Rabu, 25 Agustus 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 092

Girang Yo Ko sukar dilukiskan dan selagi dia hendak bicara lagi, tiba-tiba salah seorang berseragam hijau di luar berseru:

“Senjata sudah terpilih belum?”

Dengan tersenyum Siao-Iiong-li berkata kepada Yo Ko: “Marilah kita lekas pergi saja.”

Baru saja ia hendak mengambil dua pedang seadanya, tiba-tiba dilihat dinding di sebelah kiri sana sebagian besar terdapat bekas hangus terbakar, beberapa buah meja kursi juga rusak bekas terbakar, ia menjadi rada heran.

Segera Yo Ko menutur: “Lo-wan-tong pernah menerobos ke kamar senjata ini, lalu membakarnya dan mengambil benda di sini. Bekas hangus terbakar ini jelas hasil perbuatannya.”

Tiba-tiba dilihatnya di bawah lukisan di pojok dinding sana yang tersisa dari bekas hangus itu menonjol keluar dua sarung pedang, tergerak pikiran Yo Ko: “Kedua pedang ini semula teraling oleh lukisan, tapi lantaran sebagian lukisan terbakar sehingga kelihatanlah bagian pedang itu. Jika pemilik pedang sengaja mengatur begini, jelas sepasang pedang ini pasti benda mestika.”

Ia coba mendekati lalu menanggalkan kedua pedang itu, sebuah dia berikan kepada Siao-liong-li, dia pegang gagang pedang satunya terus dilolos. Begitu pedang terlolos dari sarungnya, seketika kedua orang merasakan hawa dingin, batang pedang itu hitam mulus tanpa mengkilat sedikit pun sehingga mirip sepotong kayu belaka.

Waktu Siao-liong-li juga melolos pedang yang diterimanya, ternyata pedang itu serupa benar dengan pedang Yo Ko, baik besar mau pun panjangnya. Begitu kedua pedang dijajarkan, seketika menambah hawa segar di dalam ruangan kamar, cuma kedua pedang itu tidak terdapat ujung yang runcing melainkan tumpul, begitu pula mata pedangnya tidak tajam.

Yo Ko membalik pedang itu dan terlihat pada batang pedang terukir dua huruf ‘KUN-CU’ (lelaki), waktu memeriksa pedang Siau-liong-li, di atasnya juga terukir dua huruf ‘SIOK-LI’ (perempuan). Sesungguhnya Yo Ko tidak menyukai bentuk kedua pedang ini, ia pandang Siao-liong-li dan ingin tahu bagaimana pikirannya.

Dengan gembira Siao-liong-li berkata: “Pedang ini tidak tajam, kebetulan dapat digunakan melawan Kokcu. Dia pernah menolong jiwaku, maka aku tidak ingin mencelakainya.”

“Pedang adalah senjata pembunuh, tapi diberi nama Kuncu dan Siok-li, aneh” ujar Yo Ko sambil tertawa. Ia coba angkat pedangnya dan bergaya menusuk dua kali, rasanya cocok sekali dengan bobotnya dan enak dipakai. Maka segera dia menambahkan: “Baiklah, biar kita gunakan sepasang pedang ini.”

Siao-liong-li memasukkan kembali pedang ke sarungnya dan baru saja dia hendak keluar, mendadak dilihatnya di atas meja ada sebuah pot bunga dengan serangkaian bunga yang cantik sekali, hanya sayang cara merangkainya awut-awutan tak keruan. Maka tanpa pikir dibenahinya rangkaian bunga itu lebih teratur.

“Hai, jangan!” mendadak Yo Ko berseru, namun sudah terlambat, jari Siao-liong-li sudah tertusuk beberapa kali oleh duri bunga.

Dengan bingung Siao-liong-li menoleh dan bertanya: “Ada apa?”

“Itu bunga cinta, kau sudah tinggal sekian lama di lembah ini, masa kau tidak tahu?” ujar Yo Ko.

Siao-liong-li mengisap jarinya yang kesakitan itu dan menjawab sambil menggeleng: “Aku tidak tahu.”

Selagi Yo Ko hendak memberi keterangan, orang berseragam hijau mendesak puIa, maka terpaksa mereka ikut kembali ke ruangan besar tadi. Tampaknya Kongsun Kokcu sudah tidak sabar menunggu, dia melotot marah kepada anak muridnya, jelas dia marah karena menganggap mereka kurang tegas dan membiarkan Yo Ko berdiam sekian lama di kamar senjata. Anak muridnya tampak amat ketakutan sehingga air mukanya menjadi amat pucat.

Setelah Yo Ko berdua dekat, Kongsun Kokcu cepat berkata: “Nona Liu, sudah kau dapatkan senjata pilihanmu?”

Siao-liong-li mengeluarkan Siok-li-kiam (pedang perempuan) pilihannya kemudian dia mengangguk:

“Kami akan menggunakan sepasang pedang tumpul ini, kami pun tak berani bertarung sungguhan dengan Kokcu, cukup asalkan saling menyentuh tubuh saja.”

Kokcu itu terkesiap melihat yang dipilih ternyata Siok-li-kiam. Dengan suara bengis dia bertanya:

“Siapa yang suruh kau ambil pedang ini?!”

Sembari bertanya sinar matanya terus mengerling ke arah Kongsun Lik-oh, tapi segera ia menatap tajam lagi terhadap Siao-liong-li.

Dengan rada heran Siao-liong-li menjawab. “Tidak ada yang menyuruh. Memang pedang ini tidak boleh dipakai? Jika begitu biarlah kami menukar yang lain saja.”

Kongsun Kokcu melirik gusar sekejap ke arah Yo Ko kemudian berkata: “Untuk menukar pedang kalian akan berdiam setengah hari lagi di sana? Tidak perlu ditukar, hayo mulai!”

“Kongsun-siansing,” kata Siao-liong-li, “lebih baik kita bicara di muka dulu, bahwa dia atau aku sekali-kali bukan tandinganmu jika satu lawan satu, sekarang kami berdua melawan kau seorang, jelas keuntungan ada di pihak kami, sekali pun kami menang juga tak dapat dianggap sebagai kemampuan kami.”

“Boleh kau katakan begitu kalau nanti kalian sudah terbukti menang,” jengek sang Kokcu, “Apa bila kalian dapat mengalahkan golok dan pedangku ini, tentu aku pasrah untuk kalian perbuat sesukamu, sebaliknya kalau kalian yang kalah, maka janji nikah tak boleh lagi kau ingkari.”



Siau-liong-li tersenyum tawar, katanya: “Jika kami kalah, biar dia dan aku terkubur saja di lembah ini.”

Tanpa bicara lagi Kongsun Kokcu lantas angkat senjata, golok emas menyambar, segera ia membacok ke arah Yo Ko. Cepat Yo Ko angkat pedangnya, dengan jurus ‘Pek-ho-hiang-ih’ (bangau putih pentangkan sayap) ia balas menyerang, itulah jurus asli ilmu pedang Coan-cin-pay.

Biar pun kuat dan tenang sekali jurus pedang Yo Ko, tapi cuma jurus yang jamak saja, maka diam-diam Kongsun Kokcu mendongkol terhadap Kim-lun Hoat-ong yang telah membual tentang kelihayan anak muda ini. Segera pedang hitam dia tusukkan ke depan, ternyata Siao-liong-li dikesampingkan olehnya, hanya Yo Ko seorang yang terus menerus diserangnya.

Dengan penuh perhatian Yo Ko melayani serangan musuh, yang digunakan adalah melulu Coan-cin-kiam-hoat (ilmu pedang Coan-cin-pay) yang dulu pernah dipelajarinya di kuburan kuno, akan tetapi sejak dia menemukan intisari ilmu silat dalam renungannya tempo hari, cara memainkan ilmu pedangnya sekarang sudah jauh berbeda dari pada waktu menempur Kim-lun Hoat-ong.

Sesudah menanti Kongsun Kokcu menyerang tiga kali, barulah Siao-liong-li ikut maju dan menyerangnya. Tapi ternyata Kongsun Kokcu tidak menangkis serangannya dengan golok emasnya, hanya ketika serangan Siao-liong-li tampak gencar dan berbahaya barulah menggunakan pedang hitamnya untuk menangkis, tampaknya Kongsun Kokcu sengaja mengalah.

Setelah mengikuti beberapa gebrakan, sambil tersenyum tiba-tiba Kim-Iun Hoat-ong berkata:

“Kongsun-heng, jika kau masih menyayangi si cantik, akhirnya mungkin kau sendiri yang harus menelan pil pahit.”

Dengan mendongkol Kongsun Kokcu menjawab: “Hwesio gede, kau jangan banyak bacot, bila perlu sebentar boleh kita coba-coba, sekarang tidak perlu kau memberi nasihat.”

Beberapa jurus kemudian kerja sama kedua pedang Yo Ko dan Siau-liong-li semakin baik. Suatu ketika pedang Siao-liong-li menebas dari kanan dan mendadak pedang Yo Ko menebas dari kiri. Dalam keadaan terjepit tanpa pikir Kongsun Kokcu menggunakan golok menangkis serangan Yo Ko, berbareng dia menggeser mundur sedikit dan pedang hitam digunakan menangkis serangan Siao-Iiong-li.

“Trangg...!”

Di luar dugaan, sebagian ujung golok emas tertebas kutung oleh pedang lawan. Keruan semua orang terkejut, sama sekali tak menyangka bahwa pedang tumpul yang digunakan Siao-liong-li bisa begitu tajam.

Yo Ko dan Siao-liong-li juga merasa heran bukan main. Padahal semula mereka memilih sepasang pedang tumpul ini hanya karena tertarik dengan namanya serta bentuknya yang serupa saja, tidak tahunya secara tidak sengaja malahan dapat memilih sepasang pedang mestika. Keruan semangat mereka bangkit seketika, mereka menyerang dengan lebih gencar.

Betapa pun ilmu silat Kongsun Kokcu memang sangat tinggi dan sepasang senjatanya yang lemas dan keras juga lain dari pada yang lain, makin lama daya tekanannya juga semakin kuat. Tapi diam-diam ia pun heran bahwa ilmu silat kedua anak muda yang jelas selisih jauh dengan dirinya ternyata bisa begitu lihay dalam permainan ganda. Dia pikir apa yang dikatakan Hwesio gede tadi agaknya memang tidak salah. Kalau saja aku dikalahkan mereka, wah, bisa jadi... sampai di sini ia tak berani membayangkan lebih lanjut.

Sekonyong-konyong golok di tangan kirinya menyerang ke kanan dan pedang di tangan kanan menyerang ke kiri, dia keluarkan permainan Im-yang-to-hoat yang lihay. Dengan pedang hitam di tangan kanan Kongsun Kokcu menyerang Yo Ko di sebelah kiri, ada pun golok bergigi di tangan kiri menyerang Siao-liong-li di sebelah kanan.
Pedang hitam yang tadinya lemas mendadak berubah lurus keras dan digunakan membacok mirip golok, sebaliknya goloknya yang besar bergigi itu justru menebas dan menusuk seperti pedang, Dalam pertarungan sengit itu kelihatan golok seakan-akan berubah menjadi pedang dan pedang seperti berubah menjadi golok, sungguh aneh dan sukar diraba.

Biasanya In Kik-si bangga mengetahui ilmu silat apa pun di dunia ini, tapi Im-yang-to-hoat yang dimainkan Kongsun Kokcu ini sungguh belum pernah dilihatnya selama hidup, bahkan mendengar pun belum pernah.

Segera Be Kong-co berteriak lagi: “He, kakek sialan, permainanmu yang kacau tak teratur itu ilmu silat apaan?”

Sebenarnya usia Kongsun-Kokcu belum ada 50 tahun, jadi baru terhitung setengah umur, malahan dia ingin kawin lagi dengan Siao-liong-li, tetapi berulang kali si dogol Be Kong-co telah berkaok memanggilnya si ‘kakek’, tentu saja dalam hati dia sangat gemas. Cuma sekarang ia pun tidak sempat urus Be Kong-co. Dia mainkan Im-yang-to-hoat yang sudah dilatihnya selama berpuluh tahun dengan tekad mengalahkan Yo Ko dan Siao-liong-li lebih dulu.

Tadinya permainan ganda sepasang pedang Yo Ko dan Siao-liong-li sesungguhnya sudah mulai unggul. Tapi mendadak pihak lawan berganti cara bertempur, golok dan pedangnya menyerang secara kacau dengan tipu serangan yang aneh, seketika mereka pun menjadi kelabakan terdesak dan berulang menghadapi bahaya.

Kepandaian Yo Ko sekarang sudah melebihi Siao-liong-li. Dia lihat daya tekanan pedang lawan lebih kuat dari pada golok bergigi, oleh karena itu dia sengaja menyambut semua serangan pedang lawan dan membiarkan Siao-liong-li melayani serangan golok bergigi. Ia pikir golok itu jelas tidak berani lagi diadu dengan pedangnya dan pula resikonya tak akan besar.

Cuma permainan golok musuh demikian aneh, ilmu pedang Coan-cin-kau asli juga sukar menandinginya, terpaksa harus bertindak menurut keadaan dan melihat gelagat, ia layani musuh dengan ilmu pedang ciptaannya sendiri. Padahal dulu Lim Tiau-eng, yaitu kakek guru Siao-liong-li, waktu menciptakan Giok-li-kiam-hoat berdasarkan khayalnya ketika malang melintang di dunia Kang-ow berduaan bersama Ong Tiong-yang, itu cakal-bakai Coan-cin-kau, sebab itu yang lelaki memainkan Coan-cin-kiam-hoat dan yang perempuan memainkan Giok-Ii-kiam-hoat, dengan demikian keampuhannya sukar ditandingi oleh jago silat mana pun juga.

Tapi sekarang Yo Ko menyampingkan Coan-cin-kiam-hoat dan menggunakan ilmu pedang ciptaan sendiri untuk melayani musuh. Meski Kiam-hoat ciptaannya ini juga tidak kurang lihaynya, namun setiap jurus serangannya hanya cocok dengan cita-rasa pribadinya saja dan tidak cocok main ganda dengan Giok-li-kiam-hoat yang dimainkan oleh Siao-liong-li, dengan demikian jadinya mereka seolah-olah bertempur sendiri-sendiri maka dengan sendirinya daya tempurnya menjadi jauh berkurang. Kongsun Kokcu menjadi girang.

“Trang-trangg-tranggg...!”

Beruntun ia membacok tiga kali dengan pedangnya, berbareng itu golok di tangan lainnya menyerang empat kali dengan gaya tusukan pedang. Serangan aneh ini masih dapat dilayani oleh Yo Ko, namun Siao-liong-li menjadi bingung karena tiada kerja sama yang baik dari Yo Ko. Pikirnya ingin menebas lagi ujung golok musuh, namun gerakan golok Kongsun Kokcu sekarang teramat cepat dan Iincah, betapa pun juga sukar dibentur lagi.

Yo Ko menyadari gelagat jelek, tanpa pikirkan keadaan sendiri yang terluka mendadak dia melancarkan sebuah jurus serangan Coan-cin-kiam-hoat yang disebut ‘Ma-ciu-lok-hoa’ (Kuda meloncat merontokkan bunga), dengan tekanan yang kuat dia memaksa Kongsun Kokcu melayani serangannya dengan kedua senjatanya, dengan begitu tekanan terhadap Siao-Iiong-li menjadi ringan.

Siao-liong-li sangat berterima kasih melihat anak muda itu membantunya tanpa hiraukan keselamatan sendiri. Dia pun langsung melancarkan serangan untuk membantu sehingga dengan begitu mereka telah kembali ke posisi tadi dengan cara menyerang dan bertahan bersama, daya tempur mereka mendadak bertambah kuat.

Sesudah beberapa jurus berlangsung lagi, dahi Kongsun Kokcu mulai berkeringat, sebaliknya daya tempur Siao-liong-li dan Yo Ko makin lancar dan kerja sama lebih rapat. Ketika Yo Ko melontarkan suatu serangan dengan menusuk pinggang lawan, cepat Siao-liong-li membarengi dengan serangan menusuk muka musuh, jurus ini dilakukan dengan penuh perasaan manis sambil melirik anak muda itu. Namun tiba-tiba saja dada Siao-liong-li serasa dipukul oleh palu besar, jari tangan kanan kesakitan dan hampir tidak kuat memegangi pedangnya. Air mukanya seketika berubah dan cepat dia melompat mundur.

“Hm, rasakan bunga cinta!” jengek Kongsun Kokcu.

Siao-liong-li tidak paham ucapannya, tapi Yo Ko mengetahuinya bahwa kesakitan Siau-liong-li itu adalah akibat bekerjanya racun bunga cinta yang durinya telah melukai jari tadi, Pada waktu melancarkan jurus serangan yang romantis dan perasaan terangsang, maka jarinya kesakitan sekali. Karena Yo Ko sendiri sudah pernah merasakan sakitnya tertusuk duri bunga cinta, dia menjadi kasihan kepada Siao-liong-li. Cepat dia bertanya:

“Apakah sangat sakit?”

Kesempatan itu segera digunakan Kongsun Kokcu untuk melancarkan serangan gencar dengan golok dan pedang. Sementara itu rasa sakit pada jari Siao-liong-li telah berkurang, cepat dia menubruk maju lagi untuk membantu.

“Biarlah kau mengaso sebentar,” ujar Yo Ko dengan penuh kasih sayang. Namun di luar dugaan, karena rangsangan perasaannya ini, jarinya sendiri menjadi kesakitan juga.

Betapa cerdik dan lihaynya Kongsun Kokcu. Begitu melihat ada peluang baik, pedangnya segera membacok.

“Cringgg...!”

Kun-cu-kiam (pedang lelaki) yang dipegang Yo Ko terbentur jatuh, menyusul pedang hitamnya menyambar tiba dan mengancam di depan dada anak muda itu. Siau-liong-li terkejut dan hendak menolongnya, tetapi dia terhalang oleh golok musuh dan tak dapat mendekat.

“Tangkap dia!” seru Kongsun Kokcu.

Serentak empat murid seragam hijau menubruk maju dengan membentang jaring, sekali tebar, seketika Yo Ko tertawan dalam jaring.

“Bagaimana kau, Liu-ji?” Kongsun Kokcu berpaling dan bertanya kepada Siao-liong-li.

Siao-liong-li menyadari sendirian pasti bukan tandingan sang Kokcu. Ia buang Siok-li-kiam (pedang perempuan) ke lantai.

“Cringg...!”

Terdengar suara nyaring, tahu-tahu Kun-cu-kiam dan Siok-li-kiam saling menyedot terus lengket menjadi satu. Rupanya pada kedua pedang itu terkandung daya semberani yang sangat kuat. Dengan tegas Siao-liong-li segera berkata:

“Pedang saja bisa begitu, masa manusia tidak? Bolehlah kau bunuh saja kami berdua!”

Kongsun Kokcu mendengus sekali, katanya: “lkut denganku, sini!” Lalu ia memberi salam kepada Kim-lun Hoat-ong dan lainnya sambil berkata: “Maaf, kutinggalkan sebentar.”

Segera ia mendahului melangkah ke ruang belakang. Dengan menyeret jaring keempat anak muridnya lantas ikut ke sana. Karena Yo Ko telah tertawan, dengan sendirinya Siao-liong-li juga ikut masuk.

“Hayo, Hwesio Gede dan Mayat Hidup, kita harus berdaya menolong kawan kita,” seru Be Kong-co kepada Kim-lun Hoat-ong dan Siau-siang-cu.

Hoat-ong hanya tersenyum tanpa menjawab, sedangkan Siau-siang-cu lantas menjengek:

“Hmm, kau sendiri mempunyai badan segede gajah, apakah kau pikir mampu menandingi tuan rumah?”

Be Kong-co menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal dan merasa tak berdaya, maka terpaksa hanya menjawab:

“Tidak mampu menandingi juga harus melabrak dia, harus!”

Kongsun Kokcu terus melangkah dengan bersitegang leher dan masuk sebuah kamar batu kecil, lalu berkata kepada Siao-Iiong-li:

“Liu-ji, bukan maksudku hendak bikin susah kau, aku cuma berusaha mencegah kalau-kalau kau bunuh diri.”

Segera ia memberi tanda. Empat muridnya berseragam hijau terus menutupi tubuh Siao-liong-li dengan sebuah jaring dan diringkus, kemudian sang Kokcu berkata Iagi:

“Bawa ke sini beberapa ikat bunga cinta.”

Yo Ko dan Siau-liong-li sudah bertekad ingin mati bersama, keduanya hanya saling pandang dengan tersenyum saja dan tidak ambil pusing terhadap segala tindak perbuatan Kongsun Kokcu.

Selang tidak lama, sekonyong-konyong dari luar kamar teruar bau harum semerbak yang memabokkan. Pada saat Yo Ko berdua menoleh, terlihatlah belasan anak murid seragam hijau membawa masuk berikat-ikat rangkuman bunga cinta. Tangan mereka mengenakan sarung kulit untuk menjaga tusukan duri bunga.

Ketika Kongsun Kokcu memberi tanda perintah agar seluruh rangkuman bunga cinta itu diuruk di atas badan Yo Ko, seketika Yo Ko merasa sekujur tubuhnya seakan-akan digigit oleh beribu-ribu lebah sekaligus, kaki tangan berikut segenap ruas tulang terasa sakit tak tertahan, sampai akhirnya ia mengerang kesakitan.

Siao-liong-li merasa pedih dan kasihan serta gusar. Dia membentak Kongsun Kokcu: “Kau berbuat apa ini?!”

Dengan tegas Kongsun Kokcu berkata: “Liu-ji, sekarang adalah waktu upacara pernikahan kita harus berlangsung, tapi bocah ini telah mengacau sehingga saat bahagia kita dibikin berantakan olehnya. Sesungguhnya aku tidak pernah mengenal dia dan tiada permusuhan apa pun dengannya, apa lagi dia adalah kenalanmu yang lama. Asalkan tadi dia mau taat pada sopan santun sebagai seorang tamu, dengan sendirinya aku pun akan melayani dia dengan hormat, tetapi sekarang urusan sudah begini, terpaksa...” Sampai di sini dia memberi tanda agar anak muridnya keluar semua, dia menutup pintu kamar, lalu menyambung: “Sekarang aku minta kau memilih sendiri, ingin dia mati atau hidup, semuanya bergantung kepada keputusanmu.”

Di bawah tusukan duri bunga cinta yang tak terhitung banyaknya, sungguh rasa derita Yo Ko tak tertahankan, cuma dia tidak ingin si nona menyusahkannya, maka sebisanya dia mengertak gigi dan tutup mulut menahan rasa sakit.


BERKORBAN DEMI CINTA

Siao-liong-li memandangi muka anak muda itu dengan penuh rasa kasih mesra, pada saat itu juga racun duri bunga cinta yang melukai jarinya kumat lagi. Diam-diam ia pun berpikir: “Aku cuma tertusuk sedikit saja sudah begini sakit, apa lagi dia sekarang sekujur badannya ditusuki duri, mana dia tahan!”

Rupanya Kongsun Kokcu tahu isi hati si nona, katanya: “Liu-ji, dengan setulus hati aku ingin mengikat perjodohan denganmu, semua itu timbul dari cintaku padamu secara murni dan sama sekali tiada maksud buruk, dalam hal ini kau sendiri tentu paham.”

Siao-liong-li-mengangguk dan menjawab dengan pilu: “Kau memang sangat baik padaku, sebelum dia datang ke sini senantiasa kau menuruti segala keinginanku.” Dia menunduk sejenak sambil menghela napas panjang, lalu berkata lagi: ”Kongsun-siansing, kalau saja engkau tidak menemukan diriku tempo hari dan tidak menyelamatkan jiwaku sehingga aku sudah mati tanpa persoalan, maka segalanya tentu akan lebih baik bagi kita bertiga. Tapi sekarang kalau engkau memaksa aku menikah denganmu, tentu aku tidak akan gembira selama hidup ini dan apa manfaatnya pula hal ini bagimu?”

Kembali kedua alis Kongsun Kokcu mengerut rapat, dengan berat ia berkata: “Selamanya aku bicara satu tetap satu, bilang dua tetap dua, sekali-kali takkan sudi ditipu dan dihina orang. Kau sendiri sudah berjanji akan menikah dengan aku, maka janji itu harus ditepati. Mengenai suka duka atau sedih bahagia dapat berubah dan sukar diduga, maka biarlah kita ikuti saja kelanjutannya nanti.”

Kemudian dia menyambung: “Sekujur badan orang ini sudah terluka oleh duri bunga cinta, setiap satu jam rasa sakitnya akan bertambah satu bagian, dan setelah 6x6=36 hari nanti dia akan mati karena rasa sakit yang tak tertahankan. Dalam waktu 12 jam aku pasti bisa menyembuhkan dia dengan obat mujizat buatanku sendiri, akan tetapi selewat 12 jam biar pun malaikat dewata tak akan sanggup menolongnya. Maka dia harus mati atau hidup semuanya bergantung padamu.”

Sembari bicara dia melangkah perlahan ke pintu kamar dan membuka pintu, lalu menoleh dan berkata lagi:

“Jikalau lebih suka melihat dia mati kesakitan secara tersiksa, ya, terserah padamu, kau menunggu 36 hari di sini dan menyaksikan kematiannya. Lui-ji, sama sekali aku tiada bermaksud membikin celaka dirimu, untuk ini kau tidak perlu kuatir.” Habis berkata segera ia hendak melangkah keluar.

Siao-liong-li percaya apa yang dikatakan itu bukan omong kosong belaka. Dia pikir kalau dirinya dapat mati bersama dengan Yo Ko, maka segala urusan akan menjadi beres seluruhnya. Tetapi Kongsun Kokcu justru memakai cara keji ini, tampaknya Yo Ko sedang menahan rasa sakit, hal ini jelas terlihat dari tubuh anak muda itu yang gemetaran, bibirnya tergigit hingga berdarah, kedua matanya yang jeli dan bersinar tajam itu kini tampak guram.

Terbayang olehnya betapa menderita anak muda ini. Bila mana rasa sakit itu semakin bertambah pada setiap jam dan terus menerus tersiksa hingga 36 hari lamanya, mungkin di akhirat sekali pun tiada siksa derita sehebat itu. Mengingat begitu, dia menjadi nekat dan berkata:

“Baiklah, Kongsun-siansing, aku berjanji akan menikah dengan kau, sekarang lekaslah kau bebaskan dia dan ambilkan obat untuk menolongnya.”

Semenjak tadi Kongsun Kokcu mendesak Siao-liong-li, tujuannya justru ingin agar si nona mengucapkan demikian. Apa yang didengarnya sekarang membuatnya girang tapi juga iri dan gemas. Dia pun tahu sejak kini perempuan ini hanya akan merasa dendam dan benci padanya dan sekali-kali takkan ada rasa cinta. Namun begitu ia pun mengangguk dan menjawab:

“Baik, pikiranmu telah berubah, betapa pun ada baiknya bagi kita! Malam nanti setelah resmi kita menjadi suami-isteri, besok pagi segera kuberikan obat penawar padanya.”

“Silakan kau mengobati dia lebih dahulu,” ujar Siao-liong-li.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar