Minggu, 05 September 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 110

Waktu itu Loh Yu-kah sedang ronda dengan sekelompok anggota Kay-pang. Melihat Siao-liong-li, segera Loh Yu-kah bertanya:

“Nona Liong, apakah Oey-pangcu dan Kwe-tayhiap baik-baik saja?”

Siao-liong-li tak menjawab, sebaliknya ia malah bertanya: “Apakah kau melihat Yo-kongcu dan Kim-lun Hoat-ong serta seorang To-koh yang membawa anak bayi?”

“Semuanya melompat ke sana,” jawab Loh-Yu-kah sambil menuding keluar benteng.

Siao-liong-li melengak, ia pikir tembok benteng begitu tinggi, cara bagaimana ketiga orang itu turun ke sana, apakah mereka takkan patah tulang dan pecah kepala? Sekilas dilihatnya seorang prajurit sedang menyikat bulu kuda merah, yakni kuda mestika kesayangan Kwe Ceng. Hati Siao-liong-li terkesiap, ia pikir jika Yo Ko tidak menggunakan kuda mestika ini jelas sukarlah mencapai Coat-ceng-kok dalam waktu singkat. Segera ia memburu maju dan menarik tali kendali kuda, katanya kepada Loh Yu-kah:

“Aku ada urusan penting keluar kota, sementara aku pinjam pakai kuda ini.”

Yang dikuatirkan Loh Yu-kah hanya keselamatan Oey Yong dan Kwe Ceng, kembali ia tanya:

“Apakah Oey-pangcu dan Kwe-tayhiap baik-baik saja?”

“Mereka tak kurang apa-apa,” jawab Siao-liong-li. “Bayi yang baru dilahirkan Oey-pangcu diculik orang, aku harus merampasnya kembali.”

Loh Yu-kah terkejut, cepat dia memerintahkan membuka pintu benteng. Baru saja pintu gerbang terbuka sedikit dan sebelum jembatan gantung diturunkan hingga lurus, dengan amat cepatnya Siao-liong-li membedalkan kuda merah itu keluar benteng secepat terbang.

Waktu Siao-liong-li memandang ke kaki tembok benteng, dilihatnya dua mayat prajurit hancur mumur menggeletak, di sebelahnya ada pula bangkai seekor kuda terbanting hancur, selain itu tiada sesuatu tanda lain yang mencurigakan. Diam-diam dia merasa heran bagaimana caranya Yo Ko, Hoat-ong dan Li Bok-chiu melompat turun tembok benteng yang tinggi itu.

Tapi mengingat Yo Ko bertiga tidak berhalangan apa-apa, segera dia mengejar ke sana dengan cepat untuk membantu anak muda itu merebut kembali anak bayi. Akan tetapi sejauh pandangannya ke depan suasana sunyi senyap tidak ada bayangan orang, entah ketiga orang itu lari ke mana. Dalam keadaan bingung tidak berdaya, Siao-liong-li menepuk-nepuk leher kuda merah itu sambil berguman:

“Wahai kudaku sayang, aku hendak menyelamatkan majikan mudamu yang baru lahir, lekas membawaku ke sana.”

Entah kuda itu benar-benar paham perkataannya atau tidak, tiba-tiba saja kuda merah menegakkan kepala dan meringkik keras, segera membedal ke arah timur laut.

Kiranya waktu Yo Ko dan Hoat-ong mengejar Li Bok-chiu, begitu sampai di atas benteng mereka pikir menghadapi jalan buntu, Li Bok-chiu pasti akan dapat di bekuk. Tak terduga Li Bok-chiu memang kejam tapi juga cerdik, setiba di atas benteng sekonyong-konyong ia tangkap seorang prajurit terus dilemparkan ke bawah, menyusul dia pun melompat turun. Ketika prajurit itu hampir menyentuh tanah, pada waktu itu pula sebelah kaki Li Bok-chiu menutul pada punggung prajurit itu sehingga daya turunnya berkurang, dia terus melompat ke depan dan turun di atas tanah dengan enteng, bahkan bayi dalam pangkuannya tidak kaget sementara itu prajurit tadi telah terbanting mampus.

Diam-diam Hoat-ong mengakui kelihayan Li Bok-chiu, maka ia pun menirukan cara orang. Ia mencengkeram seorang prajurit lantas dilemparkan ke bawah benteng, akhirnya ia pun dapat melompat turun dengan selamat.

Yo Ko ragu-ragu menyaksikan kejadian itu. Kecuali dahulu ia membinasakan seorang anggota Kay-pang secara tidak sengaja, semenjak itu dia belum pernah lagi membunuh seorang pun, terlebih lagi bila harus mengorbankan jiwa orang lain untuk dipakai sebagai batu loncatan dirinya, betapa pun dia tidak tega. Namun keadaan sudah sangat mendesak. Ia mendapat akal, ia dorong seekor kuda keluar benteng, ketika kuda itu hampir jatuh ke tanah barulah dia menutul punggung kuda terus mengejar ke sana mengikuti jejak Hoat-ong.

Sesungguhnya keadaan Yo Ko rada lemah karena sebelumnya telah bertempur sengit di tengah pasukan Mongol dan terluka oleh roda Kim-lun Hoat-ong, darah mengucur cukup banyak, apa lagi tadi bertempur lagi sekian lama, sesungguhnya ia hampir tidak kuat. Tapi mengingat puteri Kwe Ceng diculik musuh, Yo Ko pikir apa pun yang terjadi bayi itu harus direbut kembali.

Sebenarnya kekuatan berlari ketiga orang sangat cepatnya. Li Bok-chiu dibebani seorang bayi, Hoat-ong terluka dan kuatir racun bekerja pada lukanya, maka dia tidak berani mengerahkan segenap tenaga untuk mengejar. Sebab itulah kecepatan lari mereka bertiga tidak seperti biasanya. Sesudah belasan li meninggalkan kota Siang-yang, jarak di antara mereka bertiga tetap bertahan belasan meter jauhnya. Hoat-ong tidak sanggup menyusul Li Bok-chiu, Yo Ko juga tidak mampu menyusul Hoat-ong.

Setelah berlari-lari, Li Bok-chiu melihat Hoat-ong dan Yo Ko masih mengintil di belakangnya. Dilihatnya di depan banyak bukit-bukitan, beberapa li lagi akan dapat mencapai lereng bukit, maka ia percepat larinya. Ia pikir kalau sudah masuk ke lembah pegunungan sana tentu akan mudah mencari tempat sembunyi.

Biar pun Siao-liong-li menyatakan bayi itu bukan anaknya, akan tetapi melihat cara Yo Ko mengudaknya dengan mati-matian, ia menduga bayi itu pasti anak haram hasil hubungan gelap antara Yo Ko dengan Siao-liong-li. Asalkan bayi ini dipegangnya sebagai sandera, rasanya sang sumoay terpaksa harus menukarkan kitab pusaka Giok-li-sim-keng dengan bayi ini.


KERJASAMA DENGAN LAWAN

Begitulah makin lama mereka makin menanjak ke dataran tinggi, di sekitar hanya pepohonan lebat melulu, jalan juga lika-liku. Hoat-ang menjadi kuatir kalau sebentar lagi Li Bok-chiu akan menyusup ke semak-semak pepohonan hingga sukar lagi ditemukan. Selama ini Hoat-ong belum pernah bergebrak dengan Li Bok-chiu, tetapi dari Ginkang-nya yang tinggi dia yakin To-koh ini pasti seorang lawan yang tangguh. Ia telah kehilangan dua roda, sebenarnya tak ingin menyambitkan roda yang bersisa tiga itu, tapi keadaan sudah mendesak dan tidak boleh ragu-ragu lagi, segera dia membentak sekerasnya:

“Hai perempuan, lekas taruh anak itu dan jiwamu akan kuampuni, kalau tidak menurut, jangan kau salahkan aku tidak kenal kasihan!”

Tapi Li Bok-chiu menyambut dengan ngikik tawa, larinya bahkan tambah cepat. Dengan gemas Hoat-ong mengayunkan tangannya, sebuah roda terus menyambar ke punggung Li Bok-chiu. Sambaran itu sungguh dahsyat sehingga mau tidak mau Li Bok-chiu harus menyelamatkan diri, terpaksa dia membalik dan memutar kebutnya. Baru saja kebutan hendak mengebas ke roda musuh, dilihatnya roda itu berputar dan memancarkan cahaya kemilau, kalau kebut sendiri kebentur bukan mustahil akan terhantam putus, maka cepat ia mengegos ke samping menghindari serangan roda.

Saat itu juga Hoat-ong telah menubruk maju, roda tembaganya menyambar, sekali ini roda itu terbanting ke samping lebih dulu, habis itu memutar balik dan menyambar ke arah Li Bok-chiu.

Li Bok-chiu belum berani menangkis roda, maka dia melompat mundur dan sedikit membungkuk, kembali sambaran roda itu berhasil dihindari dengan Ginkang yang tinggi. Sementara itu Hoat-ong sudah menubruk maju lagi, roda perak tadi ditangkapnya kembali lebih dulu, sedangkan roda timah terus mengepruk ke pundak musuh.

Namun kebut Li Bok-chiu mengebas sehingga bulu kebut itu berubah menjadi beribu bintik emas dan bertebaran ke muka Hoat-ong. Terpaksa Hoat-ong melemparkan roda timah tadi ke atas untuk menangkis kebut lawan berbareng ia tangkap kembali roda tembaga, menyusul dia benturkan roda tembaga dengan roda perak yang dipegangnya itu hingga menerbitkan suara nyaring menggetar sukma. Suaranya yang berkumandang jauh di lembah pegunungan itu sahut-menyahut hingga lama. Habis itu Hoat-ong putar kedua rodanya dan menyerang lebih gencar lagi.

Menghadapi lawan tangguh, semangat Li Bok-chiu bangkit. Tak diduganya Hwesio gemuk besar ini mempunyai tenaga sekuat ini, bahkan tipu serangannya cepat lagi lihay. Segera ia mengeluarkan segenap kemahirannya untuk menempur.



Dalam pada itu Yo Ko telah menyusul tiba. Dilihatnya kedua orang sedang bertempur dengan sengit, tiga buah roda terbang kian kemari diselingi sebuah kebut yang naik turun dengan cepatnya. Untuk sementara Yo Ko hanya mengikuti pertarungan mereka sambil melepaskan lelah serta mencari kesempatan baik untuk merebut kembali si bayi.

Bicara tentang tenaga dalam dan ilmu silat sebenarnya Hoat-ong lebih tinggi setingkat dari pada Li Bok-chiu, terlebih lagi Li Bok-chiu memondong bayi, sepantasnya dalam beberapa puluh jurus saja dia pasti akan keok. Tadi bayi itu selalu dilindunginya karena kuatir dicelakai oleh Hoat-ong. Tidak disangkanya setiap kali roda mendekati badan bayi itu, lawan malah cepat-cepat menarik kembali serangannya.

Sedikit berpikir saja Li Bok-chiu lantas paham duduknya perkara. Rupanya Hwesio gede itu hendak merebut bayi ini, maka tidak ingin mencelakainya. Dasar watak Li Bok-chiu memang keji dan kejam. Sudah tentu dia tidak pedulikan mati hidup orang lain, apa lagi sekarang setelah mengetahui jalan pikiran Hoat-ong, diam-diam dia girang. Setiap kali dia terdesak seperti tidak disengaja dia lantas menggunakan si jabang bayi sebagai tameng untuk menggagalkan serangan maut musuh.

Dengan demikian bayi ini bukan lagi merupakan beban, bahkan berubah menjadi perisai yang sangat berguna baginya. Asalkan dia angkat bayi itu untuk menangkis, betapa pun lihay jurus serangan musuh akan digagalkan seluruhnya. Demikianlah beberapa kali serangan maut Hoat-ong ditangkis oleh perisai bayi Li Bok-chiu.

Keruan Yo Ko kelabakan. Dia kuatir bila terjadi sedikit kekeliruan antara kedua orang itu, maka jiwa bayi yang berusia belum genap satu hari itu pasti akan melayang. Baru saja dia mencari akal buat merebut kembali bayi itu, dilihatnya roda perak Hoat-ong di tangan kanan mendadak menghantam dari luar ke bagian dalam, sedangkan roda tembaga pada tangan kiri menyodok ke depan. Gerakan kedua roda seperti merangkul sehingga Li Bok-chiu terkurung antara kedua tangan Hoat-ong.

Wajah Li Bok-chiu menjadi merah dan memaki gerakan serangan si Hwesio yang kurang ajar itu. Cepat kebutnya menyabet ke belakang untuk menangkis roda perak, sedangkan bayi dibawa ke depan dada untuk membela diri. Akan tetapi sebelumnya Hoat-ong sudah memperhitungkan gerakan susulannya, mendadak tangan kiri melepaskan roda tembaga ke atas untuk menyerang muka Li Bok-chiu.

Jarak roda dengan Li Bok-chiu hanya satu-dua kaki saja dan mendadak disambitkan dengan cepat sekali, tentu saja sukar ditangkis. Untung Li Bok-chiu berpengalaman luas, telah berpuluh tahun malang melintang di dunia Kangouw. Dalam keadaan gawat ini mendadak ia doyongkan tubuhnya ke belakang, dua kakinya memaku kencang di tanah, kebutnya balas menyerang pundak musuh.

Hoat-ong sempat mengegos hingga kebut itu menyerempet lewat pundaknya, sementara itu tangan kiri yang kosong sempat memotong lengan kiri Li Bok-chiu. Seketika Li Bok-chiu merasakan lengannya kaku linu, dia menjerit tertahan sambil melompat mundur, namun tangannya sudah terasa kosong, bayi itu sudah direbut oleh Kim-lun Hoat-ong.

Selagi Hoat-ong girang, se-konyong-konyong dari samping menubruk seseorang, Yo Ko telah menyambar bayi itu dari tangan Hoat-ong terus bergulingan di tanah, pedangnya diputar kencang untuk melindungi bayi, lalu melompat bangun dan siap menghadapi musuh. Rupanya Yo Ko melihat saat yang bagus. Sebelum Hoat-ong dapat memondong si bayi dengan baik, tanpa menghiraukan jiwa sendiri ia terus menerjang maju dan sekali serobot ternyata berhasil dengan baik. Begitulah dalam sekejap saja bayi itu sudah berpindah tangan antara ketiga orang itu. Li Bok-chiu berseru memuji:

“Bagus, Ko-ji!”

Hoat-ong menjadi marah, benturan rodanya menerbitkan suara berdering, menyusul roda di tangan kanan menghantam. Sambil mengegos segera Yo Ko bermaksud angkat kaki. Tiba-tiba terdengar suara angin menyambar, kiranya Li Bok-chiu dengan mengayun kebutnya telah menghadang sambil berkata dengan tertawa:

“Jangan pergi dulu, Ko-ji, kita harus melabrak Hoat-ong ini!”

Karena roda Hoat-ong sudah menghantam, terpaksa Yo Ko memutar pedangnya dan menangkis. Setelah bertempur beberapa hari berturut-turut kedua pihak sudah sama hafal tipu serangan masing-masing, begitu saling labrak segera terjadilah serangan kilat, dalam sekejap saja berpuluh jurus sudah berlangsung.

Diam-diam Li Bok-chiu terkejut. Dia heran kenapa dalam waktu sesingkat ini kepandaian Yo Ko maju sedemikian pesat. Tampaknya aku bukan tandingannya lagi, bahkan mendiang Suhu juga belum tentu bisa melebihi dia.

Namun karena Yo Ko harus memikirkan keselamatan si bayi, betapa pun bayi itu adalah puteri sang paman yang dihormatinya, maka sedikit pun dia tak berani menirukan cara Li Bok-chiu memperalat bayi sebagai tameng. Dan justru inilah akhirnya Hoat-ong bisa melihat kelemahannya. Sekarang dia lebih banyak mengarahkan serangan kepada si bayi, dengan demikian Yo Ko menjadi kelabakan dan sukar bertahan.

“Li-supek, lekas bantu aku rnenghalau bangsat gundul ini, urusan lain boleh kita bicarakan nanti.”

Sekilas Hoat-ong melirik Li Bok-chiu, tampak perawakan yang ramping menggiurkan, biar pun usianya sudah lewat setengah umur, tapi gayanya tetap menarik, dengan tersenyum simpul ia mengikuti pertarungan mereka dan tampaknya tak bermaksud membantu pihak mana pun. Diam-diam Hoat-ong sangat heran bahwa To-koh ini ternyata paman guru si Yo Ko, tetapi mengapa tidak lantas membantu anak muda ini? Jangan-jangan ada rencana licin di balik persoalan ini? Paling penting sekarang bocah she Yo ini harus lekas dikalahkan dan bayi itu direbut kembali. Begitulah Hoat-ong lantas mempergencar serangannya sehingga Yo K-o terkurung rapat di bawah cahaya rodanya.

Li Bok-chiu tahu musuh tak akan mencelakai si bayi, maka dia tak ambil pusing terhadap seruan minta tolong Yo Ko, ia hanya tersenyum saja sambil bersimpuh tangan dengan adem ayem.

Sesudah bertempur lagi sebentar, dada Yo Ko mulai terasa sakit. Dia tahu tenaga dalam sendiri tak dapat menandingi lawan, kalau bertempur lebih lama lagi jelas sukar bertahan. Sudah sekian lama dia tak mendengar suara tangis si bayi, dia menjadi takut terjadi apa-apa. Dalam seribu kesibukannya itu dia mencoba memandang sekejap si bayi, tampak wajah si kecil itu putih bersemu merah, molek menyenangkan, kedua matanya yang hitam sedang memandang kepadanya. Padahal bayi itu belum genap satu hari dilahirkan, dengan sendirinya belum tahu apa-apa, tapi air mukanya kelihatan tenang dan tenteram, sama sekali tak mirip seorang bayi yang baru saja dilahirkan.

Biasanya Yo Ko tidak cocok dengan Kwe Hu, tapi menghadapi orok dalam pangkuannya ini, tiba-tiba timbul semacam pikiran aneh dalam benaknya:

“Kini aku membelanya mati-matian, kalau nasibnya mujur dan jiwanya dapat diselamatkan, tujuh hari lagi aku sendiri akan mati, kelak kalau dia sudah sebesar kakaknya itu entah dia akan teringat kepadaku atau tidak?”

Karena rangsangan perasaan ini, entah dari mana datangnya kesedihan, tiba-tiba saja matanya menjadi merah dan hampir-hampir meneteskan air mata. Bahwa Yo Ko sudah kewalahan melayani serangan Hoat-ong, hal itu juga disaksikan oleh Li Bok-chiu. Semula dia merasa tidak tega dan bermaksud maju membantu, tetapi segera terpikir pula olehnya bahwa kepandaian Yo Ko sudah lebih tinggi dari pada dia, apa bila sekarang tidak meminjam kepandaian Hwesio ini untuk membunuhnya, kelak tentu akan mendatangkan bencana baginya. Karena itu dia tetap menonton saja tanpa membantu.

Di antara ketiga orang ini ilmu silat Hoat-ong paling tinggi, Li Bok-chiu paling kejam, tetapi bicara tentang tipu akal adalah Yo Ko nomor satu. Setelah bersedih sebentar segera ia memikirkan akal cara meloloskan diri. Ia teringat tipu akal Khong Bheng di jaman Sam-kok. Waktu itu di antara tiga negara, Co Jo dari negeri Gui terhitung paling kuat dan negeri Han pimpinan Lau Pi paling lemah, untuk melawan Co Jo terpaksa Lau Pi berterikat dengan Lun Koan dari negeri Go.

Jika sekarang Li Bok-chiu tidak mau membantu maka terpaksa dirinya sendiri yang harus membantu Li Bok-chiu. Untuk ini segera Yo Ko menyerang dua kali untuk menahan Hoat-ong, habis itu cepat ia melompat mundur dan mendadak menyodorkan bayi itu kepada Li Bok-chiu sambil berseru:

“Terima ini!”

Kejadian ini benar-benar di luar dugaan Li Bok-chiu, seketika ia tidak paham apa maksud Yo Ko, tapi tanpa pikir ia terima jabang bayi itu.

Dalam pada itu Yo Ko telah berseru pula: “Li-supek, lekas lari membawa anak itu, biar aku menahan bangsat gundul ini!”

Berbareng ia melancarkan serangan maut untuk mendesak mundur Hoat-ong. Lik Bok-chiu mengira si Yo Ko mengharapkan bantuannya sebagai sang paman guru dan tentu takkan membikin susah anaknya, maka dalam keadaan bahaya bayi itu diserahkan lagi kepadanya. Tentu saja ia girang dan anggap sangat kebetulan baginya. Sama sekali tidak terpikir olehnya bahwa cara itu adalah tipu akal Yo Ko. Begitu Li Bok-chiu hendak angkat kaki, Hoat-ong telah menghantamnya dengan roda perak. Karena tiada jalan lain, terpaksa Li Bok-chiu memutar balik kebutnya untuk menangkis.

Melihat maksud tujuannya sudah tercapai, Yo Ko lantas menghela napas lega. Tetapi dia tetap memikirkan keselamatan si orok dan tidak dapat berpeluk tangan tanpa urus seperti Li Bok-chiu tadi. Setelah istirahat sejenak, segera ia angkat pedang dan menerjang Hoat-ong dari samping. Sementara itu sang surya sedang memancarkan cahayanya yang terang, di tengah hutan lebat itu tetap tembus oleh cahaya matahari, semangat Yo Ko bangkit, ia mainkan pedangnya lebih keras.

“Trangg...! Trang...!”

Tiba roda perak Hoat-ong terkupas sebagian oleh Kun-cu-kiam yang tajam. Kim-lun Hoat-ong juga tidak kurang saktinya, meski terkejut, namun gerak serangannya semakin lihay. Mendadak Yo Ko mendapat akal, serunya:

“Li-supek, awas roda tembaganya, bagian yang terkupas ada racunnya, jangan kau tersentuh olehnya.”

“Memangnya kenapa?” ujar Li Bok-chiu tak acuh.

“Racun yang terpoles di pedangku ini sangat lihay,” kata Yo Ko.

Tadi Hoat-ong dilukai oleh pedang Yo Ko, memang ia kuatir kalau pedang anak muda itu beracun, tetapi setelah sekian lama bertempur tiada terasa tanda aneh pada lukanya, maka ia tidak kuatir lagi. Sekarang Yo Ko menyebutnya kembali, mau tak mau hatinya tergetar dan semangatnya menjadi lesu. Bila mengingat kekejian Kongsun Ci, mustahil pedang Yo Ko yang diambil dari tempatnya itu tidak dipoles dengan racun.

Tiba-tiba saja Li Bok-chiu berseru: “Tusuk dia dengan pedangmu yang beracun itu, Ko-ji!” Berbareng ia mengayun tangannya seperti menyambitkan senjata rahasia.

Cepat Hoat-ong memutar rodanya menjaga rapat tubuhnya, tetapi gerakan Li Bok-chiu ternyata hanya gertakan belaka, kesempatan itu telah digunakannya untuk berlari ke sana secepat terbang. Walau pun meragukan terkena racun, tetapi Hoat-ong sangat tangkas. Ia merasa lukanya tidak nyeri dan juga tidak bengkak, betapa pun ia tak mau pulang dengan tangan hampa, maka cepat ia mengudak ke jurusan Li Bok-chiu.

Yo Ko pikir kalau sebentar bertempur dan sebentar udak-mengudak, akhirnya tentu akan membikin susah orok yang baru dilahirkan itu. Jalan keluar yang baik adalah menghalau Hoat-ong dengan gabungan tenaga mereka berdua dan urusan lain dapat diselesaikan belakangan. Maka ia lantas berteriak:

“Tak perlu lari, Li-supek, bangsat gundul ini terkena racun jahat, hidupnya tak akan bertahan lama.”

Baru habis ucapanrya, dilihatnya Li Bok-chiu melompat ke depan dan menyusup ke arah sebuah goa di bukit sana. Hoat-ong kelihatan merandek kesima dan tidak berani menerobos ke dalam goa. Karena tidak tahu apa tujuan Li Bok-chiu membawa lari bayi itu, juga kuatir jika mendadak bayi itu dibinasakan, maka tanpa memikirkan keselamatan sendiri Yo Ko terus menguber ke sana. Ia putar pedangnya untuk menjaga diri, segera ia pun menerjang ke dalam goa. Terdengarlah suara gemerincing beberapa kali, pedangnya menyampuk jatuh tiga buah Peng-pok-sin-ciam, jarum berbisa yang dihamburkan Li Bok-chiu.

“Ini aku, Li-supek!” seru Yo Ko.

Di dalam goa gelap gulita, akan tetapi Yo Ko sudah biasa memandang dalam kegelapan. Dilihatnya Li Bok-chiu merangkul si bayi dan tangan lain sudah siapkan segenggam jarum berbisa lagi. Untuk meyakinkan orang bahwa dia tak bermaksud jahat, Yo Ko sengaja membalik tubuh dan menghadap ke luar, lalu berkata:

“Mari kita bersatu untuk menghalau bangsat gundul itu,” Segera ia berjaga di mulut goa dengan pedang terhunus.

Hoat-ong menduga sementara ini kedua lawan tak akan berani menerobos keluar, ia lantas duduk di samping goa dan membuka baju memeriksa lukanya. Bagian lukanya merah segar, tidak ada tanda-tanda keracunan, waktu ia pencet terasa sakit sedikit. Waktu ia mengerahkan tenaga dalam terasa tiada sesuatu halangan apa pun juga. Girang bercampur gemas juga, girangnya karena pedang si Yo Ko ternyata tidak berbisa sebagaimana dikatakan anak muda itu, gemasnya karena dia sudah dikibuli oleh bocah itu sehingga dia kuatir percuma untuk sekian lama.

Ia coba mengawasi goa. Mulut goa teraling rerumputan, lebarnya hanya cukup dimasuki satu orang, padahal tubuhnya sendiri tinggi besar, kalau menerjang ke sana dan bergerak kurang leluasa, mungkin malah akan disergap oleh kedua lawannya. Seketika ia tidak mendapatkan akal yang baik. Pada saat itulah tiba-tiba ada suara orang berseru:

“He, Hwesio gede, apa yang kau lakukan di situ?”

Hoat-ong mengenali suara si Hindu cebol Nimo Singh. Dia tetap mengawasi goa itu sambil menjawab:

“Tiga ekor kelinci menyusup ke dalam goa, aku hendak menghalaunya keluar.”

Kiranya tadi dari kejauhan Nimo Singh melihat berkelebatnya roda Kim-lun Hoat-ong yang beterbangan di udara. Ia tahu pasti Hoat-ong sedang bertempur dengan musuh, maka ia cepat menyusul ke sini. Waktu tiba di tempat, sementara Yo Ko berdua sudah menyusup ke dalam goa. Melihat Hoat-ong sedang mengawasi dengan penuh perhatian, Nimo Singh menjadi girang, tanyanya cepat:

“Kwe Ceng lari ke dalam goa?”

Hoat-ong mendengus dan berkata: “Ada seekor kelinci jantan dan seekor kelinci betina, ada pula seekor anakan kelinci.”

“Ha-ha, jadi selain Kwe Ceng dan isterinya, si bocah Yo Ko itu juga berada di situ!” seru Nemo Singh kegirangan.

Hoat-ong tidak menggubrisnya dan membiarkan dia mengoceh sendiri. Dia memandang sekelilingnya, segera dia mendapatkan akal. Dia mengumpulkan ranting kayu dan rumput kering yang ditumpuk di mulut goa, lalu dibakarnya rumput kering itu. Pada saat itu angin sedang meniup dengan kencangnya, tanpa ayal asap tebal tertiup ke dalam goa.

Waktu Hoat-ong mulai menimbun kayu dan rumput kering, Yo Ko tahu maksud keji orang, sedangkan pihak musuh sudah bertambah dengan datangnya Nimo Singh. Dengan suara perlahan dia berkata kepada Li Bok-chiu:

“Akan kuperiksa apakah goa ini ada jalan tembus atau tidak.”

Segera ia merunduk ke dalam, kurang lebih belasan meter jauhnya ternyata goa itu buntu, ia putar balik lantas berkata dengan suara tertahan:

“Li-supek, mereka menyerang dengan asap, bagaimana kita harus bertindak?”

Li Bok-chiu pikir menerjang dengan kekerasan jelas sukar loIos dari kejaran Hoat-ong, tapi bersembunyi di dalam goa bukan cara penyelesaian yang baik. Jika keadaan benar-benar mendesak, jalan satu-satunya terpaksa melarikan diri dengan meninggalkan anak orok ini. Karena pikiran ini sedikit pun ia tidak merasa cemas, ia menyeringai dan tidak menjawab pertanyaan Yo Ko. Tidak lama kemudian gumpalan asap yang membanjir ke dalam goa semakin tebal, untuk sementara mereka dapat menahan napas, namun bayi itu tidak tahan lagi, ya batuk ya menangis tiada hentinya.

“He-he, kau kasihan padanya, bukan?” jengek Li Bok-chiu kepada Yo Ko.

Setelah mengalami perjuangan mati-matian, Yo Ko memang sudah timbul kasih sayang terhadap bayi perempuan ini, maka dia menjadi tidak tega mendengar tangisnya yang semakin keras.

“Biar kupondong dia!” katanya sambil mengulurkan kedua tangan dan mendekati Li Bok-chiu.

Akan tetapi Li Bok-chiu segera menyabetnya dengan kebut sambil membentak: “Jangan mendekati aku! Apa kau tidak takut pada Peng-pok-sin-ciam?”

Cepat Yo Ko melompat mundur, nama jarum berbisa itu mengingatkannya kepada masa kecilnya ketika untuk pertama kali bertemu Li-Bok-chiu. Hanya sebentar saja ia memegang jarum perak itu, racun sudah menjalar ke tubuhnya, syukur ayah angkatnya, Auyang Hong, menolong dengan mengajarkan Iwekang yang istimewa sehingga racun dapat didesak keluar.

Tiba-tiba dia mendapat akal. Dia balut tangannya dengan robekan kain baju, lalu menuju ke mulut goa dan menjemput ketiga jarum berbisa yang disambitkan Li Bok-chiu tadi, dia tancapkan jarum-jarum itu pada tanah dengan ujung runcing ke atas, ujung jarum yang menongol sedikit itu ditutup dengan pasir tanah agar gemilapnya jarum tidak kelihatan. Saat itu mulut goa tertutup asap tebal sehingga tindakan Yo Ko tidak dilihat oleh Kim-lun Hoat-ong dan Nimo Singh.

Setelah selesai mengatur Yo Ko mundur lagi ke dalam goa lantas membisiki Li Bok-chiu:

“Aku ada akal untuk menghalau musuh, harap Li-supek pura-pura menimang bayi itu supaya jangan menangis.” Habis berkata mendadak ia berteriak: “Aha, di belakang goa ini ada jalan tembusnya, Li-supek, lekas kita pergi!”

Semula Li Bok-chiu melengak dan mengira apa yang dikatakan Yo Ko itu memang betul, tapi Yo Ko lantas membisikinya:

“Hanya pura-pura saja agar bangsat gundul itu terjebak olehku.”

Sudah tentu teriakan Yo Ko terdengar oleh Kim-lun Hoat-ong dan Nimo Singh. Mereka terkejut, mencoba pasang kuping, dalam goa sunyi senyap, suara tangisan bayi juga sayup-sayup semakin lirih. Mereka tidak tahu bahwa mulut si bayi telah sengaja ditutup oleh lengan baju Yo Ko, keruan mereka mengira Yo Ko bersama Li Bok-chiu betul-betul sudah kabur melalui belakang goa.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar