Kamis, 19 Agustus 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 085

KAKEK CEBOL BERJENGGOT PANJANG

Yo Ko berusaha menghiburnya: “Setelah menikah, ayahmu tentu gembira dan pasti akan perlakukan kau dengan lebih baik.”

Kongsun Lik-oh menggeleng, katanya: “Aku lebih suka ia lebih bengis padaku dari pada ia mengambil isteri baru lagi.”

Karena sejak kecil Yo Ko telah ditinggalkan ayah-bundanya, maka perasaan kekeluargaan demikian kurang dipahami olehnya. Ia hanya ingin membikin senang hati si nona, maka ia berkata:

“Ibumu yang baru tentu tiada setengahnya dari pada kecantikanmu.”

“Kau salah,” Lik-oh langsung menyanggah. “Justru ibuku yang baru itu seorang wanita cantik sejati, ilmu silatnya juga bagus. Kemarin ketika kami berhasil menangkap pulang Ciu Pek-thong, kalau saja ayah dan ibu baru tidak lagi bertanding silat dan tidak sempat memeriksanya, tentu si anak tua nakal tak bakalan bisa kabur.”

“Ilmu silat ayahmu dan ibumu yang baru itu siapa lebih tinggi?” tanya Yo Ko.

“Sudah tentu ayahku lebih tinggi, kalau tidak, masakah ibu baru mau menjadi isterinya?” jawab Lik-oh, “Besok lusa adalah hari perkawinan mereka, besar kemungkinan ayah akan mengundang kalian tinggal dua-tiga hari lagi di sini untuk menghadiri pesta nikahnya. Aih, aku sendiri lebih baik pergi sejauhnya saja.”

Setelah berbicara sekian lama, sementara itu sang surya sudah makin tinggi di ufuk timur, Lik-oh tersadar lantas berkata:

“Lekas kau kembali ke sana, jangan sampai kita dipergoki para suheng-ku kemudian dilaporkan kepada ayah.”

Serentak timbul rasa kasihan kepada keadaan si nona. Yo Ko genggam sebelah tangan nona itu dan tangan lain menepuk perlahan bahunya sebagai tanda simpatik, habis itu ia terus melangkah kembali ke rumah batu itu. Belum lagi dia memasuki pintu rumah terdengar suara teriakan Be Kong-co yang sedang mengomel karena makanan tidak enak dan merasa disiksa.

Terdengar In Kik-si berkata: “Be-heng, kalau kau membawa sesuatu barang yang berharga, kukira kau harus menyimpannya dengan baik, tampaknya Kokcu di sini tidak bermaksud baik.”

Be Kong-co tidak tahu In Kik-si sengaja menggodanya. Ia mengira apa yang dikatakan itu betul adanya, maka berulang mengiakan. Waktu Yo Ko masuk, tampak di atas meja batu tersedia beberapa piring kelopak bunga cinta, sudah tentu tiada seorang pun yang doyan makanan istimewa itu dan karenanya semua tampak bersungut.

Pada saat itu datanglah seorang berbaju hijau dan memberi-tahu bahwa sang Kokcu mengundang kehadiran Yo Ko berenam. Kim-lun Hoat-ong, Nimo Singh dan yang lainnya adalah tokoh terkemuka di dunia persilatan, di mana saja mereka selalu disambut sendiri oleh tuan rumah, bahkan pangeran yang berkuasa seperti Kubilai juga amat menghormati mereka, siapa duga sampai di lembah sunyi ini mereka justru diperlakukan dengan dingin oleh tuan rumahnya, tentu saja mereka sangat mendongkol.

Namun mereka pun penuhi undangan itu, hanya dalam hati mereka semua membatin: “Sebentar bila sudah bertemu biarlah Kokcu keparat itu disuruh merasakan kelihayanku.”

Begitulah mereka berenam terus ikut orang berbaju hijau itu menuju ke belakang gunung. Mendadak di depan sana terbentang hutan bambu yang luas, padahal biasanya di daerah utara jarang ada pohon bambu, apa lagi hutan bambu selebar ini. Mereka terus menyusuri hutan bambu, terendus bau harum bunga yang menyegarkan semangat. Setelah menembus hutan bambu terlihatlah alam luas membentang, sejauh mata memandang penuh Cui-sian-hoa (bunga dewi air).

Ternyata tanah di situ adalah empang yang dangkal, kedalaman air hanya sebatas betis saja dan penuh ditumbuhi bunga yang harum itu. Padahal Cui-sian-hoa itu adalah tumbuhan khas daerah selatan, entah kenapa bisa muncul di atas gunung daerah utara ini? Kim-lun Hoat-ong pikir tentu di puncak gunung ini adalah sebangsa sumber air panas, karena itu tanahnya menjadi subur dan hawa hangat, makanya bunga daerah selatan dapat tumbuh dan mekar dengan suburnya.

Pada permukaan empang yang sangat luas itu kelihatan ada tonggak kayu yang berjajar dalam jarak dua-tiga meter, Orang berbaju hijau yang mengantar mereka mendahului melompat ke atas tonggak kayu pertama, selanjutnya ke tonggak kedua dan ketiga dan begitu selanjutnya seperti di tanah datar saja.

Yo Ko berenam segera menirukan cara melintasi empang itu seperti orang berbaju hijau, hanya Be Kong-co saja karena tubuhnya segede kerbau, Ginkang-nya juga kurang, meski langkahnya lebar tapi sukar mencapai dua-tiga meter dengan sekali melangkah, akibatnya beberapa tonggak menjadi ambruk terinjak olehnya. Akhirnya ia menjadi tak sabar, maka diseberanginya empang itu dengan berjalan di air.

Sesudah melintasi empang bunga dewi air, tampaklah di tempat yang rindang di kejauhan sana sebuah rumah batu yang besar dan indah. Setelah mereka mendekat, kelihatan dua kacung berbaju hijau memegang kebut sedang berdiri di depan pintu. Seorang di antaranya segera masuk melapor, sedangkan kacung yang Iain lantas membukakan pintu menyambut tamu.

Selagi Yo Ko ragu-ragu apakah tuan rumahnya juga akan muncul menyambut kedatangan mereka atau tidak, sekonyong-konyong bayangan hijau berkelebat di depan mata, tahu-tahu seorang kakek berjenggot panjang dan berjubah hijau sudah berdiri di depan mereka.

Perawakan kakek ini sangat pendek, tidak lebih dari satu meter, mukanya jelek lagi aneh, mulutnya menjengkit, hidungnya pesek, daun telinga lebar seperti kuping gajah, memakai jubah hijau dari kain kasar, ikat pinggangnya adalah tali rumput warna hijau pula. Sungguh istimewa wajah dan dandanannya!

Yo Ko merasa heran sebab puterinya begitu cantik, kenapa sang Kokcu begini aneh dan jelek? Kakek cabol itu memberi hormat kepada keenam tamunya, lalu berkata:

“Selamat datang, silakan duduk di dalam dan sekedar minum teh!”

Nimo Singh berpikir: “Aku sendiri pendek, tapi Kokcu di sini ternyata juga cebol. Sebentar ingin kutahu apakah cebol macammu lebih hebat atau cebol macamku lebih lihay.”

Segera ia mendahului ke depan, kemudian mengulurkan tangan sambil berkata: “Selamat bertemu!”

Kakek jenggot panjang itu juga menyodorkan tangannya. Begitu berjabat tangan, seketika Nimo Singh mengerahkan tenaganya. Melihat kedua orang bermaksud menguji tenaga, orang lain cepat menyingkir ke samping. Mereka tahu pertandingan dua tokoh lihay tentu tidak boleh diremehkan akibatnya.



Semula Nimo Singh hanya mengerahkan tiga bagian tenaganya, terasa pihak lawan tidak memberi reaksi apa pun dan juga tidak balas menggempur. Ia rada heran, maka segera ia tambahi lagi tiga bagian tenaga. Terasa yang tergenggam di tangan itu seperti sepotong kayu yang keras. Pada waktu Nimo Singh menambahi lagi tiga bagian tenaganya, sekilas air muka kakek berjenggot panjang itu bersemu hijau, lalu tenang kembali dan tangannya tetap kaku dan keras.

Nimo Singh amat heran, sisa tenaganya yang masih sebagian itu tidak berani dikeluarkan lagi. Ia kuatir kalau mendadak pihak lawan melancarkan serangan balasan dan diri sendiri sudah tiada tenaga cadangan untuk menghadapi, tentu diri sendiri akan celaka. BegituIah ia lantas tertawa, lalu me!epaskan tangan lawan.

Pertarungan halus ini ternyata tidak menunjukkan pihak mana yang lebih unggul, entah si kakek berjenggot sengaja mengalah atau memang cuma begitu saja kekuatannya. Nimo Singh merasa sia-sia belaka perasannya tadi, betapa hebat kepandaian lawan ternyata sedikit pun sukar dijajaki.

Kim-lun Hoat-ong berjalan di belakang Nimo Singh, dia sangat cerdik, dia pikir kalau Nimo Singh tidak dapat mengukur kepandaian lawan, maka dirinya juga tidak perlu mengujinya Iagi. Dengan tenang dia terus masuk saja ke dalam rumah disusul dengan Siau-siang-cu dan In Kik-si.

Menyusul adalah Be Kong-co. Dilihatnya jenggot si kakek yang panjang itu terjulai sampai di atas tanah, memang dia sedang dongkol karena sejak pagi belum makan apa pun, karena rasa lapar ditambah rasa gusar, segera dia sengaja mencari gara-gara. Waktu melangkah masuk pintu rumah, dia berlagak tidak tahu, sebelah kakinya terus menginjak ke atas jenggot si kakek sehingga ujung jenggot terinjak.

Tapi kakek itu tidak berbuat apa pun, dia cuma berkata: “Hati-hati, tuan.”

Kaki Be Kong-co yang lain sengaja menginjak pula di atas jenggot orang, lalu pura-pura tidak tahu dan bertanya:

“Ada apa?”

Si kakek menggeleng perlahan, kontan Be Kong-co tergebat sehingga jatuh terjengkang. Jatuhnya sesosok tubuh sebesar itu tentu saja menimbulkan suara gedebuk yang keras.

Yo Ko berjalan paling belakang, cepat ia memburu maju, sebelah tangannya menyanggah pantat Be Kong-co lalu disodok ke depan, maka tubuh yang besar itu seketika melayang kesana, dengan enteng dapatlah Be Kong-co berdiri tegak kembali sambil meraba bokong yang kesakitan itu dengan meIongo.

Si kakek berjenggot anggap tak pernah terjadi apa pun, dia menyilakan keenam tamunya mengambil tempat duduk yang telah tersedia, lalu berseru nyaring:

“Para tamu sudah tiba, harap Kokcu suka menemui.”

Yo Ko dan lainnya sama terkesiap, sekarang barulah mereka tahu bahwa si kakek cebol berjenggot panjang ini kiranya bukan sang Kokcu. Dalam pada itu dari ruangan belakang telah muncul belasan orang lelaki perempuan yang berseragam baju hijau dan berdiri berjajar di sebelah kiri. Setelah itu dari balik pintu angin keluar seorang lelaki, setelah memberi salam kepada tetamunya, lalu ia pun duduk.

Orang yang terakhir ini adalah sang Kokcu, usianya sekitar 45-46 tahun, wajahnya bagus, dapatlah dibayangkan 20 tahun yang lalu tentu dia ini seorang pemuda yang cakap, cuma sekarang air mukanya rada pucat kuning dan kurus sehingga sukar dipercaya bahwa dia memiliki ilmu silat maha tinggi. Sesudah Kokcu itu duduk, beberapa kacung berbaju hijau menyuguhkan teh. Di ruangan tamu ini segala perabotan dan pakaian seluruhnya berwarna Hijau, hanya jubah yang dipakai sang Kokcu berwarna biru manikam sehingga tampaknya sangat menyolok di tengah-tengah yang segalanya serba hijau. Sejenak kemudian sang Kokcu mengebaskan lengan bajunya yang panjang, lalu angkat mangkok teh dan berseru.

“Silakan minum, tuan-tuan yang terhormat!”

Melihat air teh dalam mangkok yang disuguhkan padanya sangat cemplang, keruan hati Be Kong-co bertambah dongkol. Ia terus berteriak:

“He, tuan rumah, daging kau tidak doyan, minum teh juga setawar ini, pantas kalau kau selalu kelihatan sakit-sakitan.”

Sang Kokcu tidak memperlihatkan reaksi apa pun, sehabis minum tehnya, dia menjawab:

“Selama beberapa ratus tahun hidup di lembah ini kami makan minum cara begini.”

“Coba jelaskan, apa faedahnya hidup cara begini? Apakah dapat menjadikan kau panjang umur?” tanya Be Kong-co.

“Yang pasti pantangan makan barang berjiwa dan hidup sederhana begini sudah dimulai semenjak kakek moyang kami hijrah menetap di sini pada jaman Tong-hian-cong. Kami sebagai anak cucunya tiada yang berani melanggar peraturan,” jawab sang Kokcu.

“Oh, jadi keluarga kalian sudah menetap di sini semenjak dinasti Tong, sungguh lama dan kerasan sekali,” kata Kim-lun Hoat-ong.

Tiba-tiba Siau-siang-cu ikut bertanya dengan suaranya yang banci: “Eh, jika begitu kakek moyangmu itu tentu pernah melihat Yo-kuihui (seorang selir kaisar Tong-hian-cong yang sangat cantik)?”

Suara Siau-siang-cu ini kedengaran sangat aneh. Sesungguhnya suaranya sudah cukup dikenal oleh Nimo Singh, In Kik-si dan lainnya, karenanya mereka menjadi heran. Mereka memandang wajah Siau-siang-cu, serentak semuanya terperanjat, kiranya wajah Siau-siang-cu sudah berubah sama sekali, mukanya yang memang kaku pucat sebagai mayat kini bertambah aneh luar biasa.

Diam-diam Nimo Singh dan lainnya menjadi jeri. Mereka mengira ilmu yang dilatih Siau-siang-cu begini lihay, apa bila dikeluarkan bahkan air muka pun bisa berubah sama sekali. Sekarang Siau-siang-cu mulai mengerahkan ilmunya, tentu segera dia akan mulai melabrak sang Kokcu. Karena pikiran demikian, Nimo Singh dan lainnya juga siap siaga.

Demikianlah terdengar sang Kokcu menjawab: “Leluhurku memang pejabat tinggi dan pemindahan leluhur kami ke sini ketika itu memang untuk menghindari keganasan menteri dorna Yo Kok-tiong yang berkuasa.”

Kembali Siau-siang-cu ngakak dan berkata: “Ha-ha-ha, kalau begitu leluhurmu pasti pernah minum air cuci kaki Yo-kuihui.”

Ucapan ini sungguh membikin kaget semua orang, jelas kata-kata demikian berarti suatu tantangan terhadap sang Kokcu dan pertarungan pasti segera akan terjadi. Diam-diam Kim-lun Hoat-ong dan lainnya merasa heran, padahal mereka kenal Siau-siang-cu biasanya sangat licik dan licin, segala persoalan lebih suka ditimpakan kepada orang lain, mengapa sekarang dia mau tampil ke muka sendiri?

Kokcu itu ternyata tidak menggubris ucapan Siau-siang-ciu, dia cuma memberi isyarat kepada si kakek jenggot panjang yang berdiri di belakangnya.

“Hmm,” kakek berjenggot itu berseru. “Kokcu menghormati kalian sebagai tamu, sebab itu kalian diperlakukan dengan baik, tapi mengapa kau bicara ngawur?”

Siau-siang-cu terkekeh lagi dan berkata dengan nada suara yang dibuat-buat: “He-he-he, leluhurmu itu pasti pernah minum air cuci kaki Yo-kui-hui, aku berani bertaruh dengan potong kepalaku ini.”

Be Kong-cu merasa terheran-heran, ia langsung bertanya: “Hai, Siau-heng, dari mana kau tahu begitu pasti? Apakah waktu itu kau juga minum air cuci kaki bersama dia?”

Kembali Siau-siang-cu tertawa, tapi sekali ini nada suaranya berubah pula, katanya: “Jika bukan lantaran muak terlampau banyak minum air cuci kaki, kenapa orang hidup tidak makan minum sebagaimana lazimnya?”

Kim-lun Hoat-ong dan lainnya mengerutkan kening dan merasa ucapan Siau-siang-cu ini agak keterlaluan. Makan-minum adalah kebiasaan masing-masing orang, mana dapat dipersamakan dan dijadikan bahan olok-olok?

Tampaknya si kakek berjenggot panjang tidak tahan lagi, ia melangkah ke tengah ruangan dan berseru:

“Siau-siansing, setahuku kami tidak berbuat kesalahan apa pun padamu, jika engkau benar-benar ingin coba-coba, marilah maju sini!”

“Boleh!” kata Siau-siang-cu, mendadak orang bersama kursinya melompati meja di dan tahu-tahu sudah duduk di tengah ruangan.

“Nah, kakek jenggot panjang, siapa namamu? Kau kenal namaku, tapi aku tidak tahu namamu, kan tidak adil?”

Ucapan ini seperti tepat tapi juga lucu, keruan kakek berjenggot bertambah marah, tapi diam-diam ia pun waspada setelah menyaksikan lompatan orang berikut kursinya dengan gaya yang gesit dan lihay.

Terdengar sang Kokcu berkata: “Boleh kau beri-tahukan dia, tidak soal.”

“Baik,” jawab si kakek berjenggot panjang, “Nah, dengarkan, aku she Hoan bernama It-hong. sekarang silakan berdiri dan marilah kita mulai!”

“Kau menggunakan senjata apa? Coba perlihatkan padaku dalu!” kata Siau-siangcu.

“Kau ingin bertanding dengan senjata? Boleh juga!” ucap Hoan It-hong. Tiba-tiba sebelah kakinya memukul lantai sambil berseru:

“Ambilkan sini!”

Serentak dua kacung berbaju hijau tadi berlari ke ruangan dalam, keluarnya kedua kacung itu telah menggotong sebatang tongkat yang pangkalnya berukirkan kepala naga, panjang tongkat sekitar dua meter.

Tentu saja Yo Ko dan lainnya terperanjat sekali. Mereka tidak habis mengerti mengapa si kakek cebol itu menggunakan senjata yang panjangnya hampir dua kali dari pada tinggi badannya, cara bagaimana akan dapat memainkannya? Ternyata Siau-siang-cu tak ambil pusing dengan senjata orang. Dari dalam bajunya yang longgar ia mengeluarkan sebuah gunting raksasa kemudian berkata:

“lni senjataku, apakah kau tahu kegunaannya?”

Kalau semua orang paling-paling cuma heran saja atas gunting besar itu, tidak demikian dengan Yo Ko. Ia terperanjat sekali, tanpa meraba ranselnya ia pun yakin bahwa gunting besar miliknya sudah hilang. Gunting raksasa itu khusus dipesan untuk memotong ujung kebut Li Bok-chiu, sekarang ternyata sudah dicuri Siau-siang-cu di luar tahunya!

Sementara itu Hoan It-hong telah memegang tongkat panjang yang digotong keluar kedua kacung tadi. Dia pegang bagian tengah tongkat, kemudian dijungkirkan, pangkal tongkat dipukulkan perlahan pada lantai. Karena ruangan tamu rumah batu itu sangat luas, dengan sendirinya ketokan tongkat baja menimbulkan suara gemerantang yang nyaring mengejutkan.

Dengan tangan kanan Siau-siang-cu memegangi guntingnya, sesudah jarinya dikerjakan sekuatnya barulah gunting itu bisa terbuka dan terkatup, lalu ia berseru:

“He, orang cebol berjenggot, tentu kau tidak kenal nama guntingku ini, apakah kau perlu kuberi-tahu dulu?”

“Huh, senjata rombengan itu entah kau temukan dari mana, masa punya nama yang baik?” jengek si kakek alias Hoan It-ong dengan mendongkol.

“Benar, namanya memang tak enak didengar,” ujar Siau-siang-cu dengan bergelak tawa. “Gunting ini disebut Kau-mo-cian (gunting bulu anjing).”

Yo Ko merasa kurang senang, pikirnya: “Brengsek! Masa guntingku kau beri nama begitu?”

Terdengar Siau-siang-cu berkata lagi: “Karena kutahu di sini ada makhluk aneh berjenggot panjang, maka sengaja kupesan gunting bulu anjing ini untuk memotong jenggotmu.”

Berbareng Nimo Singh dan Be Kong-co bergelak tertawa. In Kik-si dan Yo Ko juga turut tertawa walau pun tidak keras, hanya Kim-lun Hoat-ong dan sang Kokcu saja yang tetap duduk tenang berhadapan seperti tidak mendengar apa yang terjadi.

Segera Hoan It-ong mengangkat tongkatnya dan diputar sedikit, serentak berjangkit angin keras, lalu ia berkata:

“Memang jenggotku ini sudah terlalu panjang, jika kau ingin menjadi tukang cukur, wah, kebetulan bagiku, Nah silakan mulai!”

Siau-siang-cu laksana terkesima memandang dinding ruangan itu dan sama sekali tidak mendengarkan ucapan Hoan It-ong, tapi begitu orang selesai bicara, tiba-tiba guntingnya menyambit ke depan secepat kilat.

“Crengg!” kontan ia menggunting jenggot lawan.

Sama sekali Hoan It-ong tidak menyangka dalam keadaan masih duduk mendadak Siau-siang-cu dapat melancarkan serangan. Untuk menghindar jelas tidak keburu lagi, terpaksa dia gunakan gerakan istimewa, sekuatnya tangan menahan batang tongkatnya, tubuhnya terus meloncat ke atas.

Dalam sekejap kedua orang telah sama-sama memperlihatkan gerak kilat yang sangat mengejutkan, namun Hoan It-ong tetap rugi. Dalam keadaan diserang lebih dahulu tanpa terduga, meski gunting itu dapat dihindarkan, tak urung ujung beberapa utas jenggotnya masih tergunting putus. Siau-siang-cu tampak senang sekali, jenggot yang putus itu disambarnya terus ditiup. Tiga-empat utas jenggot terbang ke arah mangkok teh sendiri yang terletak di meja, menyusul terdengarlah suara nyaring, mangkok teh itu jatuh dan pecah berantakan.

Yo Ko dan lainnya cukup paham bahwa pecahnya mangkok itu adalah disebabkan hawa yang ditiupkan Siau-siang-cu. Tetapi Be Kong-co tidak tahu hal ikhwalnya, dia mengira mangkok teh itu jatuh lantaran tersodok oleh sambaran bulu jenggot yang ditiup. Maka segera ia berteriak:

“Wah, hebat benar jenggotmu, Siau-siang-cu!”

Sambil tertawa Siau-siang-cu mengacipkan guntingnya beberapa kali hingga menimbulkan suara “creng-creng”. Katanya:

“Hayo maju sini, jenggot cebol!”

Semua orang kini dapat melihat lebih jelas. Pada saat Siau-siang-cu tertawa ternyata kulit mukanya sama sekali tidak bergerak, keruan semua orang bertambah terkejut dan heran. Bahwa orang yang memiliki Iwekang maha tinggi memang sanggup tidak memperlihatkan sesuatu tanda gusar atau gembira, namun air muka Siau-siang-cu yang kaku dan seram meski pun dalam keadaan gembira, hal ini sungguh luar biasa dan belum pernah mereka alami.

Berulang kali dipermainkan, Hoan It-ong semakin murka, ia memberi hormat kepada sang Kokcu dan berkata:

“Suhu, terpaksa Tecu tak dapat menghormati tamu secara layak.”

Yo Ko heran mendengar kakek cebol berjenggot itu menyebut sang Kokcu sebagai Suhu, padahal umurnya jauh lebih tua, masa malah memanggilnya sebagai guru? Terlihat sang Kokcu memanggut sekali sambil melambaikan tangannya. Segera Hoan It-ong mengayun tongkatnya, “wuttt”, kontan kursi yang diduduki Siau-siang-cu dihantam. Meski tubuhnya pendek, tapi tenaganya luar biasa hebat, tongkat baja yang bobotnya ratusan kati, bila sampai kursi itu kena dihantam, tentu akan hancur berkeping.

Meski Yo Ko dan lainnya datang bersama Siang-siang-cu, tapi hakikatnya mereka pun tak tahu persis hingga di mana kepandaian sejati kawannya, oleh karena itu mereka lantas mengikuti pertarungan itu dengan penuh perhatian.

Melihat tongkat si kakek sudah dekat dengan kaki kursi, mendadak tangan kiri Siau-siang-cu menjulur ke bawah, ternyata tongkat itu hendak dipegangnya. Malah sekaligus gunting di tangan lain menyambar ke depan untuk menggunting jenggot lawan yang panjang. Tidak kepalang marah Hoan It-ong karena merasa orang terlalu meremehkan dirinya. Dia cepat miringkan kepala hingga jenggotnya yang panjang itu melayang ke samping dan tongkatnya tetap dipukulkan ke tangan Siau-siang-cu yang ingin menangkap senjatanya. Serangan ini dengan tepat mengenai telapak tangan, serentak semua orang bersuara kaget dan bangkit.

Hoan It-ong menyangka tangan orang pasti akan patah, tidak tahunya ketika menyentak sasarannya, terasa tongkat seperti menghantam air, lunak dan enteng. Ia sadar keadaan bisa runyam, cepat ia menarik kembali tongkatnya, akan tetapi sudah terlambat, tongkat sudah tergenggam kencang oleh tangan Siau-siang-cu. Segera Hoan It-ong merasakan lawan sedang membetot, segera ia dorong sekalian tongkatnya ke depan. Tongkat itu demikian panjang, maka dorongannya sangat kuat, tampaknya Siau-siang-cu pasti akan terdesak meninggalkan kursinya jika tak mau roboh terjungkal.

Tak terduga, sedikit Siau-siang-cu kencangkan pantatnya, serentak orang berikut kursinya meloncat lagi ke samping, seketika dorongan tongkat Hoan It-ong tak mencapai sasaran, sedangkan pegangan Siau-siang-cu pada tongkatnya juga lantas dilepaskan.

Cepat Hoan It-ong memutar tongkatnya yang panjang itu dan kembali menyabet ke arah kepala lawan. Agaknya Siau-siang-cu sengaja hendak pamerkan kepandaian, kembali orang bersama kursinya meloncat, melayang lewat di atas sambaran tongkat musuh.

Melihat gerakan aneh lagi gesit itu, meski duduk di atas kursi tapi tiada bedanya seperti orang berdiri saja, tanpa terasa semua orang bersorak memuji. Hoan It-ong tak berani ceroboh lagi menghadapi lawan lihay ini. Ia putar tongkatnya sedemikian cepat, ia pikir untuk menghantam tubuh orang jelas sukar, tetapi kalau dapat menghancurkan kursinya rasanya lebih baik. Karena itu tongkatnya terus mengincar menyabet kursi lawan.

Siapa tahu ilmu silat Siau-siang-cu sungguh maha sakti, gunting di tangan kanan terus mengincar jenggot lawan, sedangkan tangan kirinya selalu berusaha merampas tongkat baja. Kedua orang terus berkisar kian kemari di ruangan tamu yang luas itu, dalam sekejap saja berpuluh jurus berlalu, tampaknya kedua orang sama kuatnya dan belum ada yang lebih unggul, tetapi Siau-siang-cu tetap duduk di kursinya, serangan Hoat It-ong ternyata disepelekan.

Diam-diam Kim-lun Hoat-ong dan lainnya terkejut, mereka tidak menyangka Siau-siang-cu yang lebih mirip mayat hidup itu ternyata memiliki kepandaian sehebat ini. Setelah belasan jurus lagi, tongkat Hoan It-ong masih saja terus mengincar dan menyabet kursi lawan, terdengar suara kaki kursi yang mengetok lantai riuh ramai tiada hentinya dan makin lama makin cepat. Mendadak sang Kokcu berseru kepada Hoan It-ong:

“Jangan hantam kursi, kau bukan tandingannya!”

Hoan It-ong melengak, tetapi ia segera menyadari peringatan sang guru, ia pikir: “Ya, jika dia duduk di atas kursi barulah aku sanggup menandingi dia dengan sama kuat, apa bila kursinya hancur lantas dia berdiri di tanah, mungkin dalam beberapa jurus saja jenggotku sudah terpotong.”

Cepat ia ganti permainan dan tongkatnya diputar semakin cepat sehingga tubuhnya yang pendek seakan-akan terbungkus oleh sinar tongkat, sedangkan di luar gulungan sinar perak sesosok bayangan orang yang mirip mayat hidup berlompatan, pemandangan demikian menjadi sangat aneh dan menarik.

Rupanya sang Kokcu tahu Siau-siang-cu sengaja hendak mempermainkan lawannya, jika berlangsung lebih lama lagi, sebentar kemudian Hoan It-ong pasti akan kecundang. Maka segera dia bangkit dan melangkah maju, katanya:

“lt-ong, kau bukan tandingan orang kosen ini, mundur saja kau!”

Karena perintah sang guru, Hoan It-ong mengiyakan dengan suara keras, tongkatnya ditarik dan segera dia hendak mengundurkan diri. Tak terduga Siau-siang-cu berteriak:

“Tidak boleh! Tidak boleh!” Mendadak tubuhnya melayang maju meninggalkan kursinya terus menubruk ke atas batang tongkat.

“Krakk...!”

Terdengarlah suara yang keras, kursi terhantam hancur oleh ujung tongkat Hoan It-hong, namun berbareng itu batang tongkat juga kena ditahan ke bawah oleh tangan kiri Siau-siang-cu lalu diinjak dengan kaki kiri, menyusul gunting raksasa di tangan kanan terbuka, jenggot Hoan liong yang panjang legam sudah terjepit pada mata guntingnya, sekali gunting dikacipkan, tanpa ampun jenggot yang indah menarik itu pasti akan putus.

Tak tahunya jenggot panjang yang dipelihara Hoan It-ong itu sebenarnya juga semacam senjata yang maha lihay, daya gunanya serupa dengan ruyung, cambuk dan sebagainya, Terlihat sedikit Hoan It-ong menggeleng kepalanya, serentak jenggotnya menguntir dan terlepas dari mata gunting, malahan sempat pula balas melilit gunting lawan, menyusul kepalanya mendongak ke belakang, dengan tenaga maha kuat lantas membetot untuk rebut gunting musuh.

“Haya, cebol tua, jenggotmu sungguh lihay, kagum sekali aku!” seru Siau-siang-cu sambil bertahan sekuatnya.

Begitulah jadinya jenggot seorang membelit pada gunting dengan kencangnya, sebaliknya seorang lain menahan batang tongkat dengan sebelah kaki dan tangan, maka seketika keduanya sukar melepaskan diri.

“Ha-ha-ha! Menarik! Menarik!” seru Siau-siang-cu dengan tertawa gembira.

Pada saat itu pula sekonyong-konyong berkelebat sesosok bayangan orang, cepat luar biasa seseorang telah menerjang masuk, sekaligus dua tangannya menghantam punggung Siau-siang-cu.

“Siapa ini?!” bentak sang Kokcu.

Sergapan yang cepat dan ganas itu tampaknya pasti akan kena pada sasaran. Namun kembali Siau-siang-cu menunjukkan kepandaiannya yang luar biasa, tangan kirinya cepat membalik ke belakang, dengan mudah saja dia sudah dapat mematahkan tenaga pukulan musuh.

“Keparat, jahanam!” teriak penyergap itu dengan marah “Biar aku adu jiwa dengan kau!”

Waktu Yo Ko dan lainnya mengawasi penyergap, mereka menjadi terkejut dan heran. “He, Siau-siang-cu!” seru mereka berbareng.

Kiranya penyergap ini juga Siau-siang-cu yang sudah mereka kenal. Mengapa dia bisa berubah menjadi dua dan sebab apa dia menyergap pada dirinya sendiri yang kembar? Seketika mereka menjadi bingung.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar