Rabu, 01 September 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 103

Kwe Ceng melengak heran. Pada umumnya orang tidur kalau membalik tubuh tentu suara mendengkurnya akan berhenti. Mengapa pernapasan bocah ini lain dari pada yang lain? Apakah mungkin latihan Iwekang-nya mengalami kesalahan? Kalau benar demikian bisa celaka. Hati Kwe Ceng memang polos, sama sekali dia tidak pernah menyangka Yo Ko sengaja pura-pura mendengkur. Begitulah ketika Yo Ko membalik tubuh lagi perlahan dan melihat Kwe Ceng tetap diam saja, segera dia mengeluarkan suara dengkuran lagi sambil turun dari tempat tidur.

Semula dia berniat menikam Kwe Ceng dalam selimut, tetapi diurungkan karena merasa berbahaya kalau menyerangnya dari jarak dekat. Kalau saja sebelum ajalnya Kwe Ceng membalas sekali hantam, tentu jiwa sendiri juga akan melayang. Karena itu ia mengambil keputusan turun tempat tidur dulu, begitu tikamannya mengenai tempat yang mematikan segera ia akan melompat keluar jendela dan melarikan diri. Tapi ia pun kuatir bila suara mendengkurnya berhenti mungkin akan menimbulkan curiga Kwe Ceng jika dalam tidurnya itu merasakan sesuatu yang tak beres. Maka sambil turun dari tempat tidur dia tetap pura-pura ngorok.

Karena kelakuannya inilah membikin Kwe Ceng semakin bingung. Dia pikir jangan-jangan bocah ini mengidap penyakit ‘mimpi berjalan’. Kalau sekarang kubiarkan dia, karena kaget bukan mustahil tenaga dalamnya akan bergolak dan tersesat ke jalan yang keliru, hal ini berarti maut bagi anak muda itu. Karena itulah dia tidak berani bergerak dan tetap pasang kuping untuk mengikuti gerak gerik Yo Ko.

Perlahan-lahan Yo Ko mengeluarkan belatinya lalu digenggamnya kencang di depan dada. Dengan hati-hati dia mendekati tempat tidur, mendadak dia angkat belatinya terus hendak ditikamkan ke ulu hati Kwe Ceng.

“Ko ji, kau mimpi buruk apa?” pada saat itu juga mendadak Kwe Ceng berseru padanya dengan suara halus.

Sungguh kaget Yo Ko tak terkatakan. Begitu kedua kakinya menutul, secara membalik tubuhnya segera menerobos keluar jendela. Akan tetapi kecepatannya tetap kalah cepat dari pada Kwe Ceng. Sebelum dia tancapkan kakinya di luar, tahu-tahu kedua bahunya sudah dipegang oleh kedua tangan Kwe Ceng. Seketika Yo Ko putus asa. Dia tahu ilmu silat sendiri sekali-kali bukanlah tandingan sang paman, melawan juga tiada gunanya, maka dia cuma pejamkan mata dan menunggu ajal saja.

Tak terduga Kwe Ceng terus mengangkat tubuhnya dan melompat masuk lagi ke dalam kamar, didudukkannya Yo Ko di tempat tidur dalam posisi seperti orang sedang semadi. Diam-diam Yo Ko heran, dia tidak tahu dengan cara bagaimana dirinya akan disiksa oleh Kwe Ceng, Tiba-tiba dia teringat pada Siao-liong-li, dia menarik napas panjang dan segera bermaksud berteriak memperingatkan nona itu agar lekas melarikan diri.

Melihat Yo Ko menghimpun tenaga, Kwe Ceng semakin salah paham bahwa anak muda itu sedang menahan sakit. Cepat dia gunakan tangannya untuk menahan perut Yo Ko. Mestinya Yo Ko hendak berteriak, tapi perutnya ditekan hingga sulit bersuara, sedangkan dalam hati menguatirkan keadaan Siao-liong-li. Ia menjadi kelabakan tapi perutnya ditahan oleh Kwe Ceng, ingin meronta pun tidak dapat.

Dengan perlahan kemudian Kwe Ceng berkata: “Ko-ji, kau terburu-buru berlatih, akibatnya justru macet. Sebaiknya jangan banyak bergerak, tenangkan pikiranmu, akan kubantu kau meredakan pergolakan tenaga dalammu.”

Yo Ko tercengang heran karena tidak tahu apa maksud ucapannya. Ia hanya merasakan serangkum hawa hangat tersalur dari tangan sang paman ke dalam perutnya dan terasa sangat menyegarkan. Segera tahulah Yo Ko bahwa Kwe Ceng sedang membantunya dengan Iwekang yang tinggi untuk melancarkan tenaga dalamnya. Diam-diam dia merasa geli dan malu diri pula, Nyata sang paman telah salah sangka dan mengira latihan Iwekang-nya tersesat hingga kelakuannya seperti orang sinting.

Agar tidak menimbulkan curiga orang, segera dia mengerahkan tenaga dalam sendiri dan sengaja disalurkan ke sana ke sini tanpa teratur dan seperti sukar di atasi. Tentu saja Kwe Ceng tambah kuatir. Segera ia kerahkan tenaganya lebih kuat lagi untuk menghimpun tenaga dalam Yo Ko yang terpencar itu.

Karena Yo Ko sudah telanjur berlagak begitu, mau tak mau ia harus berbuat supaya lebih sungguh-sungguh tampaknya. Dasar Iwekang Yo Ko sekarang sudah amat tinggi, maka seketika Kwe Ceng kena dikelabui dan sampai agak lama barulah ia berhasil melancarkan tenaga dalam si Yo Ko yang disangkanya nyasar itu. Sesudah kerja keras begitu, akhirnya Yo Ko merasa kehabisan tenaga, Kwe Ceng juga merasa letih, kedua orang sama-sama bersemadi hingga fajar barulah segar kembali.

“Sudah baikan belum, Ko-ji?” tanya Kwe Ceng dengan tersenyum. “Sungguh tak terduga bahwa tenaga dalammu begini hebat, hampir saja aku tak sanggup menolong kau.”

Begitu tahu bahwa sang paman tidak sayang mengorbankan tenaga murninya demi untuk menolong dirinya, mau tidak mau hati Yo Ko sangat terharu, katanya:

“Terima kasih atas pertolongan Kwe-pepek, semalam hampir saja aku celaka.”

Diam-diam Kwe Ceng bersyukur bahwa anak muda ini tidak menyadari jika tadi malam ia sudah angkat belati hendak menikamnya, kalau tahu, tentu anak muda itu akan menyesal tak terhingga. Nyata Kwe Ceng yang berhati jujur dan baik budi itu tetap tidak mencurigai perbuatan Yo Ko. Ia malah kuatir kalau Yo Ko mengetahui kejadian itu, maka sengaja membelokkan pembicaraan, katanya segera:

“Marilah kau ikut bersamaku. Kita keluar untuk mengontrol pertahanan pasukan kita.”

Yo Ko mengiakan dan ikut keluar. Kedua orang masing-masing menunggang kuda perang dan dilarikan keluar benteng kota.

“Ko-ji,” kata Kwe Ceng di tengah jalan, “Iwekang kaum Coan-cin-pay adalah ilmu yang baik, biar pun kemajuannya lambat tapi jarang terjadi kemacetan. Kukira kuncinya sudah cukup kau pahami, nanti kalau musuh sudah mundur akan kujelaskan lebih lanjut.”

“Baiklah, tetapi kumohon Kwe-pepek jangan menceritakan kejadian semalam kepada bibi, bila beliau tahu tentu akan mentertawakan diriku yang mempelajari ilmu sesat dari Kokoh segala,” kata Yo Ko.

“Teatu takkan kuceritakan,” kata Kwe Ceng. “Padahal Kanghu nona Liong itu pun bukan kepandaian jelek, soalnya kau sendiri yang banyak memikirkan hal-hal lain sehingga tidak dapat memusatkan pelajaranmu pada itu saja.”

Nyata ocehan Yo Ko telah berhasil membohongi Kwe Ceng sehingga tidak curiga sedikit pun. Dia tahu kalau urusan ini diketahui Oey Yong, maka sukar akan mengelabui nyonya maha cerdik itu. Dia merasa lega sesudah Kwe Ceng berjanji tak akan memberi-tahukan kejadian semalam kepada Oey Yong.

Begitulah kedua orang terus melarikan kuda mereka ke barat kota, terlihat sebuah sungai kecil terbentang di kaki bukit sana.

“Sungai ini bernama Tan-keh,” tutur Kwe Ceng, “Konon dahulu Lau Pi pada jaman Sam-kok dikejar pasukan musuh sampai di pinggir sungai ini. Kuda yang ditunggangi Lau Pi bernama Tek-loh, menurut peramal kuda, katanya kuda itu kurang baik bagi sang majikan. Tak terduga pada saat gawat itulah sang kuda mampu melompat melintasi sungai kecil itu sehingga Lau Pi lolos dari kejaran musuh dan selamatlah jiwanya.” Bicara sampai di sini, tiba-tiba saja dia teringat kepada ayah Yo Ko, katanya pula dengan gegetun: “Sebenarnya manusia juga sama dengan kuda yang bernama Tek-loh itu, baik atau buruk sulit diramal, segala sesuatu hanya bergantung pada ketentuan pikiran sekejap saja.”

Hati Yo Ko terkesiap, ia melirik Kwe Ceng sekejap, tampak wajah sang paman mengunjuk rasa duka dan menyesal, agaknya ucapan itu tidak sengaja ditujukan kepadanya. Diam-diam ia membatin: “Meski tidak salah ucapannya, tapi baik itu apakah, buruk itu apa pula? Kalian suami isteri mencelakai ayahku apakah juga perbuatan baik?”



Sesungguhnya dia sangat kagum terhadap tindak tanduk Kwe Ceng, tetapi bila ingat sang ayah yang mati di tangan suami isteri ini, mau tak mau timbul rasa dendamnya.

Demikianlah mereka terus melarikan kuda ke atas sebuah bukit dan memandang jauh ke sana kelihatan air sungai Hansui mengalir memanjang ke selatan, tampak pula rakyat berkelompok-kelompok mengungsi membanjiri Siang-yang.

Sambil menuding kaum pengungsi, Kwe Ceng berkata: “Pasukan Mongol pasti mengganas di perkampungan sana sehingga rakyat jelata kita terpaksa pergi mengungsi untuk menyelamatkan diri, betapa kejamnya orang Mongol sungguh menggemaskan.”

Pada saat itulah tiba-tiba dilihatnya rombongan pengungsi yang menuju pintu benteng berlari balik, namun arus pengungsi dari belakang masih terus membanjir tiba sehingga di luar kota Siang-yang seketika kacau balau dan hiruk pikuk.

Kwe Ceng terkejut. Ia heran mengapa penjaga pintu gerbang tidak membukakan pintu dan membiarkan kaum pengungsi itu masuk. Cepat dia melarikan kudanya ke sana, tampaklah satu regu pemanah sedang berdiri di atas benteng dengan mementang busur menghadap kaum pengungsi.

“Hai, ada apa kalian? Lekas buka pintu!” teriak Kwe Ceng.

Begitu melihat Kwe Ceng, perwira penjaga cepat memerintahkan membuka pintu gerbang dan membiarkan Kwe Ceng dan Yo Ko masuk.

“Rakyat dijagal secara kejam oleh musuh, mengapa tidak membiarkan mereka masuk?” tegur Kwe Ceng.

Perwira piket itu menjawab: “Lu-tayswe menguatirkan di antara kawanan pengungsi ada mata-mata musuh, maka mereka dilarang masuk kota supaya tidak menimbulkan bencana.”

“Andai kata benar ada satu-dua musuh menyelundup tidak boleh mengakibatkan jiwa beribu-ribu rakyat jelata menjadi korban,” ujar Kwe Ceng, “Hayo lekas buka pintu!”

Sudah lama Kwe Ceng ikut berjasa mempertahankan kota Siang-yang, namanya sangat tersohor sehingga disegani kawan mau pun lawan. Perwira itu tidak berani membantah perintahnya, terpaksa dia membuka pintu benteng di samping mengirim berita kepada Lu Bun-hoan. Seketika terjadilah lautan manusia membanjir ke dalam kota. Ketika kawanan pengungsi itu hampir masuk kota semua, mendadak terlihat dari jauh debu mengepul tinggi, pasukan Mongol menyerbu dari arah utara.

Prajurit Song segera siap siaga di belakang tembok benteng. Tampak di depan pasukan Mongol itu didahului rombongan orang berpakaian compang camping dan tangan mereka membawa pentung dan sebagainya, tapi tidak ada sesuatu senjata tajam, cara berjalannya pun tak teratur. Rombongan kaum jembel itu berteriak-teriak:

“Jangan memanah, kami rakyat Song!”

Dan pasukan Mongol yang tangkas itu berlindung di belakang barisan rakyat itu! Sejak Jengis Khan memang pasukan Mongol selalu mempergunakan siasat begitu, yakni memakai rakyat negara musuh sebagai perisai untuk menyerbu kedudukan musuh, asal penjaga tidak tega hati dan berhenti memanah, maka pasukan Mongol menyerbu maju. Cara itu sangat keji dan ganas, tapi lebih sering berhasil dengan baik.

Begitulah maka kelihatan barisan rakyat itu digiring pasukan Mongol dan dipaksa mendekati benteng, makin lama makin dekat, malahan sebagian sudah mulai memanjat tangga.


PERSAINGAN DUA SAUDARA

Ketika itu Lu Bun-hoan, panglima pertahanan kota Siang-yang, sedang berkeliling untuk mengawasi penjagaan pasukannya. Melihat keadaan mulai berbahaya, segera ia memberi perintah supaya melepaskan panah. Seketika terjadilah hujan panah di tengah jerit tangis rakyat jelata yang jatuh bergelimpangan, sebagian rakyat lainnya membalik dan lari serabutan. Namun mereka pun menjadi mangsa prajurit Mongol yang menebasnya dengan golok atau menusuknya dengan tombak. Barisan rakyat itu tetap didesak supaya menyerbu ke atas benteng.

Yo Ko berdiri di samping Kwe Ceng. Gusar sekali dia menyaksikan adegan menyedihkan itu.

“Panah! Panah!” terdengar Lu Bun-hoan berteriak-teriak pula memberi perintah. Satu baris anak panah segera menyambar lagi ke bawah.

“Hai berhenti! Jangan salah membunuh,” seru Kwe Ceng.

“Keadaan segawat ini, andaikan orang baik juga terpaksa salah membunuhnya,” ujar Lu Bun-Hoan.

“Jangan, orang baik mana boleh salah membunuhnya,” kata Kwe Ceng pula.

Tergetar hati Yo Ko, diam-diam dia menggumam: “Jangan salah membunuh orang baik..., jangan salah membunuh orang baik...”

Mendadak Kwe Ceng berseru: “Hayo saudara anggota Kay-pang, ikut aku!”

Segera dia berlari turun dari atas benteng. Yo Ko juga akan ikut, tetapi Kwe Ceng berkata padanya:

“Semalam kau kelihatan kurang sehat, sebaiknya kau berjaga di sini saja untuk mengawasi keadaanku.”

Sesungguhnya Yo Ko ingin ikut Kwe Ceng menghajar prajurit Mongol yang kejam itu. Dia tercengang mendengar ucapan Kwe Ceng, namun dia pun tidak dapat berterus terang tentang kejadian semalam, terpaksa dia tetap tinggal di tempatnya dan menyaksikan Kwe Ceng memimpin satu pasukan tanpa seragam menerjang keluar benteng terus menyergap sayap kanan pasukan Mongol.

Siasat pasukan Mongol yang ‘meminjam golok untuk membunuh orang’ adalah cara satu kali bertindak mendapat dua hasil, selain menjagal bangsa Han juga bisa menggoyahkan hati pasukan Song. Tapi mendadak terlihat Kwe Ceng memimpin pasukan menyerbu, setiap orang memiliki kepandaian tinggi dan gagah berani.

Pasukan Mongol yang digiring oleh barisan di belakang itu lantas membagi pasukannya untuk menahan serbuan Kwe Ceng. Tetapi sebagian besar pasukan Kwe Ceng adalah jago-jago pilihan dari Kay-pang, sebagian kecil lainnya adalah para ksatria yang sengaja datang ke kota Siang-yang untuk ikut berjuang, serentak mereka menyerbu maju sambil berteriak-teriak, semangat tempur mereka yang me-nyala itu sudah membikin pasukan Mongol keder. Maka begitu kedua pihak bergebrak segera ratusan prajurit Mongol dibinasakan.

Tampaknya pasukan Mongol sukar menahan pasukan Kwe Ceng, tiba-tiba dari samping menerjang pasukan Mongol lain. Pasukan Mongol itu memang tangkas dan sudah terlatih, meskipun barisan pejuang yang dipimpin Kwe Ceng berilmu silat tinggi, seketika mereka pun sukar mengalahkan musuh.

Sementara itu barisan rakyat yang dipaksa menyerbu ke benteng kota berlari serabutan karena pasukan Mongol yang menggiring mereka sebagian terpencar untuk menempur pasukan Kwe Ceng.

Pada saat itulah terdengar suara tiupan tanduk di sebelah timur, suara derap kuda pasukan bergemuruh, pasukan Jian-jin-tui (barisan ribuan orang, batalion) Mongol menerjang, menyusul dari sebelah barat dua pasukan Jian-jin-tui menyerbu datang sehingga rombongan Kwe Ceng terkurung di tengah.

Melihat hebatnya pasukan Mongol, saking jerinya Lu Bun-hoan menjadi bingung dan tidak berani mengirim pasukan penolong.

Sambil berdiri di atas benteng, Yo Ko merenungkan ucapan Kwe Ceng tadi: “Jangan salah membunuh orang baik...! Jangan salah membunuh orang baik...!”

Sementara itu dia melihat sang paman terkepung rapat oleh pasukan Mongol, dia pikir: “Sebabnya Kwe-pepek terkepung musuh sekarang adalah karena dia tak mau salah membunuh orang baik-baik. Padahal rakyat ini bukan sanak kadangnya, tapi dia tetap menyelamatkan mereka tanpa menghiraukan jiwa sendiri. Lantas apa sebabnya dulu dia mencelakai ayahku?” Ia memandangi pertempuran sengit itu, tapi dalam hati terus memikirkan teka-teki yang sukar dipecahkan ini.

“Dia dan ayah adalah saudara angkat, dengan sendirinya hubungan mereka lain dari pada yang lain, tetapi akhirnya Kwe-pepek mencelakai jiwa ayah. Apakah ayahku memang orang busuk yang sama sekali tak dapat diampuni?”

Selama hidup Yo Ko tak pernah melihat ayah-bundanya sendiri. Semenjak kecil ia selalu membayangkan sang ayah seorang pendekar budiman, gagah berani, seorang lelaki sejati. Apa bila mendadak dia disuruh mengakui ayahnya adalah orang busuk, betapa pun dia tak dapat terima.

Padahal samar-samar dalam lubuk hatinya sudah lama terasa bahwa ayahnya jauh dibandingkan dengan Kwe-pepek, cuma setiap kali timbul pikiran demikian selalu dia menekan sekuatnya dan kini perasaan ini mau tak mau timbul lagi dalam benaknya.

Dalam pada itu medan perang di bawah sana masih berlangsung dengan sengit. Suara hiruk pikuk menggelegar menggetar bumi, rombongan Kwe Ceng tampak menerjang kian kemari, tapi tetap sukar menembus kepungan musuh. Cu Cu-liu dan kedua saudara Bu masing-masing siap memimpin pasukan hendak keluar benteng untuk membantu. Tiba-tiba terdengar suara tiupan tanduk yang keras dan sahut menyahut, kembali empat pasukan Jian-jin-tui Mongol menerjang lagi.

Cara Kubilai mengatur pasukannya memang lain dari pada yang lain. Asal pintu gerbang benteng dibuka untuk mengeluarkan bala bantuan, maka pasukan Mongol yang sudah siap segera akan menyerbu masuk kota. Keruan Lu Bun-hoan kebat-kebit ketakutan, cepat ia memberi perintah agar pintu gerbang jangan dibuka. Diperintahkan pula dua regu prajurit khusus berjaga di pintu gerbang, siapa yang berani membuka pintu segera akan dibinasakannya.

Suasana di luar dan di dalam benteng menjadi kacau balau, macam-macam pikiran bertarung seru di dalam benak Yo Ko, sebentar dia berharap Kwe Ceng dilalap saja oleh pertempuran gaduh itu, lain saat dia berharap pula agar sang paman berhasil mendobrak kepungan musuh.

Tiba-tiba kelihatan pasukan Mongol rada kacau, beribu-ribu prajurit berkudanya terdesak mundur laksana gelombang surut, dengan sebatang tombak panjang Kwe Ceng memacu kudanya keluar dari kepungan disertai barisan orang-orang gagah yang dipimpinnya, mereka menerjang sampai di bawah tembok benteng. Ketika dekat pintu benteng, Kwe Ceng memutar balik berjaga di belakang pasukan. Di mana tombaknya menyambar, beberapa prajurit dan perwira Mongol terjungkal dari kudanya. Melihat betapa lihaynya Kwe Ceng, seketika pasukan Mongol menahan kuda mereka dan tidak berani terlalu mendekat.

Pertahanan kota Siang-yang boleh dikatakan tidak ada artinya tanpa Kwe Ceng, maka Lu Bun-hoan menganggap Kwe Ceng sebagai tulang punggungnya. Dia amat girang melihat Kwe Ceng lolos dari kepungan musuh, cepat dia berseru membuka pintu gerbang. Akan tetapi pintu gerbang hanya dibuka selebar satu-dua meter saja dan cuma cukup dimasuki penunggang kuda saja. Para ksatria itu berturut-turut berlari ke arah pintu lalu menyelinap masuk satu persatu.

Melihat siasat mereka gagal total, pasukan Mongol tak mau tinggal diam. Panji komando Kubilai tampak bergerak-gerak, dua pasukannya lantas menyerbu dari kanan-kiri pintu gerbang.

“Lekas masuk, Kwe-tayhiap, kita tidak menanti orang lain lagi!” seru Lu Bun-hoan kuatir.

Sebelum seluruh anak buahnya selamat, mana Kwe Ceng mau masuk benteng lebih dulu. Dia berbalik menerjang kembali ke sana dan membinasakan dua jago Mongol yang mengudak paling dekat. Tetapi pasukan besar itu sungguh seperti gelombang samudera saja di medan perang itu, betapa pun tinggi ilmu silat Kwe Ceng sukar menahan terjangan pasukan besar itu.

Melihat keadaan sudah sangat berbahaya, Cu Cu-liu yang berdiri di atas benteng cepat menurunkan seutas tali panjang dan berseru:

“Naik ke sini, adik Kwe!”

Pada waktu menoleh, Kwe Ceng melihat anggota Kay-pang yang terakhir sudah berhasil menyelinap masuk pintu gerbang, tapi ada balasan prajurit Mongol sempat ikut menerjang ke dalam. Segera regu penjaga pintu sibuk menghalau musuh, selain berusaha menutup pintu gerbang sekuatnya! Per-lahan daun pintu benteng yang tebalnya lebih setengah meter itu dapatlah dirapatkan.

Tiba-tiba Kwe Ceng membentak keras, tombaknya membinasakan seorang musuh, berbareng itu dia meloncat ke atas dan berhasil berpegang pada tali yang dijulurkan Cu Cu-liu tadi. Dengan cepat Cu Cu-liu menarik talinya ke atas, tubuh Kwe Ceng terapung beberapa meter tingginya ke atas.

“Gunakan panah!” segera Ban-hu-tiang pasukan Mongol yang memimpin pertempuran memberi komando, dalam sekejap be-ribu2 anak panah menyambar ke arah Kwe Ceng.

Namun sebelumnya Kwe Ceng sudah memperhitungkan kemungkinan ini. Dia menanggalkan jubahnya, tangan kanan berpegangan tali, tangan kiri memegang jubah terus diputar dan dikebutkan sekuatnya laksana perisai raksasa. Hanya kuda tunggangannya yang menjadi korban, berpuluh anak panah bersarang di badan binatang itu hingga mirip landak.

Cu Cu-liu menarik talinya dengan cepat, maka semakin tinggilah Kwe Ceng terkerek ke atas, tampaknya tinggal beberapa meter lagi dia akan mencapai benteng. Pada saat itulah di tengah pasukan MongoI muncul seorang Hwesio besar berjubah kuning emas, siapa lagi dia kalau bukan Kim-lum Hoat-ong. Dari seorang perwira Mongol di sebelahnya Hoat-ong mengambil busur dan panah. Ia tahu kepandaian Cu Cu-liu dan Kwe Ceng sangat tinggi, kalau memanah mereka tentu tak akan berhasil, maka anak panah yang dibidikkan itu mengincar tali.

Tindakan Kim-lun Hoat-ong ini sungguh keji, anak panah menyambar bagian tali yang sukar dicapai oleh Cu Cu-liu dan Kwe Ceng sehingga kedua orang sukar menangkisnya. Karena Kim-lun Hoat-ong kuatir bila kedua orang itu mendadak menggunakan cara aneh mematahkan serangannya, maka cepat dia susulkan pula panah kedua dan ketiga, panah kedua mengincar Cu Cu-liu sedangkan panah ketiga mengarah Kwe Ceng.

“Plokk!”

Dengan tepat panah pertama mengenai tali hingga putus, sedangkan panah kedua dan ketiga menyambar secepat kilat ke arah sasarannya. Dan karena talinya putus, dengan tubuh Kwe Ceng anjlok ke bawah sehingga dia pun terluput dari panah ketiga, sedangkan Cu Cu-liu merasa tangannya yang memegang tali menjadi ringan. Ia berseru kaget dan tahu-tahu panah kedua sudah menyambar tiba.

Panah ini kuat luar biasa, jelas pemanahnya memiliki tenaga dalam yang lihay. Cu Cu-liu tahu di atas benteng penuh berjubel orang, baginya tidak sukar untuk menghindar, namun akibatnya panah itu akan mengenai orang di belakangnya. Cepat dia gunakan dua jarinya untuk menyampuk perlahan pada batang panah itu hingga anak panah terjatuh ke bawah.

Sementara itu Kwe Ceng terkejut ketika merasa tali yang mengereknya putus. Dia tidak cidera sekali pun terjatuh ke bawah benteng, tetapi terjeblos di tengah kepungan musuh sebesar itu, betapa pun sukar baginya untuk menerjang keluar.

Sementara itu pasukan musuh sudah berada di depan pintu gerbang, bila dari dalam benteng dikirim keluar bala bantuan, maka kesempatan itu pasti akan digunakan pasukan Mongol menyerbu ke dalam kota.

Dalam keadaan demikian Kwe Ceng tidak dapat berpikir banyak lagi. Mendadak sebelah kakinya menutul dinding benteng sehingga tubuhnya segera terapung ke atas, menyusul kaki yang lain memancal pula dan begitu seterusnya kedua kaki bergantian memanjat.
Ilmu ‘naik tangga langit’ yang sangat hebat ini jarang yang bisa, andaikan bisa juga setiap panjatan hanya sanggup naik satu-dua meter saja ke atas. Tapi Kwe Ceng memanjat dinding benteng yang halus licin itu, bahkan sekali naik dapat tiga meter tingginya, benar-benar kepandaian yang luar biasa dan mengejutkan.

Seketika suasana di atas dan di bawah benteng menjadi sunyi senyap. Ber-ribu pasang mata memandang Kwe Ceng seorang. Kim-lun Hoat-ong terperanjat akan kelihayan Kwe Ceng. Ia tahu ilmu naik tangga langit kekuatannya terletak pada loncatan ke atas secara sekaligus, asal sedikit merandek dan kendur, langkah selanjutnya akan sulit dan gagal. Maka cepat dia membidikkan panah ke punggung Kwe Ceng, dan secepat kilat anak panah itu menyambar ke sasarannya.

“Jangan memanah!” serentak pasukan kedua pihak berteriak.

Rupanya mereka menjadi kagum menyaksikan kehebatan Kwe Ceng dan semua berharap dia akan dapat mencapai benteng dengan selamat. Meski pun pasukan Mongol itu adalah musuh, tetapi mereka pun menghormati ksatria dan pahlawan gagah, serangan secara tidak jujur menimbulkan rasa ketidak adilan mereka.

Ketika merasakan panah menyambar dari belakang dengan kuat, diam-diam Kwe Ceng mengeluh dan terpaksa dia membalikkan tangan untuk menyampuk panah. Sampukan ke belakang dengan tepat membuat panah itu mencelat pergi, serentak bergemuruhlah sorak sorai pujian atas ketangkasan Kwe Ceng. Tetapi di tengah suara riuh ramai itu tubuh Kwe Ceng sudah rada merandek, puncak benteng yang tertinggal beberapa meter lagi ternyata tak dapat dicapainya.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar