Kamis, 09 September 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 116

BANTUAN BERBUAH PETAKA

Entah berapa lamanya Yo Ko tidak sadarkan diri. Ketika perlahan-lahan merasa ada bayangan orang yang samar-samar bergoyang kian kemari di depannya, dia bermaksud mementangkan mata, tetapi semakin berusaha semakin kabur rasanya. Entah lewat berapa lama lagi barulah Yo Ko membuka matanya, segera dilihatnya Bu Sam-thong sedang memandangi dirinya dengan rasa girang.

“Dia sudah baik, dia sudah baik!” terdengar orang tua itu berseru, mendadak berlutut dan menyembah beberapa kali padanya sambil berkata: “Adik Yo, kau telah menyelamatkan... menyelamatkan kedua puteraku dan juga sudah... sudah menyelamatkan jiwaku yang tua bangka ini.” Kemudian ia merangkak bangun dan segera pula menyembah kepada seorang lagi sambil berseru: “Terima kasih, Susiok, terima kasih!”

Waktu Yo Ko memandang orang itu, nampaklah mukanya yang hitam, hidung besar dan mata cekung, tampak rada mirip dengan Nimo Singh, rambutnya juga keriting, cuma sebagian sudah ubanan, usianya sudah tua. Yo Ko hanya tahu Bu Sam-thong adalah murid It-teng Taysu, tetapi tidak tahu bahwa dia masih mempunyai seorang paman guru dari negeri Thian tok. Ia bermaksud duduk, tapi pinggang terasa lemas pegal, sedikit pun tak bertenaga. Ia coba memandang sekitarnya, ternyata berada di tempat tidur, dalam kamarnya sendiri di kota Siang-yang. Baru sekarang dia benar-benar yakin bahwa dirinya belum mati dan masih bisa berjumpa dengan Siao-liong-li. Tanpa terasa ia terus berseru:

“Kokoh! Mana Kokoh?”

Seseorang lantas mendekatinya kemudian meraba dahinya sambil berkata: “Tenanglah, Ko-ji, Kokoh-mu sedang keluar kota untuk sesuatu urusan.”

Yo Ko melihat orang ini adalah Kwe Ceng. Ia merasa terhibur melihat sang paman sudah sehat kembali. Segera teringat olehnya bahwa untuk memulihkan kesehatan sang paman diperlukan waktu tujuh hari tujuh malam, masa ketidak sadaranku ini sudah berselang sekian hari pula? Jika begitu mengapa racun bunga cinta dalam tubuhku tidak kumat? Ia. menjadi bingung, pikiran menjadi kacau dan kembali ia tak sadarkan diri.

Waktu dia sadar kembali untuk kedua kalinya, hari sudah jauh malam. Di depan tempat tidur tersulut sebatang lilin merah, Bu Sam-thong kelihatan masih menungguinya dengan duduk di depan situ dan memandangnya dengan penuh perhatian.

“Aku tidak apa-apa, paman Bu, kau jangan kuatir,” kata Yo Ko sambil tersenyum hambar, “Dan kedua saudara Bu tentunya baik-baik saja, bukan?”

Air mata Bu Sam-thong bercucuran. Dia tak dapat berbicara saking terharunya, maka dia cuma menjawab dengan manggut-manggut saja.

Selama hidup Yo Ko tak pernah merasakan terima kasih sedemikian dari orang lain, maka ia menjadi rikuh, cepat ia belokkan pembicaraan dan bertanya:

“Cara bagaimana kita dapat pulang ke Siang-yang?”

Bu Sam-thong mengusap air matanya, lalu menutur: “Atas permintaan nona Liong gurumu itu, Cu-sute telah mengantar kuda merah ke lembah sunyi untukmu, ketika melihat kita berempat sama-sama tergeletak, cepat-cepat dia menolong kita pulang ke sini.”

“Dari mana suhu-ku mengetahui aku berada di sana?” ujar Yo Ko dengan terheran. “Dan urusan apa yang membuatnya tidak dapat mencariku sehingga perlu minta pertolongan paman Cu untuk mengantarkan kuda merah?”

“Setibaku lagi di sini, aku pun tidak sempat bertemu dengan nona Liong gurumu itu,” tutur Bu Sam-thong. “Menurut Cu-sute, katanya usia nona Liong masih muda, cantik rupawan pula dan ilmu silatnya juga maha tinggi, sayang aku belum bisa berkenalan dengan beliau, Ai, memang kaum ksatria selalu timbul dari kalangan angkatan muda, kukatakan kepada Cu-sute bahwa seumur kita ini seperti hidup pada tubuh babi belaka.”

Yo Ko sangat senang karena Bu Sam-thong memuji dan mengagumi Siao-liong-li dengan setulus hati. Kalau bicara soal umur, menjadi ayah Siao-liong-li juga pantas bagi Bu Sam-thong, tapi dia ternyata begitu menghormati nona itu, jelas disebabkan dia menghormati si murid dan dengan sendirinya menghormat pula kepada sang guru. Dengan tersenyum Yo Ko lantas berkata.

“Luka siautit ini...”

“Adik Yo,” tiba-tiba Bu Sam-thong memotong. “Menolong sesama di dunia persilatan adalah kejadian yang biasa, tapi menyelamatkan orang lain tanpa memikirkan jiwa sendiri seperti engkau, pula yang kau tolong adalah kedua puteraku yang sebelumnya bersikap kasar padamu, tindakanmu ini selain guruku rasanya tiada orang ketiga lagi yang sanggup melakukannya.”

Berulang-ulang Yo Ko menggeleng kepala, maksudnya minta supaya Bu Sam-thong tidak meneruskan lagi ucapannya. Namun Bu Sam-thong tidak menggubrisnya, dia tetap berucap:

“Kalau kupanggil engkau dengan sebutan ‘ln-kong’ (tuan penolong) tentunya engkau juga tidak mau terima. Tetapi apa bila engkau tetap menyebut aku sebagai paman, itu pun jelas kau teramat menghina kepadaku Bu Sam-thong ini.”

Watak Yo Ko memang suka terus terang dan tidak merecoki urusan tetek bengek. Seperti halnya Siao-liong-li, sekali dia menganggap nona itu sebagai isteri maka soal pelanggaran tata adat umum dan panggilan yang tidak menurut aturan, semuanya suka dilakukan jika ada orang yang minta. Karena itu tanpa pikir ia lantas menjawab:

“Baiklah, aku akan panggil kau Bu-toako saja, cuma kalau ketemu dengan kedua saudara Tun-si dan Siu-bun. kurasa agak kurang enak dan entah cara bagaimana harus kusebut mereka.”

“Sebut apa segala?” ujar Bu Sam-thong. “Jiwa mereka diselamatkan olehmu, jika mereka menjadi kerbau atau kudamu juga pantas.”

“Engkau tidak perlu berterima kasih kepadaku, Bu-toako,” kata Yo Ko, “Memang aku juga sudah terkena racun bunga cinta yang jahat dan jiwaku sukar diselamatkan, maka caraku cucup racun dari luka kedua saudara Bu itu sebenarnya tiada artinya sedikit pun bagiku.”

“Soalnya bukan itu, adik Yo,” kata Bu Sam-thong sambil menggeleng. “Jangan kata racun yang mengeram dalam tubuhmu itu belum pasti sukar diobati, seumpama betul tak dapat disembuhkan namun tiap manusia tentu berharap akan tetap hidup biar pun cuma tahan sehari atau dua hari saja, sekali pun cuma sejam dua jam juga tetap ingin hidup. Di dunia ini memang tidak ada manusia dapat hidup abadi, baik nabi mau pun orang biasa akhirnya akan kembali kepada asalnya, namun begitu mengapa setiap orang tetap suka hidup dan enggan mati.”

Yo Ko tertawa tanpa menanggapi jalan pikiran orang tua itu, tanyanya kemudian: “Sudah berapa hari kita pulang ke Siang-yang ini?”

“Sampai sekarang sudah hari ketujuh,” jawab Bu Sam-thong.

Yo Ko menjadi heran dan tak habis mengerti, katanya: “Pantasnya aku sudah mati karena bekerjanya racun di dalam tubuhku, kenapa aku masih hidup sampai sekarang, sungguh aneh dan ajaib.”



Dengan girang Bu Sam-thong bertutur: “Susiok-ku adalah paderi sakti dari negeri Thian-tiok, nomor satu di dunia ini dalam hal mengobati keracunan. Dahulu guruku salah minum racun yang dikirim nyonya Kwe juga sudah disembuhkan oleh beliau, sekarang juga akan kuundang dia ke sini.” Habis berkata ia keluar kamar.

Diam-diam Yo Ko girang. Dia pikir jangan-jangan waktu aku jatuh pingsan, paderi sakti itu sudah meminumkan obat mujarab kepadaku sehingga racun bunga cinta dapat dipunahkan. Aih, entah Kokoh berada di mana saat ini? Kalau dia mengetahui aku takkan mati, entah betapa gembiranya dia. Teringat kepada hal-hal yang meresap dan mesra itu, mendadak dadanya terasa seperti dipalu dengan keras dan sakitnya tidak kepalang, tak tertahankan ia pun menjerit keras.

Sejak minum setengah butir obat pemberian Kiu Jianjio, belum pernah dia mengalami kesakitan sehebat ini, bisa jadi khasiat setengah biji obat itu telah hilang, sedangkan kadar racun dalam tubuhnya belum lagi punah seluruhnya. Sambil memegangi dada, keringat membasahi dahi Yo Ko saking sakitnya. Tengah tersiksa dengan hebatnya, tiba-tiba Yo-Ko mendengar suara seseorang bersabda:

“Namo Budaya!” Lalu sambil merangkap kedua tangan depan dada, paderi Thian-tiok itu tampak masuk ke kamar.

Bu Sam-thong ikut di belakang paderi Hindu itu. Melihat keadaan Yo Ko, dia terkejut dan cepat bertanya:

“Adik Yo, kenapa kau?” Lalu ia berpaling kepada paderi itu dan memohon: “Susiok, racunnya kumat lagi, lekas memberikan obat padanya.”

Paderi Hindu itu tidak paham ucapannya, tapi dia lantas mendekati Yo Ko dan memeriksa nadinya. Bu Sam-thong sendiri lantas keluar kamar untuk mengundang Cu Cu-Iiu. Cu Cu-liu adalah bekas Conggoan (gelar tertinggi bagi ahli sastra), dia paham bahasa dan tulisan Hindu kuno, hanya dia saja yang bisa berbicara dengan paderi itu, maka Bu Sam-thong mengundangnya untuk dijadikan juru bahasa. Setelah tenangkan diri, rasa sakit Yo Ko mulai hilang, lalu dia menceritakan asal-usulnya keracunan bunga cinta itu.

Dengan teliti paderi hindu itu bertanya tentang bentuk bunga cinta, tampak dia terkejut dan terheran-heran, katanya:

“Bunga cinta itu adalah bunga ajaib dari jaman purba, konon telah lama lenyap dari permukaan bumi, siapa kira di daerah Tionggoan masih ada tetumbuhan itu. Aku belum pernah melihat bunga itu, maka sesungguhnya tidak tahu cara bagaimana memunahkan kadar racunnya.”

Setelah Cu Cu-liu menterjemahkan kata-kata paderi Hindu itu, segera Bu Sam-thong berteriak-teriak memohon:

“Kasihanilah Susiok! Tolonglah!”

Paderi itu menyebut nama Budha, lalu memejamkan mata dan menunduk merenung. Suasana dalam kamar menjadi sunyi senyap, siapa pun tiada yang berani buka suara. Selang agak lama baruIah paderi Hindu itu membuka mata dan berkata:

“Yo-kisu sudah mencucup darah berbisa bagi kedua cucu muridku, pada hal racun jarum itu sangat jahat, terhisap sedikit saja akan mengakibatkan jiwa melayang, namun Yo-kisu ternyata masih sehat-sehat saja, sedangkan racun bunga cinta juga tidak bekerja pada waktunya, jangan-jangan terjadi racun menyerang racun sehingga Yo-kisu malah mendapat berkahnya dan sembuh.”

Cu Cu-liu dan Yo Ko adalah orang-orang yang pintar dan cerdik, mereka pikir uraian paderi Hindu memang masuk di akal, maka mereka mengangguk. Paderi itu berkata pula:

“Orang baik tentu mendapatkan pembalasan yang baik pula. Yo-kisu mengorbankan diri demi menolong orang lain, inilah perbuatan bajik yang luhur, racun ini pasti dapat dipunahkan.”

“Jika begitu, mohon Susiok lekas menolongnya,” seru Bu Sam-thong girang.

“Untuk itu perlu kudatangi Coat-ceng-kok dan melihat sendiri bentuk bunga cinta itu, baru dapat mencari obat penyembuhnya yang tepat,” tutur si paderi, “Yang penting selama ini hendaknya Yo-kisu jangan timbul perasaan cinta, kalau tidak maka rasa sakit akan semakin menghebat setiap kali kumat. Akan lebih baik lagi apa bila Yo-kisu dapat memutuskan perasaan cinta itu, maka racun ini pun akan punah dengan sendirinya tanpa diobati.”

Yo Ko pikir jika harus memutuskan cinta kasihnya pada Kokoh, lebih baik aku mati saja. Tapi sebelum dia menanggapi, cepat Bu Sam-thong mengajak Cu Cu-liu ikut paderi Hindu itu ke Coat-ceng-kok. Sudah tentu Cu Cu-liu menerima ajakan itu karena dia pun berutang budi kepada Yo Ko. Lalu Bu Sam-thong berkata kepada Yo Ko:

“Adik Yo, harap engkau beristirahat saja dengan tenang, segala sesuatu pasti akan beres. Besok kami segera berangkat dan kembali selekasnya untuk menyembuhkan penyakitmu, kelak aku masih harus minum arak pesta pernikahanmu dengan nona Kwe.”

Yo Ko melengak! Dia pikir persoalan Kwe Hu sukar dijelaskan dalam waktu singkat, maka tanpa pikir dia hanya mengiyakan saja. Sesudah ketiga orang itu pergi, dia sendiri lantas berbaring untuk tidur. Waktu sadar, terdengar suara burung berkicau, rupanya fajar telah menyingsing. Sudah beberapa hari Yo Ko tidak makan, perut terasa lapar, dilihatnya di atas meja dekat pembaringan ada empat piring penganan, segera ia ambil beberapa gotong kue lantas dimakan. Belum sepotong kue itu termakan habis, terdengar orang mengetuk pintu, masuklah seorang berbaju merah jambon dengan air muka tampak marah, ternyata yang datang adalah Kwe Hu. Yo Ko meIongo sejenak, lalu menyapa:

“Pagi benar, nona Kwe.”

Kwe Hu hanya mendengus perlahan dan tidak menjawab, ia duduk pada kursi di depan tempat tidur dengan alis menegak dan melotot marah kepada Yo Ko, hingga lama sekali masih tetap tidak berbicara. Tentu saja hati Yo Ko merasa tak enak. Dengan tersenyum ia berkata:

“Apa paman Kwe menyuruh kau menyampaikan sesuatu pesan padaku?”

“Tidak!” jawab Kwe Hu singkat dan ketus.

Berulang-ulang Yo Ko mendapatkan sikap dingin begitu, kalau hari-hari biasa tentu dia tak mau menggubris lagi nona itu. Tapi sekarang melihat sikap orang rada aneh, dia menjadi heran dan ingin tahu sebab apakah pagi-pagi nona itu sudah mendatangi kamarnya. Maka dengan mengiring tawa dia bertanya:

“Sesudah melahirkan tentunya Kwe-pekbo sehat, bukan?”

“Sehat atau tidak dia ibuku, tidak perlu kau berkuatir,” jawab Kwe Hu lebih ketus.

Selain Siao-liong-li, tidak pernah Yo Ko mau mengalah terhadap orang lain, tapi sekarang dia sudah diperlakukan kasar oleh Kwe Hu, mau tidak mau timbul juga rasa dongkolnya. Segera dia pun balas mendengus, lalu memejamkan mata dan tak menggubrisnya lagi.

“Kau mendengus apa?” tanya Kwe Hu gemas.

Kembali Yo Ko mendengus lagi dan tetap tidak menggubrisnya.

“Kau dengar tidak? Aku tanya apa yang kau denguskan!” bentak Kwe Hu.

Diam-diam Yo Ko geli melihat si nona menjadi kelabakan, jawabnya kemudian: “Badanku tidak enak, aku mendengus dua kali supaya merasa segar.”

“Kau bohong, lain kata lain perbuatan, sehari-hari hanya mengacau, sungguh kau manusia rendah yang tak tahu malu!” damperat Kwe Hu dengan gusar.

Hati Yo Ko tergerak karena tanpa sebab musabab si nona mendampratnya secara sengit, dia pikir jangan-jangan ucapanku yang kugunakan membohongi kedua saudara Bu telah diketahui nona ini. Melihat dalam keadaan marah wajah Kwe Hu tetap cantik molek, tanpa terasa timbul rasa kasihannya. Dasar watak Yo Ko memang rada dugal, segera dia berkata dengan tertawa:

“Nona Kwe, apakah kau maksudkan yang kukatakan kepada kedua saudara Bu itu?”

“Apa yang kau katakan kepada mereka? Hayo lekas kau mengaku!” bentak Kwe Hu pula dengan suara tertahan.

“Tujuanku adalah demi kebaikan mereka sendiri, agar mereka tidak saling membunuh dan membikin sedih hati ayahnya,” ucap Yo Ko sambil tertawa. “Apa yang kukatakan telah disampaikan oleh paman Bu padamu, bukan?”

“Dia... dia begitu bertemu aku lantas mengucapkan selamat padaku kemudian memuji kau setinggi langit,” tutur Kwe Hu. “Nama baik anak... anak perempuan seperti aku yang putih bersih ini masa boleh sembarangan kau nista?” Sampai di sini suaranya menjadi ter-sendat dan air mata pun berlinang-linang.

Yo Ko sangat menyesal pada diri sendiri yang sembarangan omong tanpa pikir bahwa ucapannya yang bermaksud baik itu justru merusak nama baik Kwe Hu. Apa pun juga perkataannya memang rada keterlaluan, jadi persoalan ini rasanya akan sulit diselesaikan.

Melihat Yo Ko diam saja, hati Kwe menjadi bertambah panas, katanya sambil menangis:

“Menurut paman Bu, katanya kau telah mengalahkan kedua kakak Bu, mereka kau paksa berjanji takkan menemuiku untuk selamanya, apakah hal ini memang betul?”

Diam-diam Yo Ko menyesali Bu Sam-thong yang tidak genah itu. Masa kata-kata itu perlu disampaikan kepada Kwe Hu? Terpaksa ia tidak membantah dan menjawab dengan mengangguk.

“Ya, memang tidak sepatutnya aku sembarangan omong, cuma maksud tujuanku sama sekali tidak jahat, harap kau memaklumi hal ini.”

Kwe Hu mengusap air matanya, lalu bertanya: “Dan apa yang kau katakan semalam, untuk maksud apa pula?”

Yo Ko melengak dan menegas: “Aku bilang apa semalam?”

“Paman Bu bilang setelah kau sembuh, dia berharap akan minum arak pesta pernikahan kau dan aku. Ken... kenapa kau mengiyakan tanpa malu?”

Wah, celaka, jadi ucapanku semalam juga terdengar olehnya, demikian Yo Ko mengeluh dalam hati. Terpaksa dia membantah:

“Semalam aku dalam keadaan setengah sadar dan tidak mendengar jelas apa yang dikatakan paman Bu padaku.”

Kwe Hu dapat melihat anak muda itu sengaja berdusta, dengan suara keras dia berteriak:

“Kau bilang ibuku mengajarkan ilmu silat padamu diam-diam karena beliau penujui kau dan ingin memungut sebagai menantu, betul tidak ucapanmu ini?!”

Muka Yo Ko menjadi merah diberondong pertanyaan itu. Dia pikir kelakarnya mengenai Kwe Hu paling-paling akan dianggap dugal saja oleh orang lain, dasarnya aku juga bukan ksatria yang suci dan alim, tetapi aku berdusta tentang diajari ilmu silat secara diam-diam oleh Kwe-pekbo. persoalan ini bisa kecil bisa besar dan jangan sampai diketahui bibi Kwe. Maka cepat ia meminta:

“Nona Kwe, memang salahku sembarangan omong, harap kau suka menutupi hal ini dan jangan sampai diketahui ayahmu.”

“Hmm, kalau kau takut pada ayahku, mengapa kau berani berdusta dan menghina ibuku?” jengek Kwe Hu.

Cepat Yo Ko menyatakan: “Sedikit pun tiada maksudku untuk menista ibumu. Waktu itu tujuanku cuma ingin membikin kedua Bu putus harapan atas dirimu supaya mereka tidak saling membunuh sehingga bicaraku rada-rada kelewatan.”

Semenjak kecil Kwe Hu dibesarkan bersama kedua saudara Bu. Sekarang mendengar Yo Ko berdusta dan membikin kedua anak muda itu putus asa terhadap dirinya serta berjanji takkan menemuinya keruan rasa gusarnya tak terperikan. Dengan suara keras ia bertanya:

“Baik, urusan ini akan kubereskan nanti dengan kau. sekarang yang penting adalah Moaymoay-ku, ke mana kau membawanya pergi?”

“Ya, lekas undang ayahmu ke sini, aku justru hendak membicarakannya dengan beliau,” seru Yo Ko.

“Ayahku sudah keluar kota mencari adikku,” jawab Kwe Hu. “Kau ini memang... memang manusia yang tidak tahu malu, kau hendak menggunakan adikku untuk menukar obat penawar. Hm, rupanya jiwamu amat berharga dan jiwa adikku tak berharga sepeser pun.”

Sejak tadi Yo Ko memang merasa menyesal dan malu diri karena terlanjur berbuat hal-hal yang merusak nama baik Kwe Hu, tapi dituduh hendak menggunakan anak bayi itu untuk menukar obat baginya, hal ini betapa pun dia tak dapat menerima. Dengan suara lantang ia berkata:

“Dengan tekad bulat aku hendak merebut kembali adik perempuanmu untuk dikembalikan kepada ayah-bundamu, kalau dikatakan bahwa adikmu hendak kugunakan untuk menukar obat, hal ini sekali-sekali tidak pernah timbul dalam pikiranku.”

“Habis ke mana perginya adikku?” tanya Kwe Hu.

“Dia sudah dibawa lari Li Bok-chiu, aku merasa malu karena tidak berhasil merampasnya kembali,” tutur Yo Ko. “Tetapi bila tenagaku sudah pulih dan tidak mati, segera aku akan pergi mencarinya.”

“Hm, Li Bok-chiu itu adalah paman gurumu, betul tidak?” jengek Kwe Hu. “Tadinya kalian sembunyi di satu goa, betul tidak?”

“Benar, meski dia adalah paman guruku, tetapi selamanya dia tidak akur dengan guruku,” jawab Yo Ko.

“Hm, tidak akur apa?” jengek Kwe Hu. “Tetapi mengapa dia mau menuruti permintaanmu dengan membawa adikku pergi menukar obat bagimu?”

Yo Ko melonjak bangun dengan marah, katanya: “Kau jangan sembarangan omong, nona Kwe, meski aku Yo Ko bukan manusia yang terpuji, tapi sama sekali tiada maksud untuk berbuat begitu.”

“Tiada bermaksud berbuat begitu? Hm, enak saja kau bicara,” jawab Kwe Hu. “Gurumu sendiri yang mengatakan hal itu, memangnya aku yang fitnah dan sembarangan omong?”

“Guruku bilang apa lagi?” tanya Yo Ko.

Serentak Kwe Hu berdiri dan menuding hidung Yo Ko, katanya: “Gurumu berkata sendiri kepada paman Cu bahwa kau dan Li Bok-chiu sama-sama berada di lembah sunyi, dia minta agar paman Cu suka mengantarkan kuda merah milik ayah untuk dipinjamkan padamu supaya kau sempat membawa adikku ke Coat-ceng-kok untuk...“

Kaget dan sangsi hati Yo Ko, cepat dia memotong: “Benar, memang guruku mempunyai maksud begitu, supaya aku mengantarkan adikmu ke sana untuk mendapatkan separoh obat yang masih dipegang Kiu Jian-jio, tetapi cara ini hanya untuk sementara saja dan takkan membikin susah adikmu...”

“Adikku baru lahir satu hari tetapi sudah kau serahkan kepada seorang iblis yang kejam, masa kau berani mengatakan takkan membikin susah adikku?” kata Kwe Hu dengan gusar, “Kau ini bangsat keparat, manusia berhati binatang! Waktu kecilmu kau luntang-lantung sebatang kara dan cara bagaimana ayah-ibuku telah memperlakukan kau? Kalau ayah-ibuku tidak memelihara kau hingga besar di Tho-hoa-to, masa kau dapat menjadi seperti sekarang ini? Siapa tahu air susu kau balas dengan air tuba, kau bersekongkol dengan musuh dan ketika ayah-ibuku kurang sehat, kau menculik adikku.”

Semakin mendamperat semakin beringas nona itu sehingga Yo Ko sama sekali tak diberi kesempatan untuk membantah. Keruan tidak kepalang gusar dan dongkoInya Yo Ko.

“Bluk!” saking tak tahan ia terus jatuh pingsan di atas tempat tidur.

Selang agak lama, lambat-laun Yo Ko siuman kembali, diiihatnya Kwe Hu masih menatap kepadanya dengan muka merengut dan segera mengomeli pula:

“Hm, tak tersangka kau masih punya rasa malu, rupanya kau pun tahu kesalahan perbuatanmu yang terkutuk itu.”

Yo Ko menghela napas panjang, katanya: “Kalau aku mempunyai pikiran begitu, mengapa aku tidak membawa adikmu langsung ke Coat-ceng-kok saja?”

“Racun dalam tubuhmu kumat dan tak dapat berjalan, makanya kau minta tolong paman gurumu,” kata Kwe Hu. “He-he, tapi maksud tujuanmu akhirnya gagal. Biar kukatakan terus terang kepadamu. Begitu kudengar permintaan gurumu kepada paman Cu, segera aku sembunyikan kuda merah itu sehingga muslihat jahat kalian guru dan murid gagal total.”

“Baik, baik, apa yang kau suka katakan silakan katakan saja, aku pun tidak ingin membantah,” kata Yo Ko dengan mendongkol. “Dan di mana guruku? Ke mana dia?”

Muka Kwe Hu mendadak rada merah, katanya: ”Huh, ini namanya gurunya begitu dengan sendirinya muridnya juga begitu, gurumu juga bukan manusia baik-baik.”

Dengan marah Yo Ko melonjak bangun lantas berkata: “Kau memaki dan menghina aku, mengingat ayah-bundamu, takkan kupersoalkan. Tetapi mengapa mencerca guruku?”

“Cis, memangnya kenapa kalau gurumu?” semprot Kwe Hu. “Ia sendiri yang bicara tidak senonoh.”

Sudah tentu Yo Ko tidak percaya Siao-liong-li yang dianggapnya suci bersih dan polos itu dapat mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas, segera ia balas mendengus:

“Hm, besar kemungkinan pikiranmu sendiri tidak benar, maka ucapan guruku juga kau terima dengan menyimpang.”

Sebenarnya Kwe Hu tak ingin mengulangi perkataan Siao-liong-li, tapi ia tidak tahan oleh olok-olok Yo Ko itu, tanpa pikir ia terus berkata:

“Gurumu bilang padaku: ‘Nona Kwe, hati Ko-ji sangat baik, hidupnya sebatang kara dan menderita, kau harus meladeni dia dengan baik’, lalu katanya pula: ‘Kalian memang pasangan yang setimpal suruhlah ia melupakan diriku, sama sekali aku tak menyalahkan dia’. Kemudian ia memberikan pula pedangnya padaku, katanya pedang ini bernama Siok-Ii-kiam dan merupakan pasangan dengan Kun-cu-kiam milikmu. Apa lagi namanya perkataan ini kalau bukan tidak senonoh?”







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar