Senin, 06 September 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 111

Watak Nimo Singh tidak sabaran, tanpa pikir dia terus berlari memutar ke belakang goa, maksudnya hendak mencegat musuh. Namun pikiran Hoat-ong lebih cermat, sesudah mendengarkan dengan teliti, dia merasa suara tangisan bayi cuma lirih tertahan saja dan tiada tanda-tanda semakin menjauh. Dia tahu pasti si Yo Ko sedang main gila hendak menipunya ke belakang goa, lalu anak muda itu akan menerjang keluar. Diam-diam ia mentertawai akal Yo Ko yang dangkal, ia pikir biar aku sembunyi saja di samping mulut goa, begitu keluar segera kumampuskan kalian.

Namun Yo Ko juga tidak kalah cerdiknya, kembali dia berteriak: “He, cepat Li-supek, bangsat gundul itu sudah pergi, mari kita lari keluar!” Setelah itu ia membisiki pula: “Marilah kita menjerit bersama untuk memancing dia masuk ke sini.”

Li Bok-chiu tidak tahu akal bulus apa yang sedang diatur oleh Yo Ko, tetapi dia tahu anak muda ini sangat licin, dia sendiri beberapa kali pernah dikibuli. Kalau dia sudah mengatur perangkap, rasanya pasti akan berhasil. Betapa pun ia mempunyai sandera bayi, asalkan Hoat-ong telah dihalau pergi akhirnya Yo Ko harus menukar si bayi dengan Giok-li-sim-keng. Maka ia lantas mengangguk tanda setuju, kedua orang segera menjerit berbareng:

“Aduh!”

Yo Ko pura-pura terluka parah dan merintih keras-keras, teriaknya: “Keparat, kenapa kau bertindak sekeji ini padaku?” Lalu ia mendesis dengan suara tertahan: “Lekas engkau berlagak jiwamu sedang terancam!”

Segera Li Bok-chiu melakukan permintaan Yo Ko, dia pun berteriak dengan nada murka:

“Bagus, biar aku mati di... di tanganmu, tetapi betapa pun kau bangsat kecil ini juga... juga harus mampus di tanganku,” ia membikin suaranya semakin lemah sehingga kalimat terakhir seakan diucapkan dengan napas terengah-engah.

Mendengar itu Hoat-ong girang, dia pikir kedua orang sedang berebut bayi dan mulai saling bunuh, tampaknya keduanya terluka parah. Dia menjadi kuatir si bayi ikut tewas, kalau terjadi begini berarti akan kehilangan alat pemeras terhadap Kwe Ceng. Tanpa pikir lagi ia menyingkirkan onggokan kayu dan rumput kering yang terbakar lalu menerjang ke dalam goa, tetapi baru dua-tiga langkah, mendadak telapak kaki kiri terasa sakit. Untunglah ilmu silatnya memang tinggi dan dapat bereaksi dengan cepat. Sebelum kaki menginjak sepenuhnya ke bawah, cepat kaki yang lain mengerahkan tenaga lantas melompat mundur lagi keluar goa. Waktu kaki menginjak tanah, terasa kaku kesemutan dan hampir saja jatuh terjungkal.

Dengan Iwekang-nya yang tinggi, biar pun kakinya dibacok beberapa kali takkan sempoyongah berdirinya, karena itu segera ia menyadari apa yang sudah terjadi, ia tahu telapak kakinya pasti tertusuk benda berbisa. Baru dia hendak membuka sepatu dan kaos kaki untuk memeriksa, dilihatnya Nimo Singh sudah putar balik dari belakang goa dan mengomel.

“Kurang ajar! Bangsat kecil itu berdusta, di belakang goa tiada lubang tembusan apa pun, Kwe Ceng dan isterinya masih di dalam goa.”

Hoat-ong tidak menanggapi apa pun, dia pun urung membuka sepatu, katanya: “Memang dugaanmu tidak salah, sudah sekian lama tidak ada suara, bisa jadi mereka pingsan semua oleh asap tebal tadi.”

Diam-diam Nimo Singh girang, ia pikir jasa menangkap Kwe Ceng sekali ini pasti akan jatuh di tangannya, ia pun tidak berpikir mengapa Kim-lun Hoat-ong tidak merebut jasa itu, tanpa bicara lagi ia putar senjata ular bajanya untuk menjaga diri, ia terus menerobos ke dalam goa. Ketiga buah jarum berbisa itu diatur oleh Yo Ko tepat di tengah jalan yang harus dilalui, tak peduli langkah orang yang akan masuk itu lebar atau cekak, salah satu jarum pasti akan diinjaknya.

Perawakan Nimo Singh sangat pendek dan langkahnya cekak, tetapi ia bertindak dengan cepat. Ketika kaki kanannya menginjak sebuah jarum, begitu terasa sakit dan belum sempat menarik kakinya, tahu-tahu kaki kiri sudah menginjak lagi pada jarum yang lain.

Negeri Thian-tiok (lndia) terkenal negeri berhawa panas, rakyat umumnya suka telanjang kaki, maka Nimo Singh juga tidak bersepatu, biar pun kulit telapak kakinya terlatih dan tebalnya seperti kulit banteng, tapi betapa tajamnya Peng-pok-sin-ciam, sedikitnya dua senti menancap ke dalam telapak kakinya.

Nimo Singh memang kuat dan perkasa, sedikit luka itu sama sekali tak diperhatikan olehnya, ia ayun senjata ular baja dan menyapu ke tanah, ia yakin di depan pasti tak ada jarum lagi dan baru saja hendak menerjang masuk untuk menangkap Kwe Ceng, tiba-tiba kedua kakinya terasa lemas dan tak sanggup berdiri tegak lagi, kontan ia jatuh terguling. Baru sekarang ia tahu racun pada jarum yang tertancap kakinya sangat lihay, lekas-lekas ia berguling disertai merangkak keluar goa, dilihatnya Hoat-ong sedang memegangi sebelah kakinya yang hitam bengkak. Segera Nimo Singh tahu duduknya perkara, dengan marah ia lantas membentak:

“Bangsat gunduI, sudah tahu kau sendiri terluka oleh jarum berbisa, mengapa kau tidak memberi tahu, sebaliknya sengaja membiarkan aku ikut terperangkap?”

“Aku terjebak, kau pun terperangkap, ini namanya seri, satu-satu!” jawab Hoat-ong sambil tertawa.

Tidak kepalang marahnya Nimo Singh, dia kembali memaki: “Keparat, menangkap Kwe Ceng tak berarti lagi bagiku, biarlah aku mengadu jiwa dengan kau.”

Sebenarnya kakinya sudah tak bertenaga lagi, tapi tangannya menahan tanah, sekaligus ia menubruk ke arah Hoat-ong, senjata ular baja mengetok kepala lawan. Hoat-ong mengangkat roda tembaganya untuk menangkis, menyusul tangannya yang lain menyikut. Tubuh Nimo Singh lagi menubruk maju sehingga sukar menghindar, apa lagi serangan Hoat-ong sangat cepat, seketika bahu Nimo Singh kena disikut dengan keras. Walau pun otot dan daging Nimo Singh sangat kuat, tidak urung ia pun kesakitan setengah mati.

Saking murkanya Nimo Singh tidak lagi memikirkan mati-hidupnya sendiri, dia menubruk ke depan lantas merangkul tubuh Hoat-ong sekencang-kencangnya, malah mulutnya menggigit dan kebetulan Hiat-to pada bagian leher kena dikertaknya.

Jika dalam keadaan biasa, betapa pun tidak mungkin Nimo Singh dapat mendekati Hoat-ong yang berkepandaian setinggi itu, apa lagi hendak merangkul tubuhnya dan menggigit lehernya. Tapi sekarang Hoat-ong sedang mengerahkan segenap tenaga dalamnya untuk menahan menjalarnya racun yang mengenai telapak kakinya, sebab itulah waktu Nimo Singh menubruk maju, tenaga dalam Hoat-ong sendiri sudah tidak cukup sehingga hanya dapat melawannya dengan kekuatan luar.



SIN-TIAUW (Rajawali Sakti)

Sebaliknya Nimo Singh menyerang dengan sepenuh tenaga, begitu berhasil menggigit maka giginya tidak mau kendur lagi. Cepat Hoat-ong menggunakan kaki kanan untuk menjegal karena kedua kaki Nimo Singh telah lemas. Nimo Singh tidak tahan dan terjerembab ke depan sambil menarik Hoat-ong, keduanya terguling di tanah.

Hoat-ong bermaksud menarik orang, namun hiat-to pentingnya tergigit, tenaga tangannya juga berkurang, maka sulit baginya untuk melepaskan diri, terpaksa tangannya digunakan mencengkeram Tay-hi-hiat di kuduk Nimo Singh. Tempat ini pun merupakan Hiat-to yang penting di tubuh manusia, dengan cengkeraman ini dapatlah ia berjaga agar tidak dikerjai lebih lanjut oleh Nimo Singh.

Sesungguhnya kedua orang sama-sama jago kelas wahid dalam dunia persilatan, tapi mereka sedang sama-sama keracunan dan sekarang berkelahi dari jarak dekat secara bergumul, keadaan menjadi seperti tukang berkelahi kampungan tanpa harga diri, keduanya ber-gulingan dan lambat laun mendekati tepi jurang. Hal ini dapat dirasakan oleh Hoat-ong, maka cepat ia berteriak:

“Lepaskan tanganmu, jika terguling ke sana, kita berdua hancur terjerumus!”

Akan tetapi Nimo Singh sudah sangat kalap, ia pun tidak berusaha menolak racun dalam tubuhnya maka tenaganya menjadi lebih kuat dari pada Hoat-ong, ia terus mendorong ke depan sehingga Hoat-ong tidak dapat menahannya. Tampaknya sedikit lagi mereka pasti tergelincir ke dalam jurang. Dalam keadaan kuatir mendadak Hoat-ong mendapat akal, cepat dia berteriak:

“He, Kwe Ceng datang!”

“Di mana?” tanya Nimo Singh melengak kaget. Karena ucapannya ini mulutnya terbuka sehingga gigitan pada Hiat-to Kim-lun Hoat-ong dilepaskan.

Kesempatan itu langsung digunakan Hoat-ong untuk menghantam. Baru sekarang Nimo Singh menyadari bahwa ia tertipu, cepat ia mengelak dan kembali menyeruduk lagi. Hantaman Hoat-ong sebenarnya hendak memaksa Nimo Singh melompat mundur, tapi dia lupa kedua kaki Nimo Singh sudah tidak dapat digunakan lagi karena keracunan sehingga tidak mampu bergerak, jadinya bukan melompat mundur sebaliknya bahkan menyeruduk maju. Keruan Hoat-ong kaget bukan main dan kedua orang kembali bergumul menjadi satu, sekonyong-konyong di bawah tubuh terasa hampa, tanpa ampun kedua orang terjerumus ke dalam jurang.

Melihat akal si Yo Ko berhasil dengan baik, diam-diam Li Bok-chiu mengakui kehebatan anak muda ini. Waktu mendengar suara perkelahian kedua orang di luar, segera Li Bok-chiu bermaksud pergi, namun mendadak terdengar suara jeritan kaget kedua orang, suaranya amat aneh. Itu suara jeritan waktu kedua orang terjatuh ke dalam jurang, tetapi lantaran jarak tepi jurang dengan goa agak jauh, pula teraling oleh batu-batu dan semak-semak sehingga apa yang terjadi di luar tidaklah jelas.

“He, apa yang mereka lakukan?” tanya Li Bok-chiu.

Yo Ko juga tidak menyangka Hoat-ong dan Nimo Singh bisa terjerumus ke dalam jurang, setelah termenung sejenak lalu menjawab:

“Bangsat gundul itu licin sekali, jangan-jangan ia pun menirukan cara kita berpura-pura saling melukai, maksudnya supaya kita bisa terpancing keluar.”

“Ya, benar, tentu dia ingin memancing aku keluar untuk merampas obat penawar,” ujar Li-Bok-chiu. Perlahan-lahan dia mendekati mulut goa dan bermaksud melongok keadaan di luar.

“Awas jarum di atas tanah itu!” seru Yo Ko.

Li Bok-chiu terkejut dan cepat menarik kembali langkahnya. Sementara itu api di mulut goa sudah padam, asap sudah buyar sehingga di dalam goa kembali gelap gulita. Ia tidak dapat memandang di dalam kegelapan seperti Yo Ko sehingga tidak tahu ketiga jarum itu ditancapkan di bagian mana, apa bila sembarangan bertindak bukan mustahil ia pun akan menginjaknya!

Meski pun dia sendiri mempunyai obat penawarnya, tetapi bila kesempatan itu digunakan Yo Ko untuk menyerang, maka sukarlah melawannya andaikan jiwa sendiri tidak melayang oleh racun jarumnya sendiri. Karena itulah dia lantas berkata:

“Lekas kau cabut jarum-jarum itu, buat apa kita berdiam terus di sini?”

“Tunggu sebentar lagi, biar mereka mati keracunan barulah kita keluar,” ujar Yo Ko.

Li Bok-chiu mendengus satu kali, dalam hati ia seperti jeri kepada Yo Ko sama-sama berdiam di dalam goa yang gelap, sedangkan ilmu silat sendiri belum tentu bisa mengalahkan anak muda ini, bicara tentang tipu akal malahan sudah jelas bukan tandingannya. Karena itulah ia merenungkan akal baik untuk meloloskan diri.

Sementara itu keadaan di luar goa sudah sunyi senyap, kedua orang di dalam goa juga sedang merenungkan kepentingan masing-masing dan sama-sama tidak bersuara. Pada saat itulah bayi menangis keras. Agaknya bayi itu kelaparan, maklumlah, sejak lahir sama sekali belum pernah disusui. Tiba-tiba Li Bok-chiu menjengek:

“Di mana Sumoay? Kenapa dia tidak ambil pusing pada anaknya sendiri yang mungkin mati kelaparan.”

“Siapa bilang bayi ini anak Kokoh?” jawab Yo Ko, “anak ini adalah puteri Kwe Ceng, Kwe-tayhiap, tahu?”

“Hm, kau tak perlu menggertak aku dengan nama Kwe-tayhiap, memangnya kau kira aku takut?” kata Li Bok-chiu. “Jika bayi ini anak orang lain, betapa pun kau takkan berusaha merebutnya mati-matian, pasti anak ini adalah hasil dari hubungan kalian berdua.”

“Ya, aku memang bertekad akan memperisteri Kokoh,” teriak Yo Ko dengan gusar. “Tapi kami belum menikah, lalu bagaimana bisa mendapatkan anak? Hm, mulutmu harus dicuci bersih.”

Kembali Li Bok-chiu mengejek: “Huh, kau suruh mulutku bersih, kan seharusnya perbuatan kalian berdua diherankan lebih dulu.”

Selama hidup Yo Ko menghormati Siao-liong-li sebagai malaikat dewata, mana dia tahan sang Kokoh difitnah dan dinista secara kotor? Dengan murka dia pun membentak:

“Suhu-ku suci bersih, kau perempuan buta janganlah mengoceh semaunya.”

“Hah, suci bersih, sayang Siu-kiong-seh (andeng-andeng cecak merah) di lengannya sudah punah,” jengek Li Bok-chiu.

“Srettt!” pedang Yo Ko menusuk ke dada orang sambil membentak: “Tidak soal jika kau memaki aku, akan tetapi kata-katamu itu justru menghina Suhu-ku, biar aku mengadu jiwa dengan kau.”

“Sret! Sret! Sret!” berturut-turut ia menyerang lagi tiga kali.

ilmu pedang Yo Ko memang hebat, lagi pula dapat melihat dalam kegelapan. Sebaliknya Li Bok-chiu hanya dapat menangkis berdasarkan kepandaian ‘mendegarkan suara angin dan membedakan arah’, meski tangkisannya tidak meleset, tapi beberapa jurus kemudian ia pun mulai kewalahan. Untung Yo Ko memikirkan keselamatan anak bayi itu. Dia kuatir bila serangannya terlalu gencar, dalam keadaan kepepet bukan mustahil jika Li Bok-chiu akan mencelakai bayi, sebab itulah dia tidak melancarkan serangan maut.

Begitulah sampai belasan jurus mereka bergebrak dalam goa. Se-konyong-konyong bayi itu menangis satu kali, lantas diam, sampai lama tak bersuara Iagi.

“Bagaimana bayi itu, kau mencelakainya?” kata Yo Ko dengan suara kuatir.

Melihat Yo Ko begitu memperhatikan si bayi, ia tambah yakin pasti anak kandung Siao-liong-li. Ia tangkis pedang Yo Ko dengan kebutnya sambil berkata:

“Sekarang belum mati, tetapi kalau kau membantah perkataanku, memangnya kau sangka aku tidak berani mencekik mampus setan cilik ini?”

Yo Ko bergidik. Ia kenal watak Li Bok-chiu yang kejam, jangankan membunuh seorang bayi, malah membunuh segenap keluarga juga perbuatan biasa baginya. Cepat ia menarik kembali pedangnya dan berkata:

“Jelek2 kau adalah Supek-ku, asal kau tidak memaki Suhu-ku, aku akan menurut padamu.”

“Baiklah, aku takkan memaki gurumu lagi dan kau harus turut perkataanku,” kata Li Bok-chiu. “Nah, sekarang kau melongok keluar, coba lihat bagaimana dua bangsat itu.”

Yo Ko menurut, ia memeriksa sekeliling luar goa, tapi tidak nampak bayangan Kim-lun Hoat-ong dan Nimo Singh. Ia kuatir Hoat-ong menjebaknya, maka ia coba menggunakan pedangnya dan membabati semak-semak rumput yang mungkin dibuat sembunyi musuh, tapi ternyata tiada sesuatu jejak apa-apa. Segera ia masuk goa lagi dan berkata:

“Kedua orang itu menghilang, mungkin mereka sudah kabur.”

“Hmm, sesudah terkena jarumku, seumpama kabur juga tak akan mencapai jauh,” jengek Li-Bok-chiu, “sekarang cabutlah semua jarum yang kau tancapkan di mulut goa tadi dan taruh di depanku sini.”

Karena bayi itu masih terus menangis, Yo Ko pikir harus lekas mencari sesuatu makanan baginya, maka dia turut perintah Li Bok-chiu, dengan tangan terbalut dia cabuti jarum-jarum itu lalu dikembalikan kepada yang empunya.

Setelah memasukkan jarum berbisa itu ke kantungnya, segera Li Bok-chiu melangkah ke luar. Yo Ko mengintilnya dengan cepat dan bertanya:

“Hendak kau bawa ke mana bayi itu?”

“Pulang ke rumahku,” jawab Bok-chiu.

“Untuk apa kau membawa pulang anak ini? Kan bukan kau yang melahirkannya!” seru Yo Ko tanpa pikir.

Muka Li Bok-chiu menjadi merah dan mendamperat: “Ngaco-belo tak keruan! Asal kau mengantar Giok-li-sim-keng dari Ko-bong pay kepadaku segera kukembalikan anak ini padamu, kujamin takkan mengganggu seujung rambutpun.” Habis berkata ia terus berlari secepat terbang ke utara dengan Ginkang yang tinggi.

“He, harus kau susui dia dulu!” seru Yo Ko sambil mengikutinya lari.

Dengan muka merah padam Li Bok-chiu berpaling dan membentak: “Keparat, kau bicara tidak keruan dan selalu mengolok-olok saja.”

“Hm, mengolok-olok bagaimana?” ujar Yo Ko dengan heran, “Bukankah anak ini akan mati kelaparan jika tidak disusui?”

“Aku masih gadis suci bersih, bagaimana bisa menyusui setan cilik ini?” omel Li Bok-chiu.

Baru sekarang Yo Ko tahu apa sebabnya muka orang menjadi merah, dengan tersenyum ia menjawab:

“Li-supek, bukan maksudku menyuruh engkau menyusui bocah ini, tapi aku minta engkau berusaha mencarikan susu baginya.”

Li Bok-chiu menjaga diri dengan suci bersih dan tidak pernah menikah, selama hidupnya berkecimpung di dunia Kangouw, mengenai urusan merawat bayi sedikit pun ia tak paham. la menjadi bingung, setelah berpikir sejenak, kemudian ia tanya:

“Mencari susu ke mana? Makan nasi saja, bagaimana?”

“Boleh kau periksa dia bergigi atau tidak?” katanya.

Li Bok-chiu coba pentang mulut si orok yang mungil itu, lantas menggeleng dan berkata:

“Tidak ada, satu biji pun tidak ada.”

“Hei, kita dapat mencari seorang perempuan yang sedang menyusui anaknya di kampung sana, kita suruh perempuan itu menyusui, bagus tidak?”

“Ya, kau memang cerdik dan banyak akal,” kata Bok-chiu dengan girang.

Ia memandang jauh ke sana dari tempat tinggi, kelihatan di sebelah barat ada asap mengepul. Segera mereka berlari ke sana, hanya dalam waktu singkat tibalah di kampung kecil. Sudah lama peperangan melanda kota Siang-yang, maka kota-kota kecil sekitarnya juga menjadi korban api peperangan dan sudah dihancurkan oleh keganasan pasukan Mongol, hanya di tempat pegunungan yang sunyi ini masih ada sedikit rumah penduduk.

Dari rumah ke rumah Li Bok-chiu memeriksa dengan teliti, sampai rumah petani ke empat barulah dia melihat seorang perempuan muda sedang menyusui anaknya yang berumur satu tahunan. Bok-chiu sangat girang, tanpa permisi ia tarik anak perempuan muda itu lalu dilemparkan ke atas dipan, sesudah itu bayi yang dipondongnya ditaruh di pangkuan perempuan itu sambil berkata:

“Anak ini lapar, lekas kau menyusuinya.”

Anak kecil yang dilemparkan ke atas dipan itu terbanting cukup keras, karena kesakitan seketika terdengarlah jerit tangis. Adalah lazim seorang ibu sayang pada anaknya sendiri, lekas-lekas ia menggendong kembali anaknya. Melihat bagian dada perempuan muda itu terbuka, Yo Ko berpaling keluar rumah. Segera didengarnya bentakan Li Bok-chiu:

“Kusuruh kau menyusui anakku, apa kau tidak dengar? Siapa suruh kau memondong anakmu sendiri?”

Menyusul terdengar kebut menyabet, lalu terdengar suara “Blang” sekali.

Yo Ko terkejut dan menoleh, dilihatnya anak perempuan petani itu sudah dibanting oleh Li Bok-chiu ke dekat kaki tembok sana, kepalanya berlumuran darah, entah mati atau masih hidup. Tentu saja tidak kepalang pedih hati si perempuan petani, cepat ia meletakkan anak Kwe Ceng di atas dipan dan segera menubruk maju memondong anaknya sendiri sambil menjerit dan menagis.

Li Bok-chiu tambah marah, dia angkat kebutnya hendak menyabet kepala perempuan itu. Syukur Yo Ko sempat menangkis dengan pedangnya, dalam hati ia pikir Li Bok-chiu ini sungguh wanita yang paling kejam dan se-wenang-wenang, tetapi di mulut ia berkata:

“Li-supek, kalau mau membinasakan dia, orang mati tak dapat lagi menyusui.”

“Persetan!” omel Bok-chiu dengan marah, “Apa yang kulakukan ini adalah demi kebaikan anakmu, mengapa kau malah ikut campur urusan tetek bengek?”

Yo Ko mendongkol. Sudah jelas bukan anaknya, tetapi Li Bok-chiu terus menerus mengatakan bayi itu anaknya. Tapi kalau benar anaknya, mengapa dikatakan pula Yo Ko ikut campur urusan tetek bengek.

Namun Yo Ko tidak membantah, katanya dengan tersenyum: “Anak ini sudah kelaparan, paling penting disusui dulu.” Berbareng ia terus hendak membopong bayi di atas dipan itu.

Tapi Li Bok-chiu telah menghadangnya dengan ancaman kebut dan berseru: “Kau berani merebut anak itu?!”

Terpaksa Yo Ko melangkah mundur lagi dan berkata: “Baik, takkan kupondong dia.”

Li Bok-chiu sendiri lantas pondong bayi itu, tetapi baru saja akan disodorkan kepada perempuan petani tadi, ternyata perempuan itu telah menghilang entah ke mana. Rupanya selagi mereka berdua tadi bertengkar, perempuan itu terus kabur melalui pintu belakang dengan membawa puteranya yang terluka.

Dengan murka Li Bok-chiu menerjang keluar pintu, dilihatnya perempuan tadi sedang lari kesetanan dengan anaknya. Sekali Li Bok-chiu menjengek, dia melompat ke sana, kebutnya menyabet, tahu-tahu perempuan petani bersama anaknya menggeletak tak bernyawa dengan tulang kepala pecah berantakan. Masih belum puas dengan itu, Li Bok-chiu terus menyalakan api lantas membakar rumah petani itu hingga habis menjadi abu, setelah itu barulah ia melangkah pergi.

Yo Ko menyesali Li Bok-chiu yang teramat kejam dan keji itu, ia terus mengintil di belakangnya. Keduanya sama-sama diam dan berjalan di ladang pegunungan sampai berpuluh li jauhnya. Rupanya saking lelahnya bayi itu sudah pulas dalam pondongan Li Bok-chiu. Tengah berjalan, mendadak Li Bok-chiu bersuara heran dan berhenti, dilihatnya dua ekor anakan macan tutul sedang bersenda gurau di bawah sinar matahari. Ia melangkah maju dan baru hendak mendepak minggir kedua ekor macan tutul kecil itu, sekonyong-konyong terdengar suara meraung dari semak-semak di samping sana, seekor induk macan tutul yang besar menubruk.

Meski pun tinggi ilmu silat Li Bok-chiu juga kaget melihat betapa besarnya macan tutul itu. Cepat ia melompat ke samping untuk menghindar. Macan tutul kelihatan sangat buas, sekali tubruk tidak kena, segera dia memutar balik hendak mencakar, gerakannya sangat gesit bagaikan jago silat saja. Segera Li Bok-chiu angkat kebutnya dan menyabet, namun mengenai batok kepala macan tutul itu sehingga binatang itu menjadi marah dan makin buas. Macan tutul itu mendekam di tanah dengan menyeringai hingga kelihatan kedua baris giginya yang putih tajam, kedua matanya mengincar mangsanya dan siap menerkam.

Cepat Li Bok-chiu menyambitkan dua buah jarum untuk menyerang kedua mata harimau itu. Mendadak Yo Ko berseru:

“Nanti dulu!” Berbareng kedua jarum itu disampuknya dengan pedang.

Pada saat itu juga macan tutul sudah melompat ke atas dan menubruk, tetapi pada saat yang sama Yo Ko melompat ke atas. Lebih dulu ia sampok dua jarum yang sementara itu sudah disambitkan lagi oleh Li Bok-chiu, menyusul kepalan kanannya dengan cepat menghantam tulang punggung di dekat tengkuk macan itu.

Macan tutul mengaung kesakitan dan terjatuh, tetapi segera menubruk lagi ke arah Yo Ko. Cepat anak muda ini mengegos sambil menghantamkan sebelah tangannya, betapa pun kuatnya binatang itu tidak tahan oleh genjotan Yo Ko dan jatuh terjungkal.

Li Bok-chiu menjadi heran mengapa Yo Ko menolong harimau itu dari serangan jarumnya, sebaliknya kini anak muda itu berkelahi dengan binatang itu. Dilihatnya susul menyusul Yo Ko memukul macan tutul yang jatuh bangun, hanya tempat yang dihantamnya bukan tempat mematikan melainkan tempat yang membuat binatang itu hanya jatuh dan kesakitan saja.

Suara macan tutul makin Iama makin perlahan, meski tidak terluka tapi sudah belasan kali dia dipukul oleh Yo Ko dan tidak tahan lagi. Segera ia melompat ke atas lereng bukit. Tapi Yo Ko sudah menduga akan hal itu, segera ekor harimau itu hendak ditariknya. Tak terduga macan tutul mendadak mencawat ekornya di sela-sela kaki sehingga tarikan Yo Ko tidak kena.

Selagi Yo Ko hendak mengejar, mendadak macan tutul itu berpaling dan meraung seperti memanggil kedua ekor anaknya supaya ikut lari. Pikiran Yo Ko tergerak, cepat ia pegang kuduk kedua anakan macan tutul dan diangkat tinggi ke atas. Tampaknya induk macan juga sayang kepada anaknya, tanpa menghiraukan keselamatan sendiri kembali macan tutul besar itu menubruk ke arah Yo Ko. Cepat Yo Ko melempar kedua anak harimau itu kepada Li Bok-chiu sambil berseru:

“Peganglah ini, tapi jangan dimatikan!”

Berbareng itu ia terus meloncat ke atas, bahkan lebih tinggi dari pada macan tutul itu. Dia incar dengan tepatnya, lalu melayang ke bawah dan persis dapat menunggangi punggung macan tutul, kedua tangannya mencengkeram kencang kedua telinga binatang itu dan ditahan ke bawah sekuatnya. Macan tutul meronta sekuatnya, tapi seluruh badannya sudah diatasi lawan, mulutnya yang terpentang lebar juga ambles terbenam ke dalam tanah.

“Li-supek, lekas membuat tali dengan kulit pohon dan mengikat keempat kakinya,” seru Yo Ko.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar