Jumat, 03 September 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 105

Kwe Ceng membalas hormat kemudian berkata “Hubunganku dengan Tulai Anda (anda - saudara angkat dalam bahasa MongoI) laksana saudara sekandung, waktu kecil kami ibu dan anak bernaung di bawah lindungan haycou (Jengis Khan) dan telah banyak menerima bantuan beliau. Siapa duga ayahmu yang gagah perwira itu mendadak wafat dalam usia muda, sungguh aku sangat menyesal dan ikut berduka cita.”

Ucapan Kwe Ceng yang sungguh-sungguh dan tulus itu membikin hati Kubilai terharu juga, segera dia pun memperkenalkan Siau-siang-cu, In Kik-si dan lain-lain. Kwe Ceng disilakan duduk pada tempat yang paling terhormat, sedangkan Yo Ko berdiri di belakang Kwe Ceng dan pura-pura tidak kenal dengan semua orang.

Kim-lun Hoat-ong dan lain-lain tidak tahu maksud tujuan ikut sertanya Yo Ko, tapi mereka pun tidak menegurnya ketika melihat anak muda itu tidak menggubris mereka, hanya Be Kong-co saja, dasarnya memang orang dogol, segera dia berseru:

“Eh, Yo-heng...”

Belum lanjut ucapannya, mendadak In Kik-si mencubit sekerasnya pantat Be Kong-co. Saking kesakitan Be Kong-co menjerit, akan tetapi In Kik-si segera berpaling ke sana dan tidak menggubrisnya. Karena tidak tahu siapa yang menyakitinya, Be Kong-co lantas ngomel dan marah-marah sehingga lupa menyapa Yo Ko. Sesudah minum satu cawan arak susu kuda khas Mongol, segera Kwe Ceng bermaksud menanyakan tentang kedua saudara Bu, akan tetapi Kubilai sudah berseru kepada anak buahnya.

“Lekas undang kedua tuan Bu ke sini.”

Para pengawal mengiyakan. Tidak lama kemudian Bu Tun-Si dan Bu-Siu-bun tampak digusur masuk, kaki dan tangan diikat dengan tali kulit. Tali kulit di bagian kaki panjangnya tidak lebih dari setengah meter sehingga terpaksa kedua anak muda itu harus melangkah perlahan.

Melihat sang guru berada di situ, kedua saudara Bu terkejut dan malu sekali. Mereka memanggil:

“Suhu!”, lalu menunduk dan tidak berani membuka suara.

Sebenarnya Kwe Ceng sangat marah pada kecerobohan tindakan kedua anak muda itu, namun demi melihat pakaian mereka lusuh, badan berlepotan darah, suatu tanda mereka mengalami pertarungan sengit dan akhirnya baru tertawan, lagi pula melihat kedua orang itu diringkus secara mengenaskan, dari marah menjadi kasihan kepada mereka. Ia pikir meski pun tindakan mereka sembrono, tapi tujuannya luhur demi bangsa dan negara, betapa pun jiwa patriotik mereka harus dipuji. Maka dengan suara halus dia lantas berkata:

“Orang persilatan adalah jamak mengalami berbagai gemblengan jiwa dan raga serta mengalami berbagai kegagalan, semua ini tidak menjadi soal.”

Kubilai pura-pura mengomeli anak buahnya: “Sudah kuperintahkan melayani kedua tuan Bu ini dengan baik, mengapa kalian berlaku sekasar ini? Lekas buka ikatan mereka!”

Anak buahnya mengiyakan dan segera hendak membuka tali kulit yang meringkus kedua saudara Bu itu. Namun tali kulit itu sangat kencang, apa lagi sebelumnya sudah dibasahi dengan air sehingga sukar dibuka begitu saja. Segera Kwe Ceng mendekatinya. Ia pegang tali kulit yang mengikat dada Bu Tun-si dan dibetotnya ke kanan-kiri.

“Pratt!”

Seketika tali kulit itu putus, menyusul dia pun memutuskan tali ikatan di tubuh Bu Tun-si dengan cara yang sama. Cara Kwe Ceng memutuskan tali kulit itu tampaknya amat mudah, tapi sebenarnya sukar dilaksanakan jika tidak memiliki tenaga dalam yang kuat. Siau-siang-cu, Nimo Singh dan lain-lain saling pandang sekejap, dalam hati masing-masing bertambah waswas.

“Lekas bawakan arak dan minta maaf kepada kedua tuan Bu!” seru Kubilai kepada anak buahnya.

Dalam hati Kwe Ceng mulai menimbang bahwa pertempuran ini pasti takkan berakhir dengan damai, sebentar lagi pasti terjadi pertempuran sengit, bila kedua saudara Bu tidak lekas pergi malah akan menjadi beban baginya. Segera Kwe Ceng bangkit lalu memberi hormat kepada Kubilai dan para hadirin, katanya

“Terima kasihku kepada Ongya dan saudara sekalian yang sudah memberi pengajaran atas kelancangan murid-muridku.” Lalu dia berpaling kepada kedua saudara Bu: “Nah, lekas kalian pulang dan beritahu Subo bahwa di sini aku berjumpa dengan putera saudara angkatku, sebentar lagi aku pulang sesudah berbincang dengan sahabat lama ini.”

“Tapi Suhu...” karena sudah merasa kapok menghadapi musuh-musuh tangguh, Bu Siu-bun kuatir atas keselamatan Kwe Ceng.

Tetapi Kwe Ceng lantas melambaikan tangannya sambil membentak: “Lekas pergi kalian! Lapor kepada Lu-ciang-kun bahwa pertahanan perlu diperkuat, apa pun yang bakal terjadi jangan se-kali-kali pintu gerbang dibuka untuk menjaga sergapan musuh secara mendadak.”

Ucapan Kwe Ceng itu lantang lagi berwibawa dan sengaja diperdengarkan kepada Kubilai dan anak buahnya, artinya kalau sampai terjadi apa-apa atas diri Kwe Ceng, betapa pun kota Siang-yang tetap harus dipertahankan. Kedua saudara Bu tahu arti pesan sang guru, mereka tidak berani bicara lagi dan segera mohon diri.

Sambil tertawa kemudian Kubilai berkata: “Mungkin paman Kwe belum tahu bahwa kedua saudara itu datang ke sini hendak membunuh diriku?”

Kwe Ceng mengangguk, jawabnya: “Ya, sebelumnya aku memang tidak tahu, dasar anak kecil, terlalu sembrono.”

“Memang sudah kuduga pasti paman Kwe tidak mengetahui perbuatan mereka, aku yakin paman Kwe pasti takkan menyuruh mereka berbuat demikian mengingat hubungan baik paman dengan mendiang ayahku,” kata Kubilai.



“Belum tentu begitu,” ujar Kwe Ceng dengan tegas. “Urusan dinas harus diutamakan dari pada urusan pribadi. Dulu Tulai Anda juga pernah memimpin pasukan menyerbu kota Siang-yang, waktu itu aku pun punya pikiran hendak melakukan pembunuhan gelap terhadap kakak angkat sendiri agar pasukan musuh dapat digempur mundur. Tapi ketika itu kebetulan Thaycou jatuh sakit, terpaksa pasukan Mongol mundur kembali ke wilayahnya, sebab itu persaudaraanku dengan Tulai Anda tetap terpelihara dengan baik. Pada jaman dulu, seorang pahlawan tega membunuh anggota keluarga sendiri demi kesetiaan kepada negara. Kalau anggota keluarga saja boleh dibunuh, apa lagi cuma sahabat atau saudara angkat.”

Hati Yo Ko tergetar mendengar ucapan tegas dan sungguh-sungguh itu, pikirnya: “Pantas saja, memang membunuh saudara angkat adalah kebiasaannya, Entah mendiang ayahku itu berbuat kesalahan apa sehingga tewas di tangannya. Wahai Kwe Ceng, apakah dalam hidupmu sendiri selamanya tak pernah berbuat kesalahan?” BegituIah rasa dendam dan bencinya timbul lagi.

Ternyata Kubilai sama sekali tidak marah atas kata-kata Kwe Ceng, dia menanggapi dengan tersenyum:

“Jika begitu, mengapa paman Kwe bilang kedua muridmu tadi terlalu sembrono?”

“Mengapa tidak?” jawab Kwe Ceng. “Kepandaian mereka masih cetek, mereka tidak tahu diri dan melakukan pembunuhan gelap, tentu saja gagal. Bahwa mereka pasti akan gagal bukan soal, yang pasti kau menjadi bertambah waspada sehingga untuk selanjutnya tentu sukar jika hendak membunuh kau.”

Kubilai tertawa bergelak, ia pikir Kwe Ceng ini terkenal polos dan kurang mahir bercakap, tapi nyatanya kata-katanya ini teramat tajam. Padahal Kwe Ceng hanya bicara sesuai dengan kenyataan, apa yang dia pikirkan saat itu segera dikatakannya.

Kim-lun Hoat-ong merasa kagum juga melihat sikap Kwe Ceng yang tak gentar biar pun berada di tengah pasukan musuh. Begitu juga Kubilai sangat senang dan menyukai tokoh macam Kwe Ceng ini. Ia pikir kalau orang ini dapat dirangkul menjadi pembantuku, maka nilainya jauh melebihi sepuluh buah kota Siang-yang. Segera ia berkata:

“Paman Kwe, saat ini kerajaan Song sedang kemelut, raja dan rakyatnya sengsara, banyak pembesar dorna berkuasa se-wenang-wenang. Paman Kwe sendiri adalah ksatria yang gagah perkasa, kenapa engkau sudi diperbudak oleh raja lalim dan pembesar dorna itu?”

Mendadak Kwe Ceng berdiri dan berseru: “Se-jeIek-jeleknya orang she Kwe mana aku sudi diperalat oleh kaum dorna dan raja lalim. Soalnya aku benci terhadap orang Mongol yang menjajah wilayah negeri kami dan melakukan keganasan tanpa batas. Darah mendidih dalam rongga dadaku, bergolak siap berkorban bagi bangsa dan negaraku.”

“Bagus!” Kubilai berseru sambil menggebrak meja. “Marilah kita minum satu cawan bagi keperwiraan paman Kwe.” Habis ini lantas mendahului menenggak habis semangkuk arak susu kuda.

Meski tidak semuanya setuju atas sikap Kubilai, akan tetapi semua orang terpaksa mengiringi minum satu mangkuk. Segera para pengawal menuangkan lagi mangkuk yang sudah kosong.

Segera Kwe Ceng berkata pula: “Negara kami luas dan rakyat kami amat banyak dengan peradaban yang tinggi, sejak jaman baheula hingga sekarang belum pernah bertekuk lutut kepada bangsa lain. Meski untuk sementara ini orang Mongol mendapatkan kemenangan, kelak pasti akan dienyahkan dari sini dengan kehancuran yang sukar dibayangkan. Untuk itulah hendaknya Ongya suka merenungkannya lebih masak agar tidak menyesal di kemudian hari.”

“Terima kasih atas petuah paman,” jawab Kubilai dengan tertawa.

Melihat sikap orang yang meremehkan kata-katanya, segera Kwe Ceng berkata pula: “Baiklah, aku mohon diri sekarang juga, sampai bertemu lagi.”

“Antar tamu!” seru Kubilai kepada anak buahnya.

Hoat-ong dan lain-lain saling pandang dengan bingung dan semua menatap ke arah Kubilai. Mereka pikir dengan susah payah Kwe Ceng sudah dipancing masuk perangkap, masa sekarang dilepaskan begitu saja? Tapi jelas terlihat Kubilai telah mengantar Kwe Ceng keluar kemah dengan penuh hormat, betapa pun juga mereka tak berani sembarangan bertindak.

Sambil melangkah keluar kemah, diam-diam Kwe Ceng mengakui kehebatan Kubilai yang tak boleh diremehkan. Ia mengedipi Yo Ko sambil mempercepat langkahnya ke tempat kuda. Mendadak dari samping muncul delapan orang Mongol yang kekar, seorang di antaranya menegur:

“He, kau ini Kwe Ceng bukan? Kau telah banyak menewaskan saudara kami di Siang-yang, sekarang kau berani berlagak di sini. Ongya membiarkan kau pergi, tetapi kami tidak dapat tinggal diam.”

Sekali menggertak, serentak kedelapan orang menubruk maju, dengan Judo gaya Mongol mereka hendak menjambret baju Kwe Ceng. Berkelahi secara Mongol ini adalah kebanggaan orang MongoI, bahkan kedelapan orang ini adalah jago Judo Mongol yang paling lihay dan memang sengaja disiapkan oleh Kubilai di situ untuk menangkap Kwe Ceng.

Namun Kwe Ceng yang sejak kecil tinggal di Mongol juga mahir kepandaian orang Mongol seperti menunggang kuda, memanah dan bantingan (Judo) ala Mongol ini. Begitu melihat orang-orang itu hendak memegangnya, cepat kedua tangannya meraih ke kanan dan kiri, kaki kanan berbareng menyapu, hanya sekejap saja empat orang telah dipegangnya terus dibanting, empat orang lagi kena diserampang oleh kakinya hingga terjungkal. Yang digunakan Kwe Ceng adalah kepandaian bantingan gaya Mongol asli, hanya saja ia mempunyai dasar ilmu silat yang tinggi, tenaganya kuat luar biasa, tentu saja kedelapan orang itu bukan tandingannya.

Di luar kemah berjaga seribu prajurit pribadi Kubilai, semuanya mahir ilmu bantingan, maka bersorak sorailah mereka demi menyaksikan sekaligus Kwe Ceng dapat merobohkan delapan jagoan mereka itu.

Kwe Ceng mengepalkan kedua tangannya dan menanggalkan kopiahnya sambil berputar satu keliling. Ini adalah adat orang MongoI sebagai balas menghormat pada sorak pujian para penonton setelah berhasil membanting jatuh lawannya. Karena sikap Kwe Ceng ini, sorak sorai pasukan Mongol bertambah gemuruh.

Setelah merangkak bangun, kedelapan orang Mongol itu memandangi Kwe Ceng dengan terkesima bingung, entah mesti menubruk maju lagi atau disudahi sampai di sini saja?

Segera Kwe Ceng memberi tanda kepada Yo Ko agar berangkat. Tapi pada saat itu juga terdengarlah suara tiupan tanduk sahut menyahut di sana sini, beberapa pasukan Mongol tampak berseliweran di kejauhan sana, rupanya Kubilai telah mengerahkan pasukannya, Kwe Ceng dan Yo Ko terkepung rapat di tengah. Melihat kekuatan musuh yang hebat, diam-diam Kwe Ceng terkejut. Dia pikir biar pun mempunyai kepandaian setinggi langit sulit menembus kepungan musuh seketat ini, sungguh tak disangka bahwa Kubilai akan mengerahkan pasukan hanya untuk melayani Kwe Ceng seorang saja.

Dia kuatir Yo Ko merasa gentar, maka dia sendiri sedapatnya bersikap tenang, katanya kepada anak muda itu:

“Kuda kita cukup cepat, mari kita terjang saja dan rampas dua buah perisai musuh untuk menjaga kuda kita.” Lalu dia membisiki pula: “Lekas menerjang dulu ke selatan, habis itu kita putar balik ke utara.”

Semula Yo Ko melengak heran. Siang-yang terletak di selatan, kenapa sang paman justru mengajaknya menerjang ke utara? Tetapi dia lantas paham maksud Kwe Ceng, tentu sebelumnya Kubilai telah pusatkan pasukannya di sebelah selatan untuk menghadang dia kabur pulang ke Siang-yang, karena itu penjagaan di sebelah utara tentu kosong. Terjang dahulu ke selatan, lalu membalik menerjang ke utara secara tak terduga, dengan demikian kepungan musuh pasti akan dapat dibobolkan.

“Wah, cara bagaimana harus kugagalkan rencananya ini?” demikian pikir Yo Ko.

Baru saja timbul pikiran Yo Ko ini, mendadak dari kemah Kubilai melayang keluar beberapa orang, dalam sekejap saja orang-orang itu sudah menghadang di hadapan Kwe Ceng, menyusul terdengar suara meraung di udara, sebuah roda tembaga dan sebuah roda besi menyambar berbareng ke arah kuda Kwe Ceng dan Yo Ko. Nyata Kim-lun Hoat-ong sudah turun tangan untuk merintangi.

Ketika melihat sambaran kedua roda itu amat keras, Kwe Ceng tak berani menangkapnya dengan tangan, ia menunduk ke bawah, kedua tangannya menekan sekuatnya pada leher kedua kuda mereka. seketika kaki depan kuda-kuda itu bertekuk lutut dan sepasang roda musuh pun menyambar lewat di atas kepala kuda. Roda berputar satu kali di udara, lalu terbang kembali ke tangan Hoat-ong. Karena rintangan itu pula, tahu-tahu Nimo Singh dan In Kik-si menyusul tiba, habis itu Kim-lun Hoat-ong dan Siau-siang-cu juga memburu datang. Mereka berempat segera mengelilingi Kwe Ceng dan Yo Ko.

Sebagai tokoh kelas satu di dunia Kangow, Kim-lun Hoat-ong, Siau-siang-cu dan lain-lain tidak sudi merosotkan derajat mereka dengan cara main kerubut. Akan tetapi lantaran Kanghu Kwe Ceng terlalu lihay, lagi pula setiap orang ingin sekali mendapatkan gelar ‘jago nomor satu Mongol’, dengan sendirinya mereka saling berlomba mendahului. Segera kelihatan sinar senjata gemerlapan yang menyilaukan mata, keempat orang telah menyiapkan senjata masing-masing.

Kini yang dipegang Kim-lun Hoat-ong adalah senjata roda emas, In Kik-si bersenjata Kim-pian (ruyung emas) bertaburkan mutiara dan batu permata. Siau-siang-cu memegang sebatang pentung seperti yang biasanya dibawa anggota keluarga yang kematian orang tua. Ada pun senjata Nimo Singh paling aneh, senjatanya melilit pada lengan dan dapat mulur mengkeret, tampaknya seperti ular hidup.

Kwe Ceng menyadari jika keempat lawan ini tidak dibereskan tentu sukar bagi dirinya untuk lolos. Kedudukan kedua pihak 2 lawan 4, untuk menang jelas sulit, tetapi asalkan bisa merobohkan salah seorang musuh, untuk lolos rasanya tidak susah. Dia coba mengamat-amati gerakan keempat lawan dan cara mereka memegang senjata. Tampaknya di antara keempat lawan itu In Kik-si adalah paling lemah. Secara mendadak Kwe Ceng menghantam sekaligus dengan kedua tangan menuju muka Siau-siang-cu.

Tanpa mengelak Siau-siang-cu malah menegakkan pentungnya untuk menotok telapak tangan Kwe Ceng. Sudah tentu Kwe Ceng tidak berani meremehkan musuh. Dia tahu semakin sepele senjata yang digunakan, semakin tinggi ilmu silatnya. Maka dia tak berani menyambut pentung orang, cepat dia membaliki tangannya ke sana, dengan gerakan ‘Sin-liong-pah-bwe’ (naga sakti menggoyang ekor), dengan tepat senjata ruyung In Kik-si kena dicengkeram. Caranya membaliki tangan untuk merebut senjata musuh sungguh cepat dan gesit luar biasa.

Segera ln Kik-si bermaksud menyendal ruyungnya untuk menggempur musuh, tapi sudah terlambat, ujung ruyung sudah terpegang Kwe Ceng. Namun pengalaman In Kik-si sangat luar biasa, hampir semua ilmu silat dari aliran mana pun diketahuinya, meski pun tidak semuanya dilatihnya dengan baik, tapi kepandaiannya memang banyak ragamnya. Begitu terasa senjatanya terpegang musuh, segera dia ikuti gaya tarikan Kwe Ceng terus menubruk maju, berbareng tangan lain bertambah dengan sebatang belati.

“Bagus!” seru Kwe Ceng, kini kedua tangannya digunakan sekaligus, tangan kanan tetap memegangi ujung ruyung lawan dan tangan kiri berusaha merebut belati. Dalam keadaan tangan kanan merebut senjata kanan dan tangan kiri merebut senjata kiri lawan jadi kedua tangan Kwe Ceng telah berada dalam keadaan bersilang.

Tadinya In Kik-si mengira dengan tikaman belatinya pasti dapat memaksa musuh melepaskan ruyungnya. Siapa tahu bukannya Kwe Ceng menghindar, sebaliknya belati itu pun hendak dirampasnya, jadi bukan saja ruyung tidak dapat dipertahankan bahkan belati juga akan terlepas. Pada saat berbahaya itulah tiba-tiba roda emas Hoat-ong dan pentung Siau-siang-cu menyerang tiba berbareng.

Diam-diam Kwe Ceng kagum terhadap kelihayan lawan karena tidak berhasil membetot lepas ruyung musuh. Tiba-tiba ia menggertak dan mengerahkan tenaga dalam sekuatnya melalui ruyung itu, seketika In Kik-si merasa dadanya bagaikan dipalu, mata berkunang dan darah segar tersembur dari mulutnya. Pada saat itu pula Kwe Ceng langsung melepaskan pegangannya pada ruyung lantas membalikkan tangan melayani serangan roda emas serta pentung.

In Kik-si tahu lukanya tidak ringan. Perlahan dia meninggalkan kalangan pertempuran lalu duduk bersila di tepi untuk menahan muntah lebih lanjut.

Melihat In Kik-si dilukai Kwe Ceng, Hoat-ong dan Siau-siang-cu di samping senang juga merasa keder. Mereka senang karena berkurang seorang saingan yang ikut berebut gelar ‘jago nomor satu Mongol’, tapi melihat betapa lihaynya Kwe Ceng, mereka juga keder dan kuatir kalau mereka pun terjungkal di tangan lawan. Demikianlah ketiga orang sama-sama tidak berani sembarangan bertindak, mereka sama berjaga dengan rapat.


ANTARA DENDAM DAN NURANI

Di samping melayani kedua lawan, diam-diam Kwe Ceng menyelami dua macam senjata aneh yang dipegang Siau-siang-cu dan Nimo Singh. Pentung pendek yang dibawa Siau-siang-cu terbuat dari baja, kecuali keras dan berat sukar diketahui keanehan yang Iain, sedangkan senjata ular milik Nimo Singh itu menyerang dengan jurus yang aneh sekali. Senjata ular berbisa yang kepalanya segitiga. Badan ular dapat melingkar dengan lemas, kepala dan ekor tampak runcing dan sangat tajam, yang lihay adalah sukar diduga bila mana badan ular itu akan melingkar dan ke arah mana kepala atau ekor ular itu akan menyerang. Tetapi di tangan Nimo Singh senjata ular itu dapat beterbangan naik turun dan berputar-putar dengan aneka macam perubahan yang hebat.

Dahulu Kwe Ceng pernah bertempur melawan tongkat ular Auyang Hong. Ular aneh yang melilit pada tongkatnya itu adalah ular tulen dan berbisa luar biasa. Tapi senjata ular-ularan Nimo Singh sekarang meski juga aneh, namun hanya bentuknya saja seperti ular tetapi sebenarnya benda mati, jadi betapa pun pasti ada titik kelemahannya. Sebab itulah Kwe Ceng lebih jeri terhadap serangan roda Kim-lun Hoat-ong dari pada Nimo Singh.

Setelah pertarungan berlangsung belasan gebrakan, sekonyong-konyong terdengar suara raungan orang, kelihatan seorang tinggi besar menerjang, siapa lagi dia kalau bukan Be Kong-co. Senjata Be Kong-co adalah sebatang toya yang panjang lagi besar. Tanpa bicara dia mengemplang kepala Kwe Ceng dari belakang Nimo Singh. Padahal waktu itu empat tokoh sedang bertempur dengan sengitnya dan sama-sama berjaga dengan sangat rapat, hakikatnya tiada peluang sedikit pun bagi orang lain. Tenaga pukulan dan sambaran senjata sudah berbentuk menjadi satu jaringan kekuatan yang maha dahsyat.

Maka kemplangan toya Be Kong-co kontan terbentur jaringan tenaga yang dibentuk empat orang yang sedang saling gempur itu. Meski pun tanpa mengeluarkan suara, toya itu terpental balik, jika saja Be Kong-co tidak memiliki tenaga sakti, tentu toya itu sudah mencelat terlepas dari tangannya atau bisa jadi toya itu malah mengemplang kepalanya sendiri hingga pecah berantakan. Tapi begitu merasa gelagat jelek, Be Kong-co berteriak keras sambil mengerahkan kekuatannya untuk menahan toyanya sehingga tidak sampai merugikan diri sendiri, walau pun begitu tangannya tetap saja terasa kesemutan dan lecet berdarah.

“Aneh, aneh!” ia berseru dan mengerahkan tenaga, sekuatnya ia mengemplang lagi. Ia mengemplang Kwe Ceng dengan berdiri di belakang Nimo Singh, ada pun yang berdiri di depannya adalah Kim-lun Hoat-ong.

Kim-lun Hoat-ong menduga kemplangan Be Kong-co pasti akan menimbulkan kekuatan lebih besar, tapi ia cuma menyeringai saja dan tidak mencegahnya.

Yo Ko juga menyaksikan keadaan itu. Dia tahu kepandaian Be Kong-co terlalu jauh kalau dibandingkan keempat tokoh itu, bila ikut bertempur akan membuat susah dirinya sendiri. Dia suka kepada orang dogol yang berhati polos ini, pula sudah beberapa kali Be Kong-co membelanya, maka ia tidak tega menyaksikan si dogoI dicelakai. Segera ia membentak:

“Be Kong-co awas seranganku!”

Berbareng pedangnya menusuk ke punggung orang dogol itu. Be Kong-co melengak bingung, katanya:

“Adik Yo, mengapa kau menyerang padaku?”

“Orang goblok, lekas enyah dari sini!” damperat Yo Ko sambil melancarkan beberapa kali tusukan sehingga Be Kong-co kelabakan berusaha mengelak dan terpaksa melompat mundur sehingga cukup jauh dari kalangan pertempuran Kwe Ceng berempat.

Setelah mendesak mundur beberapa langkah lagi, kemudian Yo Ko membisiki Be Kong-co dengan suara tertahan:

“Be-toako, jiwamu sudah kuselamatkan, kau tahu tidak?”

“Apa katamu?” tanya Be Kong-co dengan bingung.

“Ssst, jangan keras-keras, nanti didengar mereka,” desis Yo Ko.

“Ada apakah?” kembali Be Kong-co menegas dengan mata terbelaIak. “Apa yang mesti aku takuti terhadap Hwesio gede piaraan biang anjing itu?” Suaranya tetap keras, baginya adalah bicara biasa, namun bagi orang lain sudah serupa orang berteriak.

“Baiklah, kalau begitu kau jangan bicara lagi, turut saja perkataanku,” kata Yo Ko.

Penurut juga Be Kong-co, ia mengangguk dan tidak bersuara pula. Yo Ko lantas berkata padanya:

“Kwe Ceng bisa ilmu sihir, begitu dia membaca mantera segera kepala lawan dapat dipenggalnya. Maka lebih baik kau berdiri sejauhnya dari dia.”

Mata Be Kong-co terbelalak lebar, setengah percaya setengah tidak. Karena ingin menolong jiwa si dogol, Yo-Ko tahu jalan paling baik adalah mengibulinya. Kalau dikatakan ilmu silat Kwe Ceng sangat hebat tentu dia tidak mau menyerah kalah, tapi kalau bilang Kwe Ceng mahir ilmu sihir, besar kemungkinan si dogol mau percaya. Karena itu, untuk lebih meyakinkan kepercayaan Be Kong-co, Yo-Ko berkata pula:

“Tadi kau mengemplang dengan toyamu, tidak membentur apa-apa tapi terpental balik. Aneh, bukan? Ilmu silat saudagar Persi itu sangat tinggi, mengapa sekali gebrak juga dilukainya?”

Be Kong-co mau percaya ucapan Yo Ko ini. Dia manggut-manggut, lalu memandang Kim-lun Hoat-ong, Siau-siang-cu dan lain-lain dengan agak ragu. Yo Ko tahu apa yang sedang dipikirkan Be-Kong-co, segera ia menambahi.

“Hwesio gede itu punya jimat dan dia sudah memberi jimat kepada mayat hidup serta setan cebol itu. Mereka membawa jimat, dengan sendirinya tidak gentar terhadap ilmu sihir lawannya. Apa Hwesio gede itu tidak memberi jimatnya padamu?”

Dengan gemas Be Kong-co menjawab: “Tidak!”

“Ya, bangsat gundul itu memang tidak dapat diajak bersahabat. Dia juga tidak memberi jimatnya padaku, biarlah nanti kita bikin perhitungan dengan dia,” kata Yo Ko.

“Benar!” seru Be Kong-co, “Lantas bagaimana sekarang?”

“Kita menonton saja, makin jauh makin baik,” ujar Yo Ko.

“Kau memang orang baik, adik Yo,” kata Be Kong-co. “Syukur kau mau memberi tahu padaku.”

Segera dia seret toyanya dan mundur lebih jauh untuk mengikuti pertarungan Kwe Ceng berempat itu.

Sementara itu Kwe Ceng sedang mengeluarkan ilmu silat yang terkenal, ‘Hang-liong-cap-pek-ciang’ (delapan belas jurus penakluk naga), biar pun ilmu silat Hoat-ong bertiga tinggi juga, tapi biasanya mereka tinggal terpencil di daerah yang jarang orang luar, pengalaman dan pengetahuan mereka terbatas, dibandingkan dengan In Kik-si jelas pengetahuan mereka boleh dikatakan teramat dangkal. Melihat ilmu pukulan yang amat dahsyat itu, mereka bertiga sama sekali tidak kenal asal-usulnya. Mereka hanya mengepung Kwe Ceng di tengah, mereka berpikir asalkan mereka mengepung sekuatnya, tentu lawan takkan bisa tahan lama mengerahkan tenaga pukulan sehebat itu.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar