Selasa, 07 September 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 114

Dengan kencang Bu Sam-thong menggenggam dua tangan Yo Ko, saking terharu hatinya sehingga tidak sanggup bicara. Sejak muda ia sudah tergoda oleh urusan cinta, tapi sejak isterinya meninggal rasa terharu atas budi kebaikan sang isteri yang rela mengorbankan jiwa untuk menyelamatkannya itu lambat laun membuat cinta kepayangnya pada kekasihnya dahulu mulai hambar. Sesudah tambah tua harapannya hanya tercurah pada kedua puteranya, biar pun jiwa sendiri harus dikorbankan ia pun rela. Karena itu ketika mendengar ucapan Yo Ko tadi pada saat ia sudah putus harapan, tentu saja ia sangat girang seakan-akan mendapatkan wahyu.

Melihat sikap Bu Sam-thong ini, Yo Ko menjadi terharu dan hatinya terasa pedih. Dia pikir kalau ayahku masih hidup, tentu beliau juga sayang padaku seperti ini. Dengan suara tertawa ia lantas berkata:

“Hendaklah paman Bu diam saja di sini dan jangan sekali-kali diketahui mereka, kalau tidak akalku akan gagal total.”

Pertarungan kedua saudara Bu semakin sengit dan benar-benar mengadu jiwa, meski pun begitu dalam pandangan Yo Ko kepandaian kedua Bu sebetulnya belum ada tiga bagian dari pada seluruh kepandaian Kwe Ceng. Pada saat itulah mendadak Yo Ko bergelak tertawa terus memperlihatkan diri.

Tentu saja kedua saudara Bu amat terkejut, berbareng mereka melompat mundur, bentak mereka sambil menatap tajam kepada Yo Ko:

“Untuk apa kau datang ke sini?!”

“Kalian sendiri untuk apa berada di sini?” jawab Yo Ko dengan tertawa.

Bu Siu-bun terbahak-bahak, katanya: “Karena sedang iseng di malam sunyi ini maka kami bersaudara berlatih ilmu pedang.”

Diam-diam Yo Ko mengakui Bu cilik itu lebih cerdik, meski berdusta tetapi cara bicaranya seperti sungguh-sungguh. Segera ia menjengek.

“Hm, jika berlatih kok serang menyerang mati-matian? He-he, giat amat cara kalian berlatih?”

Bu Tun-si menjadi marah damperatnya: “Enyahlah kau, urusan kami tidak perlu kau ikut campur!”

“Ha, jika benar-benar berlatih sudah tentu aku tidak perlu urus,” jengek Yo Ko, “Tapi setiap kali kalian serang menyerang, yang kalian pikirkan adik Hu belaka, mau tak mau aku harus ikut campur.”

Mendengar ucapan “adik Hu” yang sengaja dibikin mesra oleh Yo Ko, seketika hati kedua saudara Bu tergetar. Dengan marah Siu-bun mendamperat:

“Kau mengaco belo?!”

Dengan tegas Yo Ko berucap lagi: “Adik Hu... kau dengar tidak? Adik Hu-ku tersayang itu puteri kandung paman dan bibi Kwe, benar tidak? Urusan perjodohan harus berdasarkan ijin dari ayah ibu, benar tidak? Sedangkan paman Kwe sudah lama menjodohkan adik Hu kepadaku, hal ini kan sudah kalian ketahui, tetapi kalian malah bertanding pedang di sini untuk memperebutkan bakal isteriku, memangnya kalian anggap si Yo Ko ini manusia atau bukan?”

Kata-kata Yo Ko tegas dan bengis, seketika kedua saudara Bu tidak mampu menjawab. Mereka memang tahu Kwe Ceng ada maksud memungut Yo Ko sebagai menantu, tetapi Oey Yong dan Kwe Hu sendiri tidak suka padanya. Sekarang isi hati mereka mendadak dibongkar oleh Yo Ko, kedua saudara Bu itu menjadi saling pandang dengan bingung. Dasar Siu-bun memang lebih cerdik, segera ia balas mendengus:

“Huh, bakal isteri apa? Sungguh berani kau mengucapnya! Apa buktinya kau sudah dijodohkan dengan adik Hu? Adakah comblangnya? Apa kau sudah memberi panjer? Sudahkah bertunangan?”

“Ha-ha, memangnya kalian berdua yang sudah dijodohkan dengan dia? Juga sudah ada comblangnya dan sudah diluluskan orang tuanya?” balas Yo Ko menjengek.

Maklumlah, pada jaman dinasti Song adat istiadat urusan perkawinan dipandang sangat penting, tiap perjodohan harus seijin orang tua dan harus ada saksi comblangnya. Sudah tentu hubungan kedua saudara Bu dengan Kwe Hu belum sampai sejauh itu, karena itu mereka menjadi bungkam oleh pertanyaan Yo Ko. Sesudah berpikir sejenak, Siu-bun lalu menjawab:

“Suhu bermaksud menjodohkan adik Hu padamu, hal itu memang benar. Akan tetapi Subo (ibu guru) justru menjatuhkan pilihannya atas salah satu di antara kami berdua. Jadi sebenarnya kedudukan kita bertiga sekarang adalah sama, siapa pun belum punya hak. Soal siapa yang akan keluar sebagai pemenang kelak adalah sukar diramalkan.”

Yo Ko tidak menjawab, ia menengadah dan bergelak tertawa.

“Apa yang kau tertawakan?” damperat Siu-bun dengan marah. “Memangnya ucapanku tadi salah?”

“Ya, salah, salah besar!” jawab Yo Ko, “Bahwa paman Kwe suka padaku sudah tak perlu disangsikan lagi, malahan bibi Kwe juga sangat suka padaku, kalian berdua mana dapat dibandingkan dengan diriku?”

“Hm, yang penting kenyataannya, tiada berguna omong kosong,” jengek Siu-bun.

“Ha-ha, untuk apa aku omong kosong?” ujar Yo Ko, “Bibi Kwe sudah menjodohkan puterinya kepadaku, kalau tidak buat apa kutolong ayah dan ibu mertuaku dengan mati-matian? Itu lantaran mengingat akan adik Hu. Nah, coba katakan, apakah Subo-mu pernah berjanji kepada kalian?”

Dua Bu cilik itu saling pandang dengan bingung. Mereka merasa sang ibu guru memang tidak pernah memberi janji ucapan apa pun, malahan belum pernah mengunjuk keinginan hendak memungut menantu salah seorang di antara mereka. Jangan-jangan ibu gurunya itu memang betul telah menjodohkan Kwe Hu kepada bocah she Yo ini! Tadinya kedua saudara itu hendak mengadu jiwa sendiri, akan tetapi sekarang mendadak di antara mereka diselipi seorang lawan, seketika timbul rasa persatuan kedua saudara itu untuk menghadapi musuh bersama.

Seperti diketahui, Yo Ko pernah mengintip dan mendengar percakapan Kwe Hu dengan kedua saudara Bu, maka ia sengaja memancing rasa cemburu mereka, sambil tertawa ia berkata:

“Adik Hu pernah berkata padaku bahwa kedua kakak Bu bersaing memperebutkan dia, karena tak dapat menolak, terpaksa adik Hu menyatakan menyukai ke-duanya. Padahal, ha-ha-ha, masa ada perempuan baik-baik di dunia ini sekaligus mencintai dua orang lelaki? Adik Hu adalah gadis yang suci bersih, tidak mungkin terjadi begitu. Nah, biar kukatakan sejujurnya pada kalian, bahwa menyukai ke-duanya berarti satu pun tidak disukainya.” Lalu ia sengaja menirukan lagak lagu ucapan Kwe Hu pada malam itu: “O, Kakak Bu cilik, mengapa engkau selalu merecoki aku, masa kau tidak tahu perasaanku padamu? O, kakak Bu besar rasanya lebih baik aku mati saja.”



Seketika air muka kedua saudara Bu berubah. Ucapan Kwe Hu dikatakan kepada mereka secara tersendiri, tatkala itu tiada orang ketiga yang hadir. Kalau saja Kwe Hu tidak menceritakan kembali kepadanya, dari mana Yo Ko mengetahui? Hati mereka terasa sakit seperti disayat, rupanya memang beginilah sebenarnya maka selama ini Kwe Hu tak mau menerima lamaran mereka.

Melihat paras air muka kedua saudara Bu dapatlah Yo Ko mengetahui bahwa akalnya sudah mencapai sasarannya, segera dia berkata dengan sungguh-sungguh:

“Pendek kata, adik Hu adalah bakal isteriku, sesudah menikah kami akan hidup bahagia sampai kakek dan nenek...” Sampai di sini, mendadak terdengar di belakang ada suara orang menghela napas pelan, kedengarannya mirip benar dengan suara Siao-liong-li.

Yo Ko terkejut dan hampir-hampir saja berseru memanggil, namun segera dia menyadari bahwa suara itu adalah suara Li Bok-chiu di dalam goa. Orang ini sekali-kali tidak boleh dipertemukan dengan keluarga Bu. Segera ia berkata kepada kedua saudara Bu:

“Nah, makanya kalian jangan bermimpi dan buang tenaga percuma, Mengingat kebaikan bakal ayah dan ibu mertuaku, biarlah urusan kalian ini tidak akan kupikirkan lagi, kalian boleh pulang ke Siang-yang untuk membantu ayah mertuaku menjaga benteng, kukira itulah tugas yang lebih utama bagi kalian.”

BegituIah terus menerus dia menyebut Kwe Ceng dan Oey Yong sebagai bakal ayah dan ibu mertuanya. Sedih dan lesu kedua saudara Bu dan saling genggam tangan dengan kencang, kata Siu-bun dengan lemah:

“Baiklah, Yo-toako, kudoakan semoga engkau dan Kwe-sumoay hidup bahagia, kami bersaudara akan pergi jauh dirantau dan anggaplah di dunia ini tak pernah ada kami.” Habis berkata mereka lantas membalikkan tubuh.

Diam-diam Yo Ko merasa girang karena maksud tujuannya kelihatannya akan tercapai. Ia pikir meski kedua Bu cilik itu dendam padanya, kelak kedua bersaudara itu pasti akan rukun dan saling sayang sebagaimana yang diharapkan Bu Sam-thong.

Bu Sam-thong juga girang sekali setelah menyaksikan Yo Ko berhasil membikin kedua puteranya berhenti bertempur. Dilihatnya dua anak muda itu bergandengan tangan dan melangkah pergi, tanpa tertahan dia terus berseru:

“Anak Bun dan anak Si, marilah kita berangkat bersama.”

Kedua Bu cilik melengak kaget, mereka menoleh dan memanggil “ayah”. Bu Sam-thong lantas memberi hormat kepada Yo Ko dan berkata:

“Adik Yo, selama hidupku takkan melupakan budi pertolonganmu.”

Yo Ko mengerutkan kening. Dia pikir sungguh sembrono orang tua ini berbicara demikian di hadapan kedua Bu cilik. Baru saja ia hendak membingungkan mereka dengan perkataan lain, namun Bu Siu-bun sudah mulai curiga, katanya tiba-tiba kepada Tun-si.

“Toako, apa yang dikatakan bocah she Yo tadi belum tentu betul.”

Meski Bu Tun-si tidak banyak omong, tetapi kecerdasannya tidak di bawah sang adik. Ia pandang sekejap kepada ayahnya, lalu mengangguk kepada Siu-bun.

Melihat urusan bisa runyam lagi, cepat Bu Sam-thong menambahkan: “Eh, kalian jangan salah alamat, sama sekali aku tidak minta adik Yo ini untuk melerai kalian.”

Sebenarnya kedua Bu cilik cuma merasa curiga dan belum tahu persis urusan yang sesungguhnya, tapi mereka justru menjadi curiga setelah sang ayah bermaksud menutupi persoalannya. Segera mereka teringat hubungan Yo Ko dengan Kwe Hu biasanya tidak cocok, lagi pula Yo Ko amat mencintai Siao-liong-li, jadi apa yang dikatakan Yo Ko besar kemungkinan tidak betul.

“Toako,” kata Siu-bun kemudian, “Marilah kita pulang ke Siang-yang untuk menanyai adik Hu sendiri.”

“Benar,” jawab Tun-si. “Ocehan orang lalu masa dapat menipu kita.”

Segera Siu-bun berkata kepada Bu Sam-thong: “Ayah, marilah engkau ikut juga ke Siang-yang. Temuilah Suhu dan Subo, mereka kan sahabatmu.”

“Aku... aku...” muka Bu Sam-thong menjadi merah. Ia bermaksud memperlihatkan wibawa seorang ayah untuk mengomeli kedua puteranya, tetapi kuatir kedua anak muda itu hanya mengiyakan di depannya, tapi di belakangnya akan bertarung mati-matian lagi.

Yo Ko lantas menjengek: “Saudara Bu, memangnya sebutan ‘adik Hu’ boleh kau panggil sesukamu? Selanjutnya kularang kau menyebutnya, bahkan dalam hati pun tidak boleh kau pikirkan dia.”

Siu-bun menjadi marah, teriaknya: “Bagus, di dunia ini ternyata ada manusia se-wenang-wenang macam kau. ‘Adik Hu’ sudah kusebut selama sepuluh tahun, kenapa kau berani melarang aku menyebutnya?”

“Hmm, bukan saja sekarang aku tetap memanggil adik Hu, bahkan besok, lusa dan untuk selanjutnya aku tetap akan memanggilnya. Adik Hu, adik Hu, adik Hu...” Sebelum habis ucapannya, “plok”, mendadak pipinya kena ditempeleng satu kali oleh Yo Ko.

Segera Siu-bun mengacungkan pedangnya dan berkata dengan geram: “Baik, orang she Yo, sudah lama kita tidak berkelahi, ya?”

“He, anak Bun, berkelahi apa maksudmu?” cepat Bu Sam-thong mencegah.

Mendadak Yo Ko berpaling kepada Bu Sam-thong kemudian bertanya: “Paman Bu, kau membantu pihak mana?”

Menurut aturan, wajar bila Bu Sam-thong membela anaknya sendiri, tapi tindakan Yo Ko sekarang jelas demi untuk mencegah saling bunuh antara kedua bersaudara itu, karena itu Bu Sam-thong menjadi serba salah dan melongo belaka.

“Begini saja,” kata Yo Ko, “Silakan paman Bu duduk tenang di situ, aku tidak akan mencelakai jiwa mereka, rasanya mereka pun tidak akan mampu mencelakai aku, engkau boleh menonton pertunjukan menarik ini.”

Usia Yo Ko berselisih jauh dari pada Bu Sam-thong, tapi pintarnya dan cerdiknya jauh di atasnya, jadi apa yang dikatakannya tanpa kuasa diturut saja oleh Bu Sam-thong. Segera ia duduk di atas batu padas di samping sana.


BANTUAN BAGI KELUARGA BU ( 2 )

Yo Ko meloloskan Ci-wi-kiam, seketika cahaya dingin gemerlapan. Dia menyabet perlahan pedang lemas itu, terdengar suara mendesir. Sepotong batu besar di sebelahnya disabet bersilang, waktu kakinya mendepak, kontan batu besar itu pecah menjadi empat bagian, bagian yang retak itu halus licin seperti irisan tahu saja.

Melihat betapa tajamnya pedang orang, kedua saudara Bu bertukar pandang dengan hati jeri. Mereka menjadi ragu cara bagaimana dapat menandingi Yo Ko dengan pedang selihay itu.

Namun Yo Ko lantas menyimpan kembali pedangnya, kemudian berkata dengan tertawa.

“Pedangku ini masa kugunakan untuk menghadapi kalian?” Sekenanya ia memotong sebatang dahan pohon, ia buang daunnya hingga berwujud sebatang pentung sepanjang satu meteran, kemudian berkata: “Tadi sudah kukatakan bahwa ibu mertua condong padaku, tapi kalian tak percaya. Sekarang boleh kalian saksikan, aku akan menggunakan pentung ini untuk melayani pedang kalian, kalian boleh maju sekaligus dan mengeluarkan segenap kepandaian ajaran ayah ibu mertuaku serta ajaran paman Cu Cu-liu, sebaliknya aku hanya akan mempergunakan ilmu silat ajaran ibu mertuaku saja. Asalkan aku salah menggunakan sejurus dari aliran lain, segera anggap saja aku kalah.”

Kedua saudara Bu sebenarnya jeri pada kepandaian Yo Ko yang hebat. Mereka sudah menyaksikan dia menempur Kim-lun Hoat-ong dengan cara aneh, tetapi mereka menjadi naik pitam demi mendengar ucapan Yo Ko yang berulang-ulang menyebut “ayah dan ibu mertua”, seakan-akan Kwe Hu benar-benar sudah menjadi isterinya, sungguh gemas mereka tidak kepalang. Malah dengan sombongnya Yo Ko menyatakan bersedia dikerubuti dan akan melayani pedang mereka dengan pentung, bahkan terbatas pada ilmu silat ajaran Oey Yong melulu.

Dalam keadaan begini kalau mereka tidak dapat mengalahkan Yo Ko juga keterlaluan dan buat apa lagi hidup di dunia ini. Maka Siu-bun langsung menegas:

“Baik, kau sendiri yang berkata begitu dan bukan kami yang minta. Kalau kau salah menggunakan ilmu silat dari golongan lain, lalu bagaimana?”

“Pertandingan kita ini bukan disebabkan permusuhan di masa lalu atau karena kebencian sekarang, kita bertempur demi adik Hu,” kata Yo Ko. “Maka kalau aku kalah, asalkan aku memandang sekejap padanya atau bicara sepatah saja dengan dia, katakanlah aku ini manusia rendah yang tidak tahu malu. Tapi bagaimana jika kalian yang kalah?”

Pertanyaan Yo Ko sengaja memaksa kedua saudara Bu itu harus menyatakan janji yang sama, maka Siu-bun lalu menjawab:

“Jika kami kalah, kami pun takkan menemui adik Hu untuk selamanya.”

“Bagaimana kau, setuju?” tanya Yo Ko kepada Tun Si.

“Kami bersaudara satu hati dan satu tujuan, tak ada perbedaan pendirian!” jawab Tun-si dengan marah.

“Bagus, sesudah kalah nanti, kalau kalian tidak pegang janji, maka kalian akan dianggap manusia tidak tahu malu yang melebihi binatang, begitu bukan?” Yo Ko menegaskan.

“Benar,” jawab Siu-bun. “Tidak perlu banyak bicara lagi, orang she Yo, marilah mulai.”

Habis berkata ia terus mendahului menusuk dari sebelah kanan, berbareng Bu Tun-si juga bergerak dari sebelah kiri, asalkan Yo Ko berusaha menghindar serangan Siu-Bun berarti akan dimakan serangan Tun-si. Akan tetapi dengan gesit Yo Ko dapat menghindari beberapa kali serangan kedua Bu cilik itu sambil mengolok-olok. Keruan kedua saudara Bu tambah murka dan menyerang lebih gencar.

“Kau mengaco apa? Mengapa kepandaian ajaran Subo tidak lekas kau keluarkan?”

“Baik, kau meminta tentu akan kuperlihatkan. Nah, awas, inilah kepandaian asli ajaran ibu mertuaku!” seru Yo Ko.

Pentungnya segera menyabet serta diputar ke atas. Itulah gaya ‘menjegal’ dari Pak kau-pang-hoat, berbareng jari tangan lain pura-pura hendak menotok Hiat-to di tubuh Bu Tun-si.

“Blukk!”

Ketika Tun-si melompat mundur, tahu-tahu Bu Siu-bun sudah jatuh kesandung pentung. Nampak adiknya kecundang, cepat Bu Tun-si menubruk maju lagi dan menyerang dengan gencar.

“Benar, adik ada kesulitan, sang kakak yang menolong.”

Demikianlah sambil mengolok-olok, sekali pentungnya berkelebat tahu-tahu Yo Ko sudah menggeser ke belakang Tun-si.

“Plokk!” dengan tepat pantat Tun-si kena disabet sekali.

Gerakan pentung Yo Ko itu tampaknya lamban, tapi tepat yang diarah adalah bagian yang sama sekali tidak terduga. Dan memang di situlah letak keistimewaan Pak-kau-pang-hoat yang termashur itu.

Sesudah merasakan gebukan pada pantatnya, walau pun tidak terlalu sakit, jelas ia pun sudah kecundang, karena itu diam-diam timbul rasa kedernya. Dalam pada itu Bu Su-bun melompat bangun dan berseru:

“Ini adalah Pak-kau-pang-hoat, mana mungkin Subo mengajarkan kau secara diam-diam? Jelas kau mencuri belajar beberapa jurus ketika kita sama-sama menyaksikan Subo mengajarkan ilmu permainan pentung ini kepada Loh-tianglo tempo hari.”

Mendadak pentung Yo Ko menjulur. “Blukk!” kembali Siu-bun dijegal hingga terbanting lagi. Cepat Bu Tun-si menebas dengan pedangnya untuk menolong sang adik.

Yo Ko menunggu Siu-bun merangkak bangun, lalu berkata dengan tertawa: “Kalau kita menyaksikan bersama waktu ibu mertuaku mengajarkan pada Loh-tianglo, mengapa aku bisa dan kalian tidak bisa? Padahal yang diajarkan ibu mertuaku pada Loh-tianglo hanya kuncinya saja secara lisan, bagaimana cara memainkannya beliau telah mengajarkan padaku diam-diam, bahkan adik Hu juga tidak bisa, apa lagi kalian ini.”

Bu Siu-bun tidak tahu bahwa secara kebetulan Yo Ko pernah mendapat ajaran dari Ang Chit-kong ketika pengemis sakti itu bertanding dengan Auyang Hong di puncak Hoa-san dahulu, maka dalam hati sebenarnya dia percaya apa yang dikatakan Yo Ko, cuma di mulut dia tetap tidak mau kalah, katanya:

“Huh, setiap orang memang berbeda. Kebetulan kami juga mendengar ajaran Subo kepada Loh-tianglo, namun ilmu pentung itu mana boleh digunakan kecuali oleh pangcu dari Kay-pang sendiri? Sebelum ada perintah Subo, mana kami berani melatihnya? Hanya manusia rendah saja yang mau berbuat begitu! Hm, kau sendiri tidak tahu malu, tapi malah meng-okok orang lain.”

Yo Ko terbahak-bahak, pentungnya berputar Iagi. “Plok-plok!” tahu-tahu punggung Siu-bun dan Tun-si tersabet pula. Cepat kedua saudara Bu melompat ke samping dengan muka merah padam.

“Baiklah, karena tak ada bukti dan saksi, meski kukalahkan kalian dengan Pak-kau-pang-hoat juga kalian belum mau mengaku kalah,” ujar Yo Ko, “Nah, sekarang akan kugunakan sejurus kepandaian lain ajaran Subo, coba lihat.”

Habis ini dia pandang Siu-bun, kemudian menatap Tun-Si, lalu bertanya: “Katakan lebih dulu, ilmu silat ibu mertuaku berasal dari ajaran siapa?”

Dengan marah Siu-bun menjawab. “Kalau kau tanpa malu-malu menyebut lagi ibu mertua segala, maka kami tidak sudi bicara lagi dengan kau.”

“Ahh, mengapa kalian berjiwa sesempit ini?” kata Yo Ko dengan tertawa. “Baiklah, coba jawab pertanyaanku, ilmu silat Subo-mu berasal dari siapa?”

“Subo kami adalah puteri kesayangan Oey-tocu dari Tho-hoa-to, sudah tentu ilmu silatnya berasal dari ajaran ayahnya sendiri, masa perlu kau tanyakan puia?” jawab Siu-bun.

“Benar,” kata Yo Ko. “Kalian sendiri pernah tinggal beberapa tahun di Tho-hoa-to, apakah kalian tahu kepandaian khas Oey-tocu, terutama ilmu pedangnya, apa nama ilmu pedang kebanggaan beliau?”

Dengan bersemangat Bu Siu-bun menjawab “Oey-tocu terkenal maha sakti dan serba pintar, segala apa pun diketahui oleh beliau, semua kepandaiannya juga diketahui olehmu, mengapa kau bertanya padaku? Giok-siau-kiam-hoat beliau termashur di seluruh dunia, tiada seorang pun di dunia Kangouw yang tidak tahu.”

“Dan kalian pernah berjumpa dengan Oey tocu tidak?” tanya Yo Ko pula.

“Belum pernah.” jawab Siu-bun. “Oey-tocu senang mengembara, bahkan Suhu dan Subo sendiri jarang bertemu dengan beliau, apa lagi orang muda seperti kami ini.”

“Oh, jika begitu Giok-siau-kiam-hoat Oey-tocu itu tak pernah kalian lihat?” kata Yo Ko.

“Melihat secara langsung memang tidak pernah,” jawab Siu-bun sambil mendengus. “Tapi ketika hari ulang tahun Oey-tocu, Subo sudah merayakannya dan berdoa dari jauh bagi kesehatan beliau, dalam pesta itu Subo memperlihatkan ilmu pedang kebanggaan Oey-tocu. Tatkala itu Yo-heng sendiri berangkat ke Cong-lam-san untuk mencari guru lain.”

“Betul,” ujar Yo Ko sambil tertawa. “Kemudian ibu mertuaku... oh, baiklah, kemudian Subo kalian diam-diam telah mengajarkan ilmu pedang itu padaku.”

Kedua saudara Bu itu saling pandang. Sudah tentu mereka tak percaya, sedangkan Kwe Hu saja yang merupakan puteri tunggal kesayangan Oey Yong juga tak pernah diajari ilmu pedang itu, masa bisa jadi Yo Ko malah diberi pelajaran di luar tahu mereka?

“Kalian tentu tidak percaya, bukan?” kata Yo Ko. ”Baiklah, coba lihat jurus serangan ini!”

Mendadak pentungnya digunakan sebagai pedang. “Crett!” tahu-tahu dada Bu Tun-si sudah tertusuk oleh ujung pedang.

Kalau saja pentung itu pedang tajam, maka dada Tun-si pasti sudah tembus dan jiwanya melayang. Siu-bun cukup cekatan. Melihat Yo Ko menyerang, secepat kilat ia pun menusukkan pedangnya ke iga kanan Yo Ko. Namun tetap terlambat sedikit, pentung Yo Ko sempat diputar balik dan tahu-tahu menusuk ke pergelangan tangannya.

Serangan Yo Ko ternyata mencapai sasarannya lebih cepat dari pada serangan Siu-bun, belum lagi ujung pedang Siu-bun mengenai tubuh lawan, pergelangan tangannya telah tertusuk lebih dahulu oleh ujung pentung Yo Ko dan pedangnya pasti akan terlepas dari cekalan. Cepat Siu-bun menarik kembali pedangnya dan berganti serangan lain, sambil memutar balik pedangnya, kaki kirinya menendang.

Sementara itu sembari melangkah maju pentung Yo Ko telah ditusukkan ke bahu Bu Tun-si, tendangan Siu-bun seakan-akan tak dihiraukannya. Dengan sendirinya tendangan Siu-bun mengenai tempat kosong, sedangkan keadaan Bu Tun-si menjadi berbahaya. Cepat Bu Tun-si putar pedangnya dengan kencang untuk bertahan secara rapat, dengan begitu terhindarlah dia dari tusukan pentung lawan.

Hanya dalam beberapa jurus saja kedua saudara Bu dibikin kelabakan oleh Yo Ko, jangankan hendak balas menyerang, bertahan pun terasa sulit. Sama sekali kedua Bu cilik itu tak pernah menyangka bahwa Giok-siau-kiam-hoat yang pernah dipertunjukkan oleh Oey Yong itu ternyata memiliki perubahan gerak yang begini indah dan hebat untuk digunakan.

Karena kecundang, kedua saudara Bu menjadi malu dan berduka. Mereka mengira Giok-siau-kiam-hoat itu benar-benar diajarkan oleh Oey Yong kepada Yo Ko. Sudah tentu tak pernah mereka bayangkan bahwa Yo Ko pernah berkumpul cukup lama dengan Oey Yok-su dan mendapatkan ajaran langsung kedua macam ilmu silatnya yang maha sakti itu.

Melihat kedua orang itu sedih dan lesu, hati Yo Ko menjadi tidak tega. Tetapi mengingat maksud tujuannya hendak menyelamatkan jiwa mereka, kalau sekarang keduanya tidak dibikin menyerah betul-betul agar selamanya tak akan menemui Kwe Hu lagi, maka kelak keduanya pasti akan berkelahi mati-matian lagi bagi nona itu, karena inilah dia lalu mempergencar serangannya tanpa kenal ampun lagi. Keruan kedua saudara Bu jadi semakin keder, bayangan pentung berkelebat mengelilingi mereka, segenap Hiat-to penting di tubuh mereka seluruhnya terancam oleh pentung Yo Ko. Terpaksa mereka mengertak gigi dan bertahan mati-matian.

Sesungguhnya kepandaian kedua Bu cilik itu tidak terlampau rendah, akan tetapi kalau dibandingkan Yo Ko yang sekarang sudah menyamai jago kelas satu, dengan sendirinya mereka bukan tandingannya. Apa lagi sekarang mereka merasa gelisah, cara bertempur mereka menjadi ngawur. Sebaliknya Yo Ko tidak menggunakan serangan maut melainkan melayaninya dengan tenang.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar