jago kelas satu dari Coan-cin-kau angkatan ketiga, tentu saja pukulannya cukup berat, tubuh Ci-peng sempoyongan dan hampir jatuh terjerungkup. Saking gemasnya ia mencabut pedang dan balas menusuk. Tapi Ci-keng sempat mengegos ke samping dan mengejek:

“Bagus, ternyata kau berani bergebrak denganku.” Segera ia pun mencabut pedangnya dan balas menyerang.

“Setiap hari kau menyiksa aku, paling-paling juga cuma mati, biarlah sekarang kau bunuh aku saja dan bereslah segalanya,” ucap Ci peng dengan geram. Sesudah itu dia segera melancarkan serangan.

Ci-peng adalah murid tertua Khu Ju-ki, kepandaiannya dengan Thio Ci-keng tidak berbeda banyak, apa yang mereka pelajari juga sama, maka sebenarnya sukar dibedakan unggul dan asor. Tapi lantaran dendamnya sudah menumpuk, yang diharapkan sekarang biarlah mati bersama saja. Akan tetapi Ci-keng mempunyai perhitungan lain. Dia tidak mau mencelakai jiwa Ci-peng, sebab itulah setelah dua-tiga puluh gebrakan, akhirnya Ci-keng sendiri malah terdesak ke pojok kamar.

Dengan sendirinya suara pertengkaran kedua Tosu itu diketahui anggota Kay-pang yang sedang dinas jaga dan cepat dilaporkan kepada Kwe Hu. Lekas-lekas nona itu mendatangi tempat itu, dilihatnya Siao-liong-li berdiri di luar jendela. Dia lantas menyapa:

“Liong-Kokoh!”

Siao-liong-li berdiri termangu-mangu di situ seperti tidak mendengar teguran Kwe Hu itu. Tentu saja Kwe Hu heran, ia pun tidak lantas masuk ke rumah itu melainkan ikut berdiri di sana, maka terdengarlah suara olok-olok serta sindiran kasar Ci-keng sambil menangkis serangan Ci-peng, setiap ucapan semuanya menyangkut diri Siao-liong-li. Sebagai nona muda yang sopan, Kwe Hu merasa tak pantas berdiri di situ mendengarkan kata-kata kotor kedua orang yang bertempur di dalam rumah itu, segera ia bermaksud tinggal pergi saja.

Tapi dilihatnya Siao-liong-li tetap berdiri terkesima, kata-kata kotor kedua orang itu seolah-olah tak dihiraukannya sama sekali. Kwe Hu menjadi heran, dia coba tanya dengan suara perlahan:

“Apakah betul apa yang mereka katakan itu?”

“Aku... aku pun tidak tahu,” jawab Siao-liong-li dengan bingung, “tetapi agaknya memang begitu.”

Seketika timbul perasaan menghina dalam hati Kwe Hu, ia mendengus sekali terus tinggal pergi tanpa bicara lagi. Ci-peng dan Ci-keng tergolong jago silat pilihan, meski dalam pertempuran sengit segera mereka mendengar ada suara orang bicara di luar.

“Trangg...!” begitu kedua pedang beradu terus ditariknya kembali bersama dan serentak bertanya: “Siapa itu?”

“Aku,” jawab Siao-liong-li.

Seketika seluruh badan Ci-peng merinding, dia segera menegas dengan suara gemetar.

“Kau? Kau siapa?”

“Siao-liong-li!”

Begitu nama ini diucapkan, bukan saja In Ci-peng terkesima laksana patung, bahkan Ci-keng juga kaget setengah mati dan menggigil ketakutan. Dengan mata kepala sendiri Ci-keng menyaksikan betapa Siao-liong-li pernah mengobrak-abrik Tiong-yang-kiong, sampai paman gurunya yang lihay seperti Hek Tay-thong kalah dan hampir saja mati bunuh diri.

Sama sekali dia tidak menyangka bahwa Siao-liong-li juga berada di Siang-yang. Dia pikir ucapannya sendiri tadi besar kemungkinan telah didengar semua oleh si nona. Seketika ia menjadi ketakutan setengah mati dan entah cara bagaimana harus melarikan diri.

Perasaan In Ci-peng aneh luar biasa sehingga tak terpikir olehnya untuk menyelamatkan diri, sebaliknya dia terus membuka daun jendela, Dilihatnya di situ berdiri seorang wanita jelita berbaju putih, siapa lagi kalau bukan Siao-liong-li yang selalu dirindukannya siang dan malam itu.

“Kau... kau...” Ci-peng menegas dengan melongok.

“Benar, aku.” jawab Siao-liong-li. “Apa yang kalian katakan tadi apakah betul seluruhnya?”

“Be... betul.” Ci-peng mengangguk. “Boleh kau bunuh saja diriku!” Habis berkata dia terus menyodorkan pedangnya keluar jendela.

Sorot mata Siao-liong-li memancarkan sinar aneh, hatinya pedih dan pilu tak terperi, begitu sedih dan begitu gemas, rasanya walau pun membunuh seratus orang atau seribu orang dirinya bukan lagi seorang nona yang suci bersih dan tak dapat lagi mencintai Yo Ko secara mendalam seperti dahulu. Pada waktu Ci-peng menyodorkan pedangnya, Siao-liong-li tidak menerimanya, dia hanya memandang kedua Tosu itu dengan bingung.

Ci-keng melihat kesempatan baik. Dia pikir perempuan ini dalam keadaan kurang waras, mungkin sudah gila, jika sekarang tidak lekas kabur hendak menunggu kapan lagi? Maka cepat ia tarik Ci-peng dan berkata dengan menyeringai:

“Lekas pergi saja, tampaknya dia merasa berat untuk membunuh kau.” Selesai berkata dia menarik Ci-peng sekuatnya dan berlari keluar pintu sana.

Ci-peng menjadi linglung melihat wajah Siao-liong-li, seluruh badannya terasa lemas tak bertenaga, karena tarikan Ci-keng itu ia menjadi terhuyung-huyung dan ikut berlari keluar. Cepat Ci-keng mengeluarkan ginkang-nya untuk berlari cepat. Semula Ci-peng ditarik oleh Ci-keng, tapi segera ia pun dapat mengeluarkan ginkang sendiri. Keduanya adalah jagoan Coan-cin-pay angkatan ke tiga, maka lari mereka ini benar-benar cepat melebihi lari kuda. Mereka menyusur kian kemari di dalam kota, sebentar saja mereka sudah sampai di pintu gerbang sebelah timur.

Di pintu gerbang itu terdapat belasan anggota Kay-pang serta dua regu prajurit penjaga. Anggota Kay-pang yang menjadi pemimpin kenal pada Ci-keng dan Ci-peng sebagai Tosu dari Coan-cin-pay, bicara tentang kedudukan kedua Tosu itu terhitung Suheng Kwe Ceng, maka demi mendengar Ci-keng bilang ada urusan penting sehingga harus keluar benteng, pula waktu itu kebetulan tiada serangan dari pasukan musuh, maka cepat diperintahkan untuk membuka pintu benteng.

Begitu pintu gerbang baru terbuka sedikit, cepat sekali Ci-keng langsung melompat keluar disusul oleh Ci-peng. Selagi orang Kay-pang itu memuji kehebatan Ginkang kedua Tosu itu, mendadak sesosok bayangan putih berkelebat keluar benteng pula. Dengan terkejut ia membentak:

“Siapa itu?!”

Namun bayangan orang itu telah lenyap. Waktu ia melongok keluar benteng, karena fajar baru menyingsing dan belasan meter di depan masih remang-remang tertutup oleh kabut, maka tiada sesuatu pun yang kelihatan. Diam-diam anggota Kay-pang itu mengomel, dia pikir barang kali matanya sendiri yang mulai lamur sehingga pandangannya kabur.

Ci-keng berdua masih terus berlari hingga belasan li jauhnya baru berani melambatkan lari mereka. Dengan kuatir dan bersyukur pula Ci-keng mengusap keringat dingin yang sudah membasahi dahinya sambil menggumam:

“Wah, bahaya, sungguh bahaya!”

Tetapi waktu dia berpaling ke belakang, tanpa terasa kakinya menjadi lemas, hampir saja dia jatuh terjungkal. Kiranya tak jauh di belakangnya sudah berdiri seorang perempuan muda berbaju putih dan sedang memandangnya dengan melenggong, siapa lagi dia kalau bukan Siao-liong-li. Sungguh kaget Ci-keng tak terperikan, ia menjerit satu kali dan segera menarik tangan Ci-peng untuk diajaknya berlari kembali. Sungguh tak tersangka olehnya bahwa Siao-liong-li yang dikiranya sudah jauh ditinggalkan di kota Siang-yang tahu-tahu masih mengintil di belakangnya, cuma cara berjalan nona itu tidak bersuara, meski mengintil dalam jarak dekat juga tidak diketahuinya.

Sekaligus dia berlari agak jauh barulah dia coba menoleh ke belakang. Dilihatnya Siao-liong-li menguntit di belakang dalam jarak tetap, seperti tadi. Dengan pikiran bingung dan takut Ci-keng segera ‘tancap gas’ lebih kencang sambil menyeret Ci-peng. Dia tidak berani lagi menoleh, sebab setiap kali memandang ke belakang, setiap kali pula hatinya tambah takut, lambat-laun kakinya mulai lemas, rasanya tangan yang memegangi lengan Ci-peng mulai tak bertenaga.

“ln-sute,” katanya kemudian, “jika sekarang dia mau membunuh kita boleh dikatakan amat mudah, tapi dia tidak melakukan hal ini, kukira dia pasti mempunyai maksud tertentu.”

“Maksud tertentu apa?” tanya Ci-peng.

“Kukira dia ingin menawan kita, lalu membongkar perbuatanmu yang kotor itu di hadapan para ksatria agar nama baik Coan-cin-pay akan runtuh habis-habisan.”

In Ci-peng terkesiap, mati-hidupnya sendiri sebenarnya tak terpikir lagi olehnya. Kalau saja Siao-liong-li akan membunuhnya pasti dia takkan melawan, tapi jika mengenai nama baik Coan-cin-pay, betapa pun juga ia harus membelanya dengan mati-matian, apa lagi jika runtuhnya kehormatan Coan-cin pay itu disebabkan oleh perbuatannya.

Teringat alasan ini dia menjadi kuatir juga, segera larinya bertambah cepat mendampingi Ci-keng. Kedua orang berlari ke daerah yang sunyi dan sulit dicapai orang lain, terkadang mereka menoleh, tetapi Siao-liong-li selalu berada dalam jarak puluhan meter di belakang mereka.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar