Sabtu, 04 September 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 107

Mendadak terdengar bunyi mendesis, dari ujung pentung tersembur keluar asap, kontan sepuluh prajurit Mongol yang paling depan roboh terguIing. Kiranya tanpa sengaja Yo Ko telah menyentuh pesawat rahasianya dan menyemprotkan asap berbisa yang tersimpan di dalamnya. Tercengang juga Yo Ko, tapi segera ia pun sadar apa artinya itu, cepat ia gendong Kwe Ceng kemudian melangkah ke depan. Dilihatnya pasukan musuh membanjir tiba dari kanan kiri, cepat dia tekan pesawat rahasia pentung itu, asap hitam tersembul keluar lagi dan berpuluh prajurit musuh kembali terguling.

Meski perwira dan prajurit Mongol pada umumnya sangat tangkas di medan perang, tetapi rata-rata percaya pada tahayul, serentak mereka ber-teiak-teriak :

“Awas, dia bisa ilmu sihir, lekas menyingkir. Lekas...!”

Dengan leluasa dapatlah Yo Ko menerjang lagi ke depan, ketika ia bersuit, kudanya yang kurus mendekatinya. Yo Ko sendiri sudah lelah, dia taruh Kwe Ceng di atas kuda, ia sendiri tak sanggup lagi melompat, ia hanya menepuk perlahan pantat kuda itu dan berkata:

“Kuda baik, lekas lari!”

Kuda itu sangat cerdik. Dahulu Yo Ko sudah menyelamatkan jiwanya, maka dia pun sangat cinta kepada majikannya, sebelum sang majikan naik di punggungnya, dia hanya mengangkat kepala dan meringkik saja, betapa pun tidak mau berlari dengan cepat. Karena keadaan amat gawat, pasukan Mongol sedang mengejar datang, terpaksa Yo Ko menggunakan pentungnya untuk menjojoh pantat kuda agar segera berlari.

“Lekas kabur, kuda baik!” serunya.

Karena ulahnya ini, tanpa terduga totokan pentung itu rada menceng sehingga mengenai kaki Kwe Ceng. Sebetulnya Kwe Ceng dalam keadaan hampir tak sadar, totokan pentung itu membuatnya membuka mata, segera dia tarik Yo Ko ke atas kuda. Begitu merasakan sang majikan sudah berada di punggungnya, kuda itu meringkik girang dan membedal secepat terbang.

Terdengar suara tiupan tanduk riuh rendah di sana sini, pasukan Mongol mengejar dengan kencang. Segera Kwe Ceng bersuit, kuda merahnya berlari mendekati kuda kurus lalu menggosokkan moncongnya pada tubuh Kwe Ceng.

Yo Ko tahu kuda sendiri itu betapa pun tak dapat menandingi kecepatan kuda merah Kwe Ceng, sementara itu pasukan Mongol sudah melepaskan panah dari belakang. Cepat ia merangkul Kwe Ceng dan sekuatnya melompat ke atas kuda merah. Pada saat itu juga terdengar suara mendengung di belakang, roda emas Hoat-ong menyambar. Sedih juga Yo Ko. Ia tahu si pandai besi she Pang jelas telah menjadi korban keganasan Kim-lun Hoat-ong.

Dalam pada itu roda musuh semakin mendekat. Dia berusaha mendekam di atas kuda dengan harapan roda itu hanya menyambar lewat di atas tubuhnya, tapi dari suara mendengung itu kedengaran berada di bagian bawah, agaknya sasaran roda itu adalah kaki kuda. Serangan Kim-lun Hoat-ong ini sungguh keji. Sesudah memukul mati Pang Bik-hong tadi, waktu ia berdiri, dilihatnya Kwe Ceng dan Yo Ko menyemplak kuda, untuk mengubernya jelas sudah tak keburu lagi.

Segera dia mengumpulkan tenaga, kemudian menyambitkan roda emasnya, yang diarah adalah kaki kuda. Dia pikir andaikan Yo Ko atau Kwe Ceng yang diarah, tentu korbannya akan tetap dibawa lari oleh kuda itu, hanya jika kaki kuda tertebas patah barulah maksud tujuannya akan tercapai.

Begitulah ketika mendengar roda musuh semakin mendekat, terpaksa Yo Ko membalikkan pedang ke belakang untuk menangkis. Ia menyadari tenaga sendiri telah lemah, tangkisan itu tetap sukar menahan roda musuh, soalnya sudah kepepet sehingga dia hanya berbuat sebisanya saja. Tampaknya roda itu makin mendekat sehingga tinggal satu meteran saja dari kaki kuda, suara mendengungnya terdengar mengejutkan. Yo Ko coba mengacungkan pedangnya ke bawah untuk melindungi kaki kuda, namun siapa duga kuda merah itu seperti sudah keranjingan setan saja, larinya semakin kencang, sekejap kemudian jarak roda dan kaki itu tetap semeteran dan tidak bertambah dekat.
Sungguh girang Yo Ko tak terkirakan. Ia tahu sambaran roda emas musuh makin lama tentu semakin lemah. Benar juga, jarak roda dengan kaki kuda bertambah jauh, kini sudah ada dua meteran, habis itu lantas tiga meter, empat meter dan semakin jauh tertinggal di belakang.

“Trangg...!” akhirnya roda emas itu jatuh ke tanah.

Selagi bergirang, Yo Ko mendengar suara ringkikan kuda, waktu ia menoleh ke belakang, kudanya sendiri sudah terkapar dengan panah menancap di perut. Hati Yo Ko menjadi pedih dan tanpa terasa mencucurkan air mata mengingat jasa kuda kurus itu.

Dalam pada itu kuda merah masih terus membedal secepat terbang, dalam sekejap pasukan Mongol sudah jauh tertinggal di belakang. Sambil merangkul tubuh Kwe Ceng, kemudian Yo Ko bertanya:

“Bagaimana keadaanmu Kwe-pepek?”

Kwe Ceng tidak menjawab, hanya bersuara lemah sekali. Sewaktu Yo Ko memeriksa pernapasannya, terasa cukap keras, agaknya sementara ini tidak menjadi soal, hatinya lega dan ia sendiri malah pingsan. Entah berapa lama Yo Ko mendekap di atas kuda dalam keadaan lelap. Ketika mendadak dilihatnya di depan beribu-ribu prajurit musuh menghadang pula hendak menangkap Kwe Ceng, segera dia memutar pedangnya sambil berteriak-teriak:

“Jangan mencelakai paman Kwe!”

Ia memutar pedangnya serabutan dan mendadak pandangannya menjadi samar-samar, di sana-sini banyak wajah orang yang tengah memperhatikannya. Waktu ia mengawasi lebih jelas, tiba-tiba sebuah wajah yang sangat dikenal tampak tersenyum padanya. Siapa lagi dia kalau bukan Siao-liong-li! Yo Ko merasa bagai dalam mimpi, serunya:

“He, Kokoh, engkau juga berada di sini? Lekas lari, jangan pikirkan diriku! Kwe-pepek, mana Kwe-pepek?”

“Tenanglah, Ko-ji, kau sudah pulang, Kwe-pepekmu selamat, jangan kuatir,” kata Siao-liong-li dengan suara lembut.

Lega hati Yo Ko mendengar keterangan itu. Baru sekarang ia merasakan tubuhnya lemas lunglai, ruas tulangnya seolah-olah terlepas semua, segera ia pejamkan mata.

Didengarnya suara Oey Yong berkata: “Dia sudah siuman dan tidak berhalangan lagi, engkau mengawasi dia di sini.”



Terdengar Siao-liong-li mengiyakan, lalu Oey Yong melangkah pergi. Tapi sebelum keluar kamar, tiba-tiba saja terdengar suara kresek di atap rumah. Air muka Oey Yong berubah, sekali ayun tangannya meniup padam api lilin.

Yo Ko juga kaget dan cepat duduk. Dia cuma terluka luar lantaran terlampau banyak mengeluarkan tenaga pula terlalu Iama daIam pertempuran, sebab itulah ia jatuh pingsan. Akan tetapi setelah istirahat sekian lama, lagi pula Oey Yong telah memberi obat mujarab buatan Tho-hoa-to, kini sebagian besar tenaganya sudah pulih, maka begitu mendengar suara mencurigakan segera ia bangkit hendak menghadapi musuh.

Tetapi dalam keadaan gelap Siao-liong-li sudah menghadang di depannya dengan pedang terhunus, desisnya kepada Yo Ko:

“Jangan bergerak, Ko-ji, kujaga kau di sini!”

Dalam pada itu terdengar suara gelak tawa seseorang di atas rumah, katanya kemudian:

“Kedatanganku adalah untuk menyampaikan surat, tak kuduga jika adat menerima tamu kalian adalah dalam keadaan gelap gulita.”

Dari suaranya orang ini adalah murid Kim-lun Hoat-ong, yakni pangeran Hotu. “Menurut adat istiadat bangsa kami, menerima tamu yang terhormat harus di tempat yang terang, tapi untuk menghadapi tamu yang suka main sembunyi paling baik dilakukan pada malam gelap gulita,” jawab Oey Yong.

Seketika Hotu tidak mampu berdebat lagi, perlahan dia melompat turun ke pelataran dan berseru:

“Sepucuk surat dihaturkan kepada Kwe-tayhiap.”

Oey Yong membuka pintu kamar dan menjawab: “Baiklah, silakan masuk!”

Namun Hotu ragu-ragu karena kamar itu gelap gulita. Ia berdiri di luar kamar dan berkata:

“lni suratnya, harap diterima saja!”

“Kau mengaku sebagai tamu, mengapa tidak mau masuk kemari?” tanya Oey Yong.

“Lelaki sejati tak sudi tersudut di tempat berbahaya, perlu waspada kemungkinan dijebak,” ujar Hotu.

“Huh, masa ada laki-laki sejati yang mengukur orang lain dengan jiwa rendah seorang pengecut?” jengek Oey Yong.

Muka Hotu menjadi merah, diam-diam dia mengakui ketajaman mulut Oey Yong, apa bila berdebat pasti bakal kalah, dari pada malu lebih baik mundur teratur saja. Maka dia tidak bicara lagi, dengan pandangan tajam ke arah pintu ia sodorkan surat.

Oey Yong menjulurkan pentung bambunya dan mendadak menotok muka orang. Keruan Hotu terkejut dan cepat dia melompat mundur, tahu-tahu tangannya terasa kosong, surat yang dipegangnya entah kabur ke mana! Kiranya ketika pentung menotok, berbareng Oey Yong memutar ujung pentung ke bawah untuk menyanggah surat yang disodorkan Hotu. Pada saat Hotu melompat mundur, surat itu seperti lengket di ujung pentung lantas cepat ditarik oleh Oey Yong. Soalnya dia sedang hamil tua dan tidak ingin menemui tamu, itulah dia tidak mau berhadapan dengan musuh.

Setelah terkejut dia berubah menjadi lesu, semangatnya yang menyala ketika memasuki Siang-yang seketika lenyap sebagian besar menghadapi kelihayan Oey Yong itu, segera ia berseru:

“Surat sudah kuserahkan, sampai bertemu petang besok!”

Diam-diam Oey Yong mendongkol akan kekurang-ajaran orang yang berani datang dan pergi sesukanya di kota Siang-yang ini. Mendadak ia ambil poci teh yang terletak di atas meja, air teh yang masih panas itu dipancurkan ke sana. Sebenarnya sejak tadi Hotu sudah siap siaga menghadapi segala kemungkinan kalau ada senjata rahasia menyambar keluar dari dalam kamar, akan tetapi pancuran air teh panas datangnya tanpa suara apa-apa, tiada suara mendenging seperti senjata rahasia tajam pada umumnya, maka ketika dia mengetahui apa yang terjadi, tahu-tahu leher, dada dan lengannya sudah basah kuyup. Dia menjerit terkejut dan cepat mengegos ke samping.

Namun Oey Yong telah berdiri di pinggir pintu sebelum Hotu sempat berdiri tegak. Cepat pentung bambunya menjulur ke depan dengan gaya ‘menjegal’ dari Pak-kau-pang-hoat (ilmu permainan pentung penggebuk anjing).

“Plokk!” ia sabet kaki Hotu hingga pangeran Mongol itu jatuh terjungkal.

Cepat Hotu melompat bangun, tapi gaya menjegal pentung Oey Yong masih terus bekerja dengan cepat, belum lagi dia sempat berdiri sudah dirobohkan lagi dan begitu seterusnya dia jatuh bangun hingga kepala pusing tujuh keliling. Sesungguhnya ilmu silat Hotu tidaklah rendah, kalau bertempur benar-benar dengan Oey Yong rasanya takkan dirobohkan secara begitu mengenaskan walau pun kepandaiannya memang masih kalah tinggi dan di bawah pangcu kaum jembel yang sedang hamil tua ini.

Tapi lantaran mendadak dia disembur air teh panas, dia menyangka kena serangan obat berbisa yang sangat lihay dan bisa jadi jiwanya akan melayang, kalau tertahan lebih lama dan air racun itu bekerja, tidak mustahil badannya akan membusuk dan entah bagaimana dia akan tersiksa. Dalam keadaan kejut dan ragu itulah mendadak Oey Yong menyerangnya, bahkan pentungnya menyambar berturut-turut tanpa berhenti, sama sekali dia tidak sempat balas menyerang, keruan dalam kegelapan ia jatuh bangun hingga hidung bocor dan kepala benjut.

Sementara kedua saudara Bu sudah mendengar keributan itu dan memburu. Segera Oey Yong menyuruh mereka meringkus Hotu. Tiba-tiba saja Hotu mendapatkan akal. Dia tahu kalau bangun lagi pasti akan dijegal jatuh lagi, maka dia pura-pura menjerit dan terbanting jatuh, padahal tubuhnya memang sudah kesakitan, maka sekalian ia lantas berbaring di situ untuk mengaso. Ketika kedua saudara Bu menubruk maju hendak menawannya, sekonyong-konyong Hotu menjulurkan kipasnya dan sekaligus totok Hiat-to kaki kedua orang, menyusul dia dorong tubuh kedua saudara Bu untuk merintangi pentung Oey Yong, dia sendiri segera melompat lalu naik ke atas pagar tembok.

“Oey-pangcu, lihay benar permainan pentungmu, tapi goblok amat anak didikmu!” serunya dengan tertawa.

“Huh! Tubuhmu terkena air beracun, mana orang lain mau menyentuh tubuhmu?” jengek Oey Yong.

Seketika Hotu melengak kaget, dia merasa air panas yang mengenai tubuhnya berbau teh, entah air racun macam apa?

Rupanya Oey Yong dapat menerka pikirannya, dia berkata pula: “Kau terkena racun, tapi sama sekali kau tak tahu nama racunnya, tentu mati pun kau tidak rela. Baiklah, biar aku beri-tahu, air racun itu bernama Cu-ngo-kian-kut-teh (teh pembusuk tulang sampai lohor).”

“Cu-ngo-kian-kut-teh...?” Hotu mengulang istilah itu.

“Benar,” ujar Oey Yong. “Satu tetes saja racun itu mengenai tubuh, maka sekujur badan akan membusuk hingga kelihatan tulangnya pada waktu Iohor. Nah, kau masih ada waktu beberapa jam, lekas pulang untuk mengurus tempat kuburanmu.”

Hotu tahu Oey-pangcu dari Kay-pang terkenal lihay dan amat cerdik, mampu meracik racun seperti apa yang dikatakan tadi memang tidak perlu disangsikan lagi. Seketika ia menjadi termangu bingung, apa mesti pulang menanti ajal atau merendahkan diri mohon obat penawarnya?

Oey Yong tahu pangeran Mongol bukanlah orang bodoh, tentang air racun segala hanya bisa menipunya sementara, lama-lama tentu akan diketahui kebohongannya. Maka dia lantas berkata.

“Sebenarnya kita tiada dendam apa-apa, kalau kata-katamu tidak kasar, tentu jiwamu takkan melayang.”

Dari nada ucapan orang, Hotu merasa ada setitik sinar harapan untuk hidup, tanpa pikir harga diri lagi segera dia melompat turun dari pagar tembok. Dia memberi hormat sambil berkata:

“Ya, Cayhe tadi berlaku kasar padamu, mohon Oey-pangcu sudi memaafkan.”

Berdiri di belakang pintu Oey Yong meraba secomot kotoran debu. Lebih dulu ia ludahi lalu dipelintir menjadi butiran, Dengan perlahan dia selentikkan ‘obat pil’ itu kepada Hotu sambil berkata:

“Baiklah, lekas minum obat ini!”

Cepat Hotu menangkap ‘pil’ itu dan tanpa pikir ditelan mentah-mentah, sungguh pun rasanya agak pahit namun jiwa selamat paling perlu. Ia memberi hormat kemudian mengucapkan terima kasih kepada Oey Yong. Kini ia sudah patah semangat, ia mundur-mundur ke tepi pagar tembok baru melompat ke atas dan angkat kaki.

Oey Yong menghela napas gegetun setelah Hotu pergi, dibukanya Hiat-to kedua saudara Bu yang tertotok. Segera teringat olehnya kata-kata ejekan Hotu tadi, ‘Lihay benar permainan pentung Oey-pangcu, tapi goblok amat anak didikmu’.

Dia menjadi sedih melihat kedua saudara Bu. Meski caranya menjatuhkan Hotu tadi tidak menggunakan tenaga, tapi perutnya terasa rada sakit. Dia duduk mengaso di kursi.

Sementara itu Siao-liong-li menyalakan lilin. Oey Yong membuka surat lalu dibacanya. Kiranya surat itu dari Kim-lun Hoat-ong yang menyatakan kagum atas ketangkasan Kwe Ceng, yang dapat datang dan pergi di tengah pasukan Mongol, untuk itulah Kim-lun Hoat-ong menyatakan besok hendak mengadakan kunjungan balasan ke Siang-yang. Tentu saja Oey Yong amat terkejut. Ia perlihatkan surat itu kepada Yo Ko dan Siao-liong-li, katanya:

“Meski tembok benteng Siang-yang sangat kuat, tetapi sukar menahan tokoh-tokoh persilatan. Kini Paman Kwe terluka parah, aku pun tidak mampu berbuat banyak, sedangkan musuh akan datang secara besar-besaran, bagaimana baiknya?”

“Paman Kwe...” belum lanjut ucapan Yo Ko, dilihatnya Siao-liong-li melirik dengan sinar mata mengandung arti menyalahkan karena telah menyelamatkan jiwa Kwe Ceng, seketika dia tidak melanjutkan perkataannya.

Oey Yong menjadi curiga, dia tanya: “Nona Liong, kesehatan Ko-ji belum pulih, maka besok terpaksa harus mengandalkan engkau dan Cu Cu-liu Cu-toako menghadapi kedatangan musuh.”

Siao-liong-li tidak biasa berdusta mau pun berpura-pura, apa yang dipikirkan itu yang dikatakan. Dengan tak acuh dia lantas menjawab:

“Aku hanya melindungi Ko-ji seorang, mati hidup orang lain tiada sangkut pautnya dengan kami.”

Tentu saja Oey Yong bertambah heran, seketika ia pun tak dapat bertanya lebih banyak, ia hanya berkata kepada Yo Ko:

“Menurut paman Kwe, semuanya berkat perjuanganmu.”

Begitu ingat kepada maksudnya hendak membunuh Kwe Ceng, Yo Ko merasa malu diri, jawabnya:

“Ahh, siautit tidak becus hingga membikin Kwe-pepek terluka.”

“Kau sendiri istirahat dulu, kalau musuh datang, jika tak mampu melawan dengan tenaga dapatlah kita mengalahkan mereka dengan akal,” ujar Oey Yong, lalu ia berpaling kepada Siao-liong-Ii. “Nona Liong, marilah ikut, aku ingin bicara sebentar dengan kau.”

“Tapi dia...” Siao-liong-li ragu-ragu memandangi Yo Ko.

Sejak pulangnya anak muda itu, Siao-liong-li terus menunggunya di situ, maka ia merasa berat meninggalkan anak muda itu.

“Musuh akan datang besok, kuyakin malam ini takkan terjadi sesuatu,” ujar Oey Yong, “Marilah ikut, apa yang hendak kubicarakan ada hubungannya dengan Ko-ji.”

Siao-liong-li mengangguk. Lebih dulu dia membisiki beberapa pesan kepada Yo Ko, habis itu barulah ikut Oey Yong keluar kamar. Oey Yong membawanya ke kamarnya, setelah menutup pintu barulah ia berkata:

“Nona Liong, kau bermaksud membunuh kami suami isteri, bukan?”

Walau pun watak Siao-liong-li polos bersih, tetapi dia bukanlah orang bodoh. Dia bertekad membunuh Kwe Ceng dan Oey Yong untuk menolong jiwa Yo Ko, kalau Oey Yong memancingnya dengan kata-kata mana dapat mengelabuinya? Tapi sekarang Oey Yong dapat meraba wataknya yang lugu, tanpa tedeng aling-aling ia bertanya secara langsung.

Keruan Siao-liong-li menjadi melengak dan menjawab dengan tergagap, “Ka... kalian baik kepada kami, mengapa kami... kami ingin membunuh kalian?”

Melihat sikap orang, Oey Yong tambah yakin akan dugaannya. Segera dia berkata : “Kau tak perlu merahasiakannya lagi, sudah kuketahui maksud kalian. Ko-ji menganggap kami yang membinasakan ayahnya, karena itu dia ingin membunuh kami untuk menuntut balas. Kau suka kepada Ko-ji, maka hendak membantu terlaksana cita-citanya itu.”

Karena isi hatinya dengan jitu kena dikatai, dasar Siao-liong-li memang tidak dapat berdusta, seketika ia terdiam, sejenak kemudian barulah ia menghela napas dan berkata:

“Sungguh aku tidak paham!”

“Tidak paham apa?” tanya Oey Yong.

“Sebab apa tadi Ko-ji menyelamatkan Kwe-tayhiap dengan mati-matian, padahal dia telah berjanji dengan Kim-lun Hoat-ong membunuh Kwe-tayhiap,” kata Siao-liong-li.

Terkejut juga Oey Yong mendengar keterangan itu. Memang dia sudah menduga ada niat jahat pada Yo Ko, tetapi sama sekali tidak menyangka anak muda itu akan bersekongkol dengan pihak Mongol. Maka dia pun tenang-tenang saja dan berlagak sudah mengetahui semuanya, katanya:

“Mungkin dia melihat Kwe-tayhiap amat baik hati, akhirnya dia sendiri tidak tega turun tangan.”

Siao-liong-li mengangguk, katanya dengan sedih: “Urusan sudah telanjur begini, apa mau dikata lagi? Kalau dia tidak mau memikirkan jiwanya sendiri, ya terserah. Aku sudah tahu dia adalah orang paling baik di dunia ini, dia lebih suka mati sendiri dari pada mencelakai musuhnya.”

Sekilas timbul beberapa pertanyaan di benak Oey Yong, tetapi sukar menarik kesimpulan dari arti ucapan Siao-liong-li. Dilihatnya air muka si nona sangat sedih dan cemas, sedapatnya dia pun menghibur:

“Mengenai kematian ayah Ko-ji memang banyak lika-likunya, biarlah kelak kita membicarakannya secara lebih jelas. Lukanya tidak parah, setelah istirahat beberapa hari tentu akan sehat kembali, kau tidak perlu berduka.”

Siao-liong-li memandangi Oey Yong dengan ter-mangu, sejenak kemudian mendadak air matanya bercucuran, katanya dengan ter-gagap:

“Tetapi... tetapi jiwanya hanya... hanya tinggal tujuh hari, mana mungkin istirahat lagi bebe... beberapa hari segala...”

“Jiwanya tinggal tujuh hari apa maksudmu?” Oey Yong menegas dengan terkejut. “Lekas jelaskan, kita pasti dapat menolongnya.”

Siao-liong-li menggeleng perlahan, tapi akhirnya ia menceritakan juga kejadian di Cui-sian-kok tentang cara bagaimana Yo Ko terkena racun bunga cinta dan Kiu Jian-jio hanya memberi setengah butir pil Coat-ceng-tan serta memberi waktu 18 hari untuk membunuh Kwe Ceng dan Oey Yong, setelah itu barulah setengah butir Coat-ceng-tan yang lain akan diberikan lagi. Diceritakan juga betapa tersiksanya bila racun bunga cinta itu mulai bekerja dan bahwa di dunia ini hanya tersisa separoh Coat-ceng-tan yang dapat menolong jiwa Yo Ko.

Makin kejut dan heran Oey Yong oleh cerita itu, sama sekali tak terduga olehnya bahwa Kiu Jian-yim, tokoh Bu-Iim yang terkenal belasan tahun yang lalu masih mempunyai seorang adik perempuan serta membangkitkan mala petaka sehebat itu.

Setelah bercerita secara ringkas, akhirnya Siao-liong-li berkata: “Jadi umurnya kini tinggal tujuh hari lagi, seumpama malam ini kalian suami-isteri dapat dibunuh tak sempat lagi kembali ke Coat-ceng-kok, lalu untuk apa kalian kubikin celaka? Tujuanku cuma menolong Ko-ji, mengenai dendam kematian ayahnya aku tidak urus.”

SemuIa Oey Yong mengira maksud tujuan Yo Ko hanya ingin menuntut balas kematian ayahnya, siapa tahu dalam urusan ini masih banyak lika-liku soal lain, jika begitu berarti anak muda itu membunuh diri kalau dia batalkan niatnya membunuh Kwe Ceng. Sungguh luhur pengorbanan Yo Ko yang tiada bandingannya ini. Begitulah Oey Yong mondar mandir di dalam kamar dengan bingung, betapa pun cerdik pandainya, tak berdaya juga menghadapi keadaan yang serba sulit ini. Dia pikir beberapa jam lagi musuh akan menyerbu besar-besaran, meski tadi ia menghibur Yo Ko supaya jangan kuatir dan bahwa dapat mengalahkan musuh dengan akal andai kata tidak mau melawannya dengan kekuatan. Tapi bagaimana akalnya itu sungguh sukar diperoleh.

Bahwasanya Siao-liong-li hanya memikirkan dan mencintai Yo Ko dengan setulus hati, sedangkan pikiran Oey Yong justru bercabang dua, setengahnya dia berikan kepada sang suami dan separoh lain terbagi kepada anak perempuannya. Yang dipikirkannya kini hanyalah: “Bagaimana caranya menyelamatkan kakak Ceng dan anak Hu?”

Tiba-tiba terpikir olehnya: Kalau Ko-ji dapat mengorbankan dirinya sendiri demi orang lain, kenapa aku tidak? Karena pikiran ini, segera ia berpaling kepada Siao-liong-li dan berkata dengan ikhlas:

“Nona Liong, aku mempunyai akal yang dapat menolong jiwa Ko-ji, apakah kau mau menurut padaku?”

Saking girangnya tubuh Siao-liong-li sampai gemetar, jawabnya: “Walau pun aku harus... harus mati pun... Ai, sebenarnya mati pun bukan apa-apa bagiku, sekali pun berpuluh kali lebih susah dari pada mati juga aku... aku akan menurut.”

“Baik,” kata Oey Yong, “Urusan ini hanya kau dan aku saja yang tahu, jangan sekali-sekali kau bocorkan kepada orang lain, bahkan Ko-ji sekali pun tidak boleh kau beri-tahu. Kalau tidak semuanya akan gagal total.”

Ber-uIang2 Siao-liong-li mengiyakan, barulah Oey Yong berkata lagi: “Jika musuh datang nanti, hendaklah kau dan Ko-ji melindungi Kwe-tayhiap sekuat tenaga, apa bila bahaya ini sudah lalu, segera kuserahkan kepalaku padamu dan Ko-ji dapat menggunakan kuda merah ke Coat-ceng-kok untuk menukarkan sisa obat itu.”







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar