Selasa, 10 Agustus 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 074

Gelang jepit rambut emas itu adalah pilihan dari benda mestika yang banyak dikumpulkan ayahnya, Oey Yok-su, di Tho-hoa-to, maka dapatlah dibayangkan betapa indah dan tinggi nilainya barang itu. Tapi selamanya Siao-liong-li tak pakai perhiasan, sebagai pengikat rambut hanya sebuah tusuk kondai biasa saja, maka ia tidak menjadi senang oleh hadiah Oey Yong, namun ia ucapkan terima kasih juga.

Begitulah Oey Yong mengenakan gelang di atas rambut orang sembari mengajak ngobrol. Sesudah berlangsung percakapan, Oey Yong merasa Siao-liong-li terlalu polos bersih, urusan keduniawian sedikit pun tidak paham. Ia lihat wajahnya cantik molek, ayu tapi sederhana, jika bukannya ada hubungan guru dan murid antara Yo Ko dengan Siao-liong-li, sesungguhnya mereka memang satu pasangan yang amat setimpal. Karena itu ia menanya lagi:

“Moaycu, hatimu sangat menyukai Ko-ji, bukan?”

Siao-liong-li tersenyum manis, “Ya, memang. Tapi kenapa kalian melarang dia membaiki aku?” sahutnya.

Oey Yong tercengang oleh jawaban itu, teringat olehnya masa remaja, pernah juga ayah tak boleh dirinya mendapatkan jodoh Kwe Ceng, bahkan guru Kwe Ceng juga mencela dirinya, tapi sesudah mengalami berbagai macam aral melintang, akhirnya dapat juga mengikat sehidup semati dengan Kwe Ceng. Dan kini Yo Ko dan Siao-liong-li saling cinta mencintai dengan hati murni, kenapa ia sendiri justru hendak merintanginya?

Tetapi mereka sudah dibatasi kedudukan sebagai guru dan murid, kalau terjadi hubungan laki-perempuan di luar garis, cara bagaimana mereka harus menghadapi ksatria-ksatria di seluruh jagat? Karena pikiran itu dia menghela napas dan berkata lagi:

“Moaycu, di dunia ini ada banyak urusan-urusan yang kau tak paham, jika kau dan Ko-ji menjadi suami-isteri maka selama hidupmu akan dipandang hina oleh orang lain.”

“Orang pandang hina padaku, peduli apa?” sahut Siao-liong-li tersenyum.

Kembali Oey Yong tercengang, sungguh jawaban ini rada-rada mendekati watak ayahnya, yaitu Oey Yok-su yang paling benci pada segala ikatan adat.

“Tapi Ko-ji bagaimana, ia pun akan dipandang hina orang selamanya,” katanya kemudian bila ingat betapa kasih sayang sang suami pada Yo Ko.

“Selama hidup dia akan tinggal di kuburan kuno bersama aku, kami hidup senang bahagia, peduli apa orang lain?” sahut Siao-liong-li lagi.

Oey Yong tertegun sejurus, lalu ia bertanya lagi: “Kalian berdua tinggal di kuburan kuno selama hidup? Selamanya tak akan keluar lagi?”

Siao-liong-li tampaknya sangat gembira. “Ya, untuk apa keluar?” katanya sambil berjalan mondar-mandir dalam kamar. “Orang di luar semuanya jahat.”

“Tapi semenjak kecil Ko-ji ter-lunta-lunta ke sana ke mari. Jika selama hidup terkurung dalam kuburan kuno, apakah ia tidak kesal?” kata Oey Yong lagi.

“Bukankah ada aku menemani dia, kenapa kesal?” jawab Siao-liong-li tertawa.

“Setahun dua tahun mungkin tidak kesal,” demikian kata Oey Yong pula sambil menghela napas. “Tetapi lewat beberapa tahun, dia lantas pikirkan dunia fana di luar, kalau dia tidak bisa keluar, itu akan lebih kesal rasanya.”

Sebenarnya hati Siao-liong-li sangat gembira. Mendengar kata-kata Oey Yong ini seketika hatinya menjadi tertekan.

“Coba akan kutanyai Ko-ji, aku tak mau bicara lagi dengan kau,” demikian katanya terus keluar kamar.

Melihat wajah orang yang cantik tiba-tiba seperti berubah muram, Oey Yong rada menyesal terhadap apa yang dikatakannya tadi, tetapi bila terpikir lagi apa yang dikatakannya meski tak enak didengar, namun sesungguhnya demi kebaikan mereka. Ia pikir, biarlah aku intip apa yang dikatakan pada Ko-ji. Dia lantas mendekati jendela kamarnya Yo Ko kemudian mendengarkan percakapan kedua muda-mudi itu.

“Ko-ji,” terdengar Siao-liong-li berkata, “kalau selama hidupmu berada bersamaku, kau akan kesal tidak? Dan akan bosan atau tidak?”

“Mengapa kau bertanya begitu, Kokoh?” sahut Yo Ko. “Bukankah kau sudah tahu betapa girangku tiada tara. Kita berdua akan hidup bersama sampai tua, sampai rambut ubanan, gigi ompong semua, tapi masih terus senang dan bahagia, tidak akan berpisah.”

Kata-kata Yo Ko itu diucapkan dengan rasa sungguh-sungguh dan timbul dari lubuk hatinya yang murni, Siao-liong-li terharu sekali hingga seketika ia termangu-mangu.

“Ya, aku pun begitu,” katanya kemudian lewat sejenak. Dia pun keluarkan seutas tali lalu digantung di tengah ruangan kamar dan berkata lagi: “Sudahlah, kita tidur saja!”

“Tapi kata Kwe-pekbo malam ini kau tidur bersama dia dan puterinya, aku tidur sekamar dengan Bu-si Hengte,” kata Yo Ko tiba-tiba.

“Tidak.” sahut Siao-liong-li, “kenapa harus kedua lelaki itu yang menemani kau? Aku ingin tidur bersama dengan kau.” Sembari bicara, ketika tangannya mengebas, pelita minyak disirapkan.

Luar biasa terperanjatnya Oey Yong mendengar percakapan terakhir itu. “Ternyata mereka guru dan murid berdua sudah melakukan perbuatan yang melanggar tata susila, apa yang dikatakan imam tua Thio Ci-keng itu nyata bukanlah dusta belaka, lantas bagaimana baiknya ini?” demikian pikirnya bingung.

Ia pikir tidak enak mengintip kedua muda-mudi yang tidur seranjang dan tentu ada ‘main’ itu, maka niatnya hendak pergi kalau saja tidak mendadak dilihatnya seberkas sinar putih berkelebat di dalam kamar, tahu-tahu seorang merebah melintang terapung di udara ruangan kamar, tubuh orang itu hanya bergoncang beberapa kali, lalu tak bergerak lagi.

Heran luar biasa Oey Yong oleh kejadian itu, waktu ia mengamati melalui sinar bulan yang menyorot masuk, kiranya yang tidur terapung itu ialah Siao-Iiong-Ii dengan menggunakan seutas tali, sebaliknya Yo Ko malah tidur dipembaringan sendirian, meski pun dua orang bersatu kamar, tapi mereka berlaku sopan menurut batas-batas susila. Oey Yong tertegun di luar, dia merasa kedua orang ini sungguh luar biasa, benar atau salah sungguh sukar dikatakan. Selagi ia hendak kembali ke kamarnya sendiri, tiba-tiba didengar suara tindakan orang yang ramai, Kwe Hu dan Bu-si Hengte sudah kembali.

“Tun-ji, Siu-ji, kalian berdua pergi tidur satu kamar dan tak perlu sekamar lagi dengan Yo-keh Koko,” kata Oey Yong.



Bu-si Hengte mengiakan, sebaliknya Kwe Hu lantas tanya: “Sebab apa, ibu?”

“Jangan urus,” sahut Oey Yong singkat.

“Aku justru tahu sebabnya,” kata Siu-Bun tertawa tiba-tiba. “Mereka berdua itu guru bukan guru, murid tidak murid, seperti binatang saja tidur sekamar.”

“Siu-ji, kau bilang apa?!” bentak Oey Yong sambil menarik muka.

“Kau juga terlampau lemah, Sunio, manusia rendah macam itu buat apa mengurusnya?” sela Tun-si. “Aku sudah pasti tidak akan bicara dengan dia.”

“Tapi hari ini mereka telah menolong kita, budi yang harus diingat,” kata Kwe Hu.

“Hm, aku lebih suka dibunuh Kim-lun Hoat-ong dari pada menerima budi binatang macam dia,” kata Siau-Bu pula.

Oey Yong kurang senang oleh kata-kata kedua saudara Bu itu. “Sudahlah, jangan banyak omong lagi, pergi tidur saja,” katanya.

Percakapan itu sudah tentu didengar semua oleh Yo Ko dan Siao-liong-li. Sejak kecil Yo Ko memang tidak akur dengan Bu-si Hengte, maka kata-kata orang diganda tertawa saja tanpa pusing, sebaliknya Siao-liong-li yang me-mikir sendiri: “Aneh, kenapa karena Ko-ji membaiki aku, lantas dia dikatakan binatang, manusia rendah segala?”

Ia pikir bolak balik tetap tidak mengerti. Tengah malam tiba-tiba ia bangunkan Yo Ko dan bertanya:

“Ko-ji, ada suatu soal yang harus kau jawab sungguh-sungguh. Bila kau tinggal di kuburan kuno bersama aku sampai beberapa tahun lamanya, apakah kau takkan rindu pada dunia ramai di luar?”

Yo Ko tercengang hingga tak bisa menjawab.

“Dan bila kau tidak keluar, apa kau takkan kesal?” tanya Siao-liong-li pula. “Meski cintamu padaku tak akan berubah selamanya, tapi sesudah lama tinggal dalam kuburan, apa kau takkan masgul?”

Pertanyaan ini membikin Yo Ko sulit juga menjawabnya. Saat ini sudah tentu dia merasa senang dan bahagia bisa hidup berdampingan dengan Siao-liong-Ii, tapi tinggal di kuburan kuno yang sunyi dan gelap itu sekali pun tak terasa bosan selama sepuluh tahun atau dua puluh tahun umpamanya, tapi bagaimana kalau sampai 30 tahun? Apa lagi 40 tahun?

Sebenarnya untuk menjawab asal menjawab saja tidak sukar bagi Yo Ko, tapi begitu suci bersih cintanya terhadap Siao-liong-li, maka dengan sendirinya ia tidak mau sembarangan menjawab.

“Kokoh,” katanya setelah berpikir, “jika kita sampai masgul dan bosan, tidakkah kita bisa keluar bersama saja?”

Siao-liong-li menyahut perlahan sekali, lalu tak bicara lagi, hanya dalam hati dia berpikir: “Apa yang dikatakan Kwe-hujin (nyonya Kwe) ternyata tidak dusta. Kelak kalau dia sudah bosan dan kesal sehingga keluar dari kuburan, ia akan dipandang hina oleh setiap orang, lalu apa senangnya orang hidup begitu? Ia baik padaku, entah mengapa orang lain lantas pandang rendah dan hina padanya, apakah aku sendiri orang yang membawa alamat tak baik? Aku suka dia dan mencintai dia, jiwaku boleh melayang, tapi kalau menjadikan dia tidak bahagia, lebih baik dia tidak menikahi aku saja. Kalau begitu, malam itu di Cong-lam-san dia tak mau berjanji akan peristerikan diriku, agaknya disebabkan inilah.”

Sementara didengarnya Yo Ko menggeros nyenyak, maka perlahan ia melompat turun. Ia dekati pembaringan dan pandang wajah orang yang cakap, hatinya cemas dan pedih, tak tertahan air matanya berlinang-linang.

Besok paginya ketika Yo Ko bangun, terasa pundaknya rada basah, ia merasa aneh sekali. Ia melihat Siao-liong-li sudah tiada di kamar, ia duduk, lantas tampak di atas meja terukir delapan huruf yang halus dengan jarum yang bunyinya:

‘Selamat tinggal, janganlah pikirkan diriku.’

Kaget luar biasa Yo Ko, ia termangu-mangu bingung. Ia lihat di atas meja masih kelihatan ada bekas air mata yang belum kering, dapat diduga rasa basah di pundaknya tentu juga karena air mata Siao-liong-li, maka dapatlah dibayangkan betapa remuk redam perasaannya tatkala ia menulis kedelapan huruf ini. Dalam keadaan cemas Yo Ko merasa seakan disambar petir. Mendadak dia dorong daun jendela terus meloncat keluar sambil berteriak-teriak:

“Kokoh, Kokoh!”

Yo Ko insaf satu detik saja tidak boleh disia-siakan. Apa bila hari ini Siao-liong-Ii tak bisa diketemukan, kelak mungkin sukar bersua lagi, maka cepat ia lari ke kandang kuda, ia keluarkan kudanya yang kurus terus dicemplaknya pergi. Kebetulan waktu itu Kwe Hu lagi keluar dari kamarnya. Ia menjadi heran melihat kelakuan pemuda ini, ia berteriak-teriak memanggil:

“Yo-koko, hendak ke mana kau?”

Tetapi Yo Ko membudek, ia larikan kudanya cepat ke utara, sekejap saja belasan li sudah dilaluinya, sepanjang jalan ia terus berteriak-teriak.

“Kokoh, Kokoh!”

Tapi mana ada bayangan Siao-liong-li.


LOAN-GIOK-TIN ( Barisan Gundukan Batu )

Sesudah tak lama berjalan, dilihatnya rombongan Kim-lun Hoat-ong sedang menuju ke barat. Mereka pun terheran-heran ketika mendadak melihat Yo Ko seorang diri dan satu tunggangan. Segera Kim-lun Hoat-ong belokkan kudanya memapak datangnya Yo Ko.

Sama sekali Yo Ko tak bersenjata, tiba-tiba harus menghadapi musuh besar, sudah tentu sangat berbahaya. Tapi ia sedang kuatirkan keadaan Siao-liong-li, apa yang dipikirkan kini tiada lain kecuali jejak Siao-liong-Ii, keselamatan diri sendiri sudah tidak terpikir olehnya. Maka, demi nampak Kim-lun Hoat-ong mendatangi, ia malah menarik tali kuda kemudian memapakinya dan bertanya:

“Hai, apa kau melihat guruku?”

Melihat orang tidak melarikan diri, Kim-lun Hoat-ong menjadi heran, dan kini mendengar pertanyaan itu, keruan tambah tercengang.

“Tidak.” sahutnya kemudian. “Apa dia tidak bersama kau?”

Kedua orang ini sama-sama cerdik luar biasa, sesudah terjadi tanya jawab, sesaat keduanya timbul pikiran. Yo Ko berada sendirian, tentu bukan tandingan Kim-lun Hoat-ong, maka setelah sinar mata kedua orang kebentrok, cepat Yo Ko keprak kuda dan di lain pihak Kim-lun Hoat-ong sudah mengulur tangan hendak menjambretnya.

Namun kuda kurus tangkas luar biasa, bagai angin cepatnya sudah membedal lewat. Lekas-lekas Kim-lun Hoat-ong keprak kuda mengejar, namun Yo Ko sudah berada sejauh satu li lebih dan sukar disusul lagi. Tiba-tiba pikiran Hoat-ong tergerak, ia tahan kuda tidak mengejar lebih jauh, ia pikir: “Kalau mereka guru dan murid terpencar, apa lagi yang aku takutkan sekarang? Jika Oey-pangcu itu masih belum pergi jauh, ha-ha-ha...”

Begitulah, segera ia bawa rombongannya balik ke tempat dari mana mereka datang tadi. Sementara itu Yo Ko masih belum melihat bayangan Siao-liong-li, meski sudah beberapa puluh li ia tempuh. Ia merasa darahnya bergolak hingga pandangan terasa gelap, hampir-hampir saja ia pingsan di atas kudanya. Sungguh luar biasa rasa sedih dan pilunya.

“Sebab apakah Kokoh mendadak meninggalkan aku? Di manakah aku pernah menyakiti dia? Tidak sedikit air mata yang dia alirkan sewaktu ia hendak tinggalkan aku, tentunya itu bukan karena marah padaku,” demikianlah ia pikir.

Lalu tiba-tiba terpikir pula olehnya: “Ah, tahulah aku sekarang, tentunya karena aku bilang tinggal di dalam kuburan kuno akan merasa bosan, maka dia sangka aku tidak mau hidup berdampingan selamanya dengan dia.”

Berpikir sampai di sini, tiba-tiba saja ia melihat setitik sinar harapan: “Ahh, tentu dia kembali ke kuburan kuno, biarlah aku pergi ke sana mendampingi,” demikian pikirnya.

Tadi dalam bingungnya ia larikan kuda secara ngawur, kini ia bisa memilih jalan, ia kembali ke utara menuju Cong-lam-san. Sepanjang jalan ia berpikir terus, makin dipikir semakin terasa benar keputusannya, karena itu rasa duka dan rindunya menjadi hilang beberapa bagian, bahkan kemudian dia pun ber-dendang di atas kudanya.

Waktu lohor dia mampir di kedai nasi untuk tangsal perut, habis makan semangkok bakmi waktu mau bayar, tiba-tiba dia melongo. Kiranya waktu berangkat terlalu buru-buru hingga satu mata uang saja tak membawanya. Tapi Yo Ko tak kurang akal. Ia incar ketika pengurus kedai meleng, cepat cemplak kudanya terus lari pergi. Ia dengar pemilik kedai mencaci maki kalang kabut di belakang, diam-diam pemuda ini tertawa geli sendiri.

Petangnya tibalah ia di suatu hutan lebat. Sekonyong-konyong didengarnya sayup-sayup ada suara bentakan dan makian di dalam hutan diseling dengan suara nyaring beradunya senjata. Yo Ko terkejut, ia coba dengarkan lebih jelas, kemudian ia kenali itulah suaranya Kim-lun Hoat-ong dan Kwe Hu. Yo Ko tahu pasti terjadi sesuatu, lekas-lekas dia melompat turun dari kudanya, dia tambat kudanya sedikit jauh, ia sendiri menyelinap masuk hutan dengan kepandaian ‘tah-poh-bu-seng’ (melangkah tanpa bersuara), yaitu semacam ilmu entengkan tubuh yang tinggi, ia mencari tempat di mana datangnya suara.

Setelah belasan tombak jauhnya, ia lihat di tengah hutan lebat itu Oey Yong dan puterinya beserta Bu-si Hengte lagi melawan rombongan Kim-lun Hoat-ong sebisa-bisanya di suatu gundukan batu. Ia lihat keadaan Bu-si Hengte amat mengenaskan. Mukanya, bajunya, semua berlepotan darah. Oey Yong sendiri rambutnya serawutan, tampaknya kalau bukan Kim-lun Hoat-ong sengaja ingin menawan lawannya hidup-hidup, mungkin sejak tadi mereka berempat telah binasa di bawah roda besinya. Setelah menyaksikan beberapa jurus lagi, diam-diam Yo Ko berpikir: “Kokoh tidak di sini, jika aku maju membantu sendiri, tentu hanya mengantar jiwa percuma, lantas bagaimana baiknya ini?”

Selagi dia hendak cari akal, tiba-tiba dilihatnya roda Kim-lun Hoat-ong menghantam, Oey Yong kelihatan tidak kuat menangkis, mendadak dia mengkeret masuk ke belakang segundukan batu. Lalu Kim-lun Hoat-ong terpancing masuk ke tengah gundukan batu ini dan berputar kian kemari, namun tak mampu mendekati Oey Yong lagi. Heran sekali Yo Ko oleh kejadian itu. Dilihatnya Kwe Hu dan Bu-si Hengte juga berkelit dan berputar mengandalkan gundukan batu, bila ada bahaya, asal sembunyi di belakang batu, seketika Darba ketinggalan dan terpaksa berputar-putar ke sana kemari baru dapat menyusulnya, tapi sementara itu Kwe Hu sudah sempat bernapas untuk melawan musuh lagi.

Makin melihat makin heran Yo Ko. Sungguh tak bisa dimengerti beberapa gundukan batu dalam hutan ini ternyata begitu mukjijat. Meski keselamatan rombongan Oey Yong tak menjadi soal lagi, tapi rasanya susah juga hendak lari keluar barisan gundukan batu.

Setelah lama tidak bisa membobol pertahanan musuh, meski Bu-si Hengte dapat dilukai tapi tak parah, sebaliknya pihak Kim-lun Hoat-ong sendiri ada seorang tertusuk mati oleh Kwee Hu, Hoat-ong tahu gundukan batu itulah letak penyakitnya yang harus dipecahkan baru bisa menangkap musuh. Hoat-ong seorang yang cerdas dan tinggi hati. Dia pikir beberapa orang ini sudah seperti kura-kura dalam tempurung yang tak akan bisa lolos dari cengkeramannya. Dia pikir bila sebentar lagi perputaran barisan gundukan batu dapat dipahaminya, segera ia menerjang masuk dengan cepat kemudian sekali pukul dan berhasil, barulah hal ini bisa menambah kepintarannya.

Maka mendadak ia memberi tanda mundur kepada rombongannya, ia sendiri pun mundur lebih setombak jauhnya sambil memperhatikan susunan gundukan batu yang ruwet itu. Ia pikir berapa hebat siasat yang diatur mau pun barisan yang dikerahkan pasti tak terlepas dari perhitungan Thay-kek dan Liang-gi lalu meluas menjadi Ngo-heng dan Pat-kwa. Kim-lun Hoat-ong sendiri mahir macam-macam ilmu aneh itu, ia pikir meski barisan gundukan batu itu rada aneh, ia yakin pasti tidak terlepas dari dasar perhitungan tersebut di atas.

Siapa tahu meski sudah lama dia pandang dan perhatikan, baru sedikit lubang saja yang dapat dilihatnya. Ketika hendak dipecahkan lebih jauh, salah lagi, sebelah kiri betul, sayap kanan sudah berubah, dapat memecahkan bagian depan, sebelah belakang lantas sukar dipahami lagi. Dia termenung-menung di tempatnya, terkejut dan kagum luar biasa atas kepandaian Oey Yong. Tetapi Kim-lun Hoat-ong adalah seorang genius, baik ilmu silat mau pun ilmu surat, meski menghadapi soal sulit, ia justru ingin gunakan kecerdasan sendiri untuk memecahkannya.

Yo Ko melihat paderi ini mencurahkan perhatian penuh atas gundukan batu. Mendadak matanya terbelalak seperti paham di mana letak mukjizat barisan batu itu, dan orangnya terus melompat masuk cepat luar biasa, ketika ia ulurkan tangan, tahu-tahu Kwe Hu kena dijambret, habis ini ia pun mundur lagi keluar barisan batu. Perubahan di luar dugaan ini membikin Oey Yong terkejut hingga tidak berdaya. Bila keluar barisan buat menolong, terang mereka sendiri yang bakal menghadapi bahaya.

Kiranya tadi Kwe Hu melihat musuh berdiam diri, ia menjadi gegabah, tak diturut pesan ibundanya agar berdiri tetap di tempatnya, tapi ia keluar garis pertahanan barisan batu dan betapa lihaynya Kim-lun Hoat-ong, begitu kesempatan datang segera dia turun tangan menawannya terus menotok Hiat-to iganya dan diletakkan di tanah. Sengaja Hoat-ong tidak menotok urat nadi gagu si gadis agar bisa bersuara minta tolong ibundanya untuk memancing Oey Yong keluar dari barisan batu.

Seketika Kwe Hu merasa seluruh badan kaku gatal luar biasa, tetapi anggota badan tidak bisa bergerak, maka tiada jalan lain kecuali merintih perlahan. Sudah tentu Oey Yong tahu akal licik musuh, namun kasih ibu adalah pembawaan setiap manusia. Dia menjadi kuatir luar biasa, dia menggigit bibir kencang-kencang, sedapat mungkin menahan perasaannya.

Semua ini disaksikan Yo Ko secara jelas di tempat sembunyinya. Tiba-tiba dilihatnya Oey Yong gerakkan tongkat bambu lalu hendak terjang keluar barisan batu untuk menolong puteri kesayangannya. Tanpa pikir lagi sekonyong-konyong Yo Ko melompat keluar, Kwe Hu disambarnya terus melompat masuk kembali ke barisan gundukan batu itu.

Cepat sekali Kim-lun Hoat-ong timpukkan roda besinya menghantam punggung si Yo Ko yang masih terapung di udara hingga sukar berkelit. Tapi mendadak Kwe Hu didorongnya ke arah Oey Yong, berbareng Yo Ko sendiri gunakan gerakan ‘jian-kin-tui’, tubuhnya menurun cepat ke bawah dan terdengarlah suara “bluk”, antap sekali tubuh Yo Ko terbanting di atas gundukan batu, sementara terdengar suara gemerenceng nyaring, roda besi musuh tepat menyambar lewat di atas kepalanya.

Di lain pihak Oey Yong sudah merangkul puteri kesayangannya dengan perasaan girang dan duka. Dia lihat Yo Ko merangkak bangun dari gundukan batu, mukanya babak belur karena jatuhnya yang berat tadi, lekas-lekas dia tunjukkan jalan masuk ke barisan batu dengan tongkat bambunya yang panjang.

Melihat serangannya yang tak berhasil dan kembali gara-gara si Yo Ko, Kim-lun Hoat-ong tidak marah, dia malah girang. Katanya dengan tersenyum dingin:

“Bagus, kau sendiri yang masuk jaring, aku dapat hemat tenaga dan kelak tak perlu mencari kau lagi.”

Dengan mati-matian Yo Ko menolong orang, timbulnya secara spontan, namun sesudah masuk barisan batu dan teringat ikut campurnya ini berarti antarkan nyawa sendiri dan selanjutnya sukar bersua lagi dengan Siao-liong-li, diam-diam ia merasa menyesal.

“Ko-ji, buat apa kau lakukan ini?” kata Oey Yong kemudian sambil menghela napas.

“Kwe-pekbo,” sahut Yo Ko tertawa getir, “secara ketololan, asal darahku panas, lantas aku tak pikirkan diri sendiri lagi.”

“Oh, anak baik, hatimu yang baik ini dibanding ayahmu...” belum habis Oey Yong berkata, mendadak ia berhenti.

“Kwe-pekbo, ayahku seorang jahat bukan?” tanya Yo Ko gemetar.

“Buat apa kau tanya ini?” kata Oey Yong menunduk. Mendadak dia berseru: “Awas, ke sini ikut aku!” Kemudian dia tarik orang melintasi dua gunduk batu menghindari pembokongan Kim-lun Hoat-ong.

Kagum luar biasa setelah Yo Ko meneliti sekitar gundukan batu itu. “Kwe-pekbo, kepandaianmu yang amat hebat di jagat ini tiada keduanya lagi,” katanya kemudian.

Oey Yong tidak menjawab, ia hanya tersenyum dan sibuk mengurut Kwe Hu yang habis ditotok musuh tadi.

“Kau tahu apa?” sela Kwe Hu tiba-tiba. “Kepandaian ibu adalah ajaran Gwa-kong (engkong luar), Engkong-ku itulah baru benar-benar lihay.”

Yo Ko sendiri sudah menyaksikan kepintaran Oey Yok-su dengan tanaman yang teratur di Tho-hoa-to, cuma waktu itu umurnya masih terlalu kecil, maka kebagusannya tak dapat dipahami. Sekarang mendengar kata-kata Kwe Hu, berulang kali dia mengangguk dan merasa kagum tak terhingga.

“Ya, entah kapan berjumpa dengan beliau sehingga hidupku ini tak tersia-sia,” demikian katanya.

Dalam pada itu mendadak Kim-lun Hoat-ong menerjang masuk lagi, sudah dua gundukan batu dilintasinya. Yo Ko tak bersenjata sama sekali, lekas-lekas tongkat bambu Oey Yong yang masih tergeletak di tanah disambarnya terus mendahului maju menahan musuh, beruntun tongkat bambu menyabet dua kali, apa yang dimainkan adalah Pak-kau-pang-hoat.

Melihat Pang-hoat terlalu bagus, Kim-lun Hoat-ong tak berani asal, dia layani Yo Ko penuh perhatian. Sesudah beberapa jurus, mendadak keduanya sama-sama kesandung batu hingga hampir saja jatuh. Karena kuatir terjebak, lekas-lekas Hoat-ong melompat keluar dari gundukan batu, sedang Oey Yong menunjukkan jalan masuk bagi Yo Ko. Kemudian Bu-si Hengte dan puterinya disuruh pindahkan batu-batu itu untuk merubah barisan pertahanannya.

“Dari manakah kau dapat belajar Pak-kau-pang-hoat ini sesungguhnya?” tanya Oey Yong kemudian pada Yo Ko.

Maka dengan terus terang Yo Ko lantas menceritakan pertemuannya yang aneh dengan Ang Chit-kong di atas Hoa-san dan bagaimana Pak-kay dan Se-tok telah bertanding di sana hingga turunkan ilmu tongkat pemukul anjing padanya. Cuma kuatir kalau Oey Yong terkejut, maka tentang tewasnya Ang Chit-kong tak diceritakannya sama sekali.

“Penemuanmu yang aneh itu sungguh jarang terjadi,” ujar Oey Yong kemudian. Tiba-tiba tergerak hatinya, ia berkata pula: “Ko-ji, kau sangat pintar, cobalah kau carikan akal buat melepaskan diri dari kesukaran sekarang ini.”

Melihat sikap Oey Yong segera Yo Ko tahu orang telah mendapatkan akal, maka dia pun pura-pura tidak tahu malah bertanya:

“Jika engkau sehat kuat, kita keroyok Hoat-ong pasti akan menang, atau bila dapat mendatangkan guruku, tentu segalanya akan beres.”

“Mana bisa kesehatanku baik seketika?” sahut Oey Yong. “Kokoh-mu juga tidak diketahui ke mana perginya, Aku ada akal dan harus menggunakan beberapa gundukan batu ini, ini adalah ajaran ayahku, perubahan di dalamnya tiada habis-habisnya, sebenarnya belum ada dua bagian yang kugunakan sekarang ini.”

Terkejut sekali Yo Ko oleh keterangan itu, ia pikir ilmu pengetahuan Oey Yok-su sungguh tinggi bagai dewata, tidak kepalang rasa kagumnya.

“Pak-kau-pang-hoat ajaran guruku kepadamu itu hanya cara memainkan saja, ada pun apa yang kau dengar di atas pohon, adalah garis besar dari kuncinya,” kata Oey Yong lagi. “Dan kini biar aku turunkan semua gerak perubahan yang bagus sampai sekecilnya padamu.”







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar