Rabu, 08 September 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 115

Lambat-laun kedua saudara merasa pentung lawan itu seakan-akan membawa semacam kekuatan menghisap yang sangat kuat, pedang mereka seperti lengket ikut bergoyang kian kemari tanpa kuasa. Akhirnya kedua saudara itu seperti saling tempur sendiri, pedang Bu Tun-si yang menusuk Yo Ko terkadang hampir mengenai adiknya, begitu pula tebasan pedang Bu Siu-bun terpaksa harus ditangkis oleh Tun-si.

“Kebagusan Giok-siau-kiam-hoat tidak cuma begini saja, lihatlah” kata Yo Ko.

“Trakk...!” pentungnya beradu dengan pedang Tun-si, cuma yang terbentur adalah bagian samping batang pedang sehingga pentung kayu itu tidak rusak.

Seketika Tun-si merasa dibetot tenaga kuat, pedang hampir terlepas. Lekas dia menarik balik sekuatnya, tapi Yo Ko terus ikut mendorongkan pentungnya dan tahu-tahu pedang Bu Siu-bun ikut lengket pada pentungnya. Ketika pentung Yo Ko menahan ke bawah, kedua pedang tertindih ke atas tanah.

Cepat kedua Bu cilik menarik pedang sekuatnya. Baru terasa sedikit kendur, tahu-tahu Yo Ko melangkah maju, pentung kayu diangkat, tetapi sebelah kakinya sudah menggantikan pentung untuk menginjak ujung kedua pedang. Tahu-tahu tenggorokan kedua saudara Bu terancam oleh ujung pentung, kalau saja bertempur sungguh-sungguh, pasti leher mereka sudah ditembus oleh senjata musuh.

“Bagaimana, menyerah tidak?” tanya Yo Ko dengan tertawa.

Seketika wajah kedua Bu cilik pucat pasi bagaikan mayat, mereka bungkam tidak dapat menjawab. Segera Yo Ko mengangkat kakinya lalu mundur dua tiga tindak. Melihat kedua saudara yang serba konyol itu, dia menjadi teringat kepada masa kecilnya dahulu, ketika dia kenyang dihina dan dikerubuti oleh kedua Bu cilik itu dan baru sekarang ini dia dapat melampiaskan rasa dongkol itu, tanpa terasa mukanya memperlihatkan perasaan senang dan puas.

Kedua saudara Bu sama sekali tak menduga bahwa Yo Ko telah mendapatkan ajaran kepandaian Oey Yong. Namun mereka tetap penasaran. Mereka merasa sewaktu bertempur tadi sudah didahului oleh lawan sehingga mereka tidak sempat mengeluarkan segenap kepandaian yang diperoleh dari Kwe Ceng, malahan lt-yang-ci yang baru mereka pelajari juga sama sekali tidak sempat dimainkan.

Bu Tun-si menjadi putus asa, ia menghela napas panjang. Ia bermaksud akan membuang pedangnya kemudian pergi, tapi mendadak Bu Siu-bun berseru padanya:

“Toako, jika kita sudahi sampai di sini saja, lalu apa artinya hidup kita di dunia ini? Tidakkah lebih baik kita adu jiwa saja dengan dia?!”

Hati Tun-si terkesiap, segera ia pun menjawab: “Benar!”

Serentak kedua bersaudara memutar pedang dan kembali mengerubut maju. Kini mereka sudah nekat sehingga tidak perlu menjaga diri, yang mereka utamakan adalah menyerang saja dan selalu mengincar tempat yang mematikan. Perubahan ini ternyata hebat juga. Keduanya tidak berjaga diri lagi melainkan hanya menyerang. Mereka rela mati di bawah pentung Yo Ko asalkan dapat gugur bersama musuh. Malahan selain menyerang dengan pedang, tangan kiri kedua Bu cilik juga memainkan It-yang-ci yang lihay.

“Bagus, pertarungan begini barulah nikmat!” kata Yo Ko dengan tertawa.

Bahkan ia terus membuang pentungnya, dengan bertangan kosong ia berlari kian kemari di antara sambaran pedang musuh. Meski kedua saudara Bu menyerangnya dengan tidak kenal ampun, namun tetap sukar mengenai sasaran. Bu Sam-thong merasa serba susah menyaksikan pertarungan itu. Sebentar dia berharap Yo Ko yang menang agar kedua puteranya takkan memikirkan dan memperebutkan Kwe Hu lagi. Akan tetapi bila melihat kedua Bu cilik sedang mengalami bahaya, tanpa terasa timbul juga keinginannya agar mereka dapat mengalahkan Yo Ko. Tiba-tiba terdengar Yo Ko bersuit nyaring.

“Cringg...! Cringg...!” jarinya menyelentik batang pedang kedua lawannya.

Seketika lengan kedua saudara Bu terasa pegal linu, genggamannya juga sakit, setengah badan tergetar kaku, pedang mereka mencelat ke atas dan serentak mereka melompat mundur. Dengan gesitnya Yo Ko melompat ke atas dan menangkap kedua pedang itu, lalu katanya dengan tertawa:

“Nah, inilah ilmu sakti Sian-ci-sin-thong dari Tho-hoa-to, kalian pernah melihatnya belum?”

Sampai di sini mau tak mau kedua saudara Bu menyadari, kalau pertarungan diteruskan tentu mereka akan tambah konyol.

“Maaf!” kata Yo Ko kemudian sambil menyodorkan kedua pedang rampasannya.

Siu-bun menerima kembali pedangnya dan berkata dengan pedih: “Ya, selamanya aku tak akan menemui adik Hu lagi.” Habis berkata ia terus melintangkan pedang dan menggorok ke lehernya sendiri.

Pikiran Bu Tun-si ternyata sama persis dengan adiknya, pada saat yang sama ia pun mengangkat pedangnya hendak membunuh diri. Tentu saja Yo Ko terkejut, secepat terbang ia menubruk maju.

“Cringg...! Cringg...!” kembali kedua pedang itu kena diselentiknya dan mencelat ke atas.

“Trangg...!” kedua pedang saling bentur dan patah.



Pada saat itu Bu Sam-thong melompat maju, satu tangan satu orang, dia cengkeram tengkuk kedua anaknya sambil membentak dengan suara bengis:

“Demi memperebutkan seorang perempuan kalian berdua lantas berpikiran pendek, sungguh percumalah kalian menjadi laki-laki!”

Siu-bun segera mengangkat kepalanya dan menjawab: “Ayah, bukankah engkau sendiri juga merana selama hidup demi seorang perempuan? Aku...”

Belum habis ucapannya, dia lihat muka sang ayah penuh dengan air mata, rasa dukanya tidak kepalang, seketika itu teringat olehnya perbuatan mereka bersaudara sesungguhnya teramat melukai perasaan sang ayah, tanpa terasa dia lantas menangis keras-keras. Pegangan Bu Sam-thong menjadi kendur, segera dia merangkul kedua puteranya dan menangislah ketiganya berpelukan menjadi satu.

Merasa usahanya telah berhasil, hati Yo Ko sangat senang. Ia pikir meski jiwanya takkan tahan lama lagi, paling tidak ia telah berbuat sesuatu kebajikan. Dalam pada itu terdengar Bu Sam-thong berkata:

“Anak bodoh, masakah laki-laki sejati takut tidak mendapatkan bini? Bocah perempuan she Kwe itu tidak menyukai kalian, lalu untuk apa kalian memikirkan dia? Tugas utama kita sekarang ini apa, coba katakan!”

“Menuntut balas kematian ibu!” seru Siu-bun.

“Benar!” kata Bu Sam-thong dengan beringas.

“Meski pun harus menjelajahi ujung langit pasti akan kita temukan Jik-lian-siancu Li Bok-chiu yang jahat itu.”

Yo Ko menjadi kuatir kalau ucapan mereka itu didengar oleh Li Bok-chiu. Apa bila mereka tidak lekas dipancing pergi, tentu urusan bisa runyam. Benar juga, sebelum dia berbuat sesuatu, tiba-tiba terdengar suara Li Bok-chiu mengekek tawa dan berkata:

“Tak perlu kalian menjelajahi ujung langit segala, sekarang juga Li Bok-chiu menunggu di sini.” Sembari bicara ia terus melangkah ke luar goa dengan tangan kiri membopong seorang bayi dan tangan kanan memegang kebut.

Sama sekali Bu Sam-thong dan kedua puteranya tidak menduga iblis yang mereka sebut tadi akan muncul di sana secara mendadak. Dengan menggereng murka Bu Sam-thong menerjang dulu ke depan. Pedang kedua saudara Bu sudah patah, cepat mereka menjemput pedang patah mereka lalu ikut mengerubut dari kanan-kiri.

“Hei, jangan bergerak dulu, dengarkan penuturanku!” seru Yo Ko.

Namun mata Bu Sam-thong sudah telanjur merah membara, teriaknya: “Adik Yo, bicara nanti saja, sesudah kubunuh iblis ini.” Sembari bicara dia lantas menyerang tiga kali ber-turut-turut.

Meski dengan pedang kutung, namun daya serangan kedua saudara Bu tidak dapat dipandang ringan, mereka terus menyerang dengan nekat. Yo Ko tahu dendam kesumat mereka terlalu mendalam, betapa pun pasti sukar dilerai, tetapi kalau tidak berusaha menengahi, bisa jadi mereka akan mencelakai si bayi. Maka cepat ia berseru:

“Li-supek, biarlah kupondong anak itu!”

Bu Sam-thong melengak. “Mengapa kau panggil dia Supek?” tanyanya bingung.

“Sutit yang baik, boleh kau serang bagian belakang orang gila ini, bayi ini akan kupondong sendiri dan tanggung tidak apa-apa,” jawab Li Bok-chiu dengan tertawa.

Kiranya Li Bok-chiu juga merasakan kelihaian Bu Sam-thong, setelah bergebrak beberapa kali terasa jauh lebih kuat dari pada dahulu, sedangkan kedua saudara Bu cilik juga tidak lemah, kerubutan ketiga orang agak sukar dilayani, sebab itulah ia sengaja memanggil Yo Ko sebagai ‘Sutit yang baik’ untuk mengacaukan pikiran ketiga lawan.

Ternyata Bu Sam-thbng terjebak oleh akal Li Bok-chiu itu, cepat ia berseru: “Anak Si dan Bun, kalian awasi bocah she Yo itu, biar aku sendiri yang melabrak iblis ini.”

Yo Ko lantas melangkah mundur dan berkata: “Aku takkan membantu pihak mana pun, tapi kalian jangan sekali-sekali membikin celaka anak bayi itu.”

Hati Bu Sam-thong merasa lega melihat Yo Ko mundur, segera dia melancarkan serangan lebih gencar.

Sambil putar kebutnya menahan serangan lawan, Li Bok-chiu berseru: “Kedua Bu cilik, melihat perilaku kalian tadi, kalian ini tergolong laki-laki yang punya perasaan, berbeda dengan laki-laki tak berbudi yang ingkar janji dan kejam itu. Karena mengingat hal ini, biarlah kuampuni jiwa kalian, nah, lekas kalian pergi saja.”

Tapi Bu Siu-bun lantas memaki: “Bangsat keparat, kau perempuan keji yang maha jahat, berdasarkan apa kau juga bicara tentang budi dan kebaikan?” Berbareng dia langsung menyerang mati-matian.

Ketika pedang kutung kedua Bu cilik terbentur kebut, dada mereka terasa sesak sehingga pedang kutung hampir terlepas dari tangan. Cepat Bu Sam-thong menghantam, terpaksa Li Bok-chiu menangkisnya, dengan begitu kedua Bu cilik dapat diselamatkan.

Perlahan Yo Ko mendekati belakang Li Bok-chiu, ia tunggu bila ada peluang segera menubruk maju untuk merebut bayi dalam pelukan iblis itu. Akan tetapi ayah beranak she Bu sedang menyerang dengan sengit sehingga Li Bok-chiu terpaksa memutar kencang kebutnya untuk menjaga diri, sedikit pun tidak ada lubang yang dapat dimasuki Yo Ko. Nampak serangan Bu Sam-thong bertiga tanpa menghiraukan keselamatan anak bayi, Yo Ko menjadi kuatir. Cepat dia berseru:

“Berikan anak itu kepadaku, Li-supek!” Sambil menunduk segera dia bermaksud menerobos maju untuk merebut bayi itu.

Akan tetapi Li Bok-chiu keburu membentaknya: “Kau berani maju, sedikit kupiting anak ini, jiwanya melayang?”

Yo Ko langsung melengak dan tidak jadi menubruk maju. Pada waktu Li Bok-chiu sedikit meleng itulah secepat kilat It-yang-ci Bu Sam-thong bekerja dengan baik, pinggang Li Bok-chiu tertotok satu kali oleh jarinya. Seketika Li Bok-chiu merasakan tempat yang tertotok sakit luar biasa dan hampir jatuh terguling, tapi sebisanya dia angkat sebelah kaki menendang sehingga pedang kutung di tangan Bu Tun-si terlepas, menyusul kebutnya menyabet kepala Bu Siu-bun.

Melihat anaknya terancam bahaya, cepat-cepat Bu-Sam-thong tarik Siu-bun ke belakang sehingga terhindar dari sabetan maut.

Setelah terluka oleh totokan tadi, Li Bok-chiu merasa sulit untuk bertahan lebih lama lagi, maka sekuatnya ia putar kebutnya, berbareng ia melompat ke sana dan berlari masuk ke dalam goa.

Dengan girang Bu Sam-thong berseru: “Perempuan bangsat itu sudah terkena totokanku, sekali ini jiwanya pasti melayang.”

Segera kedua Bu cilik hendak mengejar ke dalam goa dengan pedang terhunus, tetapi Bu Sam-thong mencegahnya:

“Awas, jarumnya amat berbahaya, jaga saja di sini dan mencari akal...”

Baru saja kedua Bu cilik hendak melangkah mundur, sekonyong-konyong terdengar suara mengaum dari dalam goa menerjang keluar seekor binatang buas. Keruan Bu Sam-thong terkejut. Sungguh di luar dugaan bahwa di dalam goa tempat Li Bok-chiu sembunyi terdapat binatang buas. Baru saja dia melengak, tahu-tahu cahaya perak gemeredep, dari bawah perut binatang buas itu menyambar beberapa buah jarum perak. Hal ini lebih tak terduga oleh Bu Sam-thong. Untung bahwa kepandaiannya cukup tinggi, sebisanya dia melompat ke atas sehingga jarum-jarum berbisa itu menyambar lewat di bawah kakinya, tapi lantas terdengar jeritan kedua Bu cilik. Sungguh kaget Bu Sam-thong tak terkatakan.

Sementara itu terlihat Li Bok-chiu telah memutar dari bawah perut macan tutul itu ke atas punggungnya, kebut terselip pada kuduk baju, tangan kiri memeluk bayi dan tangan kanan memegangi tengkuk harimau. Binatang itu melompat beberapa kali kemudian menghilang di balik semak-semak. Lolosnya Li Bok-chiu dengan menunggang macan tutul sama sekali tak terduga oleh Yo Ko.

“Li-supek...!” segera ia berseru dan hendak mengejar.

Bu Sam-thong tidak membiarkan Yo Ko pergi begitu saja. Ia sangat berduka melihat kedua putera kesayangannya menggeletak tak bisa bangun lagi, tanpa pikir ia rangkul Yo Ko sambi berteriak:

“Biarlah aku mengadu jiwa dengan kau!”

Sama sekali Yo Ko tak mengira Bu Sam-thong akan bertindak padanya, maka sedikit pun ia tak berjaga sehingga terangkuI dengan kencang. Cepat ia berseru:

“He, lepaskan! Aku harus merebut kembali bayi itu!”

“Bagus! Biar kita beramai-ramai mati bersama saja!” teriak Bu Sam-thong.

Yo Ko menjadi amat kelabakan. Ia coba menggunakan Kim-na-jiu-hoat untuk mementang tangan orang yang merangkulnya, tak terduga bahwa meski pun Bu Sam-thong dalam keadaan bingung dan sinting tapi ilmu silatnya tidak menjadi berkurang, dengan kencang dia mengunci rangkulannya sehingga usaha Yo Ko melepaskan diri sama sekali tidak berhasil.

Melihat Li Bok-chiu sudah menghilang dengan menunggang macan tutul, sementara untuk mengejarnya jelas tidak keburu Iagi, Yo Ko lalu menghela napas dan berkata:

“Paman Bu, buat apa kau merangkul aku? Kan lebih penting menolong mereka itu?”

“Ya, ya, benar,” seru Bu Sam-thong girang sambil melepas rangkulannya. “Apakah kau dapat menyembuhkan luka jarum berbisa itu?”

Yo Ko berjongkok memeriksa kedua Bu cilik, tampaklah dua jarum perak menancap pada bahu kiri dan kaki kanan masing-masing, sementara itu racun telah mulai menjalar, napas kedua anak muda itu tampak sesak dan dalam keadaan tak sadar. Cepat Yo Ko menyobek sebagian baju Bu Tun-si sebagai pembungkus tangan, lebih dulu ia cabut kedua jarum berbisa itu.

“Apakah kau punya obat penawar racunnya?” tanya Bu Sam-thong kuatir.

Dahulu waktu Yo Ko berkumpul dengan Thia Eng dan Liok Bu-siang, ia pernah membaca dan menghapalkan isi kitab pusaka ‘Panca Bisa’ milik Li Bok-chiu yang dicuri Bu-siang, maka dia paham bagaimana caranya menawarkan racun jarum berbisa, namun untuk membuat obatnya tentu makan waktu, sedangkan kini mereka sedang berada di lembah pegunungan sunyi, ke mana bisa mendapatkan bahan obat sebanyak itu? Oleh karena itu Yo Ko cuma menggeleng saja menyaksikan keadaan kedua Bu cilik yang sudah payah itu.

Perasaan Bu Sam-thong seperti di-iris menyaksikan keadaan kedua puteranya. Ia jadi teringat kepada isterinya yang binasa demi menghisap darah beracun dari lukanya dahulu. Mendadak ia menubruk ke atas badan Bu Siu-bun lalu menempelkan mulutnya pada luka di kaki anaknya itu.

Tentu saja Yo Ko terkejut, cepat ia berseru: “Hei, jangan!” Segera ia menotok Tay-cui-hiat di pinggang orang tua itu.

Karena tidak terduga-duga, seketika Bu Sam-thong roboh terguling dan tak dapat berkutik melainkan memandangi kedua putera kesayangan dengan air mata bercucuran. Tergerak perasaan Yo Ko. Dia pikir jiwanya sendiri juga akan melayang bila racun bunga cinta mulai bekerja, baginya terasa tiada bedanya hidup lima hari lagi atau mati lebih cepat lima hari.

Kedua Bu cilik ini memang tiada menonjol, tetapi Bu tua ini pasti orang yang berperasaan dan berbudi luhur, selama ini nasibnya juga kurang beruntung seperti diriku. Maka biarlah aku korbankan kehidupanku yang cuma tinggal beberapa hari ini untuk membahagiakan kehidupan mereka ayah beranak. Karena pikiran itu, ia mencucup luka di kaki Bu Siu-bun, setelah mengusap darah berbisanya dan diludahkan beberapa kali, kemudian ia mencucup pula darah berbisa dari luka Bu Tun-si.

Begitulah secara bergiliran Yo Ko menyedot darah berbisa dari luka kedua saudara Bu itu. Tentu saja Bu Sam-thong sangat berterima kasih tapi merasa bingung menyaksikan perbuatan Yo Ko itu. Susahnya dia tak bisa berkutik karena Hiat-tonya telah tertutup.

Setelah menghisap sebentar lagi, rasa pahit di dalam mulut Yo Ko mulai berubah menjadi rasa asin, sedangkan kepalanya semakin pusing dan terasa berat. Ia menyadari dirinya telah keracunan hebat, tetapi sekuatnya ia berusaha menghisap lagi beberapa kali dan meludahkan air berbisa itu, tiba pandangannya menjadi gelap dan jatuh pingsanlah dia.

**** 115 ****







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar