Sabtu, 04 September 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 106

Pendapat mereka memang masuk di akal. Umumnya angin badai tak pernah berlangsung sepanjang hari, hujan deras juga jarang berlangsung dalam semalam suntuk, makin keras tenaga yang dikeluarkan semakin sukar pula berlangsung lama. Tidak tahunya selama 20-an tahun Kwe Ceng terus giat berlatih ‘Kiu-im-cin-keng’, kitab pusaka kunci saripati ilmu silat yang tak terkatakan hebatnya. Pada mulanya tenaga yang dia keluarkan tidak begitu menonjol, tapi setelah belasan jurus, tahu-tahu tenaga pukulan Hang-liong-cap-pek-ciang dapat ber-ubah, kadang-kadang kuat, tiba-tiba menjadi enteng lagi, mendadak membadai, tahu-tahu mereda lagi, dari maha kuat lantas berubah menjadi maha lunak. Inilah ilmu sakti yang belum sempat dipahami oleh mendiang Ang Chit-kong dahulu.

Nyata sedikit pun dia tidak terdesak oleh ketiga lawannya yang amat tangguh itu, bahkan sebaliknya Kwe Ceng malah terus menyerang, makin bertempur makin leluasa. Sungguh kejut dan kagum Yo Ko tak terhingga. Ketika dulu masih di kuburan kuno pernah juga dia mempelajari ‘Kiu-im-cin-keng’, cuma tiada petunjuk dari orang lain sehingga tidak diketahui kehebatan kitab pusaka yang begini luar biasa. Dia coba mengikuti ilmu pukulan Kwe Ceng dan dicocokkan dengan kunci ilmu yang dipelajarinya dari Kiu-im-cin-keng, seketika dia banyak mendapatkan teori baru yang sangat bermanfaat dan diingatnya dengan baik-baik, seketika dia pun lupa akan membunuh Kwe Ceng untuk menuntut balas sakit hatinya.

Ilmu silat antara Kim-lun Hoat-ong dan Kwe Ceng sebetulnya setingkat. Meski Kwe Ceng lebih banyak mendapatkan penemuan aneh, tapi usia Hoat-ong lebih tua 20-an tahun, itu berarti keuletannya lebih tua 20 tahun, kalau satu lawan satu sedikitnya ribuan jurus baru dapat menentukan menang kalah. Hoat-ong dibantu Siau-siang-cu dan Nimo Singh, sebenarnya tidak ada peluang bagi Kwe Ceng untuk mengalahkan lawan. Cuma Hang-liong-cap-pek-ciang yang dimainkan Kwe Ceng itu teramat lihay, ditambah langkah Pak-tau-tin ajaran Coan-cin-kau sukar diraba arahnya, seseorang seakan-akan berubah menjadi tujuh orang, selain itu pertama-tama In Kik-si sudah dilukainya lebih dahulu, hal ini telah membikin jeri lawan, maka Hoat-ong bertiga menjadi tak berani sembarangan menyerang, dengan begitu Kwe Ceng dapat bertahan dengan ketiga orang itu.

Sesudah beberapa puluh jurus kemudian, lambat-laun roda emas Kim-lun Hoat-ong mulai memperlihatkan daya tekanannya, ular besi Nimo Singh juga makin kencang menyerang. Diam-diam Kwe Ceng mengeluh. Kalau pertarungan berlangsung lebih lama dan tiba-tiba pihak lawan datang lagi seorang pembantu, maka dirinya pasti tak sanggup bertahan lagi, sedangkan Yo Ko yang menempur si gede itu entah bagaimana keadaannya. Maklumlah, terpaksa ia harus memusatkan perhatian untuk melayani lawannya sehingga tidak sempat mengikuti pertarungan Yo Ko melawan Be Kong-co di sebelah sana.

Tiba-tiba saja terdengar suara suitan aneh, kedua kaki Siau-siang-cu kaku menegak dan meloncat ke atas, dari udara pentungnya menotok. Cepat Kwe Ceng mengegos ke samping, tiba-tiba pandangannya terasa gelap, dari ujung pentung orang tersembur keluar asap hidup dan seketika hidungnya mencium bau busuk amis, kepala menjadi rada pening. Kwe Ceng mengeluh, dia pun tahu pada pentung lawan tersimpan racun, maka cepat dia melangkah mundur.

Siau-siang-cu menjadi heran sekali. Sudah jelas Kwe Ceng telah mengendus racun yang disemburkan dari pentungnya, tapi tidak jatuh kelengar bahkan seperti tidak berhalangan apa-apa, padahal biar singa harimau atau binatang buas apa pun juga akan jatuh pingsan jika tersembur racun yang disemburkannya itu. Cepat ia meloncat lagi ke atas, untuk kedua kalinya ia menotok pula dengan pentung yang berbisa itu.

Dahulu waktu dia berlatih ilmu ‘mayat hidup’ di daerah pegunungan yang sunyi, kebetulan dilihatnya seekor katak kecil sedang bertempur melawan seekor ular besar, katak puru itu menyemburkan hawa berbisa yang merobohkan lawannya yang jauh lebih besar. Dari situlah Siau-siang-cu mendapatkan ilham. Dia menangkap katak puru lantas diambil lendir berbisanya untuk disembunyikan dalam pentungnya. Pada pangkal pentung ini ada pesawat rahasianya, sekali ditekan dengan jari akan segera menyemburkan asap berbisa. Pada waktu menyemburkan asap berbisa itu Siau-siang-cu sengaja meloncat ke atas supaya daya guna racun tambah keras.

Biasanya asap berbisa itu tidak pernah meleset merobohkan musuh. Siapa tahu tenaga dalam Kwe Ceng sedemikian kuatnya dan sanggup bertahan. Meski pun bukan sasaran racun Siau-siang-cu itu, tapi Kim-lun Hoat-ong dan Nimo Singh ikut mengendus racun hingga terasa muak, maka cepat mereka melompat mundur. Siau-siang-cu sendiri sudah memakai obat penawar sehingga tidak kuatir keracunan, ia angkat pentungnya dan menubruk maju lagi.

Sebelum lawan menggunakan racun, mendadak Kwe Ceng menyambutnya dengan pukulan dahsyat ke dengkul musuh. Terpaksa Siau-siang-cu menarik kembali pentungnya untuk menangkis, meski begitu tidak urung tubuhnya tergentak mundur beberapa langkah oleh tenaga pukulan Kwe Ceng yang lihay. Saat Kwe Ceng berpaling ke sana, ia melihat senjata ular Nimo Singh sedang menyambar tiba. Di siang bolong seperti ini jelas kelihatan ular besi lawan itu dapat mulur mengkeret, tampaknya juga mengandung sesuatu yang aneh, kalau mendadak membidikkan senjata rahasia maka seketika sukar ditahan.

Cepat Kwe Ceng mendahului menghantam ke dada musuh sebelum senjata ular lawan mendekat. Nimo Singh menyadari betapa hebatnya tenaga pukulan Kwe Ceng, lekas-lekas dia tarik kembali senjata ularnya, kedua tangannya memegangi kedua ujung senjata dan berusaha menangkis pukulan lawan. Akan tetapi cara Kwe Ceng menggunakan tenaga pukulannya ternyata lain dari pada yang lain, bagian tengah tidak membawa tenaga, sebaliknya tenaga pukulan memancar ke sekeliling titik sasaran, maka tangkisan Nimo Singh terasa hampa, sebaliknya perut dan mukanya merasakan sambaran tenaga pukulan yang dahsyat.

Untung gerak-gerik Nimo Singh juga cepat dan gesit, pula tubuhnya pendek kecil. Ia lekas menjatuhkan diri, disertai dengan beberapa kali jumpalitan laksana boIa ia menggelinding ke sana sehingga luput dari hantaman Kwe Ceng. Begitu melihat ada kesempatan baik, cepat Kwe Ceng melompat pergi. Tanpa ayal ia melangkah ke tempat luang yang ditinggalkan Nimo Singh tadi. Kim-lun Hoat-ong terkejut melihat musuhnya loIos dari kepungan, cepat ia menubruk maju.

Sementara Kwe Ceng sudah dicegat oleh barisan pasukan Mongol, belasan tombak ditusukkan ke arahnya. Mendadak Kwe Ceng angkat kedua tangannya, beberapa tombak disampuk pergi dan sekali tangannya membalik, dua prajurit kena dicengkeram lantas dilemparkan ke arah Hoat-ong sambil berseru:

“Awas, tangkap ini!”

Kalau Kim-lun Hoat-ong tidak menangkap kedua prajurit Mongol, tentu keduanya akan terbanting mampus, sebaliknya bila kedua orang itu ditangkapnya, itu berarti dia terhalang dan kesempatan itu akan digunakan Kwe Ceng untuk kabur lebih jauh.

Dasarnya memang keji, tanpa pikir Hoat-ong memiringkan tubuh ke samping dan ditunjuknya kedua prajurit itu dengan bahunya. Kontan kedua orang itu terpental beberapa meter jauhnya dan terguling binasa. Segera roda emas mengepruk ke punggung Kwe Ceng. Asalkan Kwe Ceng menangkis atau balas menyerang maka sukar lagi untuk kabur.

Cepat Kwe Ceng merampas dua tombak lalu menusuk ke belakang, Caranya merampas dan menyerang dilakukannya dalam sekejap saja, sedang kakinya tidak pernah berhenti, tusukannya ke belakang seperti punggungnya bermata saja, tombak yang satu menusuk bahu kanan Hoat-ong sedang tombak lain menusuk kaki kirinya, jitu lagi keras. Diam-diam Hoat-ong memuji ketangkasan lawan, segera menggunakan roda emas untuk menghantam.

“Krak! Krak!”



Kedua tombak itu patah semua. Karena sedikit merandek itulah Kwe Ceng sempat menyusup ke tengah pasukan MongoI. Pasukan Mongol sudah mendapat perintah Kubilai agar menawan hidup-hidup Kwe Ceng, sekarang sasarannya malah menerobos ke tengah barisan, dengan sendirinya mereka menjadi serba salah, menawannya sukar, melukainya tidak boleh. Yang terdengar hanya suara benturan senjata dan bentakan di sana-sini yang riuh, keadaan menjadi kacau dan Hoat-ong bertiga malah terhalang.

Dengan sembunyi di tengah pasukan musuh, Kwe Ceng malah dapat lolos dengan leluasa seperti menyusup ke tengah rimba lebat saja. Dengan beberapa kali lompat dapatlah dia mendekati seorang Pek-hu-tiang, sekali betot dia seret orang itu dari kudanya dan segera dia cemplak ke atas kuda rampasan terus menerjang ke sana-sini. Sebentar saja dia sudah menerobos keluar barisan musuh dan membedalkan kudanya secepat terbang.

Waktu ia bersuit, kuda merah kesayangan yang menunggu jauh di sana segera berlari mendatangi. Asalkan Kwe Ceng telah berada di atas kuda mestikanya, meski pun Kubilai mengerahkan segenap pasukan yang paling tangkas sukar menyusulnya lagi.

Dari jauh Yo Ko dapat melihat kuda merah menghampiri Kwe Ceng, diam-diam ia mengeluh. Tiba-tiba ia mendapat akal, cepat ia berteriak:

“Aduh, mati aku!” Sesudah ini ia sengaja sempoyongan seperti akan roboh, berbareng ia membisiki Be Kong-co: “Lekas menyingkir, jangan bicara padaku, lekas pergi sejauhnya!”

Jeritannya mengaduh itu dilakukan dengan tenaga dalam yang kuat, meski pun di medan perang yang gaduh pasti terdengar oleh Kwe Ceng. Dia yakin sang paman pasti akan putar balik menolongnya, tetapi kalau Be Kong-co masih berada di dekatnya, bisa jadi sekali dipukul oleh Kwe Ceng jiwanya dogol itu akan melayang, sebab itulah dia suruh Be Kong-co lekas pergi.

SemuIa Be Kong-co melengak heran, tapi segera ia pikir Yo Ko pasti mempunyai maksud tertentu, tanpa membantah lagi terus angkat langkah seribu dan berlari ke kemah Kubilai. Benar juga. Setelah mendengar jeritan Yo Ko tadi Kwe Ceng menjadi amat kuatir, tanpa menunggu mendekatnya kuda merah segera dia putar kuda rampasannya tadi kemudian menerjang lagi ke tengah pasukan, ke arah beradanya Yo Ko.

Sedikit pikir saja Kim-lun Hoat-ong paham maksud tujuan Yo Ko, maka dia tidak merintanginya melainkan membiarkan Kwe Ceng menerjang lewat di sampingnya, barulah kemudian ia mencegat jalan mundur lawan. Setiba di dekat Yo Ko, dengan kuatir Kwe Ceng lantas berseru:

“Ko-ji, bagaimana kau?”

Yo Ko pura-pura sempoyongan kemudian menjawab: “Sebenarnya orang gede itu bukan tandinganku, tapi entah mengapa mendadak dadaku sesak dan perutku terasa sakit.”

Alasannya ini cukup masuk akal, sebab ilmu silat Be Kong-co tidak tinggi. Jika dia bilang dikalahkan orang dogol itu tentu Kwe Ceng takkan percaya, akan tetapi bila menyatakan tenaganya terhalang mau tak mau Kwe Ceng akan percaya, terutama kalau dihubungkan dengan kejadian semalam, di mana Kwe Ceng menyangka bahwa lwekang anak muda itu mengalami kemacetan, kalau sekarang penyakitnya kumat lagi adalah lazim. Cepat Kwe Ceng melompat turun dari kudanya dan berseru:

“Lekas naik ke punggungku, biar kugendong kau!”

“Tidak, Kwe-pepek,” jawab Yo Ko pucat. “Jiwaku tidak menjadi soal, tetapi engkau adalah tulang punggung pertahanan kota Siang-yang, segenap perajurit dan rakyat jelata di sana sedang menantikan kepulanganmu, engkaulah tumpuan harapan mereka.”

“Kau datang bersamaku, mana bisa kutinggalkan di sini?” ujar Kwe Ceng, ”hayo lekas menggemblok di punggungku.”

Ketika nampak Yo Ko masih ragu-ragu, segera Kwe Ceng berjongkok dan menarik anak muda itu ke atas punggungnya. Pada saat itu juga kuda rampasannya tadi sudah roboh binasa oleh beberapa panah musuh. Sudah biasa Kwe Ceng menyerempet bahaya, makin gawat keadaannya semakin gagah berani pula dia dan menghadapinya dengan tenang.

“Jangan takut, Ko ji, kita pasti dapat menerjang keluar,” demikian katanya kepada Yo Ko. Segera dia berdiri dan menerjang ke sebelah utara.

Sementara itu Hoat-ong, Nimo Singh dan Siau-siang-cu sudah menyusul tiba. Kwe Ceng melihat kepungan musuh di sekelilingnya kini terlebih rapat dari pada tadi. Di bawah panji kebesaran di depan kemah sana tampak Kubilai menyaksikan pertarungan sambil bicara dengan seorang Hwesio, melihat sikapnya yang ‘adem ayem’ itu jelas Kubilai yakin kemenangan sudah pasti berada di tangannya.

Kwe Ceng menjadi marah. Ia menggertak keras dan mendadak menerjang ke arah Kubilai sambil menggendong Yo Ko, hanya beberapa kali lompatan saja ia telah sampai di depan Kubilai. Keruan para pengawal Kubilai menjadi kaget bukan main, beramai-ramai mereka mengacungkan tombak menerjang Kwe Ceng. Akan tetapi pukulan Kwe Ceng luar biasa dahsyatnya, siapa yang berani merintanginya pasti celaka. Ketika seorang pengawal pribadi Kubilai kena dihantam terpental, asal dia bisa menyerobot maju beberapa langkah lagi, tentu pukulannya dapat mengena pangeran itu.

Beberapa pengawal berusaha menghadang mati-matian, akan tetapi sukar juga menandingi Kwe Ceng yang perkasa. Melihat keadaan berbahaya, cepat Kim-lun Hoat-ong menyambitkan roda emasnya dari kejauhan. Tetapi sedikit saja menundukkan kepala roda itu dihindari oleh Kwe Ceng sambil masih terus menerjang maju.

Yo Ko pikir jika sampai Kubilai kena ditawan Kwe Ceng sebagai sandera, dalam keadaan terpaksa tentu pihak Mongol akan melepaskannya. Jika sekarang aku tidak turun tangan, mau tunggu kapan lagi? Dalam keadaan agak ragu-ragu ia bertanya lagi:

“Paman Kwe, apakah ayahku amat jahat dan berdosa sehingga engkau harus membinasakannya?”

Melengak juga Kwe Ceng atas pertanyaan itu, tapi keadaan tidak mengidzinkannya untuk berpikir. Ia pun menjawab:

“Dia mengaku musuh sebagai ayah, berkhianat dan melakukan kejahatan, setiap orang dapat membunuhnya.”

“Oh, begituI” kata Yo Ko, tanpa ragu ia terus angkat pedangnya dan hendak menikam ke kuduk sang paman.

Pada saat itulah tiba-tiba bayangan berkelebat, sebuah pentung menghantam pedangnya sehingga tertangkis ke samping. Waktu Yo Ko melirik, kiranya yang bertindak itu adalah Siau-siang-cu. Ia menjadi heran mengapa orang berbuat begitu, tapi segera ia pun sadar: “Ya, kau sengaja menggagalkan usahaku membunuh Kwe Ceng supaya gelar jago nomor satu tidak jatuh kepadaku. Huh! Kau mayat hidup mana tahu tujuanku hanya ingin menuntut balas saja, tentang nama kosong itu masa pernah kupikirkan?”

Segera dia putar pedangnya, beberapa kali gebrakan dia desak pentung Siau-siang-cu ke samping menyusul dia hendak menikam lagi ke punggung Kwe Ceng. Waktu itu Kwe Ceng lagi melayani gempuran Kim-lun Hoat-ong dan Nimo Singh, ia tidak mau tahu Yo Ko sedang main gila di atas punggungnya, disangkanya anak muda itu lagi menempur Siau-siang-cu dengan mati-matian, malahan ia lantas memperingatkan Yo Ko:

“Awas, Ko-ji, pentungnya itu dapat menyemburkan asap berbisa!”

Yo Ko mengiyakan, sementara pentung Siau-siang-cu menyambar tiba. Keadaan itu dapat dilihat dengan jelas oleh Kim-lun Hoat-ong. Nimo Singh yang berdiri di depan sana melihat jelas Yo Ko akan berhasil, namun selalu digagalkan oleh Siau-siang-cu, dengan marah mereka lantas membentak:

“Hai, Siau-siang-cu, kau main gila?”

Siau-siang-cu menyeringai seram, mendadak pentungnya menghantam Kwe Ceng. Ketika untuk ketiga kalinya Yo Ko hendak menikam punggung Kwe Ceng, mendadak Siau-siang-cu menangkis lagi pedangnya.

Mengingat Yo Ko lagi kurang sehat, Kwe Ceng menguatirkan anak muda itu tak sanggup melayani serangan Siau-siang-cu, segera ia membalikkan tangan kiri dan menghantam ke dada musuh. Seketika tubuh Siau-siang-cu tergetar dan terpaksa mundur dua-tiga tindak. Dalam keadaan bebas tanpa rintangan, asal ditikam lagi tujuan Yo Ko pasti akan tercapai. Tapi dilihatnya iga kiri Kwe Ceng tidak terjaga karena serangannya kepada Siau-siang-cu, kesempatan itu segera digunakan Nimo Singh untuk menerobos maju, senjata ularnya menusuk.

Karena kuatir tikaman akan berhasil, setelah mundur segera Siau-siang-cu menubruk lagi dengan cepat, pentungnya menotok hiat-to maut di punggung Yo Ko untuk membuat anak muda itu mau tak mau harus menjaga lebih dulu. Sementara itu tangan kanan Kwe Ceng sedang melayani Hoat-ong, kedua orang sedang mengadu tenaga dalam, tapi dia dan Yo Ko justru terancam bahaya sekaligus.

Dasar watak Kwe Ceng memang berbudi luhur, dia tidak menyelamatkan diri sendiri, tapi menolong Yo Ko lebih dulu. Tangan kirinya terus menyampuk dengan jurus Sin-Iiong-pah-bwe (naga sakti goyang ekor), dengan tepat pentung Siau-siang-cu terhantam, sekujur badan Siau-siangcu terasa panas, mukanya yang pucat seketika berubah merah.

Tetapi pada saat yang sama senjata ular Nimo Singh juga sudah menyambar tiba. Kwe Ceng sedang mengerahkan sebagian besar tenaganya untuk melayani Kim-lun Hoat-ong serta menghantam Siau-siang-cu sehingga tak ada sisa tenaga untuk menahan serangan Nimo Singh. Dalam keadaan kepepet sedapatnya Kwe Ceng menarik tubuhnya sedikit ke belakang.

Serangan Nimo Singh dapat dielakkan, meski pun begitu kepala ular besi itu masuk juga di iganya sedalam dua tiga senti. Seketika Kwe Ceng mengerahkan tenaga sehingga otot tangannya mengencang, maka daya tusuk senjata ular tertahan dan sukar menancap lebih dalam dan sebelah kaki Kwe Ceng menendang hingga Nimo Singh terjungkal.

Tadinya Nimo Singh girang melihat serangannya berhasil mengenai sasaran. Dia yakin Kwe Ceng pasti akan binasa dan gelar jago nomor satu jatuh kepadanya. Sungguh tidak terduga bahwa dalam keadaan kepepet Kwe Ceng sanggup mengeluarkan kepandaian lihay sehingga dia sendiri malah kena ditendang tepat pada dadanya. Kontan tiga tulang rusuknya patah. Kalau di sebelah sini ber-turut-turut Siau-siang-cu dan Nimo Singh kecundang, di sebelah sana Kim-lun Hoat-ong terus mendesak lebih kuat dengan tenaga pukuIannya. Lantaran luka pada iga kiri maka tenaga dalam Kwe Ceng banyak terkuras.

Kwe Ceng tidak sanggup bertahan lagi, terasa suatu tenaga maha dahsyat menimpanya, apa bila tetap paksakan diri mengadu tenaga tentu jiwa sendiri akan melayang. Terpaksa dilepaskan pertahanannya dan menerima sebuah pukulan dengan Iwekang tingkat tinggi yang telah dilatih selama sepuluh tahun ini.

“Wuaakkk...!” tumpahlah darah segar keluar dari muIutnya.

Kalau pun jiwa sendiri terancam bahaya akan tetapi Kwe Ceng masih tetap memikirkan keselamatan Yo Ko, serunya:

“Lekas rampas kuda dan lari, Ko-ji, akan kutahan kejaran musuh bagimu!”

Bagaimana pun juga hati Yo Ko tergetar dan darah bergolak dalam rongga dadanya demi menyaksikan sang paman membelanya mati-matian tanpa menghiraukan keselamatan diri sendiri. Tak terpikir lagi olehnya tentang dendam kesumat segala, dia pikir sedemikian luhur budi paman Kwe, kalau aku tidak membalas budi kebaikannya ini berarti percumalah hidupku! Segera dia melompat turun dari gendongan sang paman, dia putar pedangnya sedemikian kencang untuk melindungi Kwe Ceng. Sekarang dia mengamuk laksana banteng ketaton, dia menyerang mati-matian.

Kim-lun Hoat-ong dan Siau-siang-cu tercengang melihat tindakan anak muda itu. Mereka segera berseru:

“Hai, Yo Ko, apa-apaan kau ini?”

Yo Ko tidak menjawab.

“Sret!” ia menusuk Hoat-ong dan begitu musuh mengelak...

“Sret!” serangannya beralih ke arah Siau-siang-cu.

Melihat Yo Ko seperti orang kalap, tanpa terasa mereka melompat mundur.

“Jangan urus diriku, Ko-ji, lekas kau menyelamatkan diri!” seru Kwe Ceng.

“Kwe-pepek, akulah yang bikin susah, biarlah aku mati bersama kau!” teriak Yo Ko sambil memutar pedangnya dengan kencang. Ia hanya melindungi Kwe Ceng saja tanpa menghiraukan bahaya yang mengancam dirinya sendiri.

Kim-lun Hoat-ong dan Siau-siang-cu ingin berebut gelar ‘jago nomor satu’, karena itu mereka saling berlomba menawan atau membunuh Kwe Ceng, senjata mereka berbareng menyerang. Tapi Yo Ko sudah memutar pedangnya begitu hebat hingga kedua orang itu tak dapat mendekat. Di sekeliling mereka beribu-ribu prajurit Mongol bersorak-sorai riuh-rendah mengikuti pertarungan sengit itu.

Berulang-ulang Kwe Ceng mendesak Yo Ko supaya lekas lari, tapi anak muda itu tetap bertempur membelanya, ia menjadi cemas dan berterima kasih. Akhirnya ia merasa lemah dan tidak sanggup bertahan Iagi, kedua kakinya terasa lemas, kemudian jatuh terduduk.

Nimo Singh benar-benar tangkas. Meski tulang rusuknya sudah patah tiga buah, ia angkat senjata ular dan mendekat dengan perlahan untuk membunuh Kwe Ceng. Sekuatnya Yo Ko menghalau ini, ia tahu sendirian sukar menahan tiga lawan, mendadak ia menarik Kwe Ceng ke punggungnya, dengan nekat ia terus menerjang keluar.

Kepandaian Yo Ko memang bukan tandingan Kim-lun Hoat-ong, terlebih lagi sekarang dia menggendong Kwe Ceng, tentu saja dia tidak sanggup bertahan lagi. Beberapa gebrakan kemudian lengan kirinya kena dilukai roda emas Hoat-ong. Pada detik yang berbahaya itulah sekonyong-konyong pasukan Mongol tersibak ke samping. Seorang tua berkaki pincang bertongkat besi tampak menerjang datang dengan memutar senjatanya yang berbentuk palu besar.

“Lekas terjang keluar, Yo Ko, akan kulindungi kau dari belakang!” seru kakek pincang itu. Kiranya dia adalah Pang Bik-hong, murid Oey Yok-su.

Seperti diketahui, dia dipaksa wajib kerja bagi pasukan Mongol untuk menggembleng dan membuat senjata. Diam-diam ia bercita2 akan membunuh beberapa perwira Mongol, tapi selama ini belum ada kesempatan. Kebetulan hari ini terdengar suara pertempuran yang sengit, dari tempat ketinggian ia melihat Kwe Ceng dan Yo Ko dikepung, maka segera ia menerjang membantu. Ia putar palunya yang besar itu dengan kencang, siapa yang kebentur pasti kepala remuk dan tulang patah, karena itu dia berhasil membuka jalan darah.

Tentu saja Yo Ko amat girang, cepat ia menerobos. Tapi Kim-lun Hoat-ong tidak tinggal diam, ia putar rodanya dan sekaligus menghadang di depan Yo Ko dan Pang Bik-hong, ia sambut semua serangan kedua orang itu.


MEMBOBOL KEPUNGAN

Bila pentung Siau-siang-cu menghantam punggung Kwe Ceng, maka Hoat-ong memberi kesempatan pada Yo Ko untuk menangkis agar serangan Siau-siang-cu gagal mengenai Kwe Ceng. Tapi jika rodanya mengepruk Kwe Ceng, Siau-siang-cu juga lantas mengayun pentungnya untuk menangkiskan. Untunglah kedua orang itu saling berlomba membunuh Kwe Ceng, kalau tidak biar pun Yo Ko bertempur mati-matian sukar untuk menyelamatkan jiwa Kwe Ceng.

Sementara itu Kwe Ceng dan Yo Ko sudah bertempur sekian lama di tengah kepungan musuh yang amat ketat. Kim-lun Hoat-ong tidak sangsi lagi, cepat ia menubruk maju, rodanya menghantam dan beradu dengan pedang Yo-Ko. Kun-cu-kiam yang didapatkan Yo Ko dari Coat-ceng-kok amat tajam, maka roda Hoat-ong tertebas secuil, namun Hoat-ong terus mendorong rodanya ke depan dengan tenaga kuat.

Kuatir Kwe Ceng terluka, Yo Ko tak berani mengegos ke samping, terpaksa ia menangkis dengan pedangnya. Karena roda itu sudah menyerang dulu ke samping belakangnya, maka lengannya kembali tergores luka dan mengucurkan darah. Biar pun lukanya tidak parah, akan tetapi sekali ini pembuluh darah teriris oleh tepian roda yang tajam. Darah terus mengalir, lambat laun Yo Ko merasa lemas, tenaga juga semakin berkurang, sedangkan musuh menyerang lebih gencar sehingga tidak sempat membalut lukanya.

Dengan putar tongkat dan palunya Pang Bik-hong bermaksud membantu, namun pukulan Hoat-ong membuatnya kelabakan. Melihat kesempatan baik, mendadak Siau-siang-cu melompat ke atas, pentungnya menotok kepala Kwe Ceng, ia hendak menggunakan asap berbisa. Tentu saja Yo Ko terkejut, dengan menggendong Kwe Ceng gerak-geriknya menjadi kurang gesit, tanpa pikir ia mengulur tangan kiri menangkap ujung pentung musuh, menyusul pedang di tangan kanan menusuk.

Keadaan Yo Ko sama sekali tidak terjaga, kalau mau dengan mudah saja Hoat-ong dapat membinasakan anak muda itu. Tapi Hoat-ong sengaja hendak memperalat Yo Ko untuk menghalau serangan Siau-siang-cu, maka setelah mendesak mundur Pang Bik-hong, segera ia mencengkeram punggung Kwe Ceng, dengan menawan Kwe Ceng hidup-hidup berarti jasa maha besar.

Dalam pada itu Yo Ko sudah mengeluarkan segenap kemahirannya. Dia merebut pentung dan menusuk dengan pedang, kedua gerakan ini dilakukan sekaligus. Belum lagi kaki Siau-siang-cu menapak tanah, tahu-tahu pentungnya dipegang lawan, malah pandangannya menjadi silau, ujung pedang Yo Ko menyambar tiba di depan. Dalam keadaan kepepet, tiada jalan lain kecuali pentung diIepaskan, tubuhnya balik ke belakang dengan begitu jiwanya dapatlah dipertahankan.

Sementara itu Pang Bik-hong melihat keadaan cukup gawat, kembali tongkat dan palunya menghantam ke punggung Kim-lun Hoat-ong. Terpaksa Hoat-ong menarik balik rodanya untuk menangkis.

“Trang! Trang!”

Tangan Hoat-ong tergetar sakit, namun sebelah tangannya masih mencengkeram ke punggung Kwe Ceng. Pang Bik-hong meraung keras, tongkat dan palu dibuang terus menubruk maju dengan kalap, dia rangkul tubuh Kim-lun Hoat-ong sekencang-kencangnya, seketika kedua orang jatuh terguling. Tidak kepalang gusar Hoat-ong.

“Blang!” dia hantam pundak Pang Bik-hong hingga isi perut murid Oey Yok-su serasa terjungkir balik dan rontok.

Tapi Pang Bik-hong benar-benar sudah nekat. Ia menyaksikan keganasan pasukan Mongol dan betapa hebatnya kota Siang-yang digempur serta cara Kwe Ceng berusaha menghalau musuh dengan mati-matian. Dia tidak kenal Kwe Ceng, juga tidak tahu orang adalah menantu gurunya, cuma ia pikir kalau Kwe Ceng mati, tentu kota Siang-yang juga jatuh, sebab itulah dia sudah bertekad menoIong Kwe Ceng sekali pun jiwa sendiri harus terbunuh!

Begitulah tanpa ampun Kim-lun Hoat-ong menghantam beberapa kali, seketika otot Pang Bik-hong putus dan tulang remuk. Walau pun sudah terluka parah, namun rangkulannya tidak menjadi kendur, bahkan semakin kencang saja sehingga kesepuluh jarinya ambles ke dalam daging tubuh Kim-lun Hoat-ong.

Tadinya perwira dan prajurit Mongol hanya menyaksikan pertarungan sengit itu, mereka yakin Kim-lun Hoat-ong dan lain-lain pasti akan berhasil, kini mendadak tampak Hoat-ong terguling dan Siau-siang-cu melompat mundur, serentak mereka mengerubut maju. Dalam keadaan begini, sekali pun tidak terluka Kwe Ceng dan Yo Ko sukar menahan terjangan beribu orang. Diam-diam Yo Ko mengeluh, nasibnya sekali ini pasti akan tamat. Tetapi sebelum ajal dia pantang menyerah, tanpa pikir ia putar pentung rampasannya dari Siau-siang-cu.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar