Selasa, 07 September 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 113

Sepasang pedang ini sebenarnya membawa ramalan yang baik, siapa tahu Kun-cu-kiam akhirnya patah, tampaknya dirinya memang sudah ditakdirkan tidak dapat hidup bersama Siao-liong-li sampai hari tua. Berpikir sampai di sini dia lantas berduka dan tanpa terasa mencucurkan air mata. Selagi berjalan, mendadak dari sebelah kanan menyambar senjata berwarna hitam, menyusul dari sebelah kiri ada orang yang menyergapnya. Saat itu pikiran Yo Ko sedang bergolak dan sama sekali tidak menduga akan diserang oleh musuh di lembah sunyi begini. Apa lagi serangan dari kanan kiri ini juga amat cepat, dapat menghindarkan yang kiri tentu sukar mengelakkan yang kanan.

Dalam keadaan kepepet Yo Ko tidak sempat melolos pedang, maka cepat ia meloncat tinggi. Ia menduga musuh akan melancarkan serangan susulan waktu ia turun ke bawah, maka selagi terapung, sekaligus ia cabut Ci-wi-kiam lalu diputar dengan kencang untuk menjaga diri, dengan begitulah ia turun ke bawah.

Tapi sebelum dia melabrak lawannya, sekonyong-konyong sesosok bayangan menubruk tiba dari belakang, dan ternyata dia adalah si rajawali sakti. Dengan cepat rajawali itu menubruk ke semak-semak di sebelah kanan, sekali patuk seekor ular tergigit olehnya terus dilemparkan ke tanah, menyusul menubruk ke sebelah kiri. Tampak sinar emas berkelebat, sebuah roda emas hendak menghantamnya. Rajawali itu bermaksud mematuk roda itu untuk merampasnya, tapi tidak berhasil, sedikit berputar segera paruhnya mematuk lagi.

Dari semak-semak pohon itu lantas melompat keluar seseorang dengan sepasang rodanya, kiranya Kim-lun Hoat-ong adanya. Kuatir rajawali itu dicelakai Hoat-ong yang lihay, segera Yo Ko berseru:

“Silakan mundur, Tiau-heng, biar aku yang melayani dia.”

Akan tetapi sayap kiri si rajawali mendadak membentang ke belakang mencegah Yo Ko, sedangkan sayap kanannya menyampuk ke depan. Serangkum angin keras menyambar ke muka Hoat-ong. Luar biasa tenaga sabetan sayap itu, biar pun jago silat kelas satu tidak sekuat itu.

Kiranya Hoat-ong dan Nimo Singh bergumul dan terjerumus ke jurang, tapi untungnya di tepi jurang ada sebatang pohon besar, pada detik berbahaya itu Hoat-ong masih sempat menggunakan sebelah tangannya merangkul batang pohon. Ketika itu Nimo Singh dalam keadaan setengah sadar, namun dia masih tetap merangkul tubuh Hoat-ong dengan mati-matian. Setelah mengawasi keadaan sekitarnya, kemudian Hoat-ong lepaskan rangkulannya pada batang pohon sambil kakinya memancal, dengan tepat kedua orang jatuh pada onggokan semak-semak rumput yang lebat terus menggelinding ke bawah mengikuti dinding tebing yang miring.

Belasan meter jauhnya mereka berguling dan barulah berhenti sesudah sampai di dasar lembah yang dalam itu. Tentu saja sekujur badan mereka babak belur oleh duri dan batu kerikil. Segera Hoat-ong mempergunakan Kim-na-jiu-hoat untuk menelikung tangan Nimo Singh sambil membentak:

“Lepaskan tidak?”

Dalam keadaan setengah sadar Nimo Singh merasa tidak bertenaga lagi untuk melawan, maka terpaksa ia lepaskan sebelah tangan, sedangkan tangan lain masih mencengkeram punggung orang.

“Hmm, kedua kakimu sendiri keracunan hebat tetapi tidak lekas berusaha menolongnya, masih mau main gila apa kau?” jengek Hoat-ong.

Ucapan ini seperti kemplangan di atas kepala Nimo Singh. Cepat ia menunduk, tampak kedua kakinya membengkak besar dua kali lipat dari pada biasanya, ia tahu bila tidak lekas ditolong sebentar lagi jika racun menjalar ke atas tentu jiwanya melayang. Ia menjadi nekat, ia melolos ular baja yang terselip di tali pinggang, sambil menggertak gigi ia bacok putus kedua kakinya itu sebatas lutut. Seketika darah segar memuncrat, kontan ia pun semaput.

Melihat betapa tegas dan perkasanya Nimo Singh, mau tak mau Hoat-ong kagum juga. Mengingat orang sudah cacat kedua kakinya sehingga tidak bakalan bersaing lagi dengan dirinya, segera Hoat-ong menutup beberapa Hiat-to pada kaki Nimo Singh untuk menghentikan cucuran darahnya, habis itu dia mengeluarkan obat yang dibubuhkan pada lukanya serta membalutnya dengan robekan kain baju Nimo Singh.

Pada umumnya Busu (jago silat, Bushu kata orang Jepang) negeri Thian-tiok mengalami gemblengan fisik yang hebat, rata-rata pernah berlatih tidur di atas papan berpaku atau berpisau dan jenis ilmu yang menyakitkan lainnya. Nimo Singh juga ahli dalam ilmu itu, maka begitu darahnya mampet, segera ia bangkit duduk dan berkata kepada Hoat-ong.

“Baiklah, kau telah menolong aku, segala sengketa kita yang sudah lalu tak perlu diungkit lagi.”

Hoat-ong tersenyum getir, dalam hati ia merasa keadaan sendiri lebih buruk dari pada Nimo Singh yang sudah buntung, meski buntung tetapi Nimo Singh sudah bebas dari keracunan. Maka Hoat-ong lantas duduk bersila sambil mengerahkan tenaga dalam untuk mendesak keluar hawa beracun di telapak kakinya. Setelah lebih satu jam barulah beberapa tetes air hitam dapat ditolak keluar, itu pun sudah membuat jantungnya berdebar dan napasnya terengah.

Seharian mereka istirahat di dasar lembah itu. Tanpa terduga, menjelang tengah malam tiba-tiba terdengar suara tindakan orang. Cepat Hoat-ong gusur tubuh Nimo Singh ke semak-semak, dia sendiri sembunyi di balik pohon. Sesudah dekat, segera dikenalinya pendatang itu adalah Yo Ko. Anak muda itu mengintil di belakang seekor burung raksasa aneh, sekejap saja sudah lewat. Mengingat racun dalam tubuhnya sukar dibersihkan, timbul pikiran Hoat-ong hendak merobohkan Yo Ko untuk merampas obat penawarnya, mereka lantas sembunyi di situ. Begitu Yo Ko kembali lagi, segera mereka menyergapnya. Untung kedua orang itu habis terluka dan tenaganya banyak berkurang, kalau tidak pasti Yo Ko bisa celaka.

Begitulah setelah terhindar dari sergapan, Yo Ko melihat si rajawali sakti melabrak Hoat-ong dengan sengit, caranya menubruk dan menyabet dengan sayap serta caranya mengelak seluruhnya bergaya dan beraturan. Tentu burung ini sudah lama mengikuti orang kosen yang tak terkalahkan Tokko Kiu-pay, maka telah hapal sekali semua jurus ilmu silat sehingga tokoh macam Hoat-ong cuma bertempur sama kuatnya melawan rajawali.

Makin lama Hoat-ong makin heran dan kuatir. Yo Ko berdiri di samping dengan pedang terhunus, kalau anak muda itu ikut mengerubutnya pasti dirinya celaka. Ia pun heran dari mana datangnya burung raksasa, kalau saja majikannya juga muncul maka tamatlah riwayatnya hari ini. Berpikir sampai di sini, mendadak kedua rodanya ditarik menyilang depan dada untuk menahan patokan si rajawali, habis itu cepat ia melompat mundur sambil berseru:

“Bocah she Yo, dari mana kau mendatangkan makhluk ini?”

Sebelah tangan Yo Ko merangkul leher rajawali dengan mesra, lalu menjawab: “Ini adalah sahabat karibku, kakak Sin-tiau (rajawali sakti). Hendaknya jangan kau bikin marah dia, kalau dia terbang dan menubruk dari atas, sekali patuk tentu kepalamu akan berlubang besar.”

Hoat-ong percaya ucapan Yo Ko. Berdiri saja rajawali itu sudah begitu tinggi, apa lagi kalau terbang ke atas, bagaimana melawannya nanti? Karena itu ia cuma berdiri dan bungkam.

Terdengar Yo Ko berkata: “Tiau-heng, engkau mengantarkan aku ke sini, kawanan penjahat ini ketakutan melihat kesaktianmu, rasanya tidak ada aral melintang lagi di depan sana, kita berpisah di sini saja.”

Sin-tiau itu memandang sekejap ke arah Hoat-ong dan Nimo Singh, habis itu cuma diam saja.

“Baiklah, jika engkau suka boleh awasi kedua orang ini, aku mohon diri buat berangkat lebih dulu,” kata Yo Ko sambil memberi hormat dan melangkah pergi.

Karena kuatirkan bayi puteri Kwe Ceng, dia berlari secepatnya ke goa itu. Baru sampai di mulut goa sudah terdengar suara Li Bok-chiu menegurnya:

“Ke mana kau sejak tadi? Di sini ada setan gentayangan yang terus menerus menangis, sungguh mengganggu dan menjemukan.”

“Mana ada setan?” ujar Yo Ko. Belum lenyap suaranya, tiba-tiba dari jauh berkumandang suara orang menangis keras. Keruan ia terkejut, ia pikir masa di dunia ini benar-benar ada setan segala?

Suara tangisan yang tadi kedengaran amat jauh, dalam sekejap sudah mendekat, rasanya cuma beberapa puluh meter saja di luar goa.

Segera Yo Ko melolos pedang Ci-wi-kiam dan mendesis pada Li Bok-chiu: “Kau jaga anak itu, biar kubereskan dia, Li-supek.”



Serentak Li Bok-chiu merasakan hawa dingin. Dilihatnya sinar ungu samar-samar dalam kegelapan, jelas senjata yang dipegang Yo Ko adalah pedang mestika, Dengan heran ia bertanya:

“Dari mana kau mendapat pedang ini?”

Belum lagi Yo Ko menjawab, tiba-tiba terdengar orang berteriak dan menangis. “Oh, buruk amat nasibku ini. Isteriku dibunuh orang, sekarang kedua putraku hendak saling bunuh membunuh.”

Mendengar itu legalah hati Yo Ko, jelas suara manusia dan sama sekali bukan setan. Dia melongok keluar, di bawah cahaya bintang yang remang-remang kelihatan seorang laki-laki tinggi besar dengan rambut semerawut, pakaiannya robek dan compang camping, tangan menutupi muka sambil menangis dan berputar-putar dengan cepat di situ, bagaimana wajahnya tak terlihat jelas.

“Huh, rupanya seorang gila, lekas usir dia agar tidak mengganggu tidur anak ini,” jengek Li Bok-chiu.

Sementara itu lelaki tadi sedang menangis dan sesambatan: “Di dunia ini aku cuma mempunyai dua anak, tetapi mereka hendak saling membunuh, lalu apa artinya hidupku ini?” Sambil berkata ia terus menangis tergerung-gerung dengan sedihnya.

Hati Yo Ko tergerak, ia pikir mungkinkah dia ini? Segera ia memasukkan pedang ke sarungnya, tanyanya:

“Apakah di situ Bu-locianpwe adanya...?”

Orang itu menangis di sebuah ladang sunyi, karena hatinya teramat berduka, tak diduga di lereng pegunungan ini ada orang lain. Segera dia berhenti menangis lantas balas menegur dengan suara bengis:

“Siapa kau?! Apa yang kau lakukan di sini?!”

Yo Ko memberi hormat dan menjawab: “Cayhe Yo Ko, apakah cianpwe she Bu dan bernama Sam-thong?”

Orang ini memang betul Bu Sam thong. Dulu dia dilukai Li Bok-chiu dengan jarum berbisa sehingga jatuh kelengar. Waktu siuman kembali, dilihatnya Bu Sam-nio, isterinya sedang mengisap darah beracun dari lukanya. Dia terkejut dan cepat berseru mencegah sambil mendorong sang isteri. Tetapi sudah terlambat, air muka sang isteri kelihatan hitam membiru, Bu Sam-nio telah mengorbankan diri untuk menyelamatkan sang suami. Dia tahu ajalnya sudah dekat, sambil mengelus kepala kedua puteranya dia menyatakan penyesalannya yang tidak dapat membahagiakan suami semenjak mereka menikah, karena sang suami mencintai perempuan lain.

Namun apa daya, nasi sudah menjadi bubur, harapannya sekarang hanya memohon agar sang suami suka menjadi orang yang berguna bagi negara dan bangsa serta hidup rukun selamanya. Habis meninggalkan pesan itu Bu Sam-nio menghembuskan napasnya yang penghabisan.


BANTUAN BAGI KELUARGA BU ( 1 )

Karena kematian isterinya, saking berduka penyakit Bu Sam-thong kembali kumat. Melihat kedua puteranya mendekap di atas jenazah ibunya dan sedang menangis sedih, pikiran Bu Sam-thong serasa kosong, apa pun tidak tahu lagi dan segera pergi tanpa arah tujuan. Begitulah Bu Sam-thong terus luntang lantung selama beberapa tahun di dunia Kangouw dalam keadaan tidak waras. It-teng Taysu yang mendapat berita itu cepat mengirim anak muridnya menjemput Bu Sam-thong ke Tayli, dan di situlah Bu Sam-thong dapat disembuhkan.

Kemudian Bu Sam-thong mendapat kabar dari Cu Cu-liu yang menghadiri pertemuan besar para ksatria, bahwa kedua puteranya kini sudah dewasa serta sudah diajari It- yang-ci oleh Cu Cu-liu. Tentu saja Bu Sam-thong amat girang dan terkenang kepada putera-puteranya. Ia lantas mohon diri pada sang guru dan berangkat ke Siang-yang untuk menjenguk anak-anaknya.

Setiba Bu Sam-thong di Siang-yang, kebetulan Kim-lun Hoat-ong habis mengacau di kota itu, Kwe Ceng terluka dan Oey Yong baru melahirkan. Sesudah menemui Cu Cu-liu dan Kwe Hu, Bu Sam-thong mendapat keterangan bahwa kedua puteranya minggat untuk saling berkelahi. Tentu saja Bu Sam-thong sangat berduka dan teringat kepada pesan sang isteri, cepat ia memburu keluar kota mencari Bu Siu-bun dan Bu Tun-si. Akhirnya Bu Sam-thong dapat menemukan kedua puteranya di sebuah kelenteng rusak.

Sudah tentu kedua saudara Bu amat gembira dapat bertemu kembali dengan sang ayah. Namun ketika persoalan Kwe Hu dibicarakan, kedua bersaudara itu tidak mau mengalah. Meski sudah didamperat atau dibujuk dengan halus oleh sang ayah agar keduanya jangan memikirkan Kwe Hu lagi, namun gagasan demikian sukar terlaksana. Di depan sang ayah memang kedua saudara Bu tak berani bermusuhan, tapi di belakang ayahnya mereka ribut lagi. Malamnya kedua saudara itu berjanji akan mengadakan pertarungan menentukan di tempat sepi.

Bu Sam-thong amat mendongkol dan berduka setelah mencuri dengar pembicaraan kedua anaknya serta mendahului mendatangi tempat yang telah ditentukan kedua anak muda itu dengan maksud mencegah pertarungan. Semakin dipikir semakin berduka akhirnya Bu Sam-thong menangis sesambatan di ladang pegunungan yang sunyi itu. Bu Sam-thong belum pernah kenal Yo Ko, dalam keadaan sedih tanpa terasa ia menjadi marah karena merasa terganggu, segera ia membentak:

“Siapa kau? Dari mana kau kenal namaku?”

“Paman Bu,” jawab Yo Ko, “Siautit (keponakan) pernah mondok di tempat Kwe-tayhiap di Thoa-hoa-to bersama kedua saudara Tun-si dan Siu-bun sewaktu kami masih kecil. Selama ini nama paman sudah kukenal dan kukagumi.”

Bu Sam-thong mengangguk. “Dan apa yang kau lakukan di sini? Aha, tentu kau hendak menjadi wasit dalam pertandingan Siu-bun dan Tun-si nanti. Hmm, kau mengaku sahabat mereka, tapi mengapa kau tidak berusaha melerai sebaliknya malah mendorong dan ingin melihat keramaian? Sahabat macam apa kau ini?”

Makin bicara semakin bengis, segenap rasa marahnya seakan-akan hendak dilampiaskan atas diri Yo Ko, maka sambil mendamprat terus melangkah maju dan mengangkat telapak tangan.

Melihat berewok orang se-akan menegak, sikapnya garang, Yo Ko pikir sebagai murid It-teng Taysu, tentu ilmunya sangat tinggi, kenapa mesti bergebrak dengan dia tanpa sebab? Karena itu dia lantas menyurut mundur dan berkata:

“Sesungguhnya siautit tidak tahu jika kedua saudara Bu hendak bertanding di sini, harap paman jangan salah paham.”

“Omong kosong!” bentak Bu Sam-thong. “Kalau kau tidak tahu, mengapa kau berada di sini? Dunia sebesar ini, kenapa kau justru berada di lembah sunyi ini?”

Diam-diam Yo Ko mendongkol. Orang ini benar-benar gila dan sukar diajak bicara, apa lagi pertemuannya di tempat sunyi ini memang betul juga sangat kebetulan, karena itu dia menjadi serba susah untuk menjawab.

Melihat orang ragu-ragu dan diam saja, Bu Sam-thong menganggap bocah ini pasti bukan orang baik-baik. Dasar otaknya pernah terganggu, pula sudah pernah patah hati, maka setiap kali melihat pemuda cakap tentu timbul rasa jemunya. Apa lagi dia sedang gemas dan tak terlampiaskan, tanpa bicara lagi segera dia menabok pundak Yo Ko. Namun Yo Ko sempat mengegos serangan tangan Bu Sam-thong mengenai tempat kosong. Cepat Bu Sam-thong menarik tangannya terus menyikut. Yo Ko tidak berani ayal. Melihat serangan yang keras itu, cepat dia menggeser ke samping untuk menghindar lagi.

“Hebat juga Ginkang-mu,” seru Bu Sam-thong. “Hayolah lekas keluarkan pedangmu!”

Pada saat itulah tiba-tiba bayi di dalam goa terbangun dan menangis. Pikiran Yo Ko tergerak, ia tahu Bu Sam-thong amat benci kepada Li Bok-chiu yang telah membunuh isterinya, bila kepergok pasti akan bergebrak mati-matian. Sedangkan keduanya sama-sama lihay, sekali mulai bertarung pasti tidak kenal ampun lagi, bisa jadi si bayi keserempet bahaya.

Karena Yo Ko lantas berkata dengan tertawa: “Paman Bu, siautit mana berani bergebrak dengan engkau? Tetapi kalau engkau tetap menyangsikan pribadiku, aku pun tidak berdaya. Begini, asal kubiarkan engkau menyerang tiga kali dan Siautit takkan balas menyerang, jika engkau tidak berhasil membinasakan aku, maukah engkau segera pergi dari sini?”

Bu Sam-thong menjadi marah, bentaknya: “Anak setan, temberang benar kau ini, tadi aku sengaja menahan diri dan tidak menyerang sungguh-sungguh, sekarang kau berani memandang enteng?” Mendadak jari telunjuk kanan menotok ke depan, dia sudah mengeluarkan ilmu jari sakti It-yang-ci ajaran It-teng Taysu.

Diam-diam Yo Ko prihatin. Tampak jari orang bergerak perlahan, tapi Hiat-to setengah badan sendiri seakan-akan terkurung oleh jarinya ini, bahkan sukar diketahui Hiat-to mana yang akan diarah. Karena tidak diketahui arah serangan lawan, terpaksa janji tak akan balas menyerang tidak dapat ditepati. Dalam keadaan tiada jalan lain, cepat Yo Ko menyelentik dengan kedua jarinya, inilah ‘Sian-ci-sin-thong’ (selentikan jari sakti) ajaran Oey Yok-su.

Selama berpuluh tahun Sian-ci-sin-thong dan lt-yang-ci terkenal dan masing-masing mempunyai keunggulannya sendiri. Tapi latihan Yo Ko masih cetek, maka dengan sendirinya sukar menandingi latihan Bu Sam-thong yang sudah berpuluh tahun lamanya. Maka begitu jari kedua orang saling bentrok, lengan kanan Yo Ko tergetar, sekujur badan terasa panas dan setelah terdesak mundur beberapa tindak barulah dapat berdiri tegak kembali.

Bu Sam-thong bersuara heran, katanya: “Eh, tampaknya kau memang pernah berdiam di Tho-hoa-to.” Dan karena merasa segan terhadap Oey Yok-su, pula merasa sayang pada Yo Ko yang masih muda tapi sudah mampu menandinginya, maka ketika serangan kedua kalinya ia lantas memperingatkan lebih dulu: “Awas totokan kedua ini, kalau tidak mampu menangkis janganlah menangkis supaya badanmu tidak rusak, aku tak akan mencelakai jiwamu.”

Habis berkata ia terus menubruk maju dan jarinya kembali menotok, sekali ini yang di arah adalah perut Yo Ko yang meliputi berbagai Hiat-to. Yo Ko merasa tidak sanggup menahan lagi dengan Sian-ci-sin-thong apa bila jarinya tidak mau dipatahkan. Dalam keadaan kepepet tiba-tiba dia tarik pedang Ci-wi-kiam dan dibuat tameng di depan perutnya.

Batang pedang Ci-wi-kiam cuma beberapa senti lebarnya, akan tetapi berhawa dingin dan batangnya lemas, sedikit tergetar saja, sudah memancarkan cahaya ungu. Ketika jari Bu Sam-thong mendekat dan merasakan ketajaman pedang, segera dia menarik kembali jarinya. Hanya terkejut sebentar, menyusul totokan ketiga kali sudah dilontarkan lagi oleh Bu Sam-thong, sekali ini secepat kilat mengarah ke batok kepala di tengah alis Yo Ko, dia menduga betapa hebat pedangnya, juga tidak sempat diangkat untuk membela diri.

Tak terduga, sekilas timbul akal aneh dalam benak Yo Ko. Mendadak dia memutar Ci-wi-kiam ke atas, bukannya untuk menangkis, sebaliknya ujung pedang diacungkan ke dada sendiri terus ditusukkannya. Gerakan ini amat berbahaya. Bu Sam-thong terkejut. Cepat totokan jarinya diurungkan dan tangannya menyambar ke bawah dengan maksud merebut pedang Yo Ko untuk menyelamatkan jiwanya.

Ternyata gerakan menusuk dada sendiri hanyalah tipuan Yo Ko belaka. Pada waktu ujung pedang menyentuh bajunya, segera ia tarik ke bawah dan diputar untuk melindungi seluruh tubuhnya, betapa pun cepat gerakan Bu Sam-thong tetap terlambat sedetik sehingga tangannya hampir saja tertebas oleh pedang pusaka Yo Ko. Sekarang Yo Ko benar-benar telah mengalah tiga kali serangan tanpa balas menyerang, maka dia mulai mengeluarkan ilmu pedangnya. Seketika Bu Sam-thong merasa terkurung oleh hawa dingin yang tak tertahankan, meski It-yang-ci lihay bukan main tidak dapat menghadapi pedang mestika ini.

Setelah melengak dan merasa kewalahan akhirnya Bu Sam-thong melompat mundur, lalu dengan lesu ia berkata:

“Hai, benar-benar ksatria timbul dari kaum muda, tua bangka macam aku sudah tak berguna lagi.”

Yo Ko merasa rikuh karena sudah mengibuli orang tua itu, cepat dia menyimpan kembali pedangnya, katanya sambil memberi hormat:

“Kalau paman tidak bermaksud baik dengan merampas pedang untuk menyelamatkan jiwaku, tentu siautit sukar menghindari totokan ketiga kalinya tadi.”

Hati Bu Sam-thong rada terhibur karena Yo Ko membeberkan sendiri tipu akalnya tadi, katanya gegetun:

“Dahulu Oey Yong pernah mengalahkan aku dengan akalnya, sekarang aku dikalahkan pula olehmu, yah, orang kasar macam kami ini memang bukan tandingan kaum muda yang cerdik pandai...”

Belum habis kata-katanya, dari jauh ada suara orang mendatangi, jelas yang datang dua orang. Cepat Yo Ko menarik Bu Sam-thong bersembunyi di balik semak-semak pohon. Sesudah dekat, nyata kedua pendatang itu memang betul Bu Tun-si dan Bu Siu-bun adanya.

Siu-bun berhenti dulu di sini dan memandang sekitarnya, lalu berkata: “Toako, tempat ini cukup lapang, boleh di sini saja.”

“Baik,” jawab Tun-si. Dia tidak suka banyak bicara.

“Srett!” segera pedang diIolos.

Sebaliknya Siu-bun tidak mencabut pedangnya, katanya: “Toako, pertarungan ini andai kata aku kalah dan kau tidak mau membunuh aku, betapa pun juga adikmu ini juga tak ingin hidup lagi di dunia ini. Mengenai menuntut balas kematian ibu dan merawat ayah serta melindungi adik Hu, ketiga tugas besar ini hendaklah Toako yang memikulnya semua.”

Mendengar ini, hati Bu Sam-thong menjadi pedih dan meneteskan ar mata.

Sementara itu Bu Tun-si menjawab: “Asalkan sudah sama-sama tahu, buat apa banyak bicara lagi. Kalau aku yang kalah, begitulah harapanku juga.” Habis ini dia angkat pedangnya dan pasang kuda-kuda.

Namun Bu Siu-bun tetap tidak melolos pedangnya, tiba-tiba ia melangkah maju beberapa tindak dan berkata:

“Toako, semenjak kecil kita sudah kehilangan ibu dan jauh berpisah dengan ayah, kita kakak beradik hidup berdampingan dan tak pernah bertengkar. Bahwa sampai terjadi seperti sekarang ini, apakah Toako marah kepada adik?”

Tun-si menjawab: “Agaknya kejadian ini sudah takdir adikku, kita tidak berkuasa.”

“Baiklah, tak peduli siapa yang hidup dan mati, selamanya jangan membocorkan rahasia kejadian ini agar ayah dan adik Hu tidak berduka,” kata Siu-bun.

Tun-si mengangguk dan menggenggam tangan Siu-bun dengan erat, kedua bersaudara berdiri berhadapan tanpa bicara sampai sekian lama.

Bu Sam-thong tak dapat menahan perasaannya dan bermaksud melompat keluar untuk menegur perbuatan bodoh kedua anak muda itu, tetapi tiba-tiba terdengar kedua orang itu sama-sama berseru:

“Baiklah, mulai!” Berbareng mereka lantas melompat mundur.

Cepat sekali Siu-bun melolos pedangnya. “Sret! Sret! Sret!” tanpa bicara lagi ia menyerang tiga kali dengan cepat.

Namun Tun-si dapat menangkisnya dan balas menyerang dua kali ke tempat mematikan di tubuh adiknya. Bu Sam-thong kuatir melihat serangan yang lihay itu, akan tetapi dilihatnya Siu-bun dapat mengelakkan serangan maut itu dengan mudah. Kemudian di lembah sunyi itu terdengar suara benturan pedang yang nyaring, kedua kakak beradik bertempur mati-matian tanpa kenal ampun. Tentu saja Bu Sam-thong menjadi sedih dan kuatir sekali. Keduanya sama-sama putera kesayangannya, selamanya ia pandang sama, tidak pernah pilih kasih.

Serang menyerang kedua anak muda itu semakin ganas seperti menghadapi musuh saja, kalau pertarungan itu berlangsung terus, akhirnya pasti ada yang celaka. Saat ini kalau Bu Sam-thong mau perlihatkan dirinya dan mencegah, pasti kedua anak muda itu akan berhenti bertempur. Tapi sekarang ini, besok juga pasti akan mengadu jiwa puIa, betapa pun ia tak dapat senantiasa mengawasi kedua anak muda itu. Begitulah Bu Sam-thong semakin sedih memikirkan betapa malang nasib keluarganya, tanpa terasa air matanya bercucuran.

Sejak kecil Yo Ko memang tidak akur dengan kedua saudara Bu ini, setelah dewasa dan bertemu kembali juga tetap tidak cocok. Seperti juga umumnya manusia, jika melihat orang lain susah, maka timbul rasa senangnya. Semula Yo Ko juga bersyukur kedua saudara Bu itu saling genjot sendiri. Namun setelah melihat Bu Sam-thong sangat berduka, tiba-tiba saja timbul rasa bajiknya, terutama bila mengingat jiwa sendiri sudah tidak panjang lagi, pikirnya: “Selama hidupku tidak pernah berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain, sesudah aku mati tentu Kokoh sangat berduka, selain itu yang akan teringat pada diriku paling-paling cuma Thia Eng, Liok Bu-siang dan Kongsun Lik-oh beberapa nona cantik itu saja. Apakah tidak lebih baik jika sekarang kulakukan sesuatu yang berguna agar paman Bu ini selama hidup akan selalu ingat pada kebaikanku?”

Setelah mengambil keputusan itu, segera dia membisiki Bu Sam-thong: “Paman Bu, aku ada akal yang dapat menghentikan pertarungan kedua kakak Bu.”

Hati Bu Sam-thong tergetar, ia berpaling lalu memandang dengan penuh rasa terima kasih dan air matanya masih bercucuran tetapi tampaknya ia masih ragu-ragu karena tidak tahu Yo Ko mempunyai akal bagus apa untuk memecahkan persoalan pelik ini?

“Cuma terpaksa aku harus bikin susah kedua saudara Bu, hendaknya paman jangan marah,” bisik Yo Ko.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar