Kamis, 26 Agustus 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 093

“Liu-ji, tampaknya kau terlalu memandang rendah kepadaku,” kata Kongsun Kokcu, “Biar pun kau sudah berjanji akan menjadi isteriku, akan tetapi sebenarnya kau tidak suka rela. Memangnya aku tidak tahu isi hatimu dan masa aku dapat menyembuhkan dia lebih dulu?” Sembari berkata dia terus melepaskan jaring ikan yang membungkus tubuh Siao-liong-li, lalu meninggalkan nona itu bersama Yo Ko di dalam kamar.

Kedua muda-mudi saling pandang, sampai sekian lama barulah Yo Ko membuka suara dengan perlahan:

“Kokoh, aku amat bahagia mendapatkan cintamu yang murni, sekali pun di alam baka aku akan terhibur. BoIehlah kau pukul mati saja lalu lekaslah engkau kabur sejauhnya dari sini.”

Siao-liong-li pikir gagasan ini baik juga, sesudah kupukul mati dia, segera aku membunuh diri. Segera dia mengangkat tangannya dan mengerahkan tenaga dalam. Sambil tersenyum simpul dan dengan sorot mata yang halus Yo Ko memandangi Siao-liong-li dengan rasa bahagia, desisnya dengan lirih:

“Saat ini adalah malam pengantin kita berdua.”

Melihat wajah si Yo Ko yang bersuka ria itu, tiba-tiba timbul lagi pikiran Siao-liong-li: “Anak muda yang begini cakap, apakah dosanya sehingga Thian harus membuat dia mati konyol sekarang?”

Tiba-tiba dadanya terasa sesak, tenggorokan terasa anyir, darah segar hampir tertumpah lagi, tenaga dalam yang tadinya telah terhimpun di tangan Siao-liong-li hilang seketika, Mendadak dia menubruk ke atas tubuh yang terbungkus jaring dan penuh bunga cinta itu, seketika beribu duri bunga mencocok tubuhnya, dengan suara halus dia berbisik:

“Ko-ji biarlah kita sama-sama menderita.”

“Buat apa kau berbuat begitu?” tiba-tiba suara seseorang menjengek di belakangnya. “Apakah rasa sakit tubuhmu dapat mengurangi rasa deritanya?”

Jelas itulah suara Kongsun Kokcu. Siao-liong-li memandang Yo Ko sekejap dengan perasaan remuk redam, perlahan-lahan dia memutar tubuh lalu melangkah keluar kamar dengan menunduk dan tanpa berpaling lagi.

“Adik Yo,” kata Kongsun Kokcu kepada Yo Ko, “lewat enam jam lagi nanti kubawakan obat mujarab untuk menolong kau. Selama enam jam ini kau harus berpikiran tenang dan bersih, sedikit pun tidak boleh timbul pikiran menyeleweng atau napsu birahi, dengan begitu walau pun ada rasa sakit juga tidak seberapa hebat.” Habis berkata ia terus keluar dan merapatkan pintu kembali.

Begitulah tubuh Yo Ko tersiksa dan hati pun terasa sakit. “Tadi kenapa Kokoh tidak jadi memukul mati aku saja?” demikian ia pikir. “Segala macam siksa derita yang pernah kurasakan, apa bila dibandingkan apa yang kurasakan sekarang sungguh bukan apa-apa. Kokcu ini benar-benar keji, mana aku boleh mati begitu saja dan meninggalkan Kokoh berada dalam cengkeramannya sehingga menderita selama hidup? Apa lagi sakit hati akibat kematian ayahnya belum terbalas, mana boleh manusia munafik sebangsa Kwe Ceng dan Oey Yong tidak diberi ganjaran yang setimpal?

Berpikir begitu, serentak timbullah semangatnya. “Tidak, aku tidak boleh mati, betapa pun aku tidak boleh mati! Sekali pun Kokoh menjadi nyonya rumah di sini akan kubebaskan dia dari cengkeraman Kokcu yang amat keji. Selain itu aku masih harus giat berlatih untuk menuntut balas sakit hati atas kematian ayah-ibu.”

Dengan tekad harus tetap hidup, segera dia duduk bersila. Meski terjaring sehingga tidak dapat duduk dengan baik, namun tenaga dalam bisa juga dikerahkan dan mulailah dia bersemedi. Selang agak lama, sesudah lewat lohor, datanglah seorang murid seragam hijau dengan membawa sebuah piring berisi empat potong roti tawar. Katanya kepada Yo Ko:

“Kokcu mengadakan pesta nikah, biar kau pun ikut makan yang kenyang.”

Segera dia ambilkan panganan seperti roti tawar itu dan menyuapi Yo Ko melalui lubang jaring. Tangannya terbungkus oleh kain tebal untuk menjaga cocokan duri bunga cinta. Tanpa ragu-ragu Yo Ko menghabiskan empat potong kue itu. Ia pikir kalau hendak perang tanding dengan Kokcu bangsat itu, maka aku tidak boleh kelaparan dan merusak tubuhku sendiri.

“Ehh, tampaknya napsu makanmu cukup besar juga,” ujar murid seragam hijau itu dengan tertawa.

Pada saat itulah tiba-tiba bayangan hijau berkelebat, secara diam-diam telah menyelinap masuk seorang murid baju hijau. Dengan berjinjit dia mendekati orang pertama tadi, lalu mendadak ia hantam sekuatnya punggung orang itu. Sebelum orang pertama sempat melihat siapa pendatang itu, dia sudah dipukul pingsan. Waktu Yo Ko mengamati, ternyata penyergap itu bukan lain dari pada Kongsun Lik-oh. Ia berseru kaget.

“He, kau...”

“Ssst, jangan bersuara, Yo-toako, aku datang untuk menolongmu!” desis Kongsun Lik-oh. Ia menutup pintu kamar, menyusul membukakan ikatan jaring dan menyingkirkan timbunan bunga cinta serta mengeluarkan Yo Ko.

Yo Ko menjadi ragu-ragu dan berkata: “Wah, jika diketahui ayahmu...”

“Biarlah kutanggung akibatnya,” ujar Kongsun Lik-oh sambil memetik secomot bunga cinta kemudian dijejalkan ke dalam mulut murid baju hijau agar tidak dapat berteriak bila siuman nanti. Habis itu ia bungkus pula orang itu dengan jaring ikan serta ditimbuni bunga cinta, lalu bisiknya kepada Yo Ko:

“Yo-toako, nanti kalau ada orang datang hendaklah kau cepat bersembunyi di belakang pintu. Kau keracunan bunga cinta, akan kuambilkan obat penawarnya di kamar obat ayah.”

Yo Ko sangat berterima kasih. Ia pun tahu si nona sengaja menghadapi bahaya besar menolongnya padahal mereka berkenalan belum ada satu hari, namun nona ini rela mengkhianati ayahnya sendiri. Dengan terharu ia berkata:

“Nona, aku... aku...” namun ia tidak mampu meneruskan lagi.

Kongsun Lik-oh tersenyum bahagia. Dia rela dihukum mati ayahnya melihat betapa terima kasih anak muda itu kepadanya. Segera ia berkata:

“Kau tunggulah sebentar, segera aku kembali ke sini.” Habis itu ia menyelinap keluar.

“Mengapa dia begitu baik padaku?” demikian Yo Ko termangu-mangu dan merenungkan nasibnya sendiri. Ia pikir meski pun dirinya berulang kali mengalami nasib buruk dan sejak kecil dihina dan dianiaya orang, namun di dunia ini ternyata tidak sedikit juga orang yang berbaik hati padanya.

Selain Kokoh masih ada Sun-popoh, Ang Chit-kong, juga ayah angkatnya, Auyang Hong serta Oey Yok-su ditambah lagi nona cantik seperti Thia Eng, Liok Bu-siang serta Kongsun Lik-oh sekarang ini, semuanya sangat baik. Yo Ko menjadi heran sendiri. Apa barang kali karena bintang kelahirannya yang terlampau aneh sehingga ada manusia yang begitu kejam padanya, tapi banyak juga manusia yang teramat baik padanya.

Padahal sebetulnya justru pengalamannya yang terlampau luar biasa. Orang yang pernah dikenalnya kalau tidak teramat baik tentu terlalu jahat, soalnya karena wataknya yang cenderung ke sudut ekstrim, siapa yang cocok dengan wataknya akan dia hadapi dengan tulus ikhlas, sebaliknya bila tidak cocok akan dipandang sebagai musuh. Cara beginilah ia menghadapi orang lain, dengan sendirinya orang lain juga membalasnya dengan cara yang sama.



Begitulah dia menunggu sampai sekian lama dengan bersembunyi di belakang pintu, tapi sampai lama Kongsun Lik-oh masih belum muncul. Sementara itu si murid baju hijau sudah siuman sejak tadi, tapi karena terbungkus oleh jaring ikan dan ditimbuni bunga cinta, kelihatan dia merasa cemas dan gusar.

Semakin lama menunggu semakin kuatir. Semula dia pikir mungkin di kamar obat itu ada orang sehingga belum ada peluang bagi Kongsun Lik-oh untuk mencuri obat, tetapi ia pikir, urusannya tentu tidak begitu sederhana. Biar pun gagal mencuri obat tentu si nona akan kembali memberi-tahu, tampaknya urusan banyak buruk dari pada selamatnya. Jika si nona mati menghadapi bahaya bagiku, mengapa aku diam saja di sini dan tidak berdaya untuk menolongnya.

Ia coba membuka pintu sedikit, dari celah pintu dia mengintip keluar, syukur di luar sunyi senyap tiada seorang pun. Dengan perlahan dia terus menyelinap keluar, tapi dia menjadi bingung karena tidak tahu di mana beradanya Kongsun Lik-oh. Selagi ia kebingungan, tiba-tiba terdengar suara tindakan orang di tikungan sana. Cepat ia sembunyi, sejenak kemudian dua anak murid seragam hijau tampak mendatangi dengan jalan berjajar, tangan masing-masing menggenggam sebilah pentung yang biasanya dipakai sebagai alat perangkat pesakitan.

Tergerak hati Yo Ko: “Apakah mungkin Kongsun Lik-oh tertangkap oleh ayahnya dan kini akan diberi hukuman?” Segera dia mengikuti kedua orang itu dengan hati-hati.

Kedua orang itu sama sekali tidak tahu, mereka berjalan terus sambil membelok ke sana dan menikung ke sini, akhirnya sampai di depan sebuah kamar. Segera mereka berseru:

“Lapor, Kokcu, alat rangket sudah siap.” Lalu mereka mendorong pintu dan masuk ke dalam.

Hati Yo Ko berdebar. “Kokcu bangsat itu ternyata benar ada di sini,” katanya di dalam hati.

Dilihatnya di sebelah timur kamar ada jendela, segera dia merunduk ke bawah jendela dan melongok ke dalam. Benar juga, kelihatan Kongsun Lik-oh sudah tertawan di situ. Tampak Kokcu duduk di tengah, dua muridnya dengan pedang terhunus berjaga di kiri kanan Kongsun Lik-oh. Setelah alat rangket diterima, segera Kongsun Kokcu mendengus:

“Lik-ji, kau adalah darah dagingku sendiri, kenapa kau tega mengkhianati ayahmu?”

Kongsun Lik-oh hanya menunduk dan tidak menjawab.

“Kau telah jatuh hati pada bocah she Yo itu, memang kau kira aku tidak tahu?” jengek pula Kongsun Kokcu, “Aku kan sudah menyatakan akan membebaskan dia, mengapa kau terburu-buru. Bagaimana kalau besok ayah bicara dengan dia dan menjodohkan kau padanya?”

Yo Ko bukan pemuda dungu, dengan sendirinya dia pun mengetahui Kongsun Lik-oh itu jatuh cinta padanya. Sekarang mendengar orang mengutarakan hal itu secara terang-terangan, betapa pun jantungnya berdetak keras dan air muka menjadi merah.

Sekonyong-konyong Kongsun Lik-oh mengangkat kepalanya dan berkata nyaring: “Ayah, saat ini engkau lagi memikirkan perkawinanmu sendiri, mana engkau sempat memikirkan kepentingan putrimu?”

Kongsun Kokcu hanya mendengus saja dan tidak menanggapi.

Segera Kongsun Lik-oh menyambung: “Ya, memang, anak memang kagum terhadap kepribadian Yo-kongcu yang setia dan berbudi itu, tapi anak pun tahu dalam hatinya telah terisi oleh Liong-kokoh seorang. Sebabnya anak menolong dia hanya karena tidak setuju atas tindak tanduk ayah dan tiada tujuan lain.”

Hati Yo Ko sangat terharu mendengar kata-kata itu. Dia pikir Kokcu bangsat dan jahat ini ternyata melahirkan puteri yang baik hati.

Air muka Kongsun Kokcu kelihatan kaku tanpa menunjuk sesuatu pun perasaan, katanya dengan hambar:

“Jadi menurut pandanganmu ayahmu ini orang jahat yang tidak berbudi, begitu?”

“Mana anak berani menuduh ayah demikian,” ujar Kongsun Lik-oh. “Cuma... cuma...”

“Cuma apa?” desak Kongsun Kokcu.

“Yo-kongcu tersiksa karena tusukan duri bunga cinta, mana dia sanggup menahan rasa sakitnya,” kata Kongsun Lik-oh. “Ayah, kumohon engkau suka berbuat bajik dan kasihan padanya, sudilah engkau membebaskan dia.”

“Hm, besok aku sendiri dapat membebaskan dia, buat apa kau ikut campur?” jengek sang ayah.

Untuk sejenak Kongsun Lik-oh termangu diam seperti sedang memikirkan sesuatu yang diragukan apakah harus diutarakannya atau tidak, tapi mendadak air mukanya mengunjuk penuh rasa keyakinan. Secara tegas dia berkata kepada sang, ayah:

“Ayah, anak sudah dibesarkan engkau, sedangkan Yo-kongcu baru kukenal, sebab apa anak malah membela dia? Apa bila besok ayah sungguh-sungguh mau mengobati dia dan membebaskan dia, masa anak masih berani lagi datang ke kamar obat ini?”

“Habis apa maksud kedatanganmu ini?” tanya Kokcu dengan bengis.

“Soalnya anak tahu ayah tidak bermaksud baik padanya,” jawab Lik-oh lantang. “Malam nanti sesudah ayah kawin dengan Liong-kokoh, tentu engkau segera membinasakan Yo-kongcu dengan keji untuk menghilangkan segala harapan Liong-kokoh.”

Sehari-harinya Kongsun Kokcu jarang memperlihatkan rasa senang atau gusarnya, segala urusan biasanya diselesaikan secara adil dan baik, terhadap anak muridnya juga sangat baik, sebab itulah anak buahnya sangat tunduk padanya.

Tapi Kongsun Lik-oh juga cukup kenal isi hati sang ayah, menghadapi pengacauan Yo Ko sekarang jelas ayahnya pasti akan membinasakan anak muda itu.

Karena isi hatinya dengan jitunya kena dikorek oleh anak perempuannya, Kongsun Kokcu menjadi gusar, jengeknya: “Benar-benar pelihara macan mendatangkan bencana. Sudah kubesarkan kau, tapi siapa tahu sekarang kau malah menggigit ayahmu sendiri. Serahkan sini!” Berbareng sebelah tangannya dijulurkan.

“Apa yang ayah inginkan?” tanya Likoh,

“Kau masih hendak berlagak pilon?!” bentak sang Kokcu, “Coat-ceng-tan (pil putus cinta)! Obat penawar racun bunga cinta itu!”

“Anak tidak mengambilnya,” jawab Lik-oh.

“Habis siapa yang mencurinya?!” teriak Kongsun Kokcu sambil berdiri.

Yo Ko mengamati isi kamar itu. Terlihat di atas meja, almari, penuh berderet botol obat, dinding juga banyak tergantung rumput obat yang tidak dikenal namanya. Di sebelah kiri sana bejajar tiga buah anglo pemasak obat, tentu kamar inilah yang disebut kamar obat. Kalau melihat muka Kongsun Kokcu yang bersungut itu, jelas Kongsun Lik-oh pasti akan mendapat hukuman berat. Terdengar nona itu berkata pula:

“Ayah, memang benar anak masuk ke sini ingin mencuri obat untuk menolong Yo-kongcu, tapi sekian lamanya kucari tetap tidak menemukan obatnya, kalau tidak masa dapat dipergoki Ayah?”

Dengan suara bengis Kongsun Kokcu membentak: “Tempat obat ini sangat dirahasiakan, beberapa orang luar sejak tadi juga berada di ruangan tamu, tapi sekarang Coat-ceng-tan bisa hilang mendadak, memangnya obat itu punya kaki dan dapat lari?”

Mendadak Lik-oh bertekuk lutut di hadapan sang ayah, katanya sambil menangis. “Ayah, sudilah engkau mengampuni jiwa Yo-kongcu. Suruh dia pergi dari sini dan dilarang datang lagi selamanya.”

“Hmm, kalau keselamatan ayahmu terancam, belum tentu kau sudi berlutut dan minta ampun kepada orang,” jengek Kongsun Kokcu.

Lik-oh tidak menjawab lagi, ia hanya menangis sembari merangkul kedua kaki ayahnya.

“Coat-ceng-tan sudah kau ambil, dengan cara bagaimana aku dapat menolongnya seperti permintaanmu?” ujar Kongsun Kokcu. “Baiklah, jika kau tidak mau mengaku terserah padamu. Boleh kau tinggal satu hari di sini. Obat itu sudah kau curi, tapi tidak dapat kau antarkan kepada bocah itu. Sesudah lewat 12 jam barulah kulepaskan kau nanti.” Habis berkata ia terus melangkah ke pintu kamar.

Kongsun Lik-oh maklum lihaynya racun bunga cinta, sedikit tercocok durinya akan menderita tiga hari, apa lagi sekarang sekujur badan Yo Ko tertusuk beribu durinya, dalam waktu 12 jam kalau tidak diberi obat tentu akan mati kesakitan. Sekarang ayahnya hendak pergi begitu saja, itu berarti hukuman mati bagi Yo Ko. Maka cepat ia berseru:

“Nanti dulu, ayah!”

“Apa lagi yang hendak kau katakan?” tanya sang ayah.

“Ayah, singkirkan dulu mereka,” kata Lik-oh sambil menuding keempat murid baju hijau.

“Setiap penghuni lembah kita ini adalah orang sendiri dan bersatu hati, tiada sesuatu yang perlu dirahasiakan,” ujar Kokcu.

Wajah Lik-oh tampak merah padam, akan tetapi segera berubah menjadi pucat, katanya kemudian:

“Baiklah engkau tidak percaya kepada perkataan anak, silakan engkau periksa apakah obat itu ada padaku atau tidak?”

Segera ia membuka baju sendiri, lalu melepaskan gaunnya. Sama sekali Kongsun Kokcu tidak menduga puterinya bisa berbuat senekat itu, cepat dia memberi tanda agar keempat muridnya keluar, lalu pintu kamar ditutup. Hanya sekejap Kongsun Lik-oh sudah menanggalkan pakaiannya kecuali kutang dan celana dalam, benar juga tidak nampak sesuatu benda apa pun pada tubuhnya.

Dari tempat sembunyi Yo Ko dapat melihat seluruh tubuh si nona yang putih bersih itu, maka seketika jantungnya berdetak keras. Dia adalah pemuda perkasa, sedangkan tubuh Kongsun Lik-oh amat montok serta berwajah cantik, betapa pun darahnya menjadi bergolak.

Namun segera teringat pula olehnya: “Ahh, dia ingin menyelamatkan jiwaku sehingga rela membuka bajunya. Wahai Yo Ko, apa bila kau memandangnya lagi sekejap, maka lebih rendahlah kau dari pada binatang.” Cepat ia pejamkan mata, namun karena pikiran kacau, tanpa sengaja dahinya membentur daun jendela.

Betapa lihainya Kongsun Kokcu, hanya suara benturan sedikit itu saja telah diketahuinya. Diam-diam ia mendapatkan akal. Ia mendekati ketiga anglo pemasak obat, anglo yang tengah didorongnya ke samping, anglo bagian kanan ditariknya ke tengah dan anglo sebelah kiri digeser ke kanan. Habis itu anglo yang tengah tadi di dorong ke sebelah kiri.

“Baiklah, jika begitu kuterima permintaanmu untuk mengampuni jiwa bocah itu,” kata sang Kokcu kemudian.

Lik-oh sangat girang dan berulang menyembah: “Ayah!” katanya dengan suara gemetar.

Kokcu itu duduk kembali pada kursi di dekat dinding, lalu berkata: “Tetapi tentu kau sudah mengetahui peraturanku, apa akibatnya jika sembarangan masuk kamar obat ini tanpa idzinku?”

“Hukuman mati,” jawab Lik-oh sambil menunduk.

“Meski pun kau puteri kandungku, namun peraturan tetap harus dilaksanakan. Kau mangkatlah baik-baik,” kata Kongsun Kokcu dengan menghela napas sambil meloloskan pedang hitam dan diangkat ke atas, tapi tiba-tiba ia berkata dengan suara halus: “Ai, anak Lik, kalau saja selanjutnya kau tidak membela bocah she Yo itu, maka jiwamu dapat kuampuni. Di antara kau dan dia hanya ada satu orang saja yang dapat diampuni. Coba katakan, mengampunkan dia atau kau?”

“Dia!” jawab Kongsun Lik-oh dengan suara perlahan tanpa ragu.

“Bagus, puteriku benar-benar seorang yang maha berbudi dan jauh melebihi ayahmu ini,” kata Kokcu, pedangnya terus membacok kepala Lik-oh.

“Nanti dulu!” seru Yo Ko dengan terkejut. Tanpa pikir lagi ia mendobrak jendela kemudian melompat ke dalam. Selagi tubuh masih terapung di udara dia pun berseru: “Urusan ini tiada sangkut pautnya dengan nona Kongsun, silakan kau membunuh aku saja.”

Sebelah kakinya menutul lantai, tetapi baru tangannya hendak meraih pedang hitam Kongsun Kokcu, mendadak tempat kakinya berpijak terasa lembek, seperti menginjak tempat kosong. Diam-diam Yo Ko mengeluh:

“Celaka!”

Dia segera mengerahkan tenaga dalam, dengan sekuatnya dia angkat tubuhnya ke atas, dalam keadaan kaki tidak mendapatkan tempat berpijak, caranya mengangkat tubuh ke atas sungguh ilmu mengentengkan tubuh yang maha hebat.

“Sungguh sayang kepandaian sebagus itu!” terdengar Kongsun Kokcu berseru. Mendadak dia dorong Lik-oh sehingga tubuh nona itu terdoyong ke belakang dan menumbuk badan Yo Ko.

Yo Ko dapat merasakan dorongan Kokcu itu sangat keras, apa bila tubuh kedua orang tertumbuk tentu Kongsun Lik-oh akan terluka parah. Maka cepat dia menahan perlahan punggung si nona, dengan tenaga dalam yang lunak dia elakkan daya dorongan itu. Tapi karena itu juga dia sendiri menjadi sukar menggeser lagi ke samping, bersama Kongsun Lik-oh terus anjlok lurus ke bawah, terasa kosong di bawah kaki, tidak ada sesuatu yang terinjak, mereka terus anjlok ke bawah hingga berpuluh meter tetapi masih juga belum mencapai tanah.

Meski cemas dan gugup, tetapi dalam hati Yo Ko masih memikirkan keselamatan jiwa Kongsun Lik-oh. Dalam keadaan gawat dia angkat tubuh si nona ke atas, pandangannya terasa gelap gulita dan entah akan terjatuh di tempat mana, entah di bawah kakinya nanti apakah lautan api ataukah rimba belati?

“Byarrr...!”

Belum habis berpikir, mereka berdua terjeblos ke dalam air dan terus tenggelam ke bawah dengan cepat. Kiranya di bawah kamar obat itu adalah sebuah sumur yang sangat dalam. Pada detik tubuhnya menyentuh air itu, hati Yo Ko pun girang, dia tahu jiwanya dapatlah selamat untuk sementara. Bayangkan saja, mereka terjerumus dari ketinggian ber-puluh meter, sekali pun memiliki kepandaian tinggi akan terluka parah apa bila terbanting.

Lantaran anjlokan mereka itu sangat keras, dengan sendiri terceburnya ke dalam air juga dalam. Mereka terus tenggelam ke bawah seakan-akan tiada hentinya. Sekuatnya Yo Ko menahan napas, dia tunggu setelah daya menurunnya rada lambat, dengan tangan kiri dia rangkul Lik-oh dan tangan kanan digunakan mengayuh air supaya dapat timbul ke permukaan air. Pada saat itu juga hidungnya mengendus bau amis busuk, berbareng itu terdengar suara percikan gelombang air seperti ada makhluk raksasa air yang akan menyerangnya.

Sekilas timbul suatu pikiran dalam benak Yo Ko: “Kokcu bangsat ini menjebloskan kami berdua ke sini, mana dia bermaksud baik?”

Tanpa pikir tangan kanannya menghantam ke sebelah, terdengar suara keras disertai berdeburnya air. Dengan meminjam daya tolakan pukulan itu Yo Ko dapat muncul ke permukaan air sambil merangkul Kongsun Lik-oh. Sesungguhnya Yo Ko tidak dapat berenang. Dia sanggup bertahan dalam air adalah berkat menahan napas dengan Iwekang-nya yang tinggi. Maka dalam keadaan gelap gulita, hanya terdengar di sebelah kiri dan belakang suara percikan air yang sangat keras, cepat tangan kanannya menabok kesana dan mendadak tangannya menahan sesuatu benda yang kaku, keras dan dingin. Sungguh tidak kepalang kagetnya, dia pikir: “Masa betul di dunia ini ada naga?”

Sekuatnya ia menolak ke bawah hingga tubuhnya mencelat ke atas, sebaliknya makhluk air itu kena ditekannya ke bawah air. Yo Ko menarik napas panjang dan bersiap untuk terjebur lagi ke dalam air. Tak terduga di mana kakinya menginjak ternyata berada di atas batu karang, hal ini sama sekali tidak terduga olehnya. Lantaran salah dalam menggunakan tenaga pada kakinya, kini kakinya malah menjadi sakit menginjak batu.

Saking girangnya rasa sakit pun terlupakan. Ia coba meraba dengan tangan, kiranya batu karang itu terletak di pinggir sumur yang dalam itu. Kuatir diserang lagi oleh makhluk aneh tadi, cepat ia merangkak ke tepian yang lebih tinggi, di situ ia duduk untuk mengaso.

Kongsun Lik-oh sudah minum beberapa ceguk air dan dalam keadaan setengah pingsan, Yo Ko membiarkan nona itu mendekap di atas pahanya sambil memutahkan air. Terdengar suara batu karang dicakar dan digaruk oleh kuku besar disertai bau busuk amis yang menusuk hidung. Kembali dua ekor makhluk aneh itu merangkak ke atas.

“He, apa itu?” seru Kongsun Lik-oh kaget sambil bangkit duduk dan merangkul leher Yo Ko.

“Jangan takut, sembunyi saja di belakangku,” ujar Yo Ko.

Kongsun Lik-oh sama sekali tidak berani bergerak, dia merangkul semakin kencang. “He, buaya... buaya...!” serunya dengan suara gemetar.

Ketika masih tinggal di Tho-hoa-to, pernah juga Yo Ko melihat buaya dan tahu binatang itu sangat kejam dan ganas, jauh lebih lihay dari pada serigala atau harimau di daratan. Di kala bermain dengan Kwe Hu dan kedua saudara Bu, sering kali mereka bertemu dengan buaya, tapi mereka pun tak berani mengusiknya dan lebih suka menyingkir darinya. Tak terduga sumur di bawah tanah ini ternyata juga ada buayanya. Segera dia duduk dan mengerahkan tenaga pada kedua tangan serta mendengarkan dengan cermat. Ia lihat tiga ekor buaya mendekat.

“Yo-toako, tidak terduga kita akan mati bersama di sini,” bisik Kongsun Lik-oh.

“Biar pun mati juga kita harus membunuh beberapa ekor buaya ini,” kata Yo Ko dengan tertawa.

Dalam pada itu buaya yang terdepan sudah dekat, cepat Lik-oh berseru: “Hantam dia!”

“Sebentar Iagi,” ujar Yo Ko sambil menjulurkan sebelah kaki ke bawah batu karang.

Sesudah merambat lebih dekat lagi, tiba-tiba buaya pertama membuka mulut hendak menggigit Yo Ko. Cepat sekali Yo Ko menarik kakinya terus menendang ke bagian tenggorokan binatang itu. Tanpa ampun buaya itu terjungkal lantas tercebur ke dalam sumur. Terdengar suara berdeburnya air, kawanan buaya di dalam sumur menjadi kacau, sementara itu dua ekor buaya yang Iain juga sudah mendekat.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar