Jumat, 03 September 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 104

Ketika pasukan kedua pihak bertempur dengan sengitnya, hati Yo Ko juga bertentangan seperti pertempuran di medan perang. Dilihatnya Kwe Ceng terancam bahaya, sekilas timbul beberapa kali pikiran Yo Ko: “Dia adalah musuhku, harus kubunuh dia atau tidak?”

Waktu Kwe Ceng hampir mencapai benteng, asalkan Yo Ko menghantamnya satu kali dari atas, dalam keadaan terapung di udara Kwe Ceng pasti akan terluka lantas jatuh binasa. Tapi sedikit ragu saja, Kwe Ceng sudah terperosot lagi ke bawah oleh panah Kim-lun Hoat-ong. Dalam keadaan pikiran kacau, mendadak Yo Ko memegang kutungan tali di tangan Cu Cu-liu terus menubruk ke bawah benteng dan syukur sebelah tangannya masih keburu mencengkeram tangan Kwe Ceng.

Perubahan kejadian ini cepat luar biasa, tapi Cu Cu-liu adalah murid It-teng Taysu, betapa cepat dan tangkas tindakannya, tanpa ayal ia terus menarik sekuatnya kutungan tali yang masih di tangannya itu. Dengan sekali sendal, segera Yo Ko dan Kwe Ceng terangkat ke atas, laksana dua ekor burung raksasa kedua orang lantas melayang di udara! Menyaksikan kejadian luar biasa itu, pasukan kedua pihak seketika melongo kesima.

Dalam keadaan ‘terbang’ di udara, Kwe Ceng merasa penasaran apa bila dia tidak dapat membalas kelicikan Hoat-ong tadi. Dilihatnya Hoat-ong sudah pentang busur dan hendak memanah lagi, maka begitu dia tancapkan kaki di atas benteng, segera ia rebut busur dan panah dari seorang prajurit lalu secepat kilat dia pun lepaskan panah ke arah panah yang sudah dibidikkan Hoat-ong.

“Prakk!”

Panah Kim-lun Hoat-ong tertembak patah menjadi dua. Ketika Hoat-ong melengak kaget,

“Crengg...!”

Tahu-tahu busur yang dipegangnya juga patah oleh panah berikutnya yang dilepaskan Kwe Ceng. Sebenarnya kepandaian Kwe Ceng dan Kim-lun Hoat-ong boleh dikatakan seimbang, tapi pada waktu kecil Kwe Ceng pernah mendapat pelajaran memanah dari Cepe, si pemanah sakti kesayangan Jengis Khan, ditambah tenaga dalam Kwe Ceng sendiri maha kuat, maka kepandaiannya memanah sungguh sukar dicari bandingannya di dunia ini, dengan sendirinya Kim-lun Hoat-ong bukan tandingannya.

Ber-turut tiga kali, panah pertama mematahkan panah lawan, panah kedua mematahkan busur dan panah ketiga segera dilepaskan untuk mengincar panji kebesaran Kubilai. Panji itu sedang berkibar-kibar tertiup angin dan tampaknya sangat angker di tengah be-ratus ribu prajurit. Mendadak anak panah menyambar tiba dan tepat memutuskan tali panji itu, seketika panji kebesaran Kubilai melorot ke bawah dari tiangnya, serentak pasukan kedua pihak berteriak-teriak gemuruh.

Menyaksikan kelihayan Kwe Ceng, lagi pula semangat tempur pasukan sendiri sudah runtuh, cepat Kubilai memberi perintah pasukan mundur.

Kwe Ceng berdiri di atas benteng. Ia menyaksikan pasukan Mongol yang mundur dengan teratur, dengan disiplin yang amat kuat, sedikit pun tidak kacau. Tanpa terasa ia menarik napas panjang dan mengakui kehebatan pasukan Mongol yang sulit dibandingkan dengan pasukan Song itu. Teringat kepada situasi negara, ia menjadi sedih dan mengerutkan kening.

Setelah mengundurkan pasukannya hingga berpuluh li jauhnya, secara diam-diam Kubilai merenungkan akal menggempur Siang-yang. Ia pikir dengan adanya Kwe Ceng jelas kota itu sukar dibobol.

Melihat Kubilai termenung, Kim-lun Hoat-ong segera berkata: “Yang Mulia menyaksikan sendiri, kalau bocah she Yo itu tidak menolongnya, jelas jiwa Kwe Ceng sudah melayang di bawah panahku. Memang sudah kuduga bahwa bocah she Yo itu adalah manusia yang tak dapat dipercaya.”

“Belum tentu begitu halnya,” ujar Kubilai. “Bisa jadi Yo Ko ingin membunuh sendiri orang she Kwe itu untuk membalas sakit hati ayahnya, maka dia tidak ingin musuhnya mati di tangan orang lain.”

Meski Kim-lun Hoat-ong tidak sependapat, tapi dia pun tidak berani membantah, terpaksa dia pun menyatakan semoga begitulah hendaknya.

Mundurnya pasukan Mongol membuat girang Lu Bu-hoan. Dia mengadakan perjamuan besar untuk merayakan kemenangan. Sekali ini Yo Ko juga diundang sebagai tamu terhormat, semua orang memuji betapa gagah beraninya menolong Kwe Ceng. Dua saudara Bu juga ikut hadir dalam pesta itu. Melihat Yo Ko baru datang sudah berjasa, mereka merasa iri. Mereka menjadi kuatir pula bahwa sesudah peristiwa ini Kwe Ceng akan semakin berniat untuk menjodohkan anak perempuannya kepada Yo Ko, hati mereka menjadi kesal.

Selesai pesta, Oey Yong mengundang Yo Ko ke ruangan dalam untuk menemuinya. Ia pun memberi pujian dengan kata-kata halus.

“Ko-ji,” kata Kwe Ceng, “Tadi kau terlampau keras menggunakan tenaga, apakah dadamu terasa sakit?” Rupanya dia kuatir kalau Yo Ko tambah parah penyakitnya setelah semalam mengalami gangguan latihan Iwekang.

Kuatir Oey Yong akan mengusut lebih lanjut apa yang terjadi semalam, cepat-cepat Yo Ko menyatakan tidak apa-apa dan segera dia membelokkan pembicaraan, katanya:

“Kwe-pepek, kepandaianmu memanjat dinding benteng tadi sungguh luar biasa dan tiada bandingannya.”

“Sudah beberapa tahun aku tak melatih kepandaian itu sehingga gerak gerikku rada kaku, maka hampir terjadi mala petaka tadi,” ujar Kwe Ceng tersenyum. “Sungguh tidak nyana ilmu yang kupelajari dari Ma-totiang di Mongol dahulu bisa dimanfaatkan sekarang. Kalau kau suka, he-he-he, akan kuajarkan ilmu itu padamu nanti.”

Oey Yong dapat melihat sikap Yo Ko yang agak kikuk, waktu bicara juga seperti sedang memikirkan sesuatu, biar pun semua orang menyaksikan anak muda itu menyelamatkan sang suami dengan sepenuh tenaga, tapi dia tetap waswas. Katanya kemudian:

“Engkoh Ceng, malam ini aku merasa kurang enak badan, hendaklah kau suka menjagaku di sini.”

Kwe Ceng lantas teringat pesan sang isteri, segera dia mengangguk setuju, lalu katanya kepada Yo Ko:

“Ko-ji, tentu kau sudah lelah, bolehlah kau kembali ke kamar untuk mengaso.”

Setelah kembali ke kamarnya, Yo Ko duduk termenung menghadapi meja. Sementara itu sudah dekat tengah malam, memandangi api lilin yang sebentar terang sebentar gelap, bermacam pikiran berkecamuk dalam benaknya. Tiba-tiba terdengar suara ketokan pintu yang perlahan, suara Siao-liong-li mendesir di luar.

“Kau belum tidur?”



Dengan girang Yo Ko membuka pintu. Dilihatnya Siao-liong-li berdiri di depan pintu dengan baju hijau pupus dan wajah berseri.

“Ada urusan apa, Kokoh?” tanya Yo Ko.

“Aku ingin menjenguk kau,” jawab Siao-liong-li dengan tertawa.

“Aku pun merindukan kau,” ujar Yo Ko dengan suara lembut dan menggenggam tangan si nona perlahan. Keduanya lantas ke taman bunga.

Tetumbuhan di taman bunga jarang-jarang saja, namun bunga sedap malam sedang mekar semerbak mengasyikkan. Siao-liong-li memandang rembulan yang menghiasi cakrawala, katanya kemudian dengan suara lirih.

“Apa kau harus membunuhnya dengan tanganmu sendiri? Rasanya waktu sudah sangat mendesak.”

Cepat Yo Ko mendesis: “Sssttt, jangan mempersoalkan ini, hati-hati dengan mata telinga yang tak kelihatan di sini.”

Siao-liong-li menatap anak muda itu dengan kesima, katanya kemudian: “Jika bulan sudah bulat nanti, maka tibalah batas waktu 18 hari.”

Sembilan hari semenjak ia berpisah dengan Kiu-Jian-jio, kalau dalam satu-dua hari ini tak dapat membunuh Kwe Ceng dan Oey Yong, maka sukar kembali lagi ke Coa-ceng-kok sebelum racun di dalam tubuhnya bekerja. Dia menghela napas dan bersama Siao-liong-li mengambil tempat duduk pada sepotong batu besar. Keduanya saling berhadapan dengan bungkam, tetapi kasih mesra yang timbul dalam hati sukarlah dibendung, seketika keduanya melupakan urusan permusuhan dan pertempuran.

Lewat lama dan lama sekali, tampaknya sang dewi malam kini telah mulai mendoyong ke barat, malam sunyi dengan hawa yang dingin. Mendadak di balik gunung-gunungan sana ada suara kaki orang, dua orang mendatangi, cuma tidak kelihatan karena terhalang oleh semak bunga. Terdengar suara seorang gadis berkata:

“Jika kau mendesak aku lagi, lebih baik kaugorok saja leherku dengan pedangmu agar aku terhindar dari penderitaan.”

“Hm, hatimu bercabang, kau sangka aku tidak tahu?” terdengar seorang laki-laki menjawab “Begitu bocah she Yo datang ke sini, dia pamer kepandaian di hadapan orang banyak, tentu saja segala sumpah setia pada masa lalu telah kau lupakan semua.”

Dari suara mereka itu jelas Kwe Hu dan Bu Siau-huan berdua. Siao-liong-li mencibir kepada Yo Ko, maksudnya mencemoohkan anak muda itu yang digilai oleh gadis di mana saja dia berada.

Yo Ko tersenyum, ia tarik Siao-liong-li lebih rapat dengan dirinya dan memberi tanda agar jangan sampai bersuara, maksudnya akan mendengarkan lebih lanjut percakapan Kwe Hu berdua. Tampaknya Kwe Hu menjadi marah setelah mendengar ucapan Bu Siu-bun tadi. Dengan suara keras ia menjawab:

“Kalau begitu, anggaplah apa yang kita bicarakan dahulu cuma omong kosong belaka. Biarlah nanti aku pergi sejauhnya, selamanya tidak akan bertemu dengan Yo Ko, kita pun takkan bertemu selamanya.”

Lalu terdengar suara kebasan baju. Mungkin Bu Siu-bun ingin menarik lengan baju Kwe Hu, tapi nona itu mengebutkannya dengan keras. Dengan suara marah Kwe Hu berkata:

“Kenapa kau pegang-pegang segala? Orang datang atau tidak peduli apa? Andaikan ayah ibu menjodohkan aku kepadanya, biar mati pun aku tidak mau menurut. Jika ayah memaksa aku, segera aku minggat saja. Hm, sejak kecil si Yo Ko amat sombong meremehkan diriku, hm, aku justru tidak memandang sebelah mata padanya. Ayah selalu menganggap dia anak baik, hmm, aku justru anggap dia bukan manusia baik-baik.”

Dengan girang Bu Siu-bun membumbui: “Benar, benar, bocah itu memang congkak dan mengira dunia ini dia yang punya, Adik Hu, anggaplah aku yang salah omong, harap engkau jangan marah. Selanjutnya aku tak akan sembarangan omong lagi, kalau berbuat begini lagi, biarlah aku menjelma... menjadi kura-kura.” Lalu dia bergaya seperti kura-kura merangkak.

Dari nada ucapan Kwe Hu, meski pun omelannya pada Bu Siu-bun itu membuat anak muda itu makin menyembah di telapak kakinya, tapi hati nona itu tampaknya juga sayang padanya.

Terdengar Bu Siu-bun berkata: “Subo (ibu guru) paling sayang padamu, asalkan kau memohon bantuannya dan beliau berjanji tak akan menjodohkan kau pada bocah she Yo itu, maka Suhu pasti tak dapat berbuat apa-apa.”

“Hm, kau tahu apa?” jengek Kwe Hu, “Meski ayah suka menuruti kehendak ibu, tapi kalau menghadapi urusan penting, ibu selalu mengikuti kemauan ayah.”

“Oh, alangkah bahagiaku kalau kau pun memiliki watak begitu,” terdengar ucapan Bu Siu-bun dengan menghela napas.

“Plok!”

Mendadak terdengar suara disertai jerit kesakitan Bu Siu-bun, serunya: “He, kenapa kau memukul aku?”

“Habis, mengapa kau berbicara seenakmu?” omel Kwe Hu. “Aku tidak sudi pada si Yo Ko, aku pun takkan menjadi isteri lelaki monyong macammu ini.”

“Bagus, baru sekarang kau bicara blak-blakan. Kau tak sudi menjadi isteriku, tapi lebih suka menjadi isteri kakakku, ingin kukatakan... ingin kukatakan...” tetapi saking gugupnya Bu Siu-bun tidak sanggup melanjutkan.

Tiba-tiba nada ucapan Kwe Hu berubah halus, katanya: “Bu-jiko, kau baik padaku, ini sudah kau katakan beratus dan beribu kali, dengan sendirinya aku tahu perasaanmu yang sungguh-sungguh itu. Meski kakakmu tidak pernah menyatakan isi hatinya padaku, tetapi aku pun tahu dia jatuh hati padaku. Nah, jadi betapa sulitku menghadapi kalian ini, siapa pun antara kalian yang kupilih, satu di antara kalian tentu akan kecewa dan berduka. Kau sayang padaku dan memanjakan diriku, tapi kau tidak pernah tahu betapa serba salahku menghadapi hal ini.”

Sejak kecil Bu Tun-si dan Bu Siu-bun telah ditinggalkan ayah-bundanya, hubungan kakak beradik itu selamanya sangat baik, tetapi akhir-akhir ini keduanya jatuh cinta pada Kwe Hu sehingga timbul perang dingin antara mereka.. Maka Bu Siu-bun tak enak bicara lagi demi Kwe Hu menyinggung tentang kakaknya. Karena gugup dan cemas air mata pun berlinang.

Kwe Hu mengambil sapu tangan lantas dilemparkan kepada anak muda itu, katanya dengan gegetun:

“Bu-jiko, kita dibesarkan bersama, aku menghargai kakakmu, tetapi aku lebih cocok dengan tutur katamu. Terhadap kalian berdua sama sekali aku tidak pernah membeda-bedakan, jika sekarang kau memaksa aku bicara terus terang, coba kalau kau yang menjadi aku, lalu cara bagaimana kau akan bicara?”

“Aku tidak tahu,” ujar Siu-bun. “Aku hanya ingin katakan padamu, kalau kau dipersunting orang lain, maka aku takkan hidup lagi.”

“Baiklah, malam ini sudah cukup. Siang tadi ayah bertempur mati-matian, tapi kita malah bicara hal yang tidak penting di sini, kalau diketahui ayah tentu kita akan diomeli. Bu-jiko, ingin kukatakan kepadamu, jikalau kau ingin memperoleh pujian dari ibuku, mengapa kau tidak berjuang dan berjasa, sebaliknya setiap hari hanya merecoki diriku saja. Bukankah kau akan dipandang enteng oleh ayah.”

“Benar!” Bu Siu-bun berseru sambil melonjak. “Akan kubunuh Kubilai untuk membebaskan Siang-yang dari kepungan musuh, sesudah berhasil masa kau tidak akan menerima lamaranku?”

“Apa bila kau berjasa sebesar itu, andai kata aku tidak mau juga tidak bisa,” ujar Kwe Hu dengan tertawa, “Namun di sekeliling Kubilai tidak sedikit pengawal lihay, seorang Kim-lun Hoat-ong saja sukar dilawan, sebaiknya kau jangan berkhayal dan pergilah tidur saja.”

Akan tetapi Bu Siu-bun telah mempunyai perhitungan sendiri. Ia pandang pula wajah Kwe Hu yang molek itu, lalu berkata:

“Baiklah. Kau pun lekas tidur.” Dia melangkah pergi beberapa tindak, tiba-tiba menoleh dan berkata: “Adik Hu, malam ini kau mimpi atau tidak?”

“Mana aku tahu?” jawab Kwe Hu tertawa.

“Jika bermimpi, coba kau terka apa yang kau impikan?” tanya Siu-bun.

“Besar kemungkinan aku akan mimpi melihat seekor monyet kecil,” ujar Kwe Ku dengan tersenyum.

Girang sekali Bu Siu-bun. Ia tahu kata ‘monyet’ itu adalah kata olok-olok si nona padanya, Maka melangkah pergilah dia dengan setengah berjingkrak.

Siao-liong-li dan Yo Ko saling pandang dengan tersenyum mengikuti roman kedua muda-mudi itu. Betapa pun mereka merasa bangga pada cinta sendiri yang sukar dibandingi oleh cinta kasih antara Bu Siu-bun dan Kwe Hu yang tidak menentu itu.

Setelah Siu-bun pergi, Kwe Hu duduk sendirian sambil termenung memandangi rembulan. Selang agak lama, ia menghela napas panjang. Pada saat itulah dari balik gunungan mendadak muncul seseorang dan menegurnya:

“Apa yang sedang kau pikirkan, adik Hu?” Kiranya Bu Tun-si.

Yo Ko dan Siao-liong-li terkesiap, kiranya di balik gunung-gunungan sana masih ada lagi seorang, dapat diperkirakan sudah sejak tadi Bu Tun-si berada di situ lebih dulu dari pada Yo Ko berdua, kalau tidak, mustahil Yo Ko berdua tidak mengetahui kedatangannya.

Dengan mengomel Kwe Hu menjawab: “Kau selalu main sembunyi. Tentu kau sudah mendengar semua percakapanku dengan Bu-jiko, bukan?”

Bu Tun-si mengangguk. Dia berdiri agak jauh di depan Kwe Hu, tapi sorot matanya penuh rasa cinta yang tak terhingga. Kedua orang terdiam sampai sekian lama, kemudian Kwe Hu bertanya:

“Apa yang hendak kau katakan padaku?”

“Oh, tidak apa-apa, tanpa aku katakan juga tentu kau sudah tahu,” ujar Bu Tun-si sambil melangkah pergi.

Nyata watak kedua saudara Bu itu sama sekali berbeda, yang satu pendiam dan yang lain banyak omong. Kwe Hu ter-mangu mengikuti kepergian Bu Tun-si hingga lenyap di balik gunungan. Dia pikir alangkah baiknya jika di dunia ini tidak ada Bu tua dan Bu muda itu tetapi cuma ada seorang saja. Ia menghela napas gegutun, dilihatnya rembulan sudah semakin mendoyong ke barat, ia lantas kembali ke kamarnya.


BERKUNJUNG KE MARKAS MUSUH

Sesudah Kwe Hu pergi Yo Ko tanya Siao-liong-li dengan tertawa: “Jika kau menjadi dia, kau pilih yang mana?”

Siao-liong-li berpikir sejenak, kemudian menjawab: “Pilih kau.”

“Ha-ha-ha, aku di luar hitungan,” ujar Yo Ko tertawa. “Nona Kwe sedikit pun tidak suka padaku, tidak mungkin aku terpilih. Yang aku maksudkan jika kau menjadi nona Kwe lalu kau pilih mana antara kedua saudara Bu itu?”

Siao-liong-li terdiam dan sejenak membandingkan kedua saudara Bu, akhirnya ia menjawab:

“Aku tetap memilih kau.”

Yo Ko menjadi geli dan terharu. Dirangkulnya Siao-liong-li dan berkata dengan suara lembut:

“Ya, orang lain selalu bimbang hati, namun Kokoh-ku hanya menyukai diriku.”

Demikianlah, kedua orang itu terus duduk mengobrol di situ dengan perasaan bahagia, sementara fajar sudah menyingsing namun tetap berat untuk berpisah. Tiba-tiba saja datang seorang centing memberi-tahu bahwa Kwe Ceng mengundang Yo Ko untuk merundingkan sesuatu urusan.

Melihat centing itu rada gugup dan tergesa-gesa, Yo Ko pikir pasti ada urusan penting, ia coba tanya:

“Apakah paman Kwe sudah lama mencari aku?”

“Ya, kedua Bu-siauya tiba-tiba menghilang,” tutur centing itu, “Tentu saja Kwe-toaya dan Kwe-hujin sangat kuatir, nona Kwe juga menangis saja sejak tadi.”

Yo Ko terkejut sekali, segera dia pun paham duduknya perkara. Tentu dua saudara Bu bersaing merebut hati Kwe Hu dan sama-sama ingin berjasa besar, maka mereka menuju ke kemah pasukan musuh dengan tujuan membunuh Kubilai. Cepat Yo Ko menuju ke ruangan dalam dan melihat Oey Yong sedang duduk di sebelah sana dengan wajah cemas, Kwe Ceng tampak berjalan mondar mandir, sedangkan Kwe Hu mengucek matanya yang merah bendol. Di atas meja tergeletak dua batang pedang.

Melihat kedatangan Yo Ko, segera Kwe Ceng berkata: “Ko-ji, apakah kau tahu untuk apa kedua saudara Bu itu pergi ke pekemahan pasukan musuh? Di antara kalian mungkin ada pembicaraan apa-apa, bisa jadi sebelumnya kau telah mengetahui sesuatu yang hendak mereka lakukan.”

“Tapi siautit tidak melihat sesuatu tanda mencurigakan atas diri kedua adik Bu,” tutur Yo Ko. “Mungkin mereka ikut sedih karena kepungan musuh yang sudah sekian lamanya, karena itu mereka sengaja menyusup ke markas pasukan musuh. Kalau mereka berhasil membunuh seorang panglima musuh, kan suatu jasa juga.”

Kwe Ceng menghela napas, katanya kemudian sambil menuding kedua pedang di atas meja:

“seumpama maksud tujuan mereka memang baik, tapi sebenarnya mereka tidak tahu diri. Senjata mereka saja dirampas orang dan sengaja dikirim ke sini.”

Hal ini di luar dugaan Yo Ko. Dia memang sudah menduga maksud tujuan kedua saudara Bu itu pasti akan gagal, karena kepandaian mereka jelas bukan tandingan Kim-lun Hoat-ong, Siau-siang-cu dan lain-lain. Tapi tidak menyangka dalam waktu sesingkat itu senjata mereka sudah dikirim pulang oleh musuh.

Kwe Ceng mengambil sepucuk surat yang tertindih di bawah pedang itu lalu disodorkan kepada Yo Ko agar membacanya. Kiranya surat itu dari Kim-lun Hoat-ong yang ditujukan kepada Kwe Ceng, isinya menyatakan bahwa kedua saudara Bu telah kepergok dan sementara ini menjadi tamu kehormatan pihak Mongol, untuk itu Kwe Ceng diundang agar suka berkunjung ke sana sekedar omong-omong, sesudah itu dapatlah kedua muridnya dibebaskan.

Sungguh pun nada surat itu sangat ramah namun maksudnya jelas. Kedua saudara Bu itu dijadikan sandera, dan hanya kalau Kwe Ceng datang sendiri barulah kedua anak muda itu dilepaskan.

“Bagaimana pendapatmu?” tanya Kwe Ceng setelah Yo Ko membaca surat itu.

Yo Ko cukup cerdik, ia tahu Oey Yong jauh lebih pintar dari pada dia, tindakan apa yang harus dilakukan masa nyonya itu tidak tahu? Sekarang dirinya diundang ke sini, maksudnya pasti tidak lain agar dia mau mengiringi Kwe Ceng ke markas musuh. Setiba di sana, sekali pun Kim-lun Hoat-ong dan kawannya dapat mengalahkan Kwe Ceng, tetapi untuk membunuh atau menangkapnya rasanya sulit. Apa bila dirinya dan Kokoh ikut pergi membantu, pasti sang paman akan dapat meloloskan diri.

Akan tetapi segera terpikir pula olehnya. “Tetapi kalau aku dan Kokoh mendadak berbalik memihak sana, maka untuk membunuhnya boleh dikatakan teramat mudah, seumpama aku tidak tega membinasakan dia dengan tanganku sendiri, kan tidak jelek jika kupinjam tangan Hoat-ong dan lain-lain untuk mencelakainya?”

Berpikir demikian, ia pun tersenyum dan berkata: “Kwe-pepek, baiklah aku dan Suhu akan mengiringi ke sana. Kwe-pekbo sudah pernah menyaksikan paduan pedang kami mampu mengalahkan Kim-lun Hoat-ong, kalau kita bertiga pergi bersama, rasanya musuh tidak akan mampu menahan kita.”

Dengan girang Kwe Ceng berkata: “Sungguh kecerdikanmu sukar dibandingi kecuali oleh bibimu, Memang begitulah maksud bibimu mengundang kau ke sini.”

Diam-diam Yo Ko menjengek. Hm, biar pun binimu secerdik setan juga sekali tempo akan terjungkal di tanganku. Namun dia tenang-tenang saja dia menjawab:

“Urusan tidak boleh terlambat, maka marilah kita berangkat sekarang, Aku dan Suhu menyamar sebagai kacungmu agar musuh tidak menaruh curiga.”

Kwe Ceng setuju, dia berpaling dan berkata kepada sang isteri: “Yong-ji, kau tidak usah kuatir, ada Ko-ji dan nona Liong mendampingiku ke sana, apa pun yang terjadi kami akan pulang lagi ke sini dengan selamat.” Segera ia suruh mengundang Siao-liong-li.

Mendadak Oey Yong berkata: “Tidak, maksudku cuma Ko-ji saja yang mengiringi kau ke sana. Nona cantik molek seperti nona Liong jangan dibiarkan ikut menyerempet bahaya, Aku ingin dia tinggal di sini bersamaku.”

Yo Ko melengak, akan tetapi dia lantas paham maksudnya. Nyata sang bibi waswas padanya, maka Siao-liong-li sengaja ditahan sebagai sandera agar dia tak berani berbuat sembarangan. Agar tidak menimbulkan curiga, Yo Ko juga tak mendesak Siao-liong-li harus ikut, dia hanya diam saja. Namun Kwe Ceng lantas berkata:

“Ilmu pedang nona Liong hebat luar biasa, kalau dia ikut pergi tentu akan banyak menambah kekuatan kita.”

“Badanku terasa kurang enak, mungkin akan melahirkan dalam sehari dua hari ini, kalau nona Liong tinggal di sini, aku takkan kuatir,” ujar Oey Yong.

“Benar, benar,” ujar Kwe Ceng, “Ko-ji, mari kita berangkat.”

Yo Ko kewalahan mengadu kepintaran dengan Oey Yong, tetapi Kwe Ceng yang jujur dan polos itu pasti bukan tandingan dirinya. Sesudah dibereskan di tempat musuh sana, nanti kembali lagi ke sini untuk menolong Siao-Iiong-Ii kiranya tidak sukar. Maka dia lantas meringkasi pakaiannya dan ikut berangkat bersama Kwe Ceng. Yo Ko menunggang kudanya yang kurus itu, sedangkan Kwe Ceng menunggang kuda merah kesayangannya. Dua ekor kuda itu dapat berlari cepar, tidak sampai setengah jam mereka sudah sampai di markas besar pasukan Mongol.

Mendengar kedatangan Kwe Ceng, Kubilai terkejut dan girang, cepat dia mengundangnya masuk ke dalam kemah. Kwe Ceng tercengang ketika melihat seorang pangeran muda duduk di tengah kemah, mukanya lebar dan daun kupingnya besar, kedua matanya cekung, ternyata mirip sekali dengan wajah ayahnya, yaitu Tulai. Kwe Ceng jadi teringat pada persaudaraannya dengan Tulai di masa muda dulu. Tanpa terasa matanya menjadi merah dan hampir meneteskan air mata.

Segera Kubilai meninggalkan tempat duduknya dan memberi hormat kepada Kwe Ceng, katanya,

“Dulu mendiang ayahku sering berceritera tentang keperkasaan paman Kwe dan sangat kagum luar biasa, kini dapat berjumpa dengan paman, sungguh bahagia bagiku.”







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar