Minggu, 05 September 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 109

Sementara itu Kim-lun Hoat-ong mengejar dengan kencang, jaraknya dengan Yo Ko makin dekat, ia girang, pikirnya:

“Sekali ini apakah kau mampu lolos dari tanganku!”

Ginkang aliran Ko-bong-pay (kuburan kuno) yang dipelajari Yo Ko boleh dikatakan tiada tandingannya di dunia ini. Meski dia menggendong, tapi mengingat semakin jauh meninggalkan Kwe-pepeknya berarti keselamatan sang paman semakin terjamin, maka ia berlari secepatnya seperti kesetanan, seketika Kim-lun Hoat-ong tak dapat menyusulnya. Demikianlah Yo Ko terus berlari-larian di atas deretan rumah. Ketika kemudian mendengar langkah orang di belakangnya semakin mendekat, segera ia melompat ke bawah rumah, lalu dia berputar kian kemari di antara gang sempit dan main kucing-kucingan dengan Kim-lun Hoat-ong.

Meski pun Ginkang Yo Ko lebih tinggi satu tingkat dari pada Hoat-ong, tetapi dia dibebani menggendong, kalau kejar mengejar di tanah datar tentu sejak tadi sudah disusul oleh Hoat-ong, untung dia lari putar sini dan belok sana di antara gang dan lorong sempit rumah-rumah penduduk sehingga Hoat-ong tetap tak dapat menangkapnya.

Segera Hoat-ong berkata: “Saudara Sing, cepat jaga di mulut gang, biar aku masuk ke sana untuk menangkap setan cilik itu.”

Mendadak Nimo Singh mendelik lantas menjawab: “Memangnya aku mesti tunduk kepada perintahmu?”

Hoat-ong pikir si Hindu cebol ini sukar untuk diajak berunding. Tanpa berkata lagi ia terus melompat ke atas rumah, dari ketinggian dia memandang sekitarnya, kebetulan dilihatnya Yo Ko meringkuk pada pojok tembok dengan menggendong ‘Kwe Ceng’, agaknya sedang melepas lelah. Girang sekali Hoat-ong. Dengan berjinjit ia merunduk maju, baru saja ia hendak menubruk ke bawah, tiba-tiba Yo Ko menjerit sekali, dengan cepat sekali anak muda itu menyusup ke tengah kabut asap yang tebal dan jejaknya lenyap seketika.

Tujuan Hoat-ong mengobarkan api adalah untuk memaksa keluarnya Kwe Ceng, sekarang di mana-mana api berkobar dan asap tebal ber-gulung, jadinya malah sukar menemukan Kwe Ceng. Selagi dia celingukan ke sana-sini, tiba-tiba terdengar seruan Darba:

“lni dia, di sini!”

Hoat-ong cepat-cepat memburu ke sana, dilihatnya Darba dengan gadanya yang berat sedang kececar oleh serangan pedang Yo Ko. Dua kali lompatan saja Hoat-ong tiba di sana dan mencegat jalan lari anak muda itu. Di luar dugaan mendadak Yo Ko menerjang ke depan.

“Blukk!”

Tahu-tahu Darba diterjangnya hingga terjungkal, pada saat itu pula roda perak Hoat-ong sudah disambitkan.


BEREBUT BAYI

Sambaran roda perak itu cepat luar biasa, Yo Ko tidak sempat mengelak. “Crettt!” dengan tepat pundak Kwe Ceng tergores sehingga terluka cukup dalam.

Dengan girang Hoat-ong berseru: “Kena kau sekali ini!”

Tak tahunya sedikit pun Yo Ko tak peduli akan mati hidupnya Kwe Ceng dan masih terus berlari ke depan. Tetapi begitu sampai di ujung lorong, mendadak seseorang bersuara seram menghaIanginya:

“Menyerahlah, anak kecil!” Kiranya Siau-siang-cu adanya.

Keadaan Yo Ko sekarang benar-benar kepepet. di bagian depan dihadang musuh, jalan mundur tersumbat, pada saat dia mendongak, di atas pagar tembok pun berdiri Nimo Singh. Tanpa banyak pikir Yo Ko melompat ke atas, kontan Nimo Singh mengemplang dengan ular bajanya, untuk mendesak anak muda itu turun ke lorong buntu lagi. Yo Ko pikir setelah sekian lamanya tentu Kwe Ceng dan Oey Yong sudah lolos dari mara bahaya. Segera dia cengkeram perwira yang digendongnya itu terus disodorkan kepada Nimo Singh sambil terseru:

“lni, kuserahkan Kwe Ceng kepadamu!”

Nimo Singh kaget bercampur girang, dikiranya Yo Ko memang suka bolak-balik memihak sana-sini dan sekarang mendadak anak muda itu berputar haluan lagi serta memberikan pahala besar padanya, maka tanpa pikir dia tangkap tubuh orang yang dilemparkan kepadanya. Tidak terduga Yo Ko terus menyusuli dengan sekali tendang yang tepat mengenai pantat Nimo Singh, kontan Hindu cebol itu terjungkal ke bawah tembok dan tentu pula kesakitan. Akan tetapi Nimo Singh sama sekali tidak memusingkan sakit atau tidak, bahkan dia terus berteriak-teriak girang:

“Kwe Ceng berhasil kutangkap! Kwe Ceng sudah kutangkap!”

Siau-siang-su dan Darba tidak membiarkan pahala besar itu dicaplok sendiri oleh Nimo Singh. Cepat mereka memburu maju untuk merebut, ketiga orang sama-sama memegangi anggota badan perwira tadi, ada yang pegang tangan, ada yang memegang kaki, sekali mereka membetot, karena tenaga mereka sama-sama kuat, seketika tubuh perwira itu terbeset menjadi tiga bagian. Kopiah yang dipakainya lantas terjatuh sehingga Nimo Singh bertiga bisa melihat dengan jelas orang yang mereka perebutkan ternyata bukan Kwe Ceng adanya. Keruan mereka melengak dan tak dapat bersuara.

Pada saat melihat Yo Ko membuang Kwe Ceng yang digendongnya terus melarikan diri, segera Hoat-ong menduga pasti ada sesuatu yang tidak beres, maka waktu melihat ketiga kawannya itu melengak kesima, ia lantas memaki:

“Goblok!”

Segera Hoat-ong mengudak lagi ke arah Yo Ko. Ia pikir andai Kwe Ceng tidak berhasil ditangkap, kalau dapat menawan Yo Ko juga tidak sia-sia kedatangannya ke Siang-yang ini. Namun sementara itu Yo Ko entah sudah kabur ke mana, jelas sukar menemukannya.

Hoat-ong berpikir sejenak, segera dia pun dapat menarik kesimpulan: “Bocah itu sengaja menggendong Kwe Ceng palsu dan main kucing-kucingan, tentu tujuannya memancing supaya aku mengejarnya, kalau begitu jelas Kwe Ceng pasti berada di tempat yang kubakar tadi. Tadi dia memakai akal licik, biarlah sekarang aku pun menggunakan akalnya itu untuk menjebak dia.” Karena itu ia tidak peduli lagi ke mana kaburnya Yo Ko, ia terus menuju ke tempat yang paling ganas dimakan api.

Padahal ketika itu Yo Ko sedang mengawasi gerak-gerik Hoat-ong, dia bergelantungan di bawah emper rumah. Pada saat melihat Hoat-ong berlari cepat ke tempat sembunyi Kwe Ceng, ia menjadi kuatir. Ia tidak tahu waktu itu Oey Yong sudah memindahkan suaminya ke tempat lain atau belum, maka ia pun cepat mengintil Hoat-ong.

Setiba di dekat tempat Kwe Ceng tadi, mendadak Hoat-ong melompat ke bawah sambil membentak:

“Bagus, kau Kwe Ceng! Kiranya kau berada di sini, lekas ikut!”

Keruan Yo Ko kaget. Selagi hendak melompat turun, terdengar suara gemerincing, beradunya senjata, lalu terdengar suara bentakan Hoat-ong:

“Nah, Kwe Ceng lekas menyerah saja kau!”

Menyusul suara mendering benturan senjata berbunyi berturut-turut. Seketika Yo Ko tahu apa yang terjadi, dia tertawa sendiri sambil mengomel daIam hati: “Setan gundul, hampir saja aku terjebak olehmu. Sayang akalmu yang busuk kurang cermat, kau pura-pura mengeluarkan suara benturan senjata segala, padahal dalam keadaan terluka mana Kwe-pepek sanggup menempur dengan senjata. Hm, kau ingin menipu aku, aku justru sembunyi di sini untuk menonton sandiwaramu.”



Begitulah mendadak terdengar Hoat-ong berteriak lagi: “Aha, sekali ini kau pasti mampus, Yo Ko!”

Tentu saja Yo Ko terkejut sekali, dia heran kenapa dirinya dikatakan pasti mampus? Tapi segera ia paham maksudnya, agaknya Kim-lun Hoat-ong tak berhasil memancing dirinya keluar, sekarang berbalik hendak memancing agar Kwe Ceng muncul menolongnya. Terdengar Hoat-ong bergelak tawa dan berkata:

“Ha-ha-ha, Yo Ko, sekali ini jiwamu melayang di tanganku, agaknya memang nasibmu begini.”

Belum habis kata-katanya, sekenyong-konyong bayangan putih berkelebat, seorang gadis menerobos keluar dari tengah gumpalan asap dan menubruk ke arah Hoat-ong. Cepat Yo Ko berseru:

“Aku berada di sini, Kokoh!”

Gadis itu memang Siao-liong-li. Hoat-ong lantas memutar rodanya dan mencegat di depan Siao-liong-li. Rupanya suara Hoat-ong yang mengatakan jiwa Yo Ko pasti akan melayang itu telah membikin kuatir Siao-liong-li, maka tanpa pikir dia langsung menerjang keluar untuk menolongnya. Terpaksa Yo Ko ikut menerjang maju untuk mengerubuti Hoat-ong. Kedua muda-mudi itu saling pandang dengan tersenyum bahagia, seketika Giok-ii-kiam-hoat dimainkan dengan sangat indah, sinar pedang mereka mengurung rapat Kim-lun Hoat-ong.

Hoat-ong mengeluh: “CeIaka, ini benar-benar mengundang bahaya untuk mencelakai diri sendiri!”

Sementara itu api terus berkobar dengan hebatnya, banyak tiang dan belandar berjatuhan. Tiba-tiba Hoat-ong perlihatkan keperkasaannya, kedua rodanya diangkat sekaligus ia tangkis kedua pedang lawan, habis itu cepat ia mundur ke kiri.

“Sekali ini jangan membiarkan dia lolos lagi, bibit bencana ini harus dibinasakan!” seru Yo Ko kepada Siao-liong-li sambil memburu maju.

“Srettt!” kontan ia menusuk punggung Hoat-ong.

Semenjak kecundang oleh Giok-li-kiam-hoat tempo hari, dengan tekunnya Hoat-ong merenungkan sejurus ilmu silat yang bisa mematahkan ilmu pedang itu, meski pun begitu ia mengakui Giok-li-kiam-hoat yang dimainkan secara berganda itu teramat lihay, apakah dirinya dapat mematahkannya atau tidak sebenarnya ia pun tidak berani memastikan. Sekarang dalam keadaan berbahaya tanpa pikir dia keluarkan ilmu silat ciptaannya yang baru: ‘Ngo-lun-tay-coan’ (putaran Iima roda sekaligus) untuk mencobanya.

Begitulah serentak ia keluarkan semua senjata rodanya, lalu terdengar suara gemerincing nyaring, tiga buah roda segera melayang di udara, sedangkan setiap tangannya tetap memegangi sebuah roda pula. Kelima roda itu terbuat dari emas, perak, besi, tembaga dan timah, maka bobotnya tidak sama, besar kecilnya juga rada berbeda, akan tetapi secara bergiliran menyambitkan dan menangkap kembali rodanya, lalu disambitkan pula dan begitu seterusnya, sambaran roda itu kadang kala lurus dan terkadang miring. Seketika Yo Ko dan Siao-liong-li dibikin bingung.

Melihat cara serangan musuh sangat aneh dan lihay, sedapatnya Yo Ko dan Siao-liong-li saling beradu punggung, mereka berjaga sedapatnya untuk mengamati serangan musuh, habis itu baru mencari jalan untuk mematahkannya. Kelima roda Kim-lun Hoat-ong terus beterbangan, akan tetapi Yo Ko dan Siao-liong-li sudah memutar pedangnya hingga berwujud sebuah jaringan sinar perak, bagaimana pun hebatnya roda Hoat-ong itu tetap sukar menembus pertahanan lawan.

Diam-diam Hoat-ong patah semangat. Dia pikir percuma latihanku selama ini, ternyata lima rodaku sekaligus juga sukar menandingi permainan ganda ilmu pedang mereka. Selagi Hoat-ong merasa lesu, dari pangkuan Siao-liong-li mendadak ada suara menguak beberapa kali, itulah suara tangisan jabang bayi. Hal ini tidak saja membuat Hoat-ong terkejut, bahkan Yo Ko juga melengak heran. Ketiga orang sama tertegun sehingga pertarungan dengan sendirinya jadi mengendur.

Dengan tangan kiri Siao-liong-li menepuk perlahan pangkuannya sambil berkata: “Jangan menangis sayang, lihatlah kuhajar Hwesio tua ini.” Tidak tahunya bayi itu malah menangis semakin keras.

“Anak Kwe-pekbo?” tanya Yo Ko dengan suara lirih.

Siao-liong-li mengangguk dan menusuk satu kali pada Kim-lun Hoat-ong. Kim-lun Hoat-ong menangkis dengan roda emasnya. Ia tidak mendengar jelas pertanyaan Yo Ko, seketika dia tidak paham untuk apa Siao-liong-li membawa seorang bayi, tapi mengingat nona itu dibebani bayi, tentu daya ilmu pedangnya menjadi berkurang dan sebaliknya menguntungkan dirinya, maka cepat ia lancarkan serangan gencar kepada Siao-liong-li. Lekas Yo Ko balas menyerang beberapa kali supaya tekanan musuh kepada Siao-liong-li berkurang, berbareng ia mendesis pula kepada Siao-liong-li.

“Apa paman dan bibi Kwe baik-baik saja?”

“Oey-pangcu sempat memayang Kwe-tayhiap menyelamatkan diri dari lautan api...”

“Trangg...!”

Ia tangkis roda musuh yang menyerangnya, lalu menyambung: “Keadaan waktu itu amat gawat, belandar rumah hampir runtuh, syukurlah aku sempat menyelamatkan anak perempuan ini dari tempat tidur.”

“Anak perempuan?” Yo Ko menegas sambil menebas kaki Hoat-ong untuk memaksa musuh menarik kembali serangannya kepada Siao-liong-li.

Tadinya dia pikir Kwe Ceng sudah punya anak perempuan, anaknya yang bakal lahir tentu anak laki-laki, tetapi siapa tahu kembali mendapatkan anak perempuan, hal ini di luar dugaannya.

Siao-liong-li mengangguk lantas menjawab: “Ya, perempuan, lekas kau membawanya...” sembari berkata tangan kirinya menjulur ke pangkuan dan bermaksud menyerahkan orok itu kepada Yo Ko.

Akan tetapi bayi itu menangis keras, sedangkan pada saat itu serangan Hoat-ong makin gencar, tiga buah roda ber-putar di atas kepala, begitu ada peluang lantas menyerang ke bawah, kedua roda yang dipeganginya lebih lihay lagi cara menyerangnya. Yo Ko juga cuma dapat bertahan sekadarnya dengan segenap tenaganya, sehingga sukar menerima penyerahan bayi dari Siao-liong-li. Sebab itu berulang-ulang Siao-liong-li berseru:

“Lekas kau bawa bayi ini dan gunakan kuda merah itu ke...”

“Trangg...! Trangg...!”

Roda Hoat-ong menyerang lebih gencar hingga Siao-liong-li tidak dapat melanjutkan ucapannya. Dalam keadaan demikian, apa yang terpikir oleh Yo Ko dan Siao-liong-li menjadi berbeda sehingga daya tempur Giok-li-kiam-hoat sukar dikerahkan. Yo Ko pikir bayi itu harus diterima dulu agar perhatian Siao-liong-li tidak terpencar, maka per-lahan dia menggeser ke sana. Siao-liong-li juga ingin menyerahkan bayi itu kepada Yo Ko, jadi kedua orang ada perpaduan pikiran, segera daya tempur ilmu pedang mereka bertambah kuat, Kim-lun Hoat-ong terdesak mundur lagi.

Segera Siao-liong-li menyodorkan bayi kepada Yo Ko. Namun baru saja anak muda itu mengulur tangan, sekonyong-konyong bayangan hitam berkelebat dan roda besi Hoat-ong menghantam ke badan bayi. Kuatir bayi terluka, Siao-liong-li melepaskan bayi, berbareng tangannya Iurus memutar ke atas untuk mencengkeram roda itu.

Sambaran roda besi amat keras, pula tepinya cukup tajam, kalau orang lain pasti tidak berani menyentuhnya. Tapi Siao-liong-li memakai sarung tangan buatan dari benang emas yang halus, sekalian pedang dan golok pusaka juga berani dipegangnya dan dipatahkan olehnya. Maka waktu menempel roda musuh, sekalian dia tolak ke samping lalu dengan gerakan miring dia hentikan putaran roda.

Pada saat itu juga Yo Ko sudah berhasil memondong bayi tadi dan berseru memuji demi menyaksikan Siao-liong-li merampas roda musuh. Kalau roda itu langsung menghantam Siao-liong-li tentu sukar dipegangnya, tapi lantaran sasaran roda adalah si bayi, maka Siao-liong-li dapat menangkapnya dari samping. Tampaknya inilah kelemahan permainan ‘panca-roda’ Kim-lun Hoat-ong. Siao-liong-li amat senang karena dapat menangkap senjata lawan. Tiba-tiba ia menirukan gaya permainan Hoat-ong, roda besi terus menghantam musuh, ia pikir biarlah ‘senjata makan tuannya’.

Hoat-ong terkejut dan malu karena senjatanya terampas musuh, dengan sendirinya ia tidak dapat memainkan ‘panca roda’, dengan begitu ia terus simpan kembali kedua roda yang lain, hanya dua roda saja yang dipegangnya untuk menyerang.

Sambil merangkul bayi Yo Ko berseru kepada Siao-liong-li agar membinasakan dahulu musuh gundul itu. Siao-liong-li mengiyakan, segera mereka menyerang dengan sepasang pedang ditambah lagi roda rampasan. Tak terduga, semakin Iama daya serangan mereka bukanlah bertambah kuat, sebaliknya malah sering kacau, kerja sama terasa kurang ‘sreg’, keruan Siao-liong-li merasa bingung, ia tidak tahu apa sebabnya.

Ia lupa bahwa Giok-li-kiam-hoat bisa memiliki daya tempur yang hebat adalah karena adanya perpaduan perasaan antara pasangan yang mainkan ilmu pedang itu. sekarang di antara sepasang pedang mereka bertambah lagi satu roda besi, hal ini menjadi seperti di antara sepasang kekasih telah disusupi orang ketiga yang menimbulkan gangguan, dengan sendirinya paduan pikiran mereka menjadi terhalang dan kerja sama mereka pun menjadi kacau. Setelah beberapa jurus lagi dan terasa semakin payah, Siao-liong-li amat gelisah, katanya kepada Yo Ko:

“Hari ini kita tak dapat mengalahkan dia, lekas kau bawa anak ini ke Coat-ceng-kok...”

Segera Yo Ko paham maksudnya. Kalau sekarang juga berangkat dengan kuda merah tentu dalam tujuh hari dapat mencapai Coat-ceng-kok, meski kepala Kwe Ceng dan Oey yong tak dapat dibawanya, tetapi karena anak perempuan mereka dibawa ke sana, tentu Kwe Ceng dan isterinya akan segera menyusul ke sana dan Kiu Jian-jio dapat berusaha menuntut balas kepada mereka. Dalam keadaan begitu mau tak mau Kiu Jian-jio harus memberikan separoh obatnya pada Yo Ko dan bila racun dalam tubuhnya sudah punah, kelak dia masih dapat berdaya menyelamatkan anak bayi ini.

Usaha mengulur waktu ini rasanya akan dapat diterima oleh Kiu Jian-jio, sebab kalau Kwe Ceng dan Oey Yong datang ke sana untuk mencari anaknya, dalam keadaan lumpuh dan ingin menuntut balas, mau tak mau Kiu Jian-jio mengharapkan bantuan Yo Ko, karena itu sisa obat yang masih ada betapa pun harus diberikan kepada anak muda ini.

Jika hal ini terjadi dua hari yang lalu tentu tanpa ragu-ragu Yo Ko akan melaksanakannya, tapi sekarang dia benar-benar sangat kagum dan hormat kepada jiwa kepahlawanan Kwe Ceng, sungguh ia tak ingin membikin susah anak perempuan orang demi kepentingan sendiri, karena itulah ia menjadi ragu dan berkata:

“Kokoh, urusan ini tidak boleh begitu...”

“Kau... kau...” belum lanjut ucapan Siao-liong-li, tiba-tiba...

“Brett!” mendadak baju bahu kirinya terobek oleh roda emas Kim-lun Hoat-ong.

“Kalau kulakukan hal ini, sungguh aku malu terhadap Kwe-pepek,” kata Yo Ko. “Lagi pula aku sudah tidak sesuai lagi untuk menggunakan pedangku ini!” Sembari berkata dia pun acungkan Kun-cu-kiam (pedang laki-laki sejati) ke atas.

Sudah tentu Siao-liong-li sama sekali tidak tahu bahwa jalan pikiran Yo Ko telah berubah mendadak. Segenap usahanya hanya ditujukan untuk menyelamatkan Yo Ko, sekarang ia mendengar anak muda itu segan kepada musuh, pembunuh ayahnya, dan ingin menjadi laki-laki sejati, sejenak Siao-liong-li menjadi bingung. Dan karena tidak ada kesatuan pikiran antara mereka, ilmu pedang yang mereka mainkan menjadi kurang baik. Segera Hoat-ong melangkah maju, sikutnya lantas menyodok bahu kiri Yo Ko.

Betapa lihaynya tenaga Hoat-ong, keruan Yo Ko merasakan setengah tubuhnya kaku kesemutan, bayi yang dipondongnya terlepas dan jatuh. Padahal waktu itu mereka bertempur di atas rumah, langsung orok itu terbanting ke bawah. Yo Ko dan Siao-liong-li menjerit kaget dan segera bermaksud melompat ke sana menyelamatkan bayi, namun sudah terlambat.

Sementara itu dari percakapan Yo Ko berdua dapatlah Hoat-ong mengetahui bahwa bayi itu adalah anak Kwe Ceng dan Oey Yong. Dia pikir bila Kwe Ceng tidak dapat ditangkap, boleh juga anak perempuannya diculik dijadikan sandera agar dia menyerah, dan ini sama saja jasa besar bagiku!

Dalam pada itu keadaan bayi yang terjatuh ke bawah tampaknya sangat berbahaya. Cepat dia sambitkan roda emasnya ke sana, dengan tepat roda itu menyangah di bawah gurita bayi dan terus melayang ke sana satu meteran di atas permukaan tanah, bayi tersanggah di atas dengan antengnya. Serentak tiga orang melompat turun buat berebut roda itu.

Tempat berdiri Yo Ko paling dekat, Ginkang-nya juga tinggi. Ia melihat roda melayang makin rendah, sebentar lagi pasti akan jatuh ke tanah. Cepat ia menubruk, badannya berguling maju, roda bayi hendak dirangkulnya sekaligus agar bayi itu tidak terluka. Ketika tangannya hendak meraih, mendadak roda emas mengapung ke atas, sebuah tangan menjulur dari samping, roda emas itu terpegang dan bayi itu pun diserobot lagi. Waktu Yo Ko melompat bangun, sementara itu Hoat-ong dan Siao-liong-li juga sudah memburu tiba.

“He, itu Suci-ku!” seru Siao-liong-li.

Dari jubah yang berwarna kuning dan tangan membawa kebut, Yo Ko tidak sangsi lagi memang benar penyerobot bayi itu adalah Li Bok-chiu. Mengingat watak Li Bok-chiu yang kejam, nasib bayi itu pasti celaka bila berada dalam cengkeraman iblis itu, tanpa pikir ia terus mengudak ke sana. Siao-liong-li lantas berteriak-teriak.

“Suci, bayi itu besar artinya bagiku, untuk apa kau menyerobotnya?”

Li Bok-chiu tidak menoleh, dari jauh ia menjawab: “Hm, turun temurun ahli waris Ko-bong-pay adalah perawan yang suci bersih, tapi anak saja sudah kau lahirkan, sungguh tak tahu malu.”

“ltu bukan anakku, lekas kau kembalikan padaku!” teriak Siao-liong-li.

Selagi dia hendak mengejar sekuat tenaga, tiba-tiba sesosok bayangan melompat keluar dari samping sambil berseru:

“Selamat bertemu pula, nona Liong!”

Sama sekali Siao-liong-li tidak memandang siapa gerangan orang ini, sedikit mengegos segera ia bermaksud menyelinap lewat di sebelah orang. Tapi orang itu telah mengulur kipasnya dan menotok perlahan ke Koh-eng-hiat di bahunya sambil berseru:

“Ahh, masa nona cantik bersikap dingin.”

“Jangan merecoki aku!” bentak Siao-liong-li sambil menangkis dengan pedang dan tetap tidak memandang orang itu.

Kembali kipas itu menotok lengannya, katanya sambil tertawa: “Sungguh malang, mengharapkan pandangan mesra si cantik sekejap saja tak dapat kuperoleh.”

Sementara itu Li Bok-chiu, Hoat-ong dan Yo Ko sudah cukup jauh di depan, tampaknya sukar untuk menyusul mereka. Baru sekarang Siao-liong-li berpaling, kiranya orang yang menghadangnya dengan memegang kipas ini adalah pangeran Hotu, Biasanya Siao-liong-li memang tidak pernah unjuk rasa marah atau gembira. Kecuali cinta kasihnya kepada Yo Ko, urusan lain sama sekali tak pernah terpikir olehnya. Karena itu ia pun tak ambil pusing melihat Hotu bicara dengan cengar-cengir, ia hanya berkata dengan tak acuh:

“Aku sedang ada urusan penting, masa kau tidak melihatnya?”

Melihat sikap si nona ramah tamah tanpa marah, Hotu girang, segera dia berkata: “Semenjak berpisah, betapa rindu hatiku akan dikau. Siau-ong ingin bicara sesuatu, entah nona sudi mendengarkan tidak?”

Tetapi Siao-liong-li sedang menguatirkan Yo Ko serta bayi itu, dia hanya mendengus dan tak menggubrisnya. Sekali mengegos segera ia menyelinap lewat samping orang. Ketika pertama Hotu mengunjungi Cong-lam-san meminang Siao-liong-li, sebelum bertemu muka si nona dia sudah lari ter-birit-birit karena diusir oleh gerombolan tawon, hal ini sungguh membikin pamornya merosot habis-habisan. Kemudian di perjamuan Eng-hiong-yan dia melihat sendiri wajah Siao-liong-li yang cantik molek, dia benar-benar kesengsem dan rindu kasmaran siang dan malam. Sekarang kebetulan dapat berjumpa berhadapan sendirian, mana dia mau membiarkan si nona pergi begitu saja tanpa mengutarakan isi hatinya yang rindu dendam itu.

BegituIah ketika Siao-liong-li hendak lewat, cepat dia pentangkan kedua tangannya untuk menghadang, katanya sambil tertawa:

“Siau-ong benar-benar ingin mengutarakan cinta pada nona, masa nona sama sekali tidak sudi mendengarkan?”

Siao-liong-li menjadi aseran melihat orang merecokinya. “Sret!t” segera ia menusuk ke kiri dan mendadak berputar ke kanan, kontan pundak kanan Hotu berlumuran darah.

Sambil menahan sakit Hotu balas menyerang satu kali sambil berkata: “Mengapa engkau setega ini?”

Kembali Siao-liong-li hanya mendengus, pedangnya berputar lagi, sekali ini menusuk pinggang lawan. Melihat tipu serangan si nona cukup keji, tapi air mukanya tetap tenang dan ramah tamah, Hotu menyangka orang sengaja hendak menguji ketulusan cintanya, karena itu ia sengaja menurunkan kipasnya dan tidak balas menyerang, tapi masih menghadang di depan si nona. Kembali Siao-liong-li menusuk, namun Hotu malah membusungkan dada menyambut serangan itu, dia pikir si nona pasti tidak akan membunuhnya. Keruan Siao-liong-li malah menjadi melengak dan tidak tahu apa maksud orang.

“Crett!” sedikit dia miringkan ujung pedang, bahu Hotu sudah tertusuk pedangnya.

Tusukan ini cukup parah, seketika Hotu merasa kesakitan luar biasa, tetapi hatinya malah girang, pikirnya: “Nyata dia memang sengaja menguji ketulusan hatiku, karena itu dia tidak menusuk dadaku.”

Sementara itu Siao-liong-li lantas menggeser cepat ke belakang Hotu, kuatir digoda lagi, pedangnya terus membalik lagi menusuk, sedangkan kakinya melangkah tanpa berhenti. Dari suara angin yang keras itu Hotu merasa tusukan si nona sekali ini tampaknya bukan hanya menguji saja, tetapi bila kena bukan mustahil jiwa akan melayang, maka cepat dia mendoyongkan tubuh ke belakang. Waktu ia berdiri tegak lagi, ternyata Siao-liong-li sudah kabur jauh dan sukar disusul.

Walau pun pedang Siao-liong-li berhasil menusuk, tapi pikirannya lagi tertuju kepada keselamatan Yo Ko, apa yang terjadi dengan Hotu sama sekali tak diperhatikan olehnya. Dia melihat Li Bok-chiu bertiga berlari menuju ke utara, maka dia pun cepat memburu ke jurusan sana. Sementara itu suasana dalam kota sedang ribut, di mana-mana pasukan dikerahkan untuk menangkap mata-mata musuh. Tetapi Siao-liong-li tidak ambil pusing semua itu, ia terus berlari ke pintu benteng.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar