Sabtu, 04 September 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 108

Siao-liong-li melengak. “Apa katamu?” ia menegas karena belum paham apa maksudnya.

Dengan suara halus Oey Yong menjelaskan “Cintamu pada Ko-ji melebihi jiwamu sendiri, bukan? Asalkan dia selamat, meski pun kau sendiri akan mati kau rela dan gembira, bukan?”

Ucapan Oey Yong dengan jitu mengenai lubuk hati Siao-liong-li, nona itu mengangguk dan berkata:

“Tentu saja!”

“Sebab serupa kau, aku pun cinta kepada suamiku,” ucap Oey Yong dengan tersenyum hambar. “Kau tidak punya anak sehingga tidak tahu perasaan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya sesungguhnya tidak kurang dari pada kasih sayang antara suami isteri. Aku cuma minta kau melindungi keselamatan suami dan putriku, selebihnya apa lagi yang kuharapkan?”

Siao-liong-li berpikir sejenak, belum lagi ia menjawab Oey Yong telah berkata: “Kalau kau mau bergabung dengan Ko-ji tentu tidak sukar mengalahkan si gundul Kim-lun Hoat-ong. Sudah beberapa kali Ko-ji menolong jiwa kami suami isteri, masa sekali saja aku tak dapat menolong jiwanya? Kuda merah itu sehari dapat berlari ratusan li, tidak sampai tiga hari tentu dapat mencapai Coat-ceng-kok. Sekarang ingin kukatakan kepadamu, Kiu Jian-li dan Yo Khong semuanya mati di tanganku dan tidak ada sangkut pautnya dengan Kwe-tayhiap. Jika kepalaku sudah diserahkan, meski pun masih belum puas tentu juga Kiu Jian-jio akan memberikan obatnya kepada Ko-ji. Selanjutnya semoga kalian berdua dapat berjuang bagi negara dan bangsa, andai kata tidak dapat dan ingin mengasingkan diri dipegunungan sunyi juga aku merasa berterima kasih.”

Cukup tegas ucapan Oey Yong, kecuali itu memang tiada jalan lain lagi.


KUNJUNGAN BALASAN

Beberapa hari terakhir ini Siao-liong-li selalu memikirkan cara bagaimana membunuh Kwe Ceng dan Oey Yong untuk menyelamatkan jiwa Yo Ko, tapi sekarang hal itu terucap dari mulut Oey Yong sendiri, ia malah merasa tidak enak. Ber-ulang-ulang ia menggeleng dan berkata:

“Tidak, tidak bisa!”

Selagi Oey Yong hendak membujuknya lebih lanjut, tiba-tiba terdengar Kwe Hu berseru di luar kamar

“lbu, ibu! Engkau di mana?” suaranya kedengaran gelisah dan bingung.

Oey Yong terkejut dan cepat ia menjawab: “Ada urusan apa, Hu-ji?”

Kwe Hu mendorong pintu dan melangkah masuk, tanpa pedulikan hadirnya Siao-liong-li, ia langsung menubruk dalam pelukan sang ibu dan berseru:

“lbu, kedua kakak Bu telah...” mendadak ia menangis dan tidak dapat melanjutkan.

“Ada apa lagi?” tanya Oey Yong sambil mengerutkan dahi.

“Mereka... mereka kakak beradik keluar... keluar benteng untuk berke... berkelahi,” tutur Kwe Hu dengan ter-sendat.

“Berkelahi apa?!” bentak Oey Yong dengan bengis saking marahnya. “Maksudmu mereka kakak beradik hendak saling berhantam?”

Jarang sekali Kwe Hu melihat ibunya marah, dia menjadi takut, jawabnya dengan suara gemetar:

“Ya... ya, aku minta mereka jangan berkelahi, tetapi tidak mau menurut, katanya hendak berkelahi mati-matian. Mereka menyatakan hanya akan pulang seorang saja. Siapa yang kalah, andaikan tidak mati juga takkan pulang Iagi untuk menemuiku.”

Oey Yong tambah marah. Dia pikir musuh berada di depan mata, jiwa segenap penduduk kota berada di ujung tanduk, tapi kedua saudara Bu itu masih sempat saling bunuh untuk berebut seorang nona. Saking marahnya hingga mengganggu kandungannya yang sudah besar itu, seketika keringat dingin memenuhi dahinya.

“Tentu kau lagi yang mengacau,” kata Oey Yong dengan suara berat. “Coba kau ceritakan yang jelas, apa yang telah kau lakukan, sedikit pun tidak boleh dusta.”

Kwe Hu melirik sekejap ke arah Siao-Iiong-!i, mukanya berubah merah dan merasa ragu untuk bicara. Siao-liong-li sendiri sedang memikirkan Yo Ko dan tiada minat untuk mendengarkan cerita tentang saling hantamnya kedua saudara Bu, segera dia mohon diri lantas menuju ke kamar Yo Ko, sepanjang jalan dia terus merenungkan apa yang diuraikan Oey Yong tadi.

Sesudah Siao-liong-li pergi barulah Kwe Hu berkata: “Ibu, sesudah kedua kakak Bu gagal membunuh Kubilai dan tertawan musuh sehingga membikin susah ayah, semua itu adalah kesalahan anak. Jika persoalan ini tidak aku tuturkan, bukankah sia-sia saja kasih sayang ayah-ibu padaku?”

BegituIah dia lantas bercerita tentang persaingan kedua saudara Bu kepadanya dan cara bagaimana dia menyuruh mereka untuk membunuh musuh sebagai syarat utama supaya bisa mendapatkan dirinya, tetapi akibatnya kedua pemuda itu tertawan musuh. Oey Yong tahu anak perempuannya ini sejak kecil terlalu dimanjakan, meski berbuat salah juga tidak mau mengaku salah. Maka ia pun tidak mengungkit kejadian yang sudah lalu, ia hanya berkata:

“Mereka sudah pulang dengan selamat, mengapa keluar benteng lagi untuk berkelahi?”

“Hal ini adalah salahmu, Ibu,” ujar Kwe Hu. “Karena engkau mengatakan mereka adalah murid yang goblok.”

“Kapan pernah kukatakan demikian?” jawab Oey Yong melengak.

“Menurut cerita mereka, tadi Hotu datang menyampaikan surat tantangan. Ibu menyuruh mereka menangkap Hotu, tapi Hiat-to mereka malah kena ditotok dan engkau mengomeli mereka murid goblok.”



Oey Yong menghela napas, katanya: “Kepandaian mereka memang kalah tinggi, apa mau dikata lagi? ‘Murid goblok’ adalah olok-olok yang diucapkan Hotu.”

“Pantas,” ucap Kwe Hu “lbu tidak membalas olok-olok Hotu, itu berarti mengakui kebenaran ucapannya, maka kedua saudara Bu merasa penasaran, keduanya bertengkar sendiri dan saling menyalahkan, yang satu bilang kurang cepat menawan Hotu, yang lain menuduh sang kakak merintangi pandangannya sehingga sukar bertindak. Dari ribut mulut akhirnya mereka meloIos senjata. Aku mengomeli mereka, kalau perbuatan mereka dilihat orang dan dilaporkan kepada ayah, kuancam akan menghajar mereka. Karena itu mereka menyatakan akan berkelahi di luar benteng saja.”

“Banyak persoalan penting yang harus kuselesaikan, urusan mereka tak dapat kupikirkan lagi, mereka suka ribut, biarkan saja,” ujar Oey Yong.

“Tapi... tapi kalau terjadi apa-apa di antara mereka, lantas bagaimana, ibu?” kata Kwe Hu sambil merangkul pundak sang ibu.

“Kalau mereka terluka di medan perang barulah perlu dikuatirkan, sekarang mereka saling berhantam antara saudara sendiri, biar mampus juga syukur,” Oey Yong berkata dengan marah.

Melihat sikap sang ibu yang amat bengis berbeda sekali dengan biasanya yang sangat memanjakan dirinya, Kwe Hu tidak berani bicara lagi, ia menangis dan berlari pergi. Sementara itu fajar sudah tiba. Oey Yong duduk sendiri, meski dalam hati sangat gemas terhadap perbuatan kedua saudara Bu, tetapi mengingat kedua anak muda itu dibesarkannya sejak kecil, betapa pun ia merasa kuatir. Dia teringat pula bencana yang bakal menimpa, tanpa terasa dia mencucurkan air mata, Kemudian ia pun teringat kepada keadaan Kwe Ceng, cepat ia menuju kamar sang suami untuk menjenguknya.

Kwe Ceng sedang duduk semadi di atas ranjang, biar pun mukanya rada pucat namun napasnya teratur, tampaknya sesudah istirahat beberapa hari lagi dapatlah sehat kembali. Perlahan-lahan Kwe Ceng membuka mata. Ketika melihat sang isteri ada tanda bekas air mata, akan tetapi tersenyum simpul, dia berkata:

“Yong-ji, kau tahu lukaku tidak berhalangan, kenapa kau berkuatir? Kukira kau sendiri yang perlu mengaso”

“Ya, beberapa hari terakhir ini perutku terasa mengencang, agaknya putera atau puterimu segera akan berjumpa ayahnya,” ujar Oey Yong dengan tertawa.

Supaya Kwe Ceng tidak kuatir, maka soal Hotu datang menyampaikan surat tantangan dan kepergian kedua saudara Bu untuk berkelahi itu sama sekali tak diceritakannya.

“Hendaklah kau suruh kedua saudara Bu perketat patroli di atas benteng. Musuh tahu aku sedang terluka, mungkin kesempatan ini akan digunakan untuk menyerang,” ujar Kwe Ceng.

Oey Yong mengiakan. Lalu Kwe Ceng bertanya pula tentang keadaan Yo Ko. Belum lagi Oey Yong menjawab, terdengar suara tindakan orang di luar, suara Yo Ko menanggapi.

“Kwe-pepek, aku hanya terluka luar saja, sesudah minum obat pemberian Kwe-pekbo, kini sudah sehat kembali.” Sesudah itu pun melangkah masuk dan berkata, “Baru saja kuperiksa keadaan penjagaan di atas benteng, tampaknya semangat tempur segenap saudara kita berkobar-kobar, hanya kedua saudara...”

Sampai di sini mendadak Oey Yong berdehem dan mengedipinya. Yo Ko dapat menerima arti isyarat itu, ia pun cepat menyambung:

“kedua saudara Bu menyatakan bahwa paman terluka demi menolong jiwa mereka, kalau musuh berani menyatron ke sini, mereka pasti akan bertempur mati-matian untuk membalas budi kebaikan paman.”

“Aih, sesudah peristiwa itu tentunya mereka pun bertambah pengalaman sedikit dan tidak terlalu meremehkan orang lain,” kata Kwe Ceng.

Tiba-tiba Yo Ko bertanya: “Kwe-pekbo, apakah Kokoh tidak datang ke sini?”

“Tadi kami bicara sebentar, mungkin ia kembali ke kamarnya untuk mengaso,” jawab Oey Yong. “Sejak kau terluka dia terus menunggui kau tanpa tidur.”

Yo Ko pikir Siao-liong-li tentu hendak memberi-tahu kepadanya apa yang dibicarakan sang Kokoh dengan Oey Yong. Boleh jadi kembalinya Siao-liong-li tadi kebetulan dirinya sedang pergi sehingga tidak bertemu.

Rupanya sesudah berkumpul beberapa hari dengan Kwe Ceng dan Oey Yong, Yo Ko merasa suami-isteri itu benar-benar berjuang bagi negara dan bangsa tanpa memikirkan kepentingan pribadi, maka hati Yo Ko menjadi sangat terharu, apa lagi setelah kejadian di tengah pasukan Mongol itu, di mana Kwe Ceng menyelamatkannya dengan mati-matian, maka maksud hendak membunuh Kwe Ceng seketika dibuang seluruhnya dan berbalik bertekad akan membalas budi kebaikan Kwe Ceng dengan segenap tenaganya.

Dia tahu racun bunga cinta dalam tubuhnya akan bekerja tujuh hari lagi, tapi dia sengaja melupakan dan sedapatnya ingin berbuat sesuatu yang baik dalam tujuh hari ini agar tidak sia-sia menjadi manusia. Karena itulah begitu dia sadar kembali dan merasa sehat, segera dia ikut meronda akan kemungkinan serbuan musuh. Begitulah dia menjadi kuatir akan diri Siao-liong-li, segera dia hendak pergi mencarinya. Pada saat itulah di atas wuwungan rumah tiba-tiba seseorang bergelak tertawa dengan suaranya yang nyaring menggetar telinga, menyusul terdengar suara benturan logam yang mendengking, jelas Kim-lun Hoat-ong telah tiba.

Air muka Kwe Ceng berubah seketika, cepat dia tarik Oey Yong ke belakangnya. Dengan suara tertahan Oey Yong berkata:

“Engkoh Ceng, mana lebih penting, mempertahankan Siang-yang atau cinta kasih kita? Lebih penting keselamatanmu atau keselamatanku?”

“Benar, kepentingan negara lebih utama,” jawab Kwe Ceng sambil melepas pegangannya pada sang isteri.

Segera Oey Yong siapkan pentung bambu dan menghadang di ambang pintu. Ia menjadi ragu-ragu pula pada Yo Ko, anak muda ini entah akan ikut menghalau musuh atau justru berbalik menuntut balas dendam pribadi pada saat orang sedang terancam bahaya. Karena itulah meski dia berjaga di ambang pintu, tetapi pandangannya justru mengawasi gerak-gerik Yo Ko.

Tanya jawab singkat Kwe Ceng dan Oey Yong tadi ternyata bagaikan bunyi guntur yang menggelegar dalam pendengaran Yo Ko. Bahwa sesungguhnya dia sudah bertekad membantu Kwe Ceng hanya disebabkan dia terharu oleh budi luhur sang paman dan rela berkorban baginya. Tapi kini tiba-tiba didengarnya sang paman menyatakan: ‘Kepentingan negara lebih utama’, segera teringat pula kata-kata Kwe Ceng di luar Siang-yang kemarin yang menganjurkannya mengabdi bagi rakyat dan negara. Seketika pikiran Yo Ko terbuka dan paham arti semua ucapan itu.

Dilihatnya betapa besar kasih sayang paman dan bibinya itu, namun di saat menghadapi bahaya mereka tetap mengutamakan kepentingan negara dan bangsa. Sebaliknya dirinya senantiasa memikirkan sakit hati pribadi dan tak pernah melupakan cinta kasihnya dengan Siao-liong-li. Bilakah dirinya pernah ingat kepada kepentingan negara yang lebih utama dan penderitaan rakyat jelata di bawah keganasan musuh? Apa bila dibandingkan, maka dirinya sendiri sungguh rendah dan memalukan sekali.

Sesudah menginsafi semua itu, seketika lega dada pun lapang. Terngiang kembali ajaran Oey Yong di Tho-hoa-to dahulu yang mengutamakan pendidikan budi pekerti itu, semua itu kini menjadi amat jelas dan terang dalam benaknya, tanpa terasa ia menjadi malu, bangkit semangatnya. Maklumlah watak Yo Ko memang ekstrim, semenjak kecil kenyang siksa derita, tindak tanduknya sering rada nyentrik. Tetapi sesudah mendengar percakapan Oey Yong dan Kwe Ceng tadi, kepalanya seperti mendadak dikemplang, pikirannya menjadi terbuka, seketika dia memasuki hidup baru.

Meski apa yang dipikirnya itu hanya terjadi sekilas saja, namun Oey Yong sempat melihat perubahan air muka Yo Ko itu dari rasa bimbang menjadi malu, dari bersemangat berubah menjadi tenang, tapi entah apa yang dipikirkan anak muda itu.

“Jangan kuatir,” tiba-tiba Yo Ko mendesis kepada Oey Yong, mendadak ia bersuit nyaring dan menuju ke depan pintu dengan pedang terhunus. Dilihatnya Kim-lun Hoat-ong berdiri di atas rumah sambil memegang sepasang rodanya.

“Adik Yo, kau suka miring ke sana dan doyong ke sini, pagi merah sore hitam, bagus ya rasanya menjadi pengecut yang bolak-balik?” ejek Hoat-ong.

Di waktu biasa tentu Yo Ko akan marah mendengar ejekan itu, tetapi kini pikirannya sudah terang. Ia tidak gubris sindiran orang, dengan tertawa ia menjawab:

“Ucapanmu memang benar, Hoat-ong, entah mengapa aku menjadi kerasukan setan dan membantu Kwe Ceng lari ke sini. Begitu sampai di sini dia lantas menghilang entah ke mana dan tak dapat kuketemukan Iagi. Aku menjadi sangat menyesal, apakah kau tahu dia sembunyi di mana?”

Habis itu ia lantas melompat ke atas rumah dan berdiri tidak jauh di sebelah Hoat-ong. Dengan perasaan sangsi Kim-lun Hoat-ong melirik Yo Ko. Dia pikir anak muda ini banyak tipu akalnya, entah benar tidak ucapannya tadi. Dengan tertawa dia lantas bertanya:

“Dan bagaimana kalau dapat menemukan dia?”

“Segera kutusuk dengan pedangku ini,” jawab Yo Ko.

“Hm, kau berani menusuk dia?” jengek Hoat-ong.

“Siapa bilang menusuk dia?” ujar Yo Ko.

“Habis menusuk siapa?” Hoat-ong menegas dengan bingung.

“Srettt!” mendadak Kun-cu-kiam terhunus di tangan Yo Ko lntas menusuk iga kiri Hoat-ong dengan cepat luar biasa.

“Sudah tentu menusuk kau!” seru Yo Ko sekaligus.

Di tengah senda guraunya Yo Ko melancarkan serangan lihay, kalau saja Kim-lun Hoat-ong kurang tinggi kepandaiannya tentu nyawanya sudah melayang. Untung dia dapat bergerak dengan cepat, dalam keadaan bahaya dia kerahkan tenaga pada lengan kiri lantas menyampuk ke samping, dengan demikian ujung pedang Yo Ko dapat ditangkis, walau pun begitu tidak urung lengannya terluka, darah pun bercucuran. Meski sudah tahu Yo Ko banyak tipu akalnya, sama sekali Hoat-ong tidak menduga anak muda itu sekarang akan menyerangnya secara mendadak, segera roda emas pada tangan kanannya bergerak dan berturut-turut ia balas menyerang dua kali, berbareng itu roda perak di tangan kiri juga menghantam.

Yo Ko tidak gentar sedikit pun. Musuh menyerang tiga kali, kontan ia pun balas menusuk tiga kali, katanya sambil tertawa:

“Ketika di tengah pasukan Mongol kau melukai aku dengan rodamu, sekarang beruntung aku dapat membalas kau dengan satu kali tusukan, cuma ujung pedangku ini ada sesuatu yang aneh, kau tahu tidak?”

Dengan marah Hoat-ong melancarkan serangan gencar sambil bertanya: “Sesuatu yang aneh apa maksudmu?”

“Kau tahu pedangku ini kudapatkan dari Coat-ceng-kok tempat Kongsun Ci yang mahir menggunakan racun,” kata Yo Ko dengan berseri-seri. “Nah, kelak kau boleh mencari dia untuk membikin perhitungan.”

Hoat-ong terkejut. Ia menjadi sangsi apakah benar Kongsun Ci telah memoles racun pada ujung pedang. Karena bimbang hatinya, serangannya menjadi kendur. Padahal pedang Yo Ko sama sekali tidak berbisa. Dia teringat pada cara Oey Yong ketika menggertak lari Hotu dengan air teh, maka dia pun menirukan cara itu untuk mengacaukan pikiran musuh yang lihay ini.

Meski lukanya tidak terlalu parah, tetapi darah mengucur terus, seumpama pedang Yo Ko tidak berbisa, kalau darah keluar terlalu banyak tentu tenaganya akan lemah. Maka Kim-lun Hoat-ong lantas menyerang dengan lebih gencar agar bisa mengalahkan Yo Ko. Tetapi Yo Ko cukup cerdik. Ia bertahan dengan rapat sedangkan serangan roda Hoat-ong semakin dahsyat. Mendadak roda emasnya menghantam bagian atas ada pun roda peraknya menyabet dari samping. Merasa tidak sanggup menangkis, cepat-cepat Yo Ko melompat mundur.

Kesempatan itu segera digunakan Hoat-ong merobek kain baju buat membalut luka, tapi Yo Ko segera menubruk maju dan menyerang lagi, sedapatnya ia mengganggu Hoat-ong agar tak sempat mengurus lukanya. Begitulah beberapa kali Hoat-ong tidak berhasil membalut lukanya.

Tiba-tiba ia mendapat akal. Ketika Yo Ko dipaksa melompat mundur, ia sendiri lantas melompat mundur, menyusul menimpukkan roda emas mendesak Yo Ko supaya terpaksa menghindari lagi, dengan begitu jarak kedua orang bertambah jauh. Ketika Yo Ko memburu maju lagi, sekejap sudah dapat digunakan Hoat-ong membalut lukanya.

Pada saat itu di sebelah sana terdengar suara nyaring benturan senjata. Waktu Yo Ko memandang, dilihatnya Siao-liong-li sedang menandingi kerubutan Siau-siang-cu dan Nimo Singh. Meski kemarin pentung Siau-siang-cu sudah dirampas Yo Ko, tetapi sekarang dia memegang pentung yang serupa, hanya pentung ini entah berbisa atau tidak.

Yo Ko pikir Kwe Ceng dan Oey Yong berada dalam kamar, kalau diketahui Kim-lun Hoat-ong tentu urusan bisa runyam. Ia pikir Hoat-ong harus dipancing pergi sejauhnya, cuma tindakan ini harus dilakukan secara wajar tanpa menimbulkan curiga musuh. Karena itulah ia sengaja berseru:

“Jangan kuatir, Kokoh, akan kubantu kau!” Habis ini dia sengaja meninggalkan Kim-lun Hoat-ong dan melompat ke sana, begitu sampai di belakang Nimo Singh segera pedangnya menusuk punggung musuh.

Setelah dilukai Yo Ko tentu saja hati Kim-lun Hoat-ong sangat marah, kalau orang lain tentu akan menguber Yo Ko untuk membalas dendam. Namun dia memang seorang pemimpin besar, setiap tindak tanduknya dipikirkan secara panjang. Dia pikir tujuan utama kedatangannya adalah membunuh Kwe Ceng, sakit hati pada anak muda nakal yang telah melukainya ini biarlah kubalas kelak. Begitulah ia lantas berteriak keras-keras:

“Wahai, Kwe Ceng? Ada tamu datang dari jauh, mengapa kau tidak sudi menemuinya?”

Dia berteriak beberapa kali namun tetap tiada jawaban, hanya dari sebelah lain ada suara orang bertempur, yaitu kedua muridnya, Darba dan Hotu, sedang mengeroyok Cu Cu-Iiu. Dilihatnya pertempuran antara Siau-siang-cu dan Nimo Singh melawan Yo Ko serta Siao-liong-li juga sukar ditentukan kalah menang dalam waktu singkat, sementara itu di bawah rumah sudah ramai orang banyak, agaknya pasukan penjaga benteng mendengar kedatangan musuh, maka dikerahkan untuk menangkap musuh penyelundup.

Biar pun tidak gentar terhadap prajurit yang tidak mahir ilmu silat, tapi kalau berjumlah banyak repot juga menghadapinya. Segera Hoat-ong berteriak kembali:

“Wahai Kwe ceng, percumalah nama kepahlawananmu yang termashur selama ini, mengapa sekarang kau menjadi kura-kura yang mengerutkan kepala?!”

Dia ber-teriak dengan tujuan memancing keluar Kwe Ceng, akan tetapi Kwe Ceng tetap tidak mau muncul. Hoat-ong mendapat akal keji. Ia melompat turun ke pekarangan belakang, di situ ada kayu bakar yang mudah dijilat api. Segera dia keluarkan alat ketikan api lalu membakar kayu dan benda-benda lain yang mudah terbakar, dengan gesit dia lari kian kemari, berturut-turut menyalakan api di beberapa tempat, lalu ia melompat lagi ke atas rumah. Ia pikir kalau api sudah berkobar masa Kwe Ceng takkan nongol?

Biar pun Yo Ko sedang menempur Siau-siang-cu berdua, pandangannya tak pernah meninggalkan gerak-gerik Kim-lun Hoat-ong. Ketika melihat orang mulai membakar rumah bagian utara dan selatan, tempat berdiam Kwe Ceng. Ia menjadi kuatir, karena sedikit lengah hampir saja dadanya tersabet ular baja Nimo Singh, syukur pada detik terakhir ia sempat menarik dadanya sedikit hingga terhindar dari maut.

Yo Ko berkeringat dingin dan bersyukur dapat menyelamatkan diri. Segera terpikir olehnya Kwe-pepeknya terluka parah dan sang bibi sedang menantikan kelahiran, di tengah api yang berkobar itu, kalau tidak lekas lari tentu akan terkurung oleh api. Tapi kalau lari keluar tentu akan dipergoki oleh Kim-lun Hoat-ong.

Terpaksa dia meninggalkan Siao-liong-li menghadapi kedua lawan tangguh. Lebih dahuIu ia menyerang Siau-siang-cu, habis itu ia terus melompat turun dan maju ke tengah asap api untuk mencari Kwe Ceng. Dilihatnya Oey Yong duduk di tepi ranjang menjagai Kwe ceng, asap tebal bergulung-gulung merembes ke dalam kamar. Kwe Ceng memejamkan mata sedang menghimpun tenaga. Sepasang alis Oey Yong berkerut rapat, tapi air mukanya tampak tenang-tenang saja. Ia tersenyum ketika melihat Yo Ko. Hati Yo Ko rada lega melihat kedua orang itu tidak merasa cemas atau gugup, segera dia berkata kepada Oey Yong:

“Musuh akan kupancing pergi, harap bibi dapat memindahkan paman ke tempat yang aman.”

Habis berkata perlahan ia menanggalkan kopiah Kwe Ceng, cepat ia berlari keluar. Oey Yong tercengang dan tidak paham tingkah itu, tapi ia tahu anak muda itu banyak tipu akalnya. Dilihatnya api sudah makin berkobar mendekati kamar, cepat ia memayang Kwe Ceng dan berkata:

“Marilah kita pindah ketempat lain.”

Tapi baru saja dia mengangkat sang suami, mendadak perutnya terasa sakit sekali, tanpa tertahan dia mengaduh dan duduk kembali di tepi ranjang. Diam-diam dia mendongkol terhadap jabang bayi yang berada dalam kandungannya. Sungguh brengsek, tidak lambat tidak cepat, justru hendak lahir pada saat segenting ini, bukankah sengaja mau bikin celaka kedua orang tua? Padahal hari lahir sebenarnya masih beberapa hari lagi, tetapi lantaran beberapa hari terakhir ini dia terus sibuk sehingga menggoncangkan janin dalam kandungannya itu lahir terlebih cepat.

Begitulah Yo Ko keluar kamar Kwe Ceng. Dilihatnya para prajurit sedang berteriak-teriak dan sibuk memadamkan api, ada pula yang memanah ke atas rumah dan ada pula yang memutar senjata berjaga di bawah rumah. Ia incar seorang perwira muda yang sedang memanah, mendadak ia tutuk Hiat-to perwira itu, menyusul kopiah Kwe Ceng dipasangkan pada kepala perwira, kemudian dia menggendongnya terus melompat ke atas rumah.

Pada saat itu Siau-siang-cu dan Nimo Singn yang mengerubut Siao-liong-li serta Darba dan Hotu yang mengeroyok Cu Cu-Iiu sudah terlihat unggul, sedangkan Kim-lun Hoat-ong sedang mempermainkan Kwe Hu dengan ancaman sepasang rodanya. Ia sengaja tidak mencelakai jiwa nona itu, hanya tepian roda yang tajam sengaja mengiris kian kemari di depan wajah Kwe Hu, jaraknya hanya satu-dua senti meter saja, apa bila tersenggol pasti rusaklah muka Kwe Hu yang cantik itu, dengan cara begitu berulang Kim-lun Koat-ong membentak agar nona itu mengaku di mana ayah-bundanya bersembunyi.

Rambut Kwe Hu tampak semerawut, pedangnya sudah kutung sebagian, namun ia masih bertahan dengan nekatnya. Dia anggap tidak mendengar semua pertanyaan Kim-lun Hoat-ong. Selagi Kim-lun Hoat-ong berusaha memaksa pengakuan Kwe Hu, sekonyong-konyong dia melihat Yo Ko berlari cepat ke barat-laut sambil menggendong seseorang. Ahh, orang yang digendongnya itu tidak bergerak, tentu Kwe Ceng adanya. Sambil bersiul panjang Hoat-ong meninggalkan Kwe Hu dan mengudak ke sana.

Melihat hal itu, Siau-siang-cu, Nimo Singh, Darba dan Hotu berempat meninggalkan lawan dan ikut mengejar. Cu Cu-liu menguatirkan Yo Ko yang sendirian itu pasti bukan tandingan musuh sebanyak itu, cepat dia pun menyusul ke sana untuk membantu Yo Ko dan melindungi Kwe Ceng.

Pada saat melompat ke atas rumah dan lewat di samping Siao-liong-li, Yo Ko sempat mengedipi Siao-liong-li disertai senyuman yang aneh penuh arti. Siao-liong-li tahu anak muda itu sedang ‘main gila’ lagi, tapi tidak tahu tipu daya apa yang tengah dilakukannya. Tampaknya kekuatan musuh terlampau besar, maka ia pun bermaksud mengejar ke sana untuk membantunya. Tapi pada saat itu tiba-tiba di bawah rumah ada suara tangisan jabang bayi.

“He, ibu telah melahirkan adik!” seru Kwe Hu dengan girang sambil melompat turun.

Siao-liong-li menjadi tertarik dan ingin tahu orang melahirkan, ia yakin isyarat Yo Ko yang banyak tipu akalnya itu pasti mempunyai makna tertentu, maka segera ia pun ikut ke dalam rumah untuk melihat anak yang dilahirkan Oey Yong.

**** 108 ****







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar