Rabu, 25 Agustus 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 091

“Bagus sekali!” teriak Yo Ko, “Memang aku lagi merasa keberatan memegangi potongan besi ini.” Segera dia putar setengah potongan tongkat baja itu dan terasa lebih enteng dan lincah.

“Hmm, bagus atau tidak, boleh lihat saja nanti!” jengek Kongsun Kokcu dengan perasaan mendongkol, kembali goloknya membacok lagi dari depan.

Bacokan ini teramat lugu, asal Yo Ko sedikit mengegos saja dengan mudah serangan itu dapat dihindarkan. Tanpa terduga lingkaran ujung pedang hitam ternyata juga mengurung tubuh Yo Ko sehingga anak muda itu tidak dapat bergerak sembarangan, terpaksa Yo Ko mengangkat potongan tongkat untuk menangkis.

“Trangg...!”

Suara nyaring keras akibat benturan golok dan tongkat menerbitkan lelatu api. Habis bacokan pertama, menyusul bacokan kedua dilontarkan lagi oleh Kongsun Kokcu dengan cara yang sama tanpa variasi.

Bahwa pengetahuan ilmu silat Yo Ko sangat luas, otaknya juga cerdas, tetapi aneh, sama sekali ia tidak berdaya mematahkan bacokan lawan yang begitu-begitu saja, kecuali menangkis dengan cara seperti tadi terasa tiada jalan lain yang lebih bagus. Untuk kedua kalinya golok dan tongkat kutung beradu, dan diam-diam Yo Ko mengeluh. Kiranya bacokan kedua kali ini tampaknya begitu saja tapi tenaganya ternyata bertambah sebagian. Dia pikir kalau bacokan begini berlangsung beberapa kali lagi tentu otot tulang lenganku bisa putus tergetar oleh tenaga Kokcu ini.

Belum habis terpikir, benar saja bacokan ke tiga Kongsun Kokcu sudah menyambar pula dan tenaganya memang bertambah lagi sebagian. Ternyata ilmu permainan golok Kongsun Kokcu itu meliputi 18 jurus, tenaga setiap jurus selalu bertambah kuat dari pada jurus sebelumnya. Walau pun tenaganya cuma sebagian saja, tetapi kalau terus bertambah dan menumpuk, jadinya bisa berlipat ganda dan sukar ditahan.

Setelah menangkis beberapa kali lagi, tongkat kutung di tangan Yo Ko sudah babak belur oleh bacokan golok emas lawan, bahkan tangan Yo Ko pun tergetar lecet. Melihat tenaga tangkisan Yo Ko tidak berkurang, dalam keadaan bahaya anak muda itu masih mengulum senyum, diam-diam Kongsun Kokcu amat mendongkol. Ia merasa bila beberapa kali bacokan lagi dia tidak dapat menaklukan Yo Ko, akan kelihatan dirinya sendiri yang tak becus. Maka ketika golok membacok kembali, mendadak pedang hitam menusuk ke perut lawan.

Saat itu Yo Ko terdesak sampai di pojok ruangan. Melihat ujung pedang menyambar, cepat dia menangkis dengan telapak tangan, ujung pedang tepat menusuk di tengah telapak tangannya, tetapi pedang hitam itu lantas melengkung dan terpental balik. Kiranya sarung tangan Siao-liong-li yang terbuat dari anyaman benang emas tak tertembuskan oleh pedang hitam yang tajam itu.

Setelah mengetahui sarung tangannya tidak usah takut pada senjata lawan, cepat Yo Ko membalikkan tangan menarik ujung pedang musuh, Tak terduga Kongsun Kokcu telah sedikit menyendal pedangnya yang melengkung tadi sehingga batang pedang yang lemas itu membalik ke bawah dan melukai lengan Yo Ko. Seketika darah bercucuran.

Yo Ko terkejut sekali dan cepat melompat mundur. Sebaliknya Kongsun Kokcu juga tidak mendesak maju, dia mendengus beberapa kali, sesudah itu baru melangkah maju dengan perlahan. Jika Kongsun Kokcu hanya mempergunakan salah sebuah senjatanya saja, Yo Ko mempunyai akal untuk meIawannya. Sekarang musuh memakai dua macam senjata yang berlawanan, satu keras dan satu lemas dengan gerak serangan yang berbeda pula, keruan Yo Ko tak berdaya dan tercecar hingga kelabakan.

Walau Yo Ko terdesak dan serba repot tapi Kim-lun Hoat-ong, In Kik-si dan lain-lain yang mengikuti pertarungannya itu bertambah kagum. Dalam hati mereka berpikir: “kalau aku sendiri yang harus melayani kedua macam senjata yang berbeda itu, mungkin sejak tadi jiwaku telah melayang. Tapi bocah ini ternyata mampu meIayaninya dengan berbagai cara yang cerdas dan dapat menghindari sekian kali serangan maut.”

Begitulah Kongsun Kokcu masih terus meIancarkan serangan dengan golok, dan secara bergantian kembali bahu Yo Ko tertusuk lagi satu kali sehingga bajunya berlepotan darah.

“Kau menyerah tidak?!” bentak Kongsun Kokcu.

“Kau bertanding dengan cara yang jauh menguntungkan kau, tetapi masih berani bertanya padaku menyerah atau tidak, ha-ha-ha, kenapa kau begini tebal muka, Kongsun Kokcu?” ejek Yo Ko dengan tersenyum.

Mendadak Kongsun Kokcu menarik kedua serangannya, kemudian bertanya: “Apa yang menguntungkan aku? Coba katakan,” tanya Sang Kokcu.

“Kau mempergunakan senjata sehari-hari, sepasang senjata yang aneh ini mungkin sukar dicari lagi di dunia, betul tidak?” ujar Yo Ko.

“Memangnya kenapa? Bukankah senjata di tanganmu itu juga luar biasa?” jawab Kongsun Kokcu.

Yo Ko membuang tongkat kutung itu dan berkata dengan tertawa: “Ini kan milik muridmu si jenggot tadi.” Lalu ia menanggalkan sarung tangan, dan kedua potong selendang sutera yang putus tadi dijemputnya pula dan dilemparkan kepada Siao-liong-li, kemudian berkata lagi: “Dan ini adalah milik Kokoh yang kupinjam tadi.”

Habis itu Yo Ko keplok tangannya, dia kebut debu pada badannya tanpa menghiraukan darah yang masih mengucur dari lukanya, kemudian berkata dengan tertawa:

“Nah, aku datang ke sini dengan bertangan kosong, masa aku bermaksud memusuhi kau? Sekarang terserah kau, mau bunuh boleh bunuh. tidak perlu banyak omong lagi.”

Melihat sikap anak muda itu tenang sabar, wajahnya cakap, meski terluka tapi bicara dan tertawa sesukanya seperti tidak terjadi sesuatu, kalau dibandingkan dirinya sendiri terasa memalukan dan rendah sekali. “Apa bila anak muda ini tetap aku biarkan hidup, tentu Liu-ji akan condong dan jatuh hati padanya.”

Tanpa pikir dia mengangguk dan berkata: “Baiklah.” Segera pedangnya menusuk ke dada Yo Ko.

Karena merasa tidak sanggup melawan orang, Yo Ko sudah ambil keputusan biar dibunuh saja oleh lawannya, maka ia pun tak menghindar ketika tusukan orang tiba, sebaliknya ia menoleh ke sana untuk memandang Sio-liong-li, pikiranya “Sambil memandangi Kokoh, biar mati pun aku tidak menyesal.”

Dia melihat Siao-liong-Ii sedang melangkah ke arahnya setindak demi setindak dengan tersenyum manis, kedua pasang mata saling menatap, sama sekali tidak menghiraukan ancaman pedang hitam Kongsun Kokcu.

Sebenarnya Kokcu itu belum pernah kenal Yo Ko sehingga hakikatnya tidak ada dendam permusuhan apa pun. Dia ingin membinasakan anak muda itu semuanya gara-gara Siao-liong-li belaka, sebab itulah ketika tusukan terakhir dilontarkan, tanpa terasa ia pun memandang sekejap ke arah Siao-liong-li. Sekali pandang seketika rasa cemburunya berkobar hebat, tampak si nona menatap Yo Ko dengan penuh kasih sayang mesra. Waktu dia melirik Yo Ko, kelihatan sorot anak muda itu pun serupa dengan Siao-liong-Ii, padahal ujung pedangnya kini telah menempel dadanya, asalkan tangannya sedikit mendorong ke depan, seketika ujung pedang itu akan menembus dadanya.

Namun Siao-liong-li ternyata tidak menjadi kuatir dan cemas, Yo Ko juga tidak berusaha menangkis, kedua orang hanya saling pandang dengan kesan penuh jalinan perasaan dan melupakan segala apa yang berada di sekitarnya. Gemas dan dongkol Kongsun Kokcu tidak terkirakan, pikirnya: “Apa bila kubunuh kau sekarang, akan membuat kau merasa puas dan bahagia ketika menghadapi ajalnya. Aku justru ingin kau menyaksikan sendiri pernikahanku dengan Liu-ji, habis malam pengantin barulah kau kubunuh!”



Karena pikiran itu, segera dia berteriak: “Liu-ji, kau ingin kubunuh dia atau menghendaki kuampuni?”

Siao-liong-li terus memandangi Yo Ko dengan segenap cita-rasanya dan sama sekali tak memikirkan Kongsun Kokcu. Ketika mendadak mendengar suaranya barulah dia tersadar, katanya cepat dengan kuatir.

“Lekas singkirkan pedangmu, untuk apa kau mengacungkan pedangmu di depan dadanya?”

Kongsun Kokcu mendengus dan berkata: “Baik, tidaklah sulit untuk mengampuni jiwanya asalkan kau suruh dia segera pergi dari sini dan tidak merintangi detik bahagia pernikahan kita.”

Sebelum bertemu dengan Yo Ko sebetulnya Siao-liong-li sudah bertekad takkan berjumpa lagi dengan anak muda ini. Tapi kini setelah bertemu, mana dia mau menikah dengan Kongsun Kokcu? Dia tahu apa yang menjadi keputusannya akhir-akhir ini jelas sukar dilaksanakannya, lebih baik mati saja dari pada menikah dengan orang lain. Ia pun lantas berpaling dan berkata kepada Kongsun Kokcu:

“Kongsun-siansing aku sangat berterima kasih atas pertolonganmu, tapi aku tak dapat menikah dengan kau.”

Meski sudah tahu alasannya, tapi Kongsun Kokcu masih bertanya: “Sebab apa?”

Siao-liong-Ii berdiri sejajar dengan Yo Ko dan memegangi tangan anak muda ini, dengan tersenyum dia menjawab:

“Aku sudah bertekad menjadi suami-isteri dengan dia dan hidup berdampingan selamanya, masa kau tak dapat melihat sikap kami?”

Tergetar tubuh Kongsun Kokcu, katanya dengan geram: “Jika saja tempo hari kau sendiri tidak menyanggupi, masa aku paksa waktu terancam elmaut? Tapi kau sendiri yang terima lamaranku, dan itu timbul dari perasaan suka rela dan ikhlas?”

Pada dasarnya Siao-liong-li masih sangat polos dan belum paham seluk beluk kehidupan insaniah, tanpa ragu dia menjawab:

“Memang betul begitu, tetapi aku merasa berat untuk meninggalkan dia. Nah, kami akan pergi, harap kau jangan marah.” Habis itu dia tarik tangan Yo Ko dan diajaknya pergi.

Ucapan Siao-liong-li ini membikin semua orang saling pandang dengan melongo, Kongsun Kokcu terus melompat maju lantas menghadang di ambang pintu, serunya dengan serak:

“Untuk bisa keluar dari lembah ini kau harus membunuh diriku lebih dulu...”

Siao-liong-li tersenyum manis, katanya: “Kau sudah berbudi menoIong jiwaku, mana boleh kubunuh kau? Lagi pula ilmu silatmu tinggi, betapa pun aku tak dapat mengalahkan kau.”

Sembari bicara ia terus merobek kain baju sendiri untuk membalut luka Yo Ko.

“Kongsun-heng,” tiba-tiba Kim-lun Hoat-ong berseru: “Lebih baik kau membiarkan mereka pergi saja.”

Kongsun Kokcu mendengus tanpa menjawab, dengan air mukanya yang penuh gusar dia tetap menghadang di ambang pintu.

Segera Hoat-ong berkata lagi: “Jika mereka maju berdua dengan sepasang pedangnya, pasti kedua macam senjatamu itu pun takkan dapat menandingi mereka. Dari pada sudah kalah bertanding memberi tembok isteri lagi, lebih baik kau mengalah saja dan serahkan si dia kepadanya.”

Rupanya Kim-lun Hoat-ong masih merasa penasaran karena dia pernah kalah di bawah ilmu pedang yang dimainkan secara berganda oleh Yo Ko dan Siao-liong-li tempo hari. Kejadian itu dianggap sebagai hal yang memalukan baginya. Kini menyaksikan Im-yang-siang-to (sepasang senjata berlainan) yang dimainkan oleh Kongsun Kokcu ternyata amat lihay dan tidak kalah hebatnya dibandingkan permainan rodanya sendiri, maka dia sengaja memancing dengan kata-kata untuk mengadu domba mereka, sedangkan dia sendiri dapat menarik keuntungan.

Padahal seumpamanya dia tidak membakar dengan kata-kata itu juga Kongsun Kokcu takkan membiarkan Siao-liong-Ii dan Yo Ko pergi begitu saja. Karena itu ia melotot marah kepada Hoat-ong, dalam hati ia memaki Hoat-ong yang berani mengucapkan kata-kata yang meremehkan dirinya. Dia pikir, kelak bila mana ada kesempatan tentu akan kubikin perhitungan dengan kau si Hwesio ini.

Begitulah watak Kongsun Kokcu itu memang tinggi hati dan congkak, selamanya ia maha kuasa di Cui-sian-kok tanpa seorang pun berani membangkang perintahnya, sekali pun puteri kandung sendiri akan dihukum badan bila mana berbuat salah, maka dapatlah dibayangkan betapa marahnya.

Semakin murka semakin nekat pula Kongsun Kokcu itu. Betapa pun dia harus menikah dengan Siao-liong-li meski apa pun yang akan terjadi. Dengan gregetan, dia pikir: “Sekali pun hatimu tidak kau serahkan padaku, sedikitnya tubuhmu harus diberikan padaku. Kau tidak mau menikah dengan aku waktu hidup, sesudah kau mati juga akan kunikahi.”

Semula dia ingin menggunakan jiwa Yo Ko sebagai senjata memaksa Siao-liong-li menyerah kepada keinginannya, tetapi setelah melihat kedua muda-mudi itu sama sekali tak takut mati, maka ia pun ambil keputusan takkan melepaskan mereka andaikan kedua orang itu harus dibunuhnya semua.

Bagi Yo Ko, tanpa terasa semangat tempurnya seketika berkobar sesudah melihat Siao-liong-li hanya mencintainya seperti semula, dengan mantap sigap dia bertanya:

“Kongsun Kokcu, dengan cara bagaimana engkau mau membiarkan kami pergi?”

Pertanyaan Yo Ko ini membuat Kongsun Kokcu bertambah murka, napsu membunuhnya semakin berkobar.

Mendadak terdengar Be Kong-co berseru: “Hei Kongsun Kokcu, orang sudah mengatakan tidak mau menjadi isterimu, mengapa kau merintangi orang?”

Dengan suara banci Siao-siang-cu berkata: “Jangan sembarang ngomong, Be Kong-co, kan Kongsun Kokcu sudah menyiapkan perjamuan besar ini. Kita diundang meramaikan pestanya yang meriah.”

“Aha, perjamuan apa? Paling air tawar dan sayur mentah, apanya yang dapat dirasakan?” seru Be Kong-co, “Jika aku menjadi nona cantik ini pasti aku pun tak akan sudi menjadi isterinya. Nona cantik melek seperti dia, menjadi permaisuri juga masih setimpal, buat apa hidup susah ikut seorang kakek?”

Meski dogol, tapi apa yang dikatakan itu pun cukup masuk di akal. Siao-liong-li menoleh dan berkata dengan suara lembut kepadanya:

“Be-toaya, soalnya Kongsun-siansing telah menyelamatkan jiwaku, betapa pun dalam hatiku tetap... tetap berterima kasih padanya.”

“Bagus, si tua Kongsun,” seru Be Kong-co lagi, “Jika kau memang seorang berbudi dan bijaksana, lebih baik sekarang juga kau membiarkan dua muda-mudi itu melangsungkan pernikahan di sini. Kalau dengan alasan kau sudah menolong jiwa si nona, lalu tubuhnya hendak kau gagahi, huh, jiwa ksatria macam apakah itu?”

Karena orangnya dogol, ucapannya juga tanpa tedeng aling-aling dan amat menusuk hati, tapi juga sukar dibantah.


RACUN BUNGA CINTA

Tentu saja Kongsun Kokcu sangat marah, dia bertekad semua orang yang memasuki tempatnya ini harus dibunuh. Tapi ia pun tidak memberi reaksi apa-apa, melainkan dengan hambar berkata:

“Ahh, sebenarnya lembah pegununganku ini bukan tempat yang luar biasa, tapi kalau kalian boleh datang dan pergi sesukanya, rasanya orang terlalu meremehkan diriku, Nona Liu...”

Dengan tersenyum Siao-liong-li memotong. “Sebenarnya aku bukan she Liu, yang benar she Liong. Soalnya dia she Yo, maka aku sengaja dusta padamu bahwa aku she Liu.”

Rasa cemburu Kongsun Kokcu bertambah membakar, ia anggap tidak mendengar ucapan Siao-liong-li itu dan berkata:

“Nona Liu...”

Tapi belum lanjut ucapannya, mendadak Be Kong-co menimbrung: “He, sudah jelas nona itu she Liong, mengapa kau tetap menyebut dia nona Liu?”

Cepat Siao-liong-li menanggapi: “Ya, mungkin Kongsun-siansing sudah biasa memanggil begitu. Memang salahku karena aku telah berdusta padanya. Maka biarlah, apa yang dia suka boleh...”

Kongsun Kokcu tetap tidak urus perkataan mereka dan menyambung: “Nona Liu, asalkan bocah she Yo itu dapat mengalahkan Im-yang-siang-to di tanganku, segera kubiarkan dia pergi. Urusan ini harus kita selesaikan sendiri karena tak ada sangkut pautnya dengan orang lain.”

Siao-liong-li menghela napas dan berkata: “Kongsun-siansing, sebenarnya aku tidak ingin bertempur dengan kau, akan tetapi dia sendirian bukan tandinganmu, maka terpaksa aku membantu dia.”

Kontan alis Kongsun Kokcu terkerut rapat, katanya: “Jika kau tidak kuatir karena tadi telah muntah darah, maka boleh juga kau maju sekalian.”

Dalam hati Siao-liong-li rada gegetun terhadap masalah ini, segera ia berkata pula: “Kami tidak mempunyai senjata lagi, kami pasti kalah jika melayani kau dengan tangan kosong. Tetapi engkau adalah orang baik, maka harap lepaskan saja kepergian kami.”

Tiba-tiba Kim-lun Hoat-ong menyela: “Kongsun-heng, di tempatmu ini serba ada, masakah kekurangan dua senjata? Cuma perlu kuperingatkan kau lebih dulu, jika mereka bermain ganda, sepasang pedang mereka menjadi maha lihay, mungkin jiwamu bisa melayang.”

Kongsun Kokcu tidak menanggapi. Dia kemudian ke sebelah kiri dan berkata kepada Yo Ko.

“Kamar di sebelah sana kamar senjata, kalian boleh pilih sendiri senjata apa yang kalian kehendaki.”

Yo Ko saling pandang sekejap dengan Siao-liong-li dan sama berpikir: “Alangkah baiknya jika dapat berada berduaan di tempat yang sepi dari orang lain.”

Segera dengan bergandengan tangan mereka memasuki kamar yang ditunjuk, pandangan Siao-liong-li selama itu tidak pernah meninggalkan wajah Yo Ko. Setelah sampai di depan kamar dan nampak pintu kamar tertutup, tanpa pikir dia terus mendorong pintu, namun baru saja hendak melangkah masuk ke dalam, mendadak Yo Ko ingat sesuatu dan cepat mencegahnya:

“Nanti dulu!”

“Ada apa?” tanya Siao-liong-li merandek. “Apa kau kuatir Kokcu itu akan menjebak kita? Dia sangat baik, tampaknya takkan berbuat begitu.”

Yo Ko tidak menjawab, dia menggunakan kakinya untuk mencoba lantai di bagian dalam pintu dan mendadak terdengar suara mencicit nyaring disertai gemerdepnya cahaya, lalu delapan pedang tajam tahu-tahu keluar dan menusuk dari kanan kiri pintu. Dalam keadaan begitu, apa bila ada orang sedang melangkah ke dalam tentu seluruh tubuhnya akan tertancap.

Siao-liong-li menghela napas dan berkata: “Aihh, Ko-ji, kiranya begitu keji hati Kokcu, sungguh aku telah salah menilainya. Sudahlah, kita pun tidak perlu bertanding lagi dengan dia dan pergi saja sekarang...”

Mendadak ada seorang bersuara di belakang mereka: “Kokcu menyilakan kalian memilih senjata.”

Pada waktu mereka menoleh, tampaklah delapan anak murid berseragam hijau dengan membentang jaring ikan sudah menghadang di belakang. Tampaknya Kongsun Kokcu telah memperhitungkan kemungkinan kabur, maka sengaja mengirimkan anak muridnya untuk mencegat di belakang mereka.

Terpaksa Siao-liong-li berkata pada Yo Ko: “Ko-ji, menurut pendapatmu apakah di kamar senjata ini ada lagi sesuatu yang aneh?”

Yo Ko menggenggam kencang tangan Siao-liong-li, katanya: “Kokoh, kita telah berkumpul lagi, apa yang perlu kita sesalkan? Sungguh pun ditembus oleh beribu senjata, paling tidak kita mati bersama.”

Perasaan Siao-liong-li pun penuh kasih mesra, maka tanpa pikir mereka lalu melangkah ke dalam, kemudian Yo Ko merapatkan pintu. Tampaklah baik di dinding, di atas meja dan di rak senjata penuh berjajar macam-macam senjata, akan tetapi hampir sembilan dari sepuluh adalah pedang kuno, ada yang panjang dan ada yang pendek sekali, ada yang sudah karatan tetapi banyak pula yang mengkilat menyilaukan mata.

Siao-liong-li berdiri berhadapan dengan Yo Ko dan saling pandang sejenak. Mendadak ia bersuara tertahan terus menubruk ke dalam pelukan anak muda itu. Tanpa ayal Yo Ko mendekap kencang tubuh si nona dan menciumnya, seketika jiwa raga Siau-liong-li serasa dimabuk oleh ciuman itu, kedua tangannya terus merangkut leher Yo Ko balas mencium dengan mesranya.

“Blangg...!”

Mendadak pintu kamar didobrak orang, seorang murid berseragam hijau berseru dengan bengis:

“Perintah Kokcu, setelah memilih pedang segera kalian keluar lagi!”

Muka Yo Ko menjadi merah, cepat dia melepaskan Siao-liong-li. Tapi Siao-liong-li adalah nona yang berpikiran polos dan suci, dia pikir jika aku menyukai Yo Ko, apa salahnya berdua saling peluk dan berciuman, namun sekarang diganggu orang luar sehingga sukar mencapai kepuasan. Dengan gegetun ia berkata perlahan:

“Ko-ji, setelah kita kalahkan Kokcu itu, bolehlah kau mencium aku lagi.”

Yo Ko mengangguk dengan tersenyum, katanya: “Marilah kita memilih senjata.”

“Tampaknya senjata yang tersimpan di sini memang benar benda mestika seluruhnya,” ujar Siao-liong-li, lalu ia mengelilingi kamar mengamati dengan teliti.

Maksud Siao-liong-li hendak memilih sepasang pedang yang sama panjang dan bobotnya agar nanti digunakan bersama Yo Ko dapat mendatangkan hasil. Tapi setelah diperiksa kian kemari ternyata pedang yang berada di situ tidak ada yang serupa. Sembari mengamati senjata ia pun bertanya kepada Yo Ko:

“Waktu masuk kamar ini tadi, dari mana kau mengetahui di ambang pintu terpasang jebakan?”

“Aku dapat menerkanya dari air muka Kokcu itu,” tutur Yo Ko, “Dia ingin memperisteri dirimu, tapi sorot matanya ternyata penuh rasa benci dan dendam. Melihat kepribadiannya aku tidak percaya dia mau membiarkan kita memilih senjata secara rela.”

Kembali Siao-liong-li menghela napas perlahan lantas berkata: “Menurut kau, apakah kita dapat mengalahkan dia dengan Giok-li-kiam-hoat?”

“Meski tinggi ilmu silatnya, tampaknya juga tidak lebih hebat dari pada Kim-lun Hoat-ong,” ujar Yo Ko. “Jika dengan bergabung kita bisa mengalahkan Hoat-ong, tentu saja kita pun dapat mengalahkan dia.”

“Ya, Hoat-ong terus menerus membakar agar dia bertarung dengan kita, jelas dia pun bermaksud jahat!” kata Siau-liong-li.

“Hati manusia umumnya memang jahat, tampaknya kau pun mulai paham,” kata Yo-Ko dengan tersenyum. Akan tetapi dia lantas menyambung pula dengan rasa kuatir: “Tapi bagaimana dengan kesehatanmu? Tadi kau muntah darah lagi.”

Siao-liong-li tertawa manis, jawabnya: “Kau tahu, waktu berduka barulah aku muntah darah. Sekarang aku sangat gembira, apa artinya sedikit sakit bagiku? Oh ya, Ko-ji, tampaknya kepandaianmu sudah jauh lebih maju, jauh berbeda dibandingkan sewaktu kita bertempur dengan Hoat-ong dahulu. Kalau waktu itu saja kita dapat mengalahkan dia, apa lagi sekarang?”

Yo Ko juga yakin pasti akan menang dalam pertarungan ini. Ia genggam kencang tangan si nona dan berkata:

“Kokoh, kuharap engkau berjanji sesuatu padaku.”

“Mengapa kau bertanya secara begini?” kata Siao-liong-li dengan suara lembut. “Aku kan bukan lagi gurumu, tapi isterimu. Apa yang kau kehendaki tentu akan kuturuti.”

“Ah... baik sekali, baru... baru sekarang aku tahu,” kata Yo Ko.

“Sejak malam itu di Cong-lam-san kau berbuat begitu mesra padaku, semenjak itu pula aku sudah bukan lagi gurumu,” ucap Siao-liong-li, “Meski kau tidak mau memperisteri diriku, dalam hatiku sudah lama kuakui sebagai isterimu.”

Sesungguhnya waktu itu Yo Ko memang tidak paham tiba-tiba Siau liong-li mengajukan pertanyaan begitu padanya. Dia pikir mungkin hati si nona mendadak terguncang, atau bisa jadi dirinya yang lama tertahan itu mendadak tak bisa dikendalikan lagi, sama sekali tidak pernah terpikir olehnya bahwa In Ci-peng yang sudah menggagahi Siao-liong-li secara diam-diam.

Yo Ko sendiri merasa tidak pernah berbuat apa-apa yang melampaui batas terhadap nona itu. Tapi kini mendengar suaranya yang halus dan manis, hatinya terguncang juga dan seketika tak dapat menjawab.

Siao-liong-li merapatkan tubuhnya ke dada Yo Ko, lalu bertanya: “Kau ingin aku berjanji apa?”

Yo Ko membelai rambut Siao-liong-li yg indah, katanya: “Setelah kita kalahkan Kokcu ini, segera kita pulang ke kuburan kuno untuk selanjutnya engkau tidak boleh berpisah lagi dariku biar apa pun yang bakal terjadi...”

Sambil menengadah dan menatap anak muda itu, Siao-liong-li menjawab: “Memang kau kira aku suka berpisah dengan kau? Jika berpisah dengan kau, apa kau kira dukaku tidak melebihi kau? Sudah tentu kuterima permintaanmu ini, biar pun langit ambruk atau bumi ambles dan dunia kiamat aku tetap bersamamu.”







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar