Jumat, 20 Agustus 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 087

ULAH LO-WAN-ONG

Setelah diamat-amati, orang yang lagi bergelut dengan Hoan It-ong itu memang jelas memakai dandanan Siau-siang-cu, pakaiannya, sepatunya dan topinya, semuanya persis, namun wajahnya ternyata berbeda dari pada wajah asli Siau-siang-cu meski air mukanya juga kaku pucat mirip mayat. Sebaliknya wajah orang yang datang belakangan persis dengan Siau-siang-cu yang sudah mereka kenal, hanya baju yang dipakainya berwarna hijau seperti seragam yang dipakai orang-orang Cui-sian-kok.

Yo Ko dan Kim-lun Hoat-ong dapat berpikir cepat, sejenak saja mereka telah dapat menerka apa yang terjadi sebenarnya.

Sementara itu Siau-siang-cu yang berbaju hijau tua dengan dua tangan yang kurus seperti cakar sudah mencengkeram lagi ke punggung Siau-siang-cu yang memegang gunting sambil berteriak:

“Keparat! Main curang, jago macam apa kau?!”

Meski mendapat bala bantuan, Hoan It-ong menjadi heran dan terkejut. Walau orang mengenakan seragam hijau, tetapi mukanya tak dikenal. Sementara ia mundur ke pinggir, kemudian menyaksikan dua orang yang menyerupai mayat hidup itu saling labrak dengan seru.

Kini Yo Ko sudah dapat menduga bahwa orang yang memegang gunting itu pasti sudah mencuri kedok kulit manusia pemberian Thia Eng tempo hari dan dipakainya, kemudian ia mengenakan pakaian Siau-siang-cu dan sengaja mengacau di ruangan ini. Soalnya wajah Siau-siang-cu memang kaku seperti orang mati, sebab itu sejak mula tak ada orang yang memperhatikannya.

Setelah mengamat-amati sekian lamanya dan dapat mengenali gaya ilmu silat orang yang memegang gunting, segera Yo Ko berseru:

“Hai, Ciu Pek-thong, kembalikan kedok dan guntingku!” Berbareng ia melompat maju untuk merebut gunting.

Kiranya orang itu memang betul Ciu Pek-thong adanya. Dia tertawan oleh keempat murid Cui-sian-kok dengan jaring ikan, meski wataknya nakal dan jahil, tetapi ilmunya memang maha sakti, begitu keempat orang itu sedikit meleng saja segera Ciu Pek-thong berhasil lolos dengan menjebol jaring, akibatnya sang Kokcu menghukum empat orang itu dengan hukum panggang.

Ciu Pek-thong tidak lantas kabur, tetapi sembunyi di suatu tempat. Dia memang sengaja hendak mengobrak-abrik lembah sunyi itu. Tapi segera dia melihat Yo Ko berenam juga datang ke situ, maka malamnya ia melakukan sergapan, Siau-siang-cu diculiknya hingga tidak dapat berkutik, lalu dipindahkan ke luar rumah dan dilucuti pakaiannya. Karena Ginkang-nya maha sakti, pergi datang tanpa suara dan tak meninggalkan bekas, maka dalam tidurnya Siau-siang-cu kena dikerjai, bahkan Kim-lun Hoat-ong dan lainnya juga tidak mengetahui akan kejadian itu.

Setelah mengganti pakaian Siau-sian-cu, lalu Ciu Pek-thong masuk lagi ke rumah itu dan tidur di sisi Yo Ko. Kesempatan itu digunakan untuk menggerayangi ransel pemuda itu, gunting dan kedok kulit berhasil dicurinya. Esoknya ternyata semua orang juga belum menyadari akan perbuatan Ciu Pek-thong.

Sudah tentu Siau-siang-cu berusaha melepaskan diri dari totokan Ciu Pek-thong, namun lantaran ilmu Tiam-hiat yang digunakan Ciu Pek-thong itu sangat lihay, sampai tiga-empat jam kemudian barulah Siau-siang-cu berhasil melancarkan jalan darah dan dapat bergerak kembali. Sementara itu tubuhnya hanya memakai baju dan celana dalam saja, tentu saja dia sangat dongkol dan murka. Ketika kebetulan seorang murid Cui-sian-kok lewat, secepat kilat dia merobohkannya dan merampas bajunya, lalu memburu ke rumah batu yang besar itu.

Pada saat itu dilihatnya Ciu Pek-thong dengan memakai bajunya sendiri tengah bertempur sengit dengan Hoan It-ong. Dengan perasaan murka dia terus menerjang maju, sekaligus dia ingin membinasakan Ciu-Pek-thong dengan pukulannya yang dahsyat, beberapa jurus kemudian Yo Ko juga ikut maju mengeroyok.

Tapi Ciu Pek-thong mempunyai kepandaian khas yang dilatihnya ketika dulu ia disekap di Tho-hoa-to oleh Oey Yok-su, yaitu dua tangannya memainkan silat yang berbeda. Maka dengan tangan kiri ia layani Yo Ko, sedang tangan kanan dengan gunting ia lawan Siau-siang-cu, guntingnya sebentar terbuka dan sebentar terkatup, betapa pun Siau-siang-cu tidak berani sembarangan mendekat. Maklumlah, gunting itu amat besar, kalau mata gunting terbuka, jaraknya hampir setengah meter, kalau saja leher tergunting, mustahil kepala takkan terpisah dari tuannya. Karena itu, meski Siau-siang-cu amat murka, tapi ia pun tidak berani sembarangan melancarkan serangan.

Dalam pada itu sang Kokcu masih terus mengikuti pertarungan sengit. Sudah turun temurun Kokcu itu menetap di lembah sunyi ini, ilmu silat keluarganya juga turun-temurun semakin hebat. Pada umumnya ada kebiasaan buruk di dunia persilatan. Lantaran kuatir muridnya kelak berkhianat atau menjadi murtad, maka sering kali sang guru menyimpan beberapa jurus rahasia untuk menjaga kemungkinan penghianatan murid. Sebab itu dalam beberapa keturunan saja ilmu silatnya semakin berkurang dan akhirnya habis sama sekali.

Ciri demikian takkan berlaku dalam ilmu silat keturunan. Sang ayah mengajarkan kepada anak atau sang kakek mengajarkan kepada cucu pasti takkan menahan jurus simpanan, malahan setelah beberapa keturunan sering kali timbul satu-dua angkatan yang berbakat dan pintar menciptakan jurus baru sehingga satu turunan lebih hebat dari pada angkatan yang lebih tua. Begitu pula dengan Kokcu ini. Ilmu silatnya kini boleh dikatakan jauh lebih lihay dari pada leluhurnya, ia yakin bila dirinya keluar lembah, ilmu silatnya pasti dapat menjagoi dunia.

Siapa duga lembah yang aman tenteram ini tiba-tiba kedatangan Ciu Pek-thong sehingga suasana menjadi kacau balau. Ia kagum ketika menyaksikan pertarungan Ciu Pek-thong dengan Hoan It-ong, kini melihat anak tua nakal itu menempur dua orang dengan dua tangan yang bermain silat dengan cara yang berbeda, malah sedikit pun tidak tampak lebih lemah dari kedua Iawannya, sungguh sang Kokcu menjadi kagum tak terhingga.

Dilihatnya pula ilmu silat Siau-siang-cu sangat ganas, serangannya tak mengenal ampun. sedangkan gerak-gerik Yo Ko tenang halus dan tenang, tapi tidak kurang lihaynya. Kokcu itu harus mengakui bahwa di dunia yang seluas ini ternyata tidak sedikit terdapat orang kosen. Segera dia berdiri, dengan suara lantang dia berkata:

“Harap kalian bertiga suka berhenti dulu!”

Berbareng Yo Ko dan Siau-siang-cu melompat mundur. Ciu Pek-thong tanggalkan kedok kulit, berikut guntingnya terus dilemparkan kepada Yo Ko sambil berkata:

“Permainanku sudah cukup, aku hendak pergi!”

Sekali mengenjot kaki, seperti anak panah cepatnya dia meloncat ke atas belandar rumah. Karena kedoknya ditanggalkan, wajah aslinya lantas kelihatan. Keruan gemparlah para anak murid Cui-sian-kok setelah mengenali siapa dia.

“Ayah, orang tua inilah!” seru Kongsun Lik-oh.

Sementara itu Ciu Pek-thong bergelak tertawa sambil duduk mengangkang di atas belandar. Tinggi belandar rumah sedikitnya lima-enam meter dari permukaan tanah, meski pun di ruangan itu tidak sedikit terdapat tokoh terkemuka, terasa sukar juga kalau ingin sekali lompat langsung mencapai belandar.

Hoan It-ong adalah murid pertama Cui-sian-kok, usianya bahkan lebih tua dari pada sang guru, dalam hal ilmu silat, kecuali sang Kokcu dialah terhitung nomor satu, kini berulang kali dia dipermainkan oleh Ciu Pek-thong, tentu saja dia sangat murka. Biar pun tubuhnya cebol tapi dia mahir memanjat. Sekali lompat ia rangkul erat-erat tiang ruangan itu terus memanjat ke atas segesit kera.



Dasar watak Ciu Pek-thong paling suka cari gara-gara, dia paling senang kalau ada orang mau main gila dengan dia, maka ia menjadi amat gembira melihat Hoan It-ong memanjat ke atas. Belum lagi kakek cebol itu mencapai belandar, lebih dahulu ia sudah menjulurkan tangannya untuk menarik ke atas.

Sudah tentu Hoan It-ong tidak tahu tujuan Ciu Pek-thong sebenarnya baik, melihat tangan orang menjulur, segera ia menotok Tay-leng-hiat pada pergelangan tangannya. Namun ilmu silat Ciu Pek-thong sudah mencapai tingkatan yang maha sakti. Sedikit saja merasakan sesuatu, segera ia menotok lebih dulu Hiat-to yang hendak ditotok itu sambil mengendorkan urat dagingnya. Karena itu tusukan Hoan It-ong laksana mengenai kapas yang lunak cepat ia menarik kembali tangannya.

Tetapi Ciu Pek-thong sempat membalikkan tangannya dan menepuk sekali pada tangan Hoan It-ong sambil berseru:

“Keplok ami-ami! Kakak makan nasi adik cebol minta isteri!”

Dengan murka Hoan It-ong menggelengkan kepalanya, jenggotnya yang panjang menyabet ke dada lawan. Mendengar sambaran angin yang keras, Ciu Pek-thong tahu betapa lihaynya jenggot lawan. Cepat-cepat ia melompat mundur, dengan tangan kiri berpegangan pada belandar, tubuhnya bergantungan seperti anak sedang main ayunan.

Siau-siang-cu yakin Hoan It-ong pasti bukan tandingan anak tua nakal itu, sekali pun dia ikut mengerubut juga sulit mengaIahkannya. Segera ia berpaling kepada Nimo Singh dan Be Kong-co, katanya:

“Saudara Singh dan Be, tua bangka ini tidak memandang sebelah mata kepada kita berenam. Sungguh keterlaluan!”

Watak Nimo Singh paling berangasan dan tak tahan dibakar, sedangkan pikiran Be Kong-co amat sederhana dan tidak dapat menimbang antara baik dan buruk. Demi mendengar rombongannya berenam tidak dipandang sebelah mata, serentak mereka menjadi gusar lantas melompat ke atas untuk menangkap kaki Ciu Pek-thong. Tapi dengan jenaka Ciu Pek-thong mengayun kakinya untuk menggoda, tapi sebenarnya dia menendang dengan tepat ke arah yang mematikan pada tangan Nimo Singh dan Be Kong-co sehingga usaha kedua orang itu menjadi gagal total.

“ln-heng, apakah kau sendiri hanya mau menonton saja?” jengek Siau-siang-cu terhadap In Kik-si.

In Kik-si tersenyum dan menjawab: “Baiklah, silakan Siau-heng maju lebih dahulu, segera aku menyusul!”

Siau-siang-cu bersuit aneh menyeramkan. Tiba-tiba dia melompat ke atas, kedua kakinya tidak terlihat menekuk, tubuhnya kaku lurus, kedua tangannya juga menjulur lempeng ke atas terus mencengkeram ke perut Ciu Pek-thong, gaya ilmu silat yang diperlihatkannya tiada ubahnya seperti mayat hidup.

Melihat tibanya serangan, segera Ciu Pek-thong mengerutkan tubuh, tangan kiri berganti tangan kanan dan tetap bergelantungan di belandar. Serangan Siau-siangcu luput. Dia tidak dapat berhenti di udara, terpaksa anjlok ke bawah. Siapa saja bila jatuh ke bawah dari ketinggian begitu tentu kedua kakinya akan menekuk agar tidak keseleo dan terluka. Akan tetapi gaya Siau-siang-cu sungguh istimewa, seluruh tubuhnya tetap kaku seperti sepotong kayu saja, dan begitu kaki menyentuh lantai, “tok”, kembali dia meloncat lagi ke atas.

Begitulah, Hoan It-ong merangkul tiang sambil mengayun jenggotnya untuk menyerang, sedangkan Siau-siang-cu, Nimo Singh dan Be Kong-co bertiga berloncatan naik turun bergantian menyerang dari bawah ke atas.

“Si tua ini benar-benar luar biasa, biar aku pun ikut bikin ramai!” kata In Kik-si, tangannya merogoh saku sejenak kemudian tampaklah sinar kemilau menyilaukan mata, tangan In Kik-si sudah bertambah sebuah ruyung lemas yang terbuat dari benang emas dan perak, penuh bertaburkan batu permata pula.

Sebetulnya tokoh selihay In Kik-si, hanya bertangan kosong saja sudah jarang ada tandingan, ruyung bertaburkan batu permata tak lebih hanya pamer kekayaan saja. Ia pikir untuk menyerang Ciu Pek-thong yang berada tinggi di atas jelas tidak mudah, maka dengan ruyungnya ia coba menyerang bagian bawah lawan.

Yo Ko amat tertarik oleh pertarungan lucu ini. Ia pikir dengan kepandaian kelima orang itu ternyata tidak mampu mengalahkan seorang Lo-wan-tong, kalau aku tidak dapat menang dengan cara istimewa tentu takkan membikin takluk orang Iain. Setelah berpikir begitu, segera ia memakai kedoknya yang tipis, menirukan gaya Siau-siang-cu. Dia jemput tongkat baja Hoat It-ong, sekali tongkat itu menahan di lantai, tubuhnya mengapung ke atas. Panjang tongkat itu dua meteran, sesudah ditambah loncatannya, maka tubuh Yo Ko hampir sama tingginya dengan Ciu Pek-thong yang bergelantungan di belandar.

“Awas gunting, Lo-wan-tong!” seru Yo Ko sambil mengarahkan gunting memotong jenggot Ciu Pek-thong.

Bukannya marah, sebaliknya Ciu Pek-thong malah senang akan serangan itu. Dia segera miringkan kepalanya menghindari guntingan itu dan berseru:

“Bagus sekali caramu ini, adik cilik!”

“Lo-wan-tong, aku kan tidak bersalah padamu, mengapa kau main gila dengan aku?” kata Yo Ko.

“Ada ubi ada talas, diberi harus membalas!” jawab Ciu Pek-thong dengan tertawa, “Kau kan tidak rugi, mungkin malah mendapat untung tetapi kau tidak tahu.”

“Ada ubi ada talas apa maksudmu?” tanyanya.

“Kelak kau tentu akan tahu sendiri, sekarang tidak perlu banyak omong,” jawab Ciu Pek-thong dengan tertawa.

Sementara itu ruyung In Kik-si tengah menyambar ke arahnya, segera sebelah tangan meraup untuk menangkapnya. Tapi ruyung In Kik-si yang lemas itu terus membelit untuk menghantam punggung tangannya, sedangkan tubuhnya telah anjlok ke bawah. Dalam pada itu jenggot Hoan it-ong yang panjang juga sudah menyabet tiba. Kini Hoan It-ong juga bergelantungan pada belandar, kedua tangannya memegang belandar, hanya jenggotnya saja yang digunakan menyerang musuh.

“Ehh, kiranya jenggotmu sebanyak ini pula daya gunanya,” ujar Ciu Pek-thong tertawa, ia pun menirukan cara orang dan mengayunkan jenggot sendiri ke arah lawan.

Namun panjang jenggotnya tiada separoh panjang jenggot Hoan It-ong, pula tak pernah berlatih akan kegunaannya sebagai senjata, dengan sendirinya sabetannya tak berguna.

“Srett!” pipinya malah kena tersabet oleh jenggot lawan sehingga terasa panas pedas dan kesakitan. Untung Iwekang-nya amat tinggi, kalau tidak pasti akan kelenger seketika dan terbanting ke bawah.

Walau pun merasakan pil pahit tetapi Lo-wan-tong tidak menjadi marah, sebaliknya malah timbul rasa kagumnya pada Hoan It-ong, katanya:

“Jenggot panjang, sungguh lihay kau, jenggotku tak dapat menandingi jenggotmu, sudahlah, kita tak perlu bertanding lagi!”

Tapi Hoan It-ong tidak mau kompromi, kembali jenggotnya menyabet lagi. Kini Ciu Pek-thong tidak berani lagi melawan dengan jenggot, segera ia melancarkan gaya pukulan ‘Khong-beng-kun’, angin pukulannya yang kencang membuat jenggot Hoan It-ong terpencar dan melayang ke samping, kebetulan saat itu Be Kong-co lagi meloncat ke atas, maka jenggot Hoan It-ong tepat menyabet muka Be Kong-co. Cepat Be Kong-co pejamkan mata, muka terasa gatal pedas, dalam keadaan mata tertutup Be Kong-co memegang sekenanya sehingga jenggot Hoan It-ong kena dicengkeramnya.

Sebenarnya jenggot Hoan It-ong dapat melilit seperti barang hidup, tetapi lantaran tenaga pukulan Ciu Pek-thong tadi, Hoan It-ong tak dapat mengendalikan jenggotnya hingga kena dipegang Be Kong-co. Dalam kagetnya cepat Hoan It-ong membetot sekuatnya, tapi Be Kong-co juga menarik sekencangnya ketika tubuhnya anjlog ke bawah sehingga keduanya terbanting ke tanah. Tubuh Be Kong-co segede kerbau, kulit kasar daging tebal, dia tidak berteriak sakit. Tubuh Hoan It-ong tepat terbanting menindih badan Be Kong-co, dia menjadi marah dan membentak:

“He, apa-apaan kau? Lekas lepaskan jenggotku!”

Sambil duduk di atas belandar Cui Pek-thong mempermainkan lawan-lawan yang terdiri dari tokoh-tokoh dunia pesilatan secara lucu dan nakal.

Bantingan itu tidak dirasakan oleh Be Kong-co, tetapi perutnya terinjak oleh Hoan It-ong, rasanya tentu tidak enak, dia menjadi marah juga dan balas membentak:

“Aku justru tidak mau lepas, kau mau apa?!”

Berbareng itu tangannya terus memutar sehingga jenggot orang melilit beberapa kali pada tangannya. Dengan gemas Hoan It-ong terus memukul ke muka lawan. Be Kong-co cepat miringkan kepalanya, tetapi tanpa terduga pukulan Hoan It-ong itu cuma pura-pura saja, kepalan lain mendadak menyamber tiba.

“Plok!”

Dengan tepat hidung Be Kong-co kena ditonjok sehingga berdarah. Sambil berkaok-kaok kesakitan Be Kong-co juga balas menjotos satu kali.

Bicara tentang ilmu silat sebenarnya Hoan It-ong jauh lebih tinggi, celakanya jenggotnya terlilit tangan lawan sehingga kepalanya tidak leluasa bergerak, karena itu jotosan Be Kong-co juga tepat mengenai tulang pipinya hingga matang biru.

Begitulah yang satu tinggi dan yang lain pendek lantas main baku hantam. Biar pun tubuh Hoan It-ong menindih di atas, namun tetap sukar meloloskan diri dari betotan lawan yang terus menarik kencang jenggotnya.

Melihat suasana kacau balau, berenam tidak berkutik menghadapi seorang anak tua nakal, betapa pun terasa memalukan, maka Kim-lun Hoat-ong tidak dapat tinggal diam Iagi. Segera dia mengeluarkan dua buah gelang, satu perak dan satu lagi tembaga, sekaligus kedua gelang atau roda itu disambitkan dari kanan kiri hingga menerbitkan suara mendenging.

“Barang apa ini?” kata Ciu Pek-thong. Ia tidak tahu betapa lihaynya senjata orang, maka tangannya meraih dan bermaksud menangkapnya.

Betapa pun juga Yo Ko menaruh simpatik kepada Ciu Pek-thong yang polos itu, cepat ia memperingatkan:

“Hei, jangan dipegang!”

Berbareng dia lemparkan tongkat baja yang dipegangnya ke atas. Maka terdengarlah suara gemerantang nyaring, tongkat baja yang panjang tertumbuk hingga terpental ke sudut ruangan sana, sebaliknya arah gelang tembaga yg terbentur tidak berubah dan masih tetap berputar menyambar ke atas belandar.

Baru sekarang Ciu Pek-thong tahu bahwa si Hwesio besar ini tidak boleh diremehkan. Ia pikir kalau dikerubuti jelas dirinya sukar melayani. Segera ia berjumpalitan turun ke bawah dan berseru:

“Maaf, Lo-wan-tong tidak dapat menemani lebih lama, besok saja kita main-main lagi.”

Habis berkata langsung berlari ke pintu ruangan tamu, namun dilihatnya empat orang berseragam hijau telah menghadangnya di situ dengan mementang sebuah jaring ikan. Ciu Pek-thong sudah merasakan lihaynya jaring begitu, cepat dia membelok ke kanan dan bermaksud menerobos keluar melalui jendela, tapi bayangan hijau berkelebat, kembali sebuah jaring merintangi jalannya.

Sesudah melompat kembali ke tengah ruangan, Ciu Pek-thong melihat keempat penjuru sudah terentang oleh jaring ikan hingga jalan lolosnya menjadi buntu. Segera ia melompat lagi ke atas belandar, dengan hantaman dari jauh dia bikin atap rumah berlubang besar, maksudnya hendak menerobos keluar. Tetapi baru saja ia mendongak, dilihatnya di atas juga sudah terpasang sebuah jaring ikan. Terpaksa ia melompat turun ke bawah, katanya sambil tertawa dan menuding si Kokcu:

“He, untuk apa kau menahan diriku di sini? Setiap hari hanya minum air tawar dan makan beras mentah, memangnya Lo-wan-tong dapat kau piara sampai tua?”

Kokcu itu menjawab dengan dingin: “Asal kau tinggalkan kitab dan obat yang kau ambil itu, segera kau boleh pergi dari sini.”

Ciu Pek-thong menjadi heran, katanya: “Untuk apa aku ambil kitab dan obatmu segala? Seumpama mampu berlatih sehingga selihay kau juga aku tidak kepingin.”

Sang Kokcu melangkah perlahan ke tengah ruangan, dia kebut-kebut debu pada bajunya sendiri, lalu berkata:

“Jika sekarang bukan hari bahagiaku, tentu aku akan minta petunjuk beberapa jurus kepadamu, sebaiknya kau tinggalkan barang yang kau ambil itu dan kau boleh pergi dengan bebas.”

Dengan gusar Ciu Pek-thong berteriak: “Jadi kau tetap menuduh aku mencuri barangmu? Huh, memangnya apa barangmu yang berharga sehingga aku perlu mencurinya? Ini, boleh kau periksa!” Sembari bicara dengan cepat ia terus membuka baju sendiri sepotong demi sepotong, dalam sekejap saja sudah telanjang bulat.

Berulang sang Kokcu membentak agar Ciu Pek-thong menghentikan perbuatannya, tetapi anak tua nakal itu tidak ambil pusing, ia pentang dan membaliki baju celananya, memang benar tiada sesuatu benda apa pun juga.

Sudah tentu anak murid perempuan yang hadir di situ menjadi kikuk dan berpaling ke jurusan lain. Kelakuan Ciu Pek-thong ini sungguh sama sekali tidak terduga oleh sang Kokcu, ia pun ragu apakah benar Ciu Pek-thong tidak mencuri barangnya yang hilang, padahal barang-barang itu besar sangkut-pautnya dengan Cui-sian-kok. Selagi sang Kokcu termenung sangsi, Ciu Pek-thong bertepuk tangan dan berseru:

“He, usiamu sudah cukup tua, kenapa kau tidak tahu harga diri, ngomong sesukanya dan berbuat seenak sendiri di depan umum, bahkan melakukan hal yang memalukan begini. Sungguh menggelikan.”

Ucapan itu sebenarnya lebih tepat ditujukan kepada Ciu Pek-thong sendiri, tapi justru dia mendahului omong, keruan Kongsun Kokcu itu dibuat serba salah dan tak bisa membuka suara, Ketika melihat Hoan It-ong dan Be Kong-co masih bergumul di atas lantai, segera ia membentaknya agar lekas berdiri. Padahal bukan Hoan It-ong tidak mau melepaskan diri, soalnya jenggotnya terlilit di tangan Be Kong-co sehingga sukar melepaskan diri. Dalam pada itu sambil mengernyitkan dahinya Kongsun Kokcu menuding Ciu Pek-thong dan mendamperatnya.

“Kukira yang tidak tahu malu adalah kau sendiri!”

“Memangnya aku kenapa?” jawab Ciu Pek-thong, “Aku dilahirkan dengan bugil, sekarang aku telanjang bulat, putih bersih, apanya yang salah? Sebaliknya kau telah tua tapi masih ingin mengawini seorang perawan muda sebagai isteri, he-he, sungguh menggelikan!”

Ucapan ini laksana palu besar yang menghantam dada Kongsun Kokcu, seketika itu pula mukanya yang kuning menjadi bersemu merah dan tak dapat menjawab. Tiba-tiba Ciu Pek-thong berteriak:

“Haya, celaka! Tidak pakai baju, bisa masuk angin nih!” Berbareng ia terus menerjang keluar.

Ketika mendadak melihat bayangan orang berkelebat ke arahnya, empat murid berbaju hijau yang siap di dekat pintu cepat bergerak dan membentang jaring, sekaligus jaring menutup ke atas kepala orang. Begitu terasa sasarannya berontak di dalam jala, maka keempat orang itu cepat mengikat kencang empat ujung jaring lalu diseret ke depan sang Kokcu.

Jala ikan itu dibuat dari benang emas yang halus dan Iemas, sekali pun golok dan pedang pusaka sukar membobolnya, apa lagi gerakan keempat orang itu sangat cepat dan lihay, biar tokoh maha hebat juga sukar menghadapinya.

Begitulah keempat orang itu amat senang karena berhasil menawan sasarannya sehingga mereka pun tidak memperhatikan lagi siapa sesungguhnya yang terjaring, Tapi ketika mendadak nampak air muka sang Kokcu bersungut dan menatap tajam jaring mereka, cepat mereka pun menunduk dan mereka menjadi kaget hingga berkeringat dingin. Cepat pula mereka membuka jaring dan membebaskan dua orang yang sedang bergumul, siapa lagi mereka kalau bukan Hoan It-ong dan Be Kong-co.

Kiranya tiada seorang pun yang menduga bahwa dalam keadaan telanjang bulat Ciu Pek-thong berani menerjang keluar semendadak itu. Karena gerakannya secepat kilat, sekali sambar ia tarik kedua orang yang sedang bergumul terus dilemparkan ke dalam jaring. Selagi empat murid Cui-sian-kok sibuk mengencangkan ikatan jaring, secepat angin Ciu Pek-thong menyelinap keluar. Gerakan aneh dan maha cepat ini sungguh luar biasa dan maha lihay.

Gara-gara perbuatan Lo-wan-tong Ciu Pek-thong, bukan hanya sang Kokcu saja yang kebobolan, bahkan Kim-lun Hoat-ong dan kawannya juga merasa malu, masa gabungan tokoh kelas wahid seperti mereka ini tak mampu menangkap seorang tua yang gila-gilaan? Sungguh tidak becus!

Hanya Yo Ko saja yang kagum sekali terhadap kepandaian Ciu Pek-thong. Tadi ia sudah bertekad akan menolong anak tua nakal itu apa bila sampai tertawan, tetapi kini Ciu Pek-thong sendiri dapat meloloskan diri, diam-diam Yo Ko bersyukur dan lega.

Tujuan Kim-lun Hoat-ong sebenarnya hendak mencari tahu seluk-beluk sang Kokcu, tapi setelah ‘dikacau’ oleh Ciu Pek-thong, ia merasa rikuh untuk tinggal lebih lama lagi di situ, Setelah berunding dengan Siau-siang-cu dan In Kik-si, dia lalu bangkit dan mohon diri.

Semula Kokcu mengira keenam orang ini adalah sekomplotan Ciu Pek-thong, tetapi kemudian melihat Siau-siang-cu, Be Kong-co dan lainnya menempur Ciu Pek-thong dengan sengit dan menggunakan kepandaian khas masing-masing yang lihay, tampaknya memang sengaja membantu pihak sendiri, maka dia lantas memberi hormat dan berkata:

“Ada sesuatu permintaanku yang tidak pantas, entah kalian berenam sudi menerimanya tidak?”

“Asalkan kami sanggup, tentu akan kami terima,” jawab Kim-lun Hoat-ong.

“Begini,” kata sang Kokcu, “Lewat lohor nanti upacara pernikahanku yang kedua kalinya, maka ingin kuundang kalian ikut hadir memberi doa restu. Di lembah pegunungan ini selama beratus tahun jarang didatangi orang luar, dan kebetulan sekarang kalian hadir sekaligus, sungguh kurasakan sangat beruntung.”

“Ada arak tidak nanti?” seru Be Kong-co.

Belum lagi sang Kokcu menjawab, mendadak ada bayangan orang berkelebat. Masuklah seorang perempuan berbaju putih sambil bertanya:

“Apakah orang yang mengacau sudah pergi?”







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar