Selasa, 31 Agustus 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 102

Karena Yo Ko bicara dengan sungguh-sungguh dan tegas, pula melihat sikap Siau-siang-cu dan yang lain itu, diam-diam Kubilai juga dapat menerka apa yang menjadi pertimbangan anak muda itu, maka berkatalah dia:

“Baiklah, setiap orang memang mempunyai cita-cita sendiri, jika begitu kehendakmu aku pun tidak ingin memaksa.”

Segera Yo Ko memohon diri dan berangkat bersama Siao-liong-li. Di tengah jalan mereka membuang topi dan mantel bulu sehingga dandanannya sekarang adalah bangsa Han. Hari telah menjelang magrib ketika sampai di bawah benteng kota. Terlihat pintu gerbang benteng tertutup rapat, di atas benteng satu regu prajurit sedang ronda kian kemari.

“Hei, aku bernama Yo Ko dan ingin bertemu dengan Kwe-toaya, Kwe Ceng!” teriak Yo Ko.

Ketika mendengar suaranya, perwira yang dinas jaga mencoba melongok ke bawah dan melihat Yo Ko cuma bersama dengan seorang perempuan, ia percaya pasti bukan musuh yang sengaja hendak menyusup ke kota, segera ia melaporkan hal itu kepada Kwe Ceng. Tidak lama kemudian dua pemuda muncul di atas benteng dan melongok keluar, seorang lantas bersuara:

“Oh, kiranya Yo-toako, apakah cuma kalian berdua?”

Kiranya kedua pemuda itu adalah Bu Tun-si dan Bu Siu-bun. Sambil tertawa Yo Ko lantas meryawab,

“Ehh, kiranya Bu-jiko, Apakah Kwe-pepek ada di situ?”

“Ada, silakan masuk saja,” jawab Siu-bun.

Segera dia memberi perintah agar membukakan pintu benteng dan menurunkan jembatan untuk menyambut datangnya Yo Ko dan Siao-liong-li. Kedua saudara Bu membawa Yo Ko ke sebuah rumah besar.

Dengan wajah ber-seri Kwe Ceng menerima kedatangan mereka. Lebih dulu Kwe Ceng memberi hormat kepada Siao-liong-li lalu menarik tangan Yo Ko, katanya dengan tertawa girang:

“Ko-ji, kedatangan kalian ini sungguh kebetulan. Musuh sedang menyerang kota, kedatangan kalian berarti bantuan yang dapat diandalkan bagiku, sungguh bahagia sekali segenap penduduk kota ini.”

Siao-liong-li adalah guru Yo Ko, maka Kwe Ceng menghormatinya sebagai angkatan yang sama. Dengan ramah Kwe Ceng menyilakan dia masuk ke dalam rumah, terhadap Yo Ko ia pun sangat sayang dan menggandeng tangannya.

Ketika teringat bahwa orang yang menggandeng tangannya ialah pembunuh ayahnya, sungguh tidak kepalang gemas hati Yo Ko, kalau bisa sekali tusuk akan dibinasakannya. Cuma karena jeri kepada kelihaian Kwe Ceng, maka tidak berani sembarangan bergerak, dengan air mukanya yang gembira, ia pun menanyakan kesehatan sang paman dan tidak lupa pula menanyakan Oey Yong.

Lantaran rasa dendamnya, sebegitu jauh dia tidak memberi sembah hormat kepada Kwe Ceng. Tetapi Kwe Ceng memang orang baik, sedikit pun ia tidak memperhatikan tata adat begitu. Sampai di ruangan besar, Yo Ko hendak menemui Oey Yong ke dalam, namun Kwe Ceng telah mencegahnya, katanya:

“Bibimu sudah hampir melahirkan, beberapa hari ini kesehatannya terganggu, boleh kau menemuinya lain hari saja.”

Diam-diam Yo Ko girang. Dia justru kuatir akan kecerdikan Oey Yong, bukan mustahil maksud kedatangannya akan diketahui, kalau bibi itu sedang sakit maka kebetulan baginya. Tengah bercakap, datanglah utusan panglima kota yaitu Lu Bun-hoan, yang mengundang Kwe Ceng untuk menghadiri perjamuan merayakan kemenangan tadi. Namun Kwe Ceng segera menolak undangan itu dengan alasan dia sendiri sedang menerima tamu.

Sudah tentu utusan panglima itu amat heran. Dilihatnya usia Yo Ko masih muda dan tidak ada sesuatu yang luar biasa, entah kenapa justru anak ini mendapat perhatian Kwe Ceng sebesar itu sehingga menolak undangan sang panglima hanya untuk melayani anak muda. Terpaksa utusan itu pulang dan melaporkan hal itu kepada Lu Bun-hoan.

Kwe Ceng lantas mengadakan perjamuan sederhana di rumah sendiri untuk merayakan kedatangan Yo Ko dan Siao-liong-li, ikut hadir di meja perjamuan adalah Cu Cu-liu, Loh Yu-kah, kedua saudara Bu, Kwe Hu dan lainnya.

Ber-ulang Cu Cu-liu mengucapkan terima kasih pada Yo Ko yang pernah menolongnya dengan memaksa pangeran Hotu dari Mongol menyerahkan obar penawar sehingga Cu Cu-liu terbebas dari renggutan maut. Sikap Kwe Hu ternyata tawar saja terhadap Yo Ko, dia cuma memanggil sekali, lalu tidak bicara lagi. Dalam perjamuan itu alis si nona kelihatan terkerot seperti sedang dirundung persoaIan. Kedua saudara Bu juga selalu menghindari adu pandang dengan Yo Ko, ketiga orang juga tidak berbicara sejak awal hingga berakhirnya perjamuan.

Sebaliknya Loh Yu-kah dan Cu Cu-liu sangat gembira ria dan asyik mengobrol mengenai kemenangan gemilang atas pasukan Mongol. Waktu perjamuan selesai, sementara itu sudah lewat tengah malam. Kwe Ceng menyuruh Kwe Hu agar mengawani Siao-liong-li tidur sekamar, ia sendiri menarik Yo Ko untuk tidur bersama satu ranjang.

Ketika akan pergi Siao-liong-li sempat melirik sekejap kepada Yo Ko agar anak muda itu berhati-hati. Yo Ko kuatir rahasianya diketahui orang, cepat dia berpaling dan tidak berani menatap Siao-liong-li.

Kwe Ceng menggandeng Yo Ko ke kamar tidurnya, berulang-ulang dia memuji anak muda itu ketika melawan Kim-lun Hoat-ong di barisan batu-batu itu dan berhasil menyelamatkan Oey Yong, Kwe Hu serta kedua saudara Bu. Habis itu dia lantas tanya pengalaman Yo Ko setelah berpisah.

Teringat kejadian tempo hari, Yo Ko menyesal telah menolong Oey Yong dengan mati-matian. Dia kuatir kalau banyak bicara mungkin rahasia tujuannya akan diketahui Kwe Ceng, maka tentang pertemuannya dengan Thia Eng, Liok Bo-siang, Sah Koh dan Oey Yok-su tak diceritakannya, dia hanya mengaku merawat lukanya di pegunungan sunyi, kemudian bertemu dengan Kokoh, lalu bersama ke sini untuk mencari paman.



Sembari membuka baju dan mapan tidur, Kwe Ceng berkata: “Ko-ji, saat ini musuh sudah berada di depan mata, keadaan Song Raya kita benar-benar berbahaya, seperti telur di ujung tanduk. Siang-yang adalah perisai bagi tanah air kita, kalau kota ini jatuh, mungkin berjuta-juta rakyat kita akan menjadi budak orang Mongol. Dengan mataku sendiri kulihat keganasan orang MongoI, sungguh darahku mendidih menyaksikan kekejaman musuh”

Segera Yo Ko teringat juga akan keganasan prajurit Mongol yang dilihatnya di sepanjang perjalanan, saking gusarnya ia pun mengertak gigi.

“Kaum kita belajar silat dengan sepenuh tenaga, meski tujuannya ingin berbuat kebajikan dan membela kaum kecil, namun ini hanya sebagian kecil saja dari pada tugas kita yang sebenarnya,” kata Kwe Ceng pula, “Orang-orang Kangouw menyebut aku ‘Kwe-tayhiap’ kukira bukan disebabkan kepandaianku yang tinggi melainkan menghormati diriku yang berjuang mati-matian demi negara dan rakyat. Namun aku sendiri merasa tenagaku seorang diri teramat kecil dan belum bisa membebaskan rakyat dari kesengsaraan, maka sesungguhnya aku malu untuk disebut ‘Tayhiap’. Engkau masih muda, kepintaranmu dan kecerdasanmu berlipat ganda dari padaku, hari depanmu pasti cemerlang dan tentu jauh melebihi diriku. Hanya saja kuharap kau selalu ingat pada pesanku ini: ‘Demi negara dan rakyat, itulah tugas utama kita’. Semoga kelak namamu termashur dan menjadi seorang Tayhiap (pendekar besar) sejati yang dihormati segenap rakyat jelata.”

Uraian Kwe Ceng amat mengena di lubuk hati Yo Ko. Dilihatnya Kwe Ceng berbicara dengan sungguh-sungguh, simpatik, tapi juga kereng. Meski jelas dia adalah musuh yang membunuh ayahnya, tapi tanpa terasa timbul juga rasa hormat dan segannya. Segera dia menjawab:

“Kwe-pepek, jika engkau sudah meninggal aku pasti akan selalu ingat perkataanmu ini.”

Sudah tentu Kwe Ceng tak mengira bahwa malam ini juga si Yo Ko akan membunuhnya. Dengan rasa sayang dia membelai kepala anak muda itu dan berkata

“Ya, memang, berjuang sampai titik darah penghabisan kalau negara kita runtuh, jiwa pamanmu ini jelas juga takkan tertinggal lagi. Kabarnya Kubilai amat pandai mengatur pasukan, kemunduran pasukan tadi mungkin hanya siasatnya belaka, dalam beberapa hari ini pasti akan ada pertempuran dahsyat, kau perlu kumpulkan dan memupuk semangat untuk menunjukkan segenap kepandaianmu di medan perang. Baiklah, sudah jauh malam, marilah tidur.”

Yo Ko mengiakan saja, lalu membuka baju dan mapan tidur. Belati yang dibawanya dari Coat-ceng-kok itu diam-diam diselipkannya di pinggang, dia pikir biar ilmu silatmu beratus kali lebih tinggi, kalau sudah tertidur, sekali tikam dengan belati ini, masa kau mampu mengelak.?


UPAYA MEMBALAS DENDAM

Karena siangnya bertempur sengit, maka Kwe Ceng rada lelah, begitu menempel bantal dia langsung pulas. Sebaliknya Yo Ko bergolak-golik tak dapat tidur. Dia tidur di bagian dalam, didengarnya pernapasan Kwe Ceng amat teratur, tarikan dan hembusan napasnya terselang agak lama, diam-diam ia kagum terhadap Iwekang sang paman yang hebat.

Agak lama kemudian suasana menjadi hening, hanya dari jauh terdengar suara peronda sedang melakukan tugasnya. Perlahan Yo Ko duduk dan meraba belatinya. Ia pikir jika dia telah kutikam mati, segera kupergi membunuh Oey Yong, rasanya membereskan seorang wanita hamil tidak terlalu sulit. Selesai semuanya segera bersama Kokoh kembali ke Coat-ceng-kok untuk mengambil setengah biji obat itu. Kemudian kami akan mengasingkan diri di kuburan kuno untuk menikmati kebahagiaan hidup dan takkan peduli apakah dunia ini akan menjadi milik Song atau direbut Mongol. Begitulah hatinya sangat senang berpikir sampai di sini.

Tiba-tiba terdengar suara tangisan seorang anak kecil di rumah tetangga sana, menyusul suara sang ibu menimang anaknya, suara tangis anak itu pun mulai mereda dan kemudian sunyi senyap lagi.

Seketika hati Yo Ko tergetar, mendadak teringat olehnya apa yang dilihatnya di perjalanan tempo hari, di mana seorang Busu Mongol menyodet perut seorang bayi kemudian diangkat ke udara seperti sundukan satai. Bayi itu tidak langsung mati, tetapi masih dapat menjerit ngeri. Segera terpikir olehnya: “Untuk membunuh Kwe Ceng sekarang bagiku amat mudah. Tapi kalau dia mati, kota ini takkan dapat dipertahankan lagi dan beribu-ribu anak kecil dalam kota ini tentu akan menjadi mangsa keganasan para prajurit Mongol. Aku sendiri berhasil membalas dendam, tetapi akibatnya jiwa rakyat jelata yang tak terhitung banyaknya menjadi korban, apakah perbuatanku ini dapat dipuji?”

Akan tetapi lantas terpikir pula: “Kalau tidak kubunuh dia, tentu Kiu Jian-jio tak mau memberikan obatnya padaku dan kalau aku mati pasti juga Kokoh tidak dapat hidup lagi.” Betapa mendalam cintanya kepada Siao-liong-li boleh dikatakan tiada taranya, karena itu dia menjadi nekat: “Sudahlah, biar peduli amat dengan jiwa rakyat Siang-yang dan negara segala. Pada saat aku menderita sengsara, selain Kokoh seorang siapa lagi yang pernah menaruh belas kasihan kepadaku? Orang lain tidak pernah sayang padaku, buat apa aku mesti sayang kepada orang lain?”

Begitulah Yo Ko lantas mengangkat belatinya, tenaga dikumpulkan pada tangannya, ujung belati mengincar tepat dada Kwe Ceng. Lilin dalam kamar telah dipadamkan, tapi Yo Ko sudah biasa melihat dalam kegelapan. Waktu belatinya akan ditusukkan, sekilas dia memandang wajah Kwe Ceng, dilihatnya air muka paman sangat tenang, wajah seorang welas asih dan berbudi. Belati sudah tergenggam di tangan Yo Ko, tapi ia ragu-ragu untuk turun tangan mengingat keselamatan laksaan jiwa bangsa Han yang akan menjadi korban keganasan para prajurit Mongol yang kejam.

Malam itu Kwe Ceng tidurnya amat nyenyak. Tiba-tiba terbayang pula dalam benak Yo Ko semua kejadian di masa lampau, betapa kasih sayang paman padanya waktu tinggal di Tho-hoa-to dan tanpa mengenal lelah sang paman mengantarnya ke Cong-lam-san untuk belajar siIat, malahan berniat menjodohkan puteri tunggalnya kepadanya.

Tanpa terasa timbul pikiran: “Selamanya Kwe-pepek bertindak jujur dan terus terang, beliau adalah seorang tua yang baik budi. Pribadi seperti dia ini seharusnya tidak mungkin mencelakai ayahku, Apakah mungkin Sah Koh yang tidak waras hanya sembarangan omong? Kalau saja tikaman ini jadi kulaksanakan dan mungkin ternyata salah membunuh orang baik, bukankah dosaku sulit diampuni? Wah, nanti dulu, kukira urusan ini harus kuselidiki.”

Perlahan-lahan dia lantas menyimpan kembali belatinya, dia coba merenungkan satu demi satu kejadian di masa lalu sejak dia bertemu dengan Kwe Ceng dan Oey Yong. Teringat olehnya sikap Oey Yong yang kurang simpatik padanya, beberapa kali dipergoki suami isteri itu sedang membicarakan sesuatu soal apa-apa, namun pokok pembicaraan lantas dihentikan begitu dia muncul. Kalau dipikir, tentu ada sesuatu di antara suami isteri itu yang sengaja dirahasiakannya.

lngat pula sang bibi resminya menerima dirinya sebagai murid, tapi yang diajarkan hanya membaca dan menulis, sedikit pun tidak diajarkan silat. Apakah keramahan paman Kwe kepadaku bukan lantaran ia telah mencelakai ayahku dan hatinya merasa tidak tenteram, maka sengaja membaiki aku sekedar menenangkan hatinya yang merasa berdosa? Begitulah Yo Ko terus bergulang-guling tak dapat pulas.

Dalam pada itu Kwe Ceng masih tidur dengan nyenyaknya, namun pada suatu ketika dia dapat mengetahui pernapasan Yo Ko yang rada memburu. Tiba-tiba dia membuka mata dan bertanya:

“Ada apa, Ko-ji? Kau tak dapat tidur?”

Badan Yo Ko rada bergetar, jawabnya: “Oh tidak apa-apa.”

“Kalau kau tidak biasa tidur bersama orang lain, bolehlah aku tidur di meja saja,” kata Kwe Ceng tertawa.

“Wah, tidak, tidak apa-apa,” sahut Yo Ko cepat.

“Baiklah, jika begitu lekas tidur,” ujar Kwe Ceng. “Orang belajar silat harus mengutamakan menenangkan batin dan memusatkan pikiran.”

Yo Ko mengiyakan. Akan tetapi pikirannya tetap bergoIak hingga akhirnya dia tidak tahan dan bertanya:

“Kwe-pepek, dahulu waktu kau mengantar diriku ke Cong lam-san, sampai kuil di kaki gunung itu pernah kutanyakan sesuatu padamu, apakah paman masih ingat?”

Hati Kwe Ceng terkesiap, jawabnya: “Ya, ada apa?”

“Tatkala Kwe-pepek marah-marah kemudian menghantam sebuah pilar batu hingga menimbulkan salah paham para Tosu dari Coan-cin-kau, apakah sekarang paman masih ingat persoalanku yang kutanyakan itu?”

“Ya, kalau tidak salah kau bertanya cara bagaimana meninggalnya ayahmu.”

Dengan tatapan tajam Yo Ko berkata. “Waktu itu yang kutanyakan kepadamu adalah siapakah yang membunuh ayahku.”

“Dari mana kau mengetahui bahwa ayahmu dibunuh orang?” kata Kwe Ceng.

“Memangnya ayahku meninggal secara baik?” tanya Yo Ko dengan suara agak serak.

Kwe Ceng terdiam sejenak, ia menghela napas panjang, kemudian berkata pula: “Ayahmu meninggal secara menyedihkan, tetapi tiada siapa pun yang membunuhnya, dia yang membunuh dirinya sendiri.”

Mendadak Yo Ko bangun duduk, dengan perasaan yang sangat terangsang ia berkata: “Tidak, Kwe-pepek dusta padaku, mana mungkin di dunia ini ada orang membunuh dirinya sendiri? Seumpama ayahku membunuh diri, tentu ada orang lain yang menyebabkan kematiannya.”

Kwe Ceng menjadi berduka sehingga meneteskan air mata, katanya perlahan: “Anak Ko, kakekmu dan ayahku adalah saudara angkat, ayahmu dengan diriku juga sudah mengikat persaudaraan. Kalau benar ayahmu mati secara penasaran, masa aku tidak berusaha membalas dendam baginya?”

Tubuh Yo Ko rada gemetar, saking menahan perasaannya hampir saja dia berucap: “Kau sendiri yang membunuh ayahku, maka dengan sendirinya kau tak mungkin membalaskan dendamnya.”

Akan tetapi dia tahu, sekali ucapannya dikeluarkan tentu Kwe Ceng akan waspada dan selanjutnya pasti sukar hendak membunuhnya. Maka Yo Ko hanya diam saja, lalu tidak bicara lagi.

“Persoalan ayahmu sesungguhnya amat banyak lika-likunya dan sukar diceritakan dalam waktu singkat,” kata Kwe Ceng. “Dahulu waktu kau bertanya, karena kupikir usiamu masih terlalu muda sehingga belum dapat memahami sebab musababnya dengan jelas, lantaran itulah aku tidak mau menjelaskan padamu. Sekarang kau sudah dewasa, sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang jahat, maka sesudah orang MongoI dipukul mundur, biarlah nanti kuceritakan dari awal hingga akhir,” jeIasnya. Habis berkata ia terus membalik dan tidur lagi.

Yo Ko cukup kenal perangai sang paman yang amat tegas itu, sekali dia bilang satu, tak mungkin berubah menjadi dua. Tapi ia menjadi ragu-ragu lagi dan memaki diri sendiri: “Wahai, Yo Ko, biasanya kau bertindak sesuatu selalu tegas dan berani, tetapi mengapa sekarang kau bimbang dan takut-takut? Apakah kau jeri terhadap ilmu silatnya yang lihay? Bukan saja kesempatan bagus malam ini kau sia-siakan, besok bila Oey Yong sudah mengetahui maksud tujuanmu mungkin Kokoh-mu akan ikut menjadi korban.”

Teringat kepada Siao-liong-li, seketika ia kembali bersemangat. Ia meraba belatinya, belati yang menempel di kulit perutnya itu serasa panas oleh suhu badannya. Baru saja ia hendak mencabut belatinya, tiba-tiba terdengar daun jendela diketok orang tiga tali dengan sangat perlahan. Cepat Yo Ko pura-pura tidur, sedangkan Kwe Ceng lantas terjaga bangun berduduk serta bertanya:

“Apakah Yong-ji di situ? Ada urusan apa?”

Namun suara di luar jendela lantas berhenti. Kwe Ceng bangkit, dilihatnya Yo Ko tidur nyenyak, dia pikir anak muda itu baru saja pulas, sebaiknya jangan diganggu. Perlahan-lahan dia lantas membuka pintu kamar dan keluar, dilihatnya Oey Yong sedang menunggu di serambi sana, Kwe Ceng mendekati sang isteri lantas bertanya dengan suara tertahan:

“Ada urusan apa?”

Oey Yong tidak menjawab, ia menarik tangan suaminya ke halaman belakang, setelah memandang sekelilingnya barulah berkata:

“Percakapanmu dengan Ko-ji sudah kudengar semua. Dia mengandung maksud buruk, apakah kau tidak tahu?”

Kwe Ceng terkejut. “Apa? Dia bermaksud buruk bagaimana?” ia menegas.

“Dari kata-katanya itu, tampaknya dia mencurigai kita berdua yang membunuh ayahnya,” tutur Oey Yong.

“Ya, bisa jadi dia curiga,” ujar Kwe Ceng sambil menggeleng, “tapi aku telah berjanji akan menceritakan sebab musabab kematian ayahnya.”

“Memang kau benar-benar akan menceritakan padanya tanpa menutupi sesuatu apa pun?” tanyanya.

“Kematian ayahnya amat mengenaskan, selama ini aku pun selalu merasa bersalah,” kata Kwe Ceng, “Meski pun adik Yo Khong tersesat ke jalan yang salah, tetapi kita juga tidak berusaha menyadarkan dia dan tidak berdaya menyelamatkannya.”

“Hm, orang macam begitu masa ada harganya dibantu?” jengek Oey Yong, “Malahan aku justru menyesal tidak membunuhnya sedini mungkin, kalau tidak masa beberapa gurumu itu sampai tewas di Thoa hoa-to gara-gara perbuatannya?”

Teringat pada peristiwa yang mengenaskan itu, tanpa terasa Kwe Ceng menghela napas panjang.

“Dari anak Hu kudengar kedatangan Ko-ji ini kelihatan agak aneh, katanya pula kau tidur sekamar dengan dia, Aku menjadi kuatir terjadi sesuatu, maka semenjak tadi aku sudah mengawasi dari luar jendela. Kukira sebaiknya jangan tidur bersamanya, harus diketahui bahwa hati manusia amat sulit dijajaki, lagi pula ayahnya mati keracunan akibat memukul bahuku.“

“Yong-ji, itu pun tidak dapat dikatakan kau yang mencelakai dia,” ujar Kwe Ceng.

“Walau pun kita memang ada maksud membunuhnya, akhirnya ia juga mati akibat diriku, maka soal kita sendiri yang turun tangan membunuhnya atau bukan menjadi tidak penting lagi,” kata Oey Yong.

Kwe Ceng berpikir sejenak, katanya kemudian: “Betul juga ucapanmu. Kalau begitu untuk sementara ini takkan kuceritakan terus terang padanya. Yong ji, sudah jauh malam, lekas kembali ke kamarmu dan mengaso, besok malam biar aku pindah tidur ke markas saja.”

Biasanya Kwe Ceng memang selalu menuruti segala nasehat Oey Yong, soalnya ia tahu kecerdasan dan pengetahuan sang isteri memang berkali lipat lebih pintar dari pada dia sendiri, dugaannya selalu tepat, perhitungannya tak pernah meleset. Meski ia tak percaya bahwa Yo Ko bermaksud jahat kepadanya, tetapi sang isteri sudah bilang begitu, maka ia lantas menurut saja. Segera Kwe Ceng memayang sang isteri untuk kembali ke kamarnya, katanya:

“Kukira selekasnya Hu-ji dinikahkan saja dengan Ko-ji agar selesailah persoalan kita ini.”

“Aku sendiri pun bingung menghadapi urusan ini!” ujar Oey Yong sambil menghela napas. “Kakak Ceng, di dalam hatiku hanya ada engkau seorang begitu pula dalam hatimu cuma ada aku, akan tetapi puteri kita itu ternyata tidak seperti kau, juga tidak seperti aku, dalam hatinya justru sekaligus terisi dua kekasih yang sukar dibedakan mana yang harus dipilih, inilah yang membuat kita sebagai ayah-bundanya serba susah.”

‘Dua kekasih’ yang dimaksud Oey Yong bukan lain dari pada Bu Tun-si dan Bu Siu-bun. Kedua anak muda ini sama jatuh cinta kepada Kwe Hu, sebaliknya Kwe Hu juga tidak pilih kasih terhadap kedua saudara Bu itu. Waktu masih kecil memang tidak menjadi soal, akan tetapi ketiganya kini sudah dewasa, persoalan cinta segi tiga ini pun menjadi semakin rumit dan serba sulit.

Menurut pikiran Kwe Ceng, dia ingin menjodohkan puterinya kepada Yo Ko sedang untuk kedua saudara Bu akan dicarikan gadis lain yang setimpal. Akan tetapi pikiran Oey Yong terlebih cermat, ia tahu banyak kesulitan dalam persoalan jodoh ini. Kendati pun dia amat pintar, menghadapi soal rumit ini pun dia merasa bingung dan tak berdaya.

Begitulah Kwe Ceng mengantar isterinya sampai ke dalam kamar, setelah berbaring dan menyelimutinya, ia duduk di tepi ranjang sambil menggenggam tangan sang isteri dengan tersenyum bahagia. Selama sebulan ini keduanya sama sibuk urusan tugas, suami-isteri jarang berkumpul dengan tenang, sekarang keduanya berhadapan tanpa bicara, namun terasa sangat senang.

Oey Yong memegangi tangan Kwe Ceng dan digosok-gosokkannya pada pipi sendiri, lalu berkata dengan suara lirih:

“Engkoh Ceng, anak kita yang kedua ini bolehlah kau berikan nama yang baik.”

“Kau tahu aku tidak sanggup, mengapa kau menggodaku,” jawab Kwe Ceng dengan tertawa.

“Kau selalu mengatakan dirimu tidak sanggup apa-apa, padahal, Engkoh Ceng, laki-laki di seluruh jagat ini tiada keduanya yang dapat melebihi kau,” kata Oey Yong dengan mesra dan sungguh-sungguh.

Kwe Ceng menunduk dan mencium perlahan muka sang isteri, katanya: “Kalau anak laki-laki kita beri sama Boh-to saja, tetapi kalau perempuan...” Dia berpikir sejenak, kemudian menyambung: “Kau saja yang memberikan namanya.”

“Saat ini kita sedang mempertahankan kota Siang-yang dalam menghadapi serbuan orang MongoI. Karena anak dilahirkan di sini, maka kita beri nama Yang saja, agar kelak kalau sudah besar anak ini akan selalu ingat bahwa dia dilahirkan di kota yang sedang dilanda peperangan.”

“Bagus, diharap saja anak perempuan ini tidak senakal Toaci-nya, sudah begitu besar tapi masih membikin repot orang tua saja,” ujar Kwe Ceng.

“Kalau cuma repot sih tidak menjadi soal,” ujar Oey Yong dengan tersenyum, “justru dia... ahhh... aku malah berharap anak ini adalah laki-laki saja.”

Kwe Ceng meraba-raba tangan sang isteri dan berkata: “Baik anak laki-laki mau pun anak perempuan kan sama saja? Sudahlah, lekas tidur, jangan berpikir macam-macam.”

Sesudah menyelimuti sang isteri dan memadamkan lilin, Kwe Ceng kembali ke kamarnya, dilihatnya Yo Ko masih tidur dengan lelap, didengarnya bunyi kentongan tiga kali, segera ia naik tempat tidur lagi. Tanpa diketahuinya percakapan mereka suami-isteri di halaman tadi telah dapat didengar semua oleh Yo Ko yang bersembunyi di balik pintu.

Waktu Kwe Ceng dan Oey Yong menuju ke ruangan dalam, Yo Ko masih berdiri kesima di balik pintu sambil merenungkan ucapan Oey Yong:

“Aku justru menyesal tidak membunuhnya lebih dini..., ayahnya mati keracunan akibat memukul bahuku..., kita memang ada maksud membunuhnya, tapi akhirnya ia juga mati akibat diriku...”

Dari kata-kata itu sudah jelas bahwa ayahku memang tewas di tangan mereka berdua, hal ini tidak perlu diragukan lagi, demikian pikir Yo Ko. Diam-diam dia pun merasa Oey Yong benar maha lihay karena mencurigai dirinya, jika malam ini tidak turun tangan, mungkin kelak tiada kesempatan baik lagi. Begitulah ia lantas berbaring lagi di tempat tidurnya dan menunggu sampai kembalinya Kwe Ceng.

Sesudah Kwe Ceng merebahkan diri dan memakai selimut, didengarnya Yo Ko sedang mengeluarkan suara mengorok perlahan. Diam-diam ia pikir anak muda ini nyenyak benar tidurnya. Karena itu ia mapan tidur dengan perlahan, kuatir kalau mengganggu Yo Ko. Selang tak lama, selagi layap-layap akan pulas, tiba-tiba terasa Yo Ko membalik tubuh dengan perlahan, tapi waktu membalik tubuh tetap mengeluarkan suara mendengkur.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar