Setiap mendengarkan kalimat itu, setiap kali pula perasaan Yo Ko seperti disayat. Pikirannya menjadi bingung, dia tidak tahu mengapa Siao-liong-li mengemukakan ucapan begitu. Selesai Kwe Hu berkata, perlahan-lahan ia angkat kepalanya, mendadak matanya memancarkan cahaya aneh, bentaknya gusar:
“Kau berdusta, kau penipu. Mana mungkin guruku berkata begitu? Mana Siok-li-kiam? Mana? Jika tak dapat kau perlihatkan, maka jelas kau berdusta!”
Kwe Hu mendengus, mendadak sebelah tangannya mengeluarkan sebatang pedang dari belakang punggungnya, pedang itu hitam mulus, jelas itulah Siok-li-kiam yang diperoleh di Coat-ceng-kok. Tidak kepalang rasa kecewa Yo Ko, bicaranya sudah tanpa pikir lagi, segera ia berteriak:
“Siapa yang ingin menjadi pasangan setimpal dengan kau? Kun-cu-kiamku sudah patah, Pedang ini memang betul milik guruku, pasti kau mencurinya, ya, kau mencurinya!”
Sudah semenjak kecil Kwe Hu amat dimanjakan, sekali pun ayah-bundanya juga bersedia mengalah padanya, apa lagi kedua saudara Bu, mereka munduk belaka terhadap sang nona, sekarang Yo Ko bicara sekasar ini padanya, tentu saja ia tidak tahan. Apa lagi nada ucapan Yo Ko itu seakan-akan menuduhnya sengaja mengarang ucapan Siao-liong-li itu agar si Yo Ko mau menjadi pasangannya dan si Yo Ko justru tidak sudi.
BegituIah segera Kwe Hu pegang pedangnya, dia bermaksud melolosnya terus menebas. Tapi segera timbul keinginannya akan membikin panas hati Yo Ko, ia tahu anak muda itu sangat menghormat dan mencintai gurunya, kalau kejadian ini diceritakannya pasti anak muda itu akan marah setengah mati. Dalam keadaan murka sama sekali Kwe Hu tidak menimbang lagi bagaimana akibatnya kalau dia menguraikan apa yang hendak dikatakannya itu. Segera dia masukkan kembali pedang yang sudah hampir dilolosnya tadi, lalu duduk dan berkata dengan tertawa dingin:
“Ya, gurumu memang cantik dan tinggi pula ilmu silatnya, sungguh wanita yang jarang ada bandingannya di dunia ini, cuma saja, ada sesuatu yang tidak beres.”
“Sesuatu apa yang tidak beres?” tanya Yo Ko.
“Cuma kelakuannya yang tidak beres, suka bergaul secara sembunyi dengan kaum Tosu Coan-cin-kau,” tutur Kwe Hu.
Dengan gusar Yo Ko langsung menyanggah: “Guruku bermusuhan dengan Coan-cin-kau, mana mungkin berhubungan secara gelap dengan mereka?”
“Kau berdusta, kau penipu. Mana mungkin guruku berkata begitu? Mana Siok-li-kiam? Mana? Jika tak dapat kau perlihatkan, maka jelas kau berdusta!”
Kwe Hu mendengus, mendadak sebelah tangannya mengeluarkan sebatang pedang dari belakang punggungnya, pedang itu hitam mulus, jelas itulah Siok-li-kiam yang diperoleh di Coat-ceng-kok. Tidak kepalang rasa kecewa Yo Ko, bicaranya sudah tanpa pikir lagi, segera ia berteriak:
“Siapa yang ingin menjadi pasangan setimpal dengan kau? Kun-cu-kiamku sudah patah, Pedang ini memang betul milik guruku, pasti kau mencurinya, ya, kau mencurinya!”
Sudah semenjak kecil Kwe Hu amat dimanjakan, sekali pun ayah-bundanya juga bersedia mengalah padanya, apa lagi kedua saudara Bu, mereka munduk belaka terhadap sang nona, sekarang Yo Ko bicara sekasar ini padanya, tentu saja ia tidak tahan. Apa lagi nada ucapan Yo Ko itu seakan-akan menuduhnya sengaja mengarang ucapan Siao-liong-li itu agar si Yo Ko mau menjadi pasangannya dan si Yo Ko justru tidak sudi.
BegituIah segera Kwe Hu pegang pedangnya, dia bermaksud melolosnya terus menebas. Tapi segera timbul keinginannya akan membikin panas hati Yo Ko, ia tahu anak muda itu sangat menghormat dan mencintai gurunya, kalau kejadian ini diceritakannya pasti anak muda itu akan marah setengah mati. Dalam keadaan murka sama sekali Kwe Hu tidak menimbang lagi bagaimana akibatnya kalau dia menguraikan apa yang hendak dikatakannya itu. Segera dia masukkan kembali pedang yang sudah hampir dilolosnya tadi, lalu duduk dan berkata dengan tertawa dingin:
“Ya, gurumu memang cantik dan tinggi pula ilmu silatnya, sungguh wanita yang jarang ada bandingannya di dunia ini, cuma saja, ada sesuatu yang tidak beres.”
“Sesuatu apa yang tidak beres?” tanya Yo Ko.
“Cuma kelakuannya yang tidak beres, suka bergaul secara sembunyi dengan kaum Tosu Coan-cin-kau,” tutur Kwe Hu.
Dengan gusar Yo Ko langsung menyanggah: “Guruku bermusuhan dengan Coan-cin-kau, mana mungkin berhubungan secara gelap dengan mereka?”
“Kalimat bergaul secara sembunyi yang kukatakan ini sesungguhnya masih terlalu sopan, malahan ada lainnya lagi yang tidak pantas diucapkan anak perempuan seperti diriku ini,” kata Kwe Hu dengan tertawa dingin.
Yo Ko tambah gusar, teriaknya: “Guruku suci bersih, kalau kau sembarangan omong lagi, awas kalau mulutmu tidak kuremas.”
Akan tetapi Kwe Hu tetap dingin-dingin saja dan berkata: “Ya, dia berani berbuat, dan aku yang berani mengatakan. Huh, bagus amat nona yang suci bersih, tetapi bergaul dengan seorang Tosu busuk.”
“Apa katamu?!” hardik Yo Ko dengan muka merah padam.
“Aku mendengarnya dengan telingaku sendiri, masa bisa keliru?” kata Kwe Hu pu!a, “Enam orang Tosu Coan-cin-kau berkunjung kepada ayahku, tatkala mana di dalam kota sedang kacau menghadapi serangan musuh. Ayah ibu kurang sehat sehingga tidak dapat menemui mereka, maka akulah yang menyambut tetamunya...”
“Lantas bagaimana?!” bentak Yo Ko dengan gusar.
Melihat mata anak muda itu melotot merah, otot hijau sama menonjol di dahinya, Kwe Hu girang karena tujuannya tercapai, dengan berseri-seri ia berkata:
“Kedua Tosu itu masing-masing bernama Thio Ci-keng dan In Ci-peng, ada tidak Tosu Coan-cin-kau yang bernama begitu?”
“Kalau ada lantas bagaimana?!” bentak Yo Ko pula.
Dengan tersenyum Kwe Hu menyambangi. “Setelah kuatur pondokan untuk mereka, lalu aku tidak mengurus mereka lagi. Siapa duga tengah malam ada seorang murid Kay-pang melapor padaku, katanya kedua Tosu itu sedang bertengkar sendiri dalam kamar.”
Yo Ko mendengus sekali, ia pikir Ci-keng dan Ci-peng memang tidak akur satu sama lain, mereka bertengkar kenapa mesti diherankan?
Dalam pada itu Kwe Hu kembali menutur: “Karena ingin tahu, aku mendekati jendela kamar mereka, kulihat mereka tidak berkelahi lagi, tetapi masih ribut mulut. Orang she Tio bilang orang she In, berbuat begini dan begitu dengan gurumu, sedangkan Tosu she In itu tidak menyangkal hanya menyesalkan temannya itu tak seharusnya gembar-gembor...”
Mendadak Yo Ko bangkit dan duduk di tepi tempat tidur sambil membentak: “Berbuat begini dan begitu apa maksudmu?!”
Muka Kwe Hu tampak merah, sikapnya rada kikuk untuk menjawab, katanya kemudian: “Mana aku tahu? Yang pasti masa perbuatan yang baik? Apa yang dilakukan guru kesayanganmu itu hanya dia sendiri yang tahu.” Nadanya penuh mengandung perasaan jijik dan menghina.
Saking gusar dan gugupnya, pikiran Yo Ko menjadi kacau, tanpa pikir sebelah tangannya terus menampar.
“Plok!” dengan tepat pipi Kwe Hu kena ditempeleng.
Dalam keadaan gusar, pukulan Yo Ko cukup keras, keruan mata Kwe Hu berkunang-kunang dan sebelah pipinya bengkak, kalau saja Yo Ko tidak habis sakit, mungkin giginya rontok digampar oleh anak muda itu.
Selama hidup Kwe Hu mana pernah terhina secara begitu? Sesungguhnya dia tidak tahu bahwa Siao-liong-li adalah satu-satunya orang yang paling dihormati dan dicintai Yo Ko, mencemarkan nama baik Siao-liong-li adalah melebihi dia ditusuk pedang tiga kali. Tapi Kwe Hu juga seorang nona yang tidak banyak pikir, apa lagi jika sudah murka, segera dia melolos Siok-li-kiam terus menusuk ke leher Yo Ko.
Sesudah menampar Kwe Hu, Yo Ko pikir persoalan ini pasti sukar diselesaikan lagi, nona ini adalah puteri kesayangan paman dan bibi Kwe, seumpama mereka tidak menyalahkan dia, rasanya juga tidak akan betah tinggal lebih lama di kota ini. Karena itu ia lantas turun hendak memakai sepatu. Ketika itulah dilihatnya pedang Kwe Hu menusuk tiba. Sambil mendengus sebelah tangan Yo Ko meraih dan tangan yang lain menotok dan memegang, dengan mudah saja Siok-Ii-kiam dapat direbutnya.
Berturut-turut kecundang, Kwe Hu menjadi tambah murka. Dilihatnya di atas ranjang ada sebatang pedang, dia menubruk maju dan merampasnya, segera pedang itu dilolosnya terus ditebaskan ke kepala Yo Ko. Seketika pandangan mata Yo Ko menjadi silau. Tidak kepalang kagetnya melihat nona itu menebasnya dengan Ci-wi-kiam, ia tidak berani merebutnya dengan tangan, sebisanya ia angkat Siok-li-kiam untuk menangkis.
Tanpa terduga, karena dia habis sakit selama tujuh hari, tenaganya belum pulih, baru saja Siok-li-kiam terangkat sedikit segera lengannya tidak sanggup terangkat lebih tinggi lagi. Sementara itu tebasan pedang Kwe Hu sudah tiba.
“Trangg...!” kedua pedang beradu, Siok-li-kiam kutung menjadi dua.
Kwe Hu sendiri terkejut, sama sekali tidak disangkanya bahwa Ci-wi-kiam itu begitu lihay. Dalam keadaan unggul dan dendam atas tamparan Yo Ko tadi, Kwe Hu pikir walau pun kubunuh kau juga rasanya ayah-ibu takkan menyalahkan aku mengingat jiwa adikku juga dicelakai olehmu.
Ketika itu kaki Yo Ko juga terasa lemas dan jatuh terduduk di lantai tanpa bisa melawan lagi, hanya tangan kanan saja yang terangkat di depan dada untuk menjaga diri, tapi sorot matanya sama sekali tiada menampilkan keinginan mohon dikasihani.
Yo Ko tambah gusar, teriaknya: “Guruku suci bersih, kalau kau sembarangan omong lagi, awas kalau mulutmu tidak kuremas.”
Akan tetapi Kwe Hu tetap dingin-dingin saja dan berkata: “Ya, dia berani berbuat, dan aku yang berani mengatakan. Huh, bagus amat nona yang suci bersih, tetapi bergaul dengan seorang Tosu busuk.”
“Apa katamu?!” hardik Yo Ko dengan muka merah padam.
“Aku mendengarnya dengan telingaku sendiri, masa bisa keliru?” kata Kwe Hu pu!a, “Enam orang Tosu Coan-cin-kau berkunjung kepada ayahku, tatkala mana di dalam kota sedang kacau menghadapi serangan musuh. Ayah ibu kurang sehat sehingga tidak dapat menemui mereka, maka akulah yang menyambut tetamunya...”
“Lantas bagaimana?!” bentak Yo Ko dengan gusar.
Melihat mata anak muda itu melotot merah, otot hijau sama menonjol di dahinya, Kwe Hu girang karena tujuannya tercapai, dengan berseri-seri ia berkata:
“Kedua Tosu itu masing-masing bernama Thio Ci-keng dan In Ci-peng, ada tidak Tosu Coan-cin-kau yang bernama begitu?”
“Kalau ada lantas bagaimana?!” bentak Yo Ko pula.
Dengan tersenyum Kwe Hu menyambangi. “Setelah kuatur pondokan untuk mereka, lalu aku tidak mengurus mereka lagi. Siapa duga tengah malam ada seorang murid Kay-pang melapor padaku, katanya kedua Tosu itu sedang bertengkar sendiri dalam kamar.”
Yo Ko mendengus sekali, ia pikir Ci-keng dan Ci-peng memang tidak akur satu sama lain, mereka bertengkar kenapa mesti diherankan?
Dalam pada itu Kwe Hu kembali menutur: “Karena ingin tahu, aku mendekati jendela kamar mereka, kulihat mereka tidak berkelahi lagi, tetapi masih ribut mulut. Orang she Tio bilang orang she In, berbuat begini dan begitu dengan gurumu, sedangkan Tosu she In itu tidak menyangkal hanya menyesalkan temannya itu tak seharusnya gembar-gembor...”
Mendadak Yo Ko bangkit dan duduk di tepi tempat tidur sambil membentak: “Berbuat begini dan begitu apa maksudmu?!”
Muka Kwe Hu tampak merah, sikapnya rada kikuk untuk menjawab, katanya kemudian: “Mana aku tahu? Yang pasti masa perbuatan yang baik? Apa yang dilakukan guru kesayanganmu itu hanya dia sendiri yang tahu.” Nadanya penuh mengandung perasaan jijik dan menghina.
Saking gusar dan gugupnya, pikiran Yo Ko menjadi kacau, tanpa pikir sebelah tangannya terus menampar.
“Plok!” dengan tepat pipi Kwe Hu kena ditempeleng.
Dalam keadaan gusar, pukulan Yo Ko cukup keras, keruan mata Kwe Hu berkunang-kunang dan sebelah pipinya bengkak, kalau saja Yo Ko tidak habis sakit, mungkin giginya rontok digampar oleh anak muda itu.
Selama hidup Kwe Hu mana pernah terhina secara begitu? Sesungguhnya dia tidak tahu bahwa Siao-liong-li adalah satu-satunya orang yang paling dihormati dan dicintai Yo Ko, mencemarkan nama baik Siao-liong-li adalah melebihi dia ditusuk pedang tiga kali. Tapi Kwe Hu juga seorang nona yang tidak banyak pikir, apa lagi jika sudah murka, segera dia melolos Siok-li-kiam terus menusuk ke leher Yo Ko.
Sesudah menampar Kwe Hu, Yo Ko pikir persoalan ini pasti sukar diselesaikan lagi, nona ini adalah puteri kesayangan paman dan bibi Kwe, seumpama mereka tidak menyalahkan dia, rasanya juga tidak akan betah tinggal lebih lama di kota ini. Karena itu ia lantas turun hendak memakai sepatu. Ketika itulah dilihatnya pedang Kwe Hu menusuk tiba. Sambil mendengus sebelah tangan Yo Ko meraih dan tangan yang lain menotok dan memegang, dengan mudah saja Siok-Ii-kiam dapat direbutnya.
Berturut-turut kecundang, Kwe Hu menjadi tambah murka. Dilihatnya di atas ranjang ada sebatang pedang, dia menubruk maju dan merampasnya, segera pedang itu dilolosnya terus ditebaskan ke kepala Yo Ko. Seketika pandangan mata Yo Ko menjadi silau. Tidak kepalang kagetnya melihat nona itu menebasnya dengan Ci-wi-kiam, ia tidak berani merebutnya dengan tangan, sebisanya ia angkat Siok-li-kiam untuk menangkis.
Tanpa terduga, karena dia habis sakit selama tujuh hari, tenaganya belum pulih, baru saja Siok-li-kiam terangkat sedikit segera lengannya tidak sanggup terangkat lebih tinggi lagi. Sementara itu tebasan pedang Kwe Hu sudah tiba.
“Trangg...!” kedua pedang beradu, Siok-li-kiam kutung menjadi dua.
Kwe Hu sendiri terkejut, sama sekali tidak disangkanya bahwa Ci-wi-kiam itu begitu lihay. Dalam keadaan unggul dan dendam atas tamparan Yo Ko tadi, Kwe Hu pikir walau pun kubunuh kau juga rasanya ayah-ibu takkan menyalahkan aku mengingat jiwa adikku juga dicelakai olehmu.
Ketika itu kaki Yo Ko juga terasa lemas dan jatuh terduduk di lantai tanpa bisa melawan lagi, hanya tangan kanan saja yang terangkat di depan dada untuk menjaga diri, tapi sorot matanya sama sekali tiada menampilkan keinginan mohon dikasihani.
Kwe Hu menjadi gemas, segera pedangnya ditebaskan lebih ke bawah lagi.
**** 117 ****
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================



Tidak ada komentar:
Posting Komentar