Rabu, 18 Agustus 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 084

LEMBAH PUTUS CINTA

Tak terduga Yo Ko tetap melangkah ke sana. Dia berpaling dengan tertawa dan berkata:

“Biarlah aku duduk sebentar di dalam, kalau tidak tahan aku akan keluar.”

Sesudah berada di dalam rumah, dia duduk di sebelah Kim-lun Hoat-ong. Keempat lelaki-perempuan berseragam hijau itu pun ikut masuk kemudian duduk di sisi Iain sebagai tuan rumah. Seorang di antaranya lantas bertanya:

“Maaf, sekiranya kami boleh mengetahui nama tuan-tuan yang terhormat?”

ln Kik-si paling lancar main mulut, maka sambil tersenyum ia memperkenalkan lima orang kawannya, dan akhirnya dia berkata:

“Cayhe sendiri bernama In Kik-si, berasal dari Persi, kepandaianku selain makan nasi adalah cari duit, berbeda dengan beberapa kawanku ini, mereka memiliki ilmu sakti yang sukar kuterangkan.”

“Tempat kami ini bernama Cui-sian-kok, biasanya jarang dikunjungi orang luar,” kata orang tadi. “Maka kami merasa beruntung dapat kunjungan tuan-tuan sekarang. Entah tuan-tuan ada keperluan apa, sudilah kiranya memberi-tahu?”

“Kami lihat kalian meringkus Lo-wan-tong Ciu Pek-thong dan dibawa ke sini, karena rasa ingin tahu maka kami ikut ke sini. Tanpa terduga kami dapat menyaksikan peristiwa aneh di sini,” jawab In Kik-si.

Selama tanya jawab kedua orang itu, suhu panas di dalam rumah bertambah hebat. Nimo Singh dan Siau-siang-cu sudah duduk bersila begitu mereka masuk ke dalam rumah, satu patah kata pun mereka tidak buka suara, soalnya lwekang yang mereka latih di kala mengerahkan tenaga sekali-kali tidak boleh membuka mulut.

Sementara itu, akhirnya napas In Kik-si sendiri pun terengah-engah, suara pun terputus-putus. Rupanya Iwekang empat orang baju hijau itu berbeda dengan Iwekang orang lain, juga sudah biasa melawan hawa panas, meski pun kepandaian mereka terbatas, tetapi masih dapat bertahan. Maka orang pertama tadi berkata lagi:

“Jadi orang tua yang mengacau itu she Ciu? Pantas dia berjuluk Lo-wan-tong, nyatanya sudah tua masih nakal seperti anak kecil.”

“Apakah kalian juga sehaluan dengan si tua nakal itu?” tanya orang baju hijau kedua.

In Kik-si menjawab: “Kami... kami ti... tidak...”

Melihat kawannya sudah megap-megap dan tidak sanggup melanjutkan ucapannya, cepat Kim-lun Hoat-ong menyambung:

“Kami juga baru kenal dia tadi, jadi boleh dikatakan tiada hubungan apa pun.”

Meski pun perkataan Kim-Iun Hoat-ong dapat diucapkan dengan lancar, tapi sebenarnya cukup makan tenaga, Diam-diam ia mendongkol terhadap Nimo Singh yang semenjak tadi duduk diam saja, padahal semua ini gara-gara Nimo Singh yang sok aksi dan mendahului masuk rumah, kalau tidak, tentu mereka tidak perlu tersiksa seperti ini. Sekarang Nimo Singh duduk terpekur tanpa menggubris orang lain, jika sebentar para teman tak sanggup membuka mulut, bukankah akan ditertawai pihak lawan? Karena rasa gemas, tanpa terasa Kim-lun Hoat-ong melotot kepada Nimo Singh, tetapi orang keling itu tetap pejamkan mata dan bersemadi tanpa ambil pusing.

Ternyata hanya Yo Ko saja yang dapat duduk dengan tenang. Ia pernah tidur selama beberapa tahun di atas dipan kumala dingin yang terdapat di kuburan kuno, meski pun dalam keadaan tidur nyenyak tubuhnya otomatis telah biasa mengatur suhu yang berubah setiap waktu, maka untuk melawan hawa panas sekarang ini, sedikit pun dia tak merasa sulit.

Begitulah orang baju hijau pertama tadi membuka suara lagi: “Lo-wan-tong itu telah menyusup ke Cui-sian-kok kami ini dan membikin kacau...”

“Membikin kacau bagaimana? Apakah benar dia sudah membakar rumah, merobek kitab dan sebagainya seperti tuduhan kalian?” tukas Yo Ko.

Semua orang menjadi ter-heran ketika melihat Yo Ko masih sanggup membuka suara dengan lancar, sedikit pun tak ada ubahnya seperti biasa, padahal pemuda ini juga sudah duduk sekian lamanya di dalam rumah batu yang panas ini. Karena itu semua orang memandang padanya, kecuali Nimo Singh yang masih tetap memejamkan mata dan tidak pusing terhadap kejadian di sekitarnya.

Terdengar orang baju hijau tadi menjawab: “Memang begitulah halnya. Waktu itu aku diperintahkan guru menunggui anglo yang menggembleng obat. Entah cara bagaimana tua bangka itu tiba-tiba bisa menerobos masuk ke situ lalu mengajak ngobrol padaku ke timur dan ke barat, dia mengajak main teka teki segala dan menantang taruhan padaku, sungguh sinting dia. Padahal aku sedang sibuk menunggui anglo yang sedang menyala, maka aku tak sempat mengusir dia, terpaksa kuanggap tidak mendengar ocehannya. Tak terduga mendadak dia mengayun kakinya, anglo yang kutunggu sudah ditendangnya hingga terguling.”

“Dan dia malah menyalahkan kau karena kau tidak menggubris dia, betul tidak?” kata Yo Ko dengan tertawa.

“Benar, memang begitulah,” kata si nona baju hijau tadi.

“Waktu kudengar suara ribut-ribut, aku tahu telah terjadi keonaran. Baru saja aku hendak meninggalkan kamar penyimpan Leng-ci-cau yang kutunggui, mendadak kakek aneh itu telah menerobos tiba, sekali pegang kontan sebatang Leng-ci-cau yang telah berumur lebih 400 tahun dia bedol dan dipatahkan menjadi dua.”

“Wah, Lo-wan-tong itu sungguh terlalu, sebatang Leng-ci-cau yang sudah hidup lebih 400 tahun tentulah merupakan benda mestika yang perlu disayang,” ujar Yo Ko sambil geleng kepala dengan tertawa.

“Padahal ayahku telah merencanakan, Leng-ci-cau ini hendak dimakan bersama ibu tiriku pada hari pernikahan mereka nanti, siapa tahu tua nakal membikin kacau semuanya itu, maka tak perlu dijelaskan lagi apa bila ayahku menjadi murka!” kata si nona baju hijau.

“Apakah kami boleh mengetahui nama ayahmu yang terhormat?” tanya Yo Ko, “Tanpa sengaja kami menyusup ke sini, tetapi nama tuan rumah sampai saat ini belum diketahui, sungguh terasa kurang sopan.”

Nona baju hijau itu tampak sangsi untuk menjawab, maka seorang lelaki baju hijau yang lain lantas berkata:

“Sebelum diijinkan oleh Kokcu, maafkan jika kami tak dapat memberi keterangan.”

Yo Ko pikir mereka ini tentulah orang-orang kosen yang hidup di dunianya sendiri, maka tidaklah mengherankan kalau mereka tidak mau menjelaskan asal usul mereka. Maka dia lantas bertanya lagi:

“Dan kemudian bagaimana dengan Lo-wan-tong?”

Pada saat itulah terlihat In Kik-si berbangkit lalu melangkah cepat ke luar rumah dengan sempoyongan. Rupanya orang Persi itu sudah tidak tahan lagi hawa panas. Maka orang baju hijau ketiga turut bicara:



“Orang tua she Ciu itu tidak mau kepalang tanggung, dia menerobos lagi ke kamar tulis guru kami lantas merobek beberapa buah kitab pusaka. Sementara itu kedua suheng-ku dan Sumoay ini telah memburu tiba, tapi kami berempat akhirnya tetap tak dapat merintangi dia...”

Belum habis ucapannya, mendadak terlihat tubuh Siau-siang-cu melayang keluar rumah. Ia tidak berdiri, melainkan masih tetap duduk bersila. Gerakan tubuhnya yang gesit tanpa berdiri itu sungguh luar biasa.

Yo Ko tersenyum, lalu berkata lagi: “Watak Lo-wan-tong itu sungguh teramat aneh, ilmu silatnya juga sudah mencapai tingkatan yang sukar diukur, pantas kalau kalian tidak dapat menghalangi dia.”

“Bahkan dia belum selesai, dia lalu masuk lagi ke kamar senjata,” tutur orang kedua, “tapi lantaran di situ cuma senjata melulu, dia terus menyalakan api sehingga lukisan dan seni tulisan yang bergantung di dinding semuanya terbakar. Kami lalu sibuk memadamkan api, dan peluang itu telah digunakan olehnya untuk kabur.”

“O, makanya kemudian kalian mengejar dan berhasil menawannya,” kata Yo Ko.

Mendadak Kim-lun Hoat-ong juga bangkit sambil menggeliatkan pinggang yang pegal, katanya dengan tertawa:

“Adik cilik, aku pun merasa tidak tahan lagi, aku perlu cari angin keluar saja, Kau pun jangan memaksakan diri, racun api ini tidak boleh dibuat permainan.” Habis berkata ia terus melangkah keluar dengan tenang.

Si nona baju hijau berkata kepada Yo Ko: “Hampir semua tamu telah keluar, sebenarnya kami berempat juga tidak tahan lagi, bagaimana kalau kita bicara di bawah pohon di luar sana?”

Yo Ko tersenyum dan mengiakan, lalu dia berdiri dan berkata kepada Nimo Singh: “Hei, saudara tua, kau mau keluar tidak?”

Siapa duga Nimo Singh masih tetap memejamkan mata dan diam saja. Pada saat Yo Ko mendorong perlahan pundaknya, kontan Nimo Singh roboh di lantai. Yo Ko terkejut, cepat dia membangunkannya.

“Rupanya dia pingsan karena hawa yang teramat panas ini, setelah mendapat angin silir di luar tentu akan siuman kembali,” ujar si lelaki baju hijau pertama tadi.

Diam-diam Yo Ko merasa geli terhadap kemampuan orang keling tua yang sok aksi itu. Segera ia jinjing tubuh Nimo Singh yang kurus kecil itu lalu dibawa keluar. Begitulah semua orang lantas duduk mengitar di bawah pohon, keempat orang baju hijau itu tiada hentinya memuji kehebatan Iwekang si Yo Ko.

“Kami berempat harus bicara secara bergiliran, sesudah buka mulut harus mengerahkan tenaga untuk melawan suhu panas dan pembicaraan disambung oleh yang lain, tapi tuan Yo ini bisa sekaligus melayani pembicaraan kami berempat tanpa berhenti, sungguh amat mengagumkan tenaga dalamnya yang Iihay,” demikian kata orang pertama tadi.

Tiba-tiba orang kedua menyambung: “Ehh, Su-ko, aliran Iwekang tuan Yo ini tampaknya sangat mirip dengan ibu guru kita yang baru itu?”

Hati Yo Ko tergerak, tanpa pikir ia tanya: “Siapakah ibu guru kalian?” Tapi segera ia menyadari ketidak sopanan pertanyaannya ketika keempat orang baju hijau itu saling pandang dengan air muka yang aneh tanpa menjawab.

In Kik-si tahu Yo Ko merasa kikuk dan pokok pembicaraan mereka perlu dialihkan, maka cepat ia menimbrung:

“Sesungguhnya sebab apakah Lo-wan-tong itu mengamuk, padahal tabiatnva tidaklah jelek meski kelakuannya memang nakal.”

“Dia bilang usia ayahku sudah sebanyak itu, tapi masih ingin...” belum si nona baju hijau habis berbicara, mendadak kawannya yang pertama tadi menyambung: “Ah, Lo-wan-tong itu memang sinting, mana ucapannya dapat dipegang buntutnya. O, ya, kalian datang dari jauh, tentu sudah lapar, silakan dahar sekedarnya di sana.”

“Bagus! Bagus!” kontan Be Kong-co bersorak. Bicara soal makan, dia paling bernapsu.

Sementara itu pernapasan Nimo Singh belum lancar kembali, maka Be Kong-co terus angkat tubuh sang kawan yang kecil itu lantas dikempit terus mendahului menuju ke arah yang ditunjuk lelaki baju hijau tadi. Tempat bersantap juga sebuah rumah batu yang sederhana, alat perabotnya tak banyak tetapi sangat luas.

Keempat orang baju hijau tadi masuk dapur untuk menyiapkan daharan. Tak lama kemudian perjamuan dimulai, meja penuh dengan sayur mentah dan buah-buahan belaka, tiada makanan dari daging atau ikan dan juga tiada satu pun yang dimasak. Makan tanpa ikan daging bagi Be Kong-co jelas tidak menarik, maka dia menjadi kecewa saat melihat meja itu tiada sesuatu daharan enak selain sayur mentah dan buah-buahan.

“Di sini selamanya tidak kenal makanan berjiwa dan tidak pakai asap api, maka diharap tuan-tuan suka maklum,” kata orang pertama tadi.

“Masakah tidak pakai api segala? Tadi kalian kan membakar rumah dengan api?” ujar Be Kong-co.

“Itu adalah cara hukuman Kokcu,” kata orang kedua.

Lalu lelaki baju hijau ketiga menyambung: “Silakan dahar!” Lalu dia ambilkan sebuah botol dan menuangkan setiap orang satu mangkoK air jernih.

Be Kong-co mengira disuguh arak, ia tidak makan daging juga tak jadi soal asalkan dapat minum arak. Tanpa pikir ia terus angkat mangkoknya dan ditenggak, tetapi rasanya tawar, baru sekarang ia tahu isi mangkok itu adalah air. Dasar wataknya memang kasar, segera ia berteriak:

“He, majikan kalian ini benar-benar kikir, masakah arak saja tidak disuguhkan kepada tamu?”

“Di lembah ini dilarang minum arak, peraturan sudah turun temurun selama beratus tahun, harap tuan tamu suka memaafkan,” kata orang pertama tadi.

Si nona baju hijau juga berkata: “Hanya di dalam kitab saja kami pernah membaca tulisan arak, tapi bagaimana rasa arak sebenarnya, selama hidup tak pernah kami lihat, Menurut tulisan dalam kitab, katanya arak dapat mengacaukan pikiran sehat, tentunya juga bukan barang baik.”

Yo Ko dan lainnya adalah orang yang telah biasa hidup bebas di dunia kangouw. Mereka merasa kurang cocok dengan lagak lagu keempat orang itu, apa lagi sejak mulai bicara tadi belum pernah tampak air muka mereka mengunjuk senyum, walau pun juga tidak menjemukan, tetapi boleh dikatakan tidak menarik. Karena itu mereka hanya makan nasi saja.

Celakanya nasi itu pun mentah, yaitu beras yang digiling halus dan dicampur air, tentu saja rasa katulnya amat terasa sehingga biar pun sukar tetapi terpaksa ditelan saja sekedar tangsal perut. Tapi Be Kong-co yang bertubuh besar kekar, setiap kali makan sedikitnya delapan sampai sembilan mangkok besar, tentu saja dia tidak puas akan suguhan itu, sambil makan nasi beras mentah itu ia terus menggerundel tiada hentinya.

Aneh juga, keempat orang baju hijau itu ternyata tidak ambil pusing terhadap gerundelan Be Kong-co. Semula mereka masih minta maaf kepada tamunya, tetapi kemudian mereka pun tidak menanggapi apa pun, mereka anggap makan nasi mentah dan minum air tawar adalah kehidupan yang wajar.

Selesai bersantap Be Kong-co berkaok ingin pulang saja malam itu juga, tapi lima orang kawannya merasa tertarik oleh macam-macam keanehan di lembah gunung ini. Mereka semua ingin mencari tahu duduknya perkara, maka In Kik-si mencoba memberi pengertian kepada Be Kong-co, katanya:

“Be-heng, kita sudah datang di sini dan sepantasnya besok kita harus menemui Kokcu, mana boleh pulang begitu saja.”

“Tidak ada arak tidak daging, nasi pun tidak keruan, aku merasa tersiksa di sini!” seru Be Kong-co pula.

Mendadak Siau-siang-cu menarik muka dan berkata: “Semua orang bilang tinggal dulu di sini, kau sendiri rebut saja?”

Be Kong-co paling takut pada Siau-siang-cu karena potongannya yang mirip mayat hidup, karena itu ia tidak berani mengomel lagi. Malamnya mereka berenam lantas tidur di dalam rumah batu itu, lantai batu dingin sekali, jangankan kasur dan selimut, bahkan tikar dan sejenisnya juga tidak ada sama sekali.

“Ehh, Hwesio gede,” kata Nimo Singh kepada Kim-lun Hoat-ong, “engkau adalah otak kita berenam, sekarang coba katakan, menurut pendapatmu orang macam apakah Kokcu ini? Apakah orang baik atau busuk, besok kita harus bersikap ramah tamah atau labrak dia habis-habisan?”

“Seperti juga kalian, aku sendiri pun belum tahu bagaimana Kokcu mereka ini, jadi biarlah besok kita bertindak menurut keadaan saja,” jawab Kim-lun Hoat-ong tertawa.

Dengan suara perlahan In Kik-si berkata: “Kepandaian keempat orang ini sudah demikian bagus, dengan sendirinya sang Kokcu akan jauh lebih lihay lagi. Besok kita harus selalu waspada, sedikit lengah bisa jadi kita berenam akan terkubur di sini.”

Tapi Be Kong-co masih terus menggerundel tentang makanan tak enak dan sebagainya, sama sekali ia tidak menghiraukan peringatan In Kik-si yang suka berpikir itu.

Maka Yo Ko sengaja menakuti Be Kong-co, katanya: “Besok apa bila kau tidak bertindak hati-hati dan kena ditawan mereka, selamanya kau hanya akan merasakan air tawar dan sayur mentah belaka.”

Baru sekarang Be Kong-co terkejut sehingga cepat ia menjawab: “Baik, adik cilik, baiklah, aku akan menuruti kalian!”

Karena berada di tempat berbahaya, maka tidur mereka semalaman boleh dikatakan tidak nyenyak, hanya Be Kong-co saja yang dapat pulas, suara mendengkurnya begitu keras laksana Guntur.

Sesudah bangun pagi-pagi, Yo Ko keluar dan memandang sekelilingnya. Semalam karena hari sudah gelap, maka keadaan setempat belum terlihat jelas. Ternyata sekitar situ pepohonan menghijau permai dengan bunga mekar harum semerbak, sungguh suatu tempat dengan pemandangan alam yang indah. Karena terpesona oleh pemandangan yang menarik, Yo Ko mengayunkan langkah ke depan. Tampaklah di tepi jalan bangau putih bergerombol dua-tiga, sekalian di sana sini menjangan putih berkelompok, tupai dan kelinci berlari kian kemari tanpa menghiraukan manusia yang berlalu di situ.

Setelah membelok ke sana, terlihat si nona baju hijau sedang memetik bunga di pinggir jalan. Melihat Yo Ko, nona itu lantas menyapa:

“Selamat pagi! Silakan sarapan!” Sembari bicara ia lantas memetik dua tangkai bunga dan disodorkan kepada Yo Ko.

Tanpa ragu Yo Ko menerima bunga itu, namun dia ragu apakah mesti makan bunga ini sebagai sarapan pagi? Melihat si nona mengeleteki kelopak bunga lalu dimakan, Yo Ko meniru dan makan juga beberapa sayap kelopak bunga. Dia merasa kelopak itu mengandung rasa manis yang sangat tipis, tapi setelah dikunyah lebih jauh, terasa pula rasa sepat dan pahit. Ia merasa tidak sopan kalau memuntahkan kembali kelopak bunga yang dimakannya, tapi untuk ditelan rasanya sukar pula masuk tenggorokan.

Ia coba mengamati pohon bunga itu, ternyata ranting daunnya penuh duri kecil, tapi warna kelopak bunga indah sekali, mirip bunga mawar tapi lebih harum, menyerupai melati tetapi lebih cantik, entah apa nama bunga yang aneh ini.

“Bunga apakah ini? Seumur hidupku belum pernah kulihat,” tanya Yo Ko.

“Namanya Bunga Cinta, memang jarang ada di dunia ini,” jawab si nona. “Rasanya enak tidak?”

“Semula terasa manis, tapi kemudian terasa pahit,” ujar Yo Ko sambil mengulur tangannya untuk memetik bunga lagi. Karena melihat ranting bunga itu berduri, maka dia memetik dengan sangat hati-hati.

Tak terduga, di balik kuntum bunga yang hendak dipetik itu tersembunyi juga duri yang kecil dan jarinya terluka meneteskan beberapa tetes darah segar. Sungguh aneh, batang pohon bunga itu mirip kapas saja, begitu darah menetes di dahan pohon, seketika darah segar itu terhisap lenyap tanpa bekas.

“Menurut cerita ayahku, bunga cinta ini paling suka dengan darah manusia,” tutur si nona baju hijau, “Dengan menghisap beberapa tetes darahmu, pasti bunganya akan mekar lebih indah dan harum. Lembah ini bernama ‘Lembah Patah Hati’, tetapi di sini justru tumbuh bunga cinta sebanyak ini, aneh bukan?”

Yo Ko merasa nama lembah itu amat aneh, katanya: “Mengapa bernama Lembah Patah Hati, nama ini sungguh luar biasa.”

Nona baju hijau itu menggeleng, jawabnya: “Aku pun tidak tahu apa maksudnya, nama ini sudah turun temurun, bisa jadi ayah mengetahui asal-usul nama ini.”

Sembari bicara mereka lantas berjalan berendeng ke depan. Hidung Yo Ko mengendus bau harum yang sedap, terlihat pula menjangan kecil yang berlari kian kemari di tepi jalan, sangat menarik, hatinya menjadi lapang dan semangat segar, terpikir olehnya tiba-tiba: “Alangkah bahagianya bila yang berjalan berendeng denganku adalah Kokoh, sungguh aku ingin tinggal selamanya di lembah sunyi ini.”

Baru berpikir sampai di sini, mendadak jari yang tertusuk duri bunga tadi terasa sakit nyeri sekali. Rasa sakit ini sangat aneh dan lihay, dada terasa seperti dipalu beberapa kali oleh orang, tanpa terasa dia menjerit tertahan dan cepat jari dimasukkan ke dalam mulut untuk dihisap.

“Terkenang kepada buah hatimu, bukan?” tanya si nona hambar.

Karena isi hatinya tepat dikatakan si nona, muka Yo Ko menjadi merah, jawabnya: “Aneh, dari mana kau tahu?”

“Bila anggota badan tertusuk oleh duri bunga cinta, selama tiga hari tiga malam tidak boleh timbul rasa rindu, kalau tidak tentu akan merasa sakit luar biasa,” tutur nona itu.

“Sungguh aneh, masakah di dunia ini terdapat hal yang begini aneh?” kata Yo Ko dengan heran.

“Kata ayahku, memang begitulah arti cinta, mula-mula terasa manis, tapi kemudian akan timbul rasa pahit dan getir, bahkan penuh duri, meski pun kau sudah berhati-hati juga tak terhindar akan terluka olehnya. Mungkin karena bunga ini memiliki beberapa segi khas ini, makanya orang memberi nama begini.”

“Dan mengapa selama tiga hari tiga malam tidak boleh timbul rasa rindu asmara?” tanya Yo Ko. Betapa pun dia masih muda belia, bicara mengenai ‘rindu asmara’, tanpa terasa mukanya merah.

Tapi nona baju hijau sama sekali tidak terpengaruh. Dengan muka tenang ia berkata lagi:

“Menurut ayah, duri bunga cinta ini beracun. Umumnya setiap orang yang tergerak cinta berahinya, bukan saja jalan darahnya akan mengalir lebih cepat, bahkan di dalam darah akan timbul suatu unsur yang entah apa namanya. Biasanya racun duri bunga cinta ini tidak membahayakan, tapi begitu bertemu dengan unsur itu dalam darah, seketika akan membuat orang kesakitan tidak kepalang.”

Yo Ko merasa cerita orang rada masuk di akal, tapi ia masih setengah ragu. Kedua orang itu terus melangkah ke dataran puncak yang terang benderang oleh sinar matahari pagi yang hangat, bunga cinta tampak mekar semarak, bahkan pohon bunga itu pun telah berbuah. Macam-macam warna buahnya, ada hijau, ada merah dan kombinasi merah dan hijau, malahan buahnya berbulu halus seperti bulu ulat.

“Aneh, bunga cinta itu sangat indah, mengapa buahnya begini jelek,” ujar Yo Ko.

“Buah bunga cinta ini tak dapat dimakan,” kata si nona, “rasa buahnya ada yang masam, ada yang pedas, malahan ada yang bau busuk dan memuakkan.”

“Masakah tiada yang manis bagaikan madu?” ujar Yo Ko tertawa.

Nona itu memandang sekejap padanya, lalu menjawab: “Ada sih memang ada, cuma sulit dibedakan dari kulit buahnya, ada yang rupanya buruk namun rasanya manis, tetapi yang rupanya bagus tidak selalu pasti manis.”

Yo Ko pikir meski apa yang dikatakan si nona itu mengenai bunga cinta, tapi sebenarnya mengandung filsafat tentang asmara lelaki dan perempuan. Apakah rasa cinta itu memang mula-mula manis dan akhirnya pahit getir? Apakah cinta kasih sepasang lelaki perempuan pasti akan berakhir dengan mimpi buruk dari pada mimpi indah? Apakah rasa rindu kepada Kokoh ini kelak juga akan...!

Begitu dia terkenang kepada Siao-liong-li, kontan jarinya terasa kesakitan lagi. Sekarang barulah ia percaya bahwa apa yang diceritakan si nona baju hijau memang bukan omong kosong belaka.

Melihat Yo Ko meringis lagi menahan sakit, si nona seperti mau tersenyum, tetapi segera ditahannya, sementara itu wajahnya yang tersorot oleh sinar matahari itu menambah cantiknya.

“Di jaman dahulu ada seorang raja sudah mengorbankan kerajaannya hanya karena ingin melihat senyuman manis seorang perempuan cantik. Itulah tanda betapa sulitnya melihat tawa perempuan cantik, sejak jaman kuno sampai jaman kini memang sama susahnya,” kata Yo Ko tertawa.

Dasar si nona memang masih muda dan polos, karena olok-olok Yo Ko itu, tak tertahan lagi akhirnya tertawa mengikik. Tadinya sikap si nona kelihatan dingin dan kaku, maka Yo Ko selalu merasa prihatin. Kini tawa si nona telah membuat jarak hubungan mereka menjadi lebih dekat.

“Aih, bicara tentang sukarnya melihat tawa perempuan hingga mengakibatkan musnahnya sebuah negara, padahal masih ada sesuatu pada diri perempuan cantik yang lebih sukar diperoleh dari pada tawanya,” kata Yo Ko pula.

Nona itu tampak terbeliak heran dan ingin tahu, cepat ia tanya.

“Apakah itu?”

“Nama si cantik,” ujar Yo Ko. “Bahwa bisa melihat wajah si cantik sebenarnya sudah beruntung, apa lagi dapat melihat tawanya, itu rejeki nomplok namanya, sedangkan jika ingin si cantik mengatakan sendiri namanya, untuk itu perlu rejeki nomplok ditambah perbuatan amal bakti turun temurun.”

Si nona tahu arti ucapan Yo Ko itu hendak menuju ke mana, maka sambil tertawa ia pun menjawab:

“Aku bukan perempuan cantik, di lembah ini belum pernah ada orang mengatakan aku ini cantik, rupanya engkau bercanda?”

Yo Ko menarik napas panjang, katanya: “Aih, pantas lembah ini bernama Lembah Patah Hati atau Lembah Tanpa Perasaan. Menurut pendapatku lembah ini perlu ganti nama.”

“Ganti nama apa?” tanya si nona.

“Lebih tepat pakai nama Lembah Orang Buta,” kata Yo Ko.

“Sebab apa?” si nona menegas.

“Kan mudah dimengerti.” kata Yo Ko. “Orang yang tidak tahu kecantikan seseorang kan namanya orang buta. Kau begini cantik, tapi mereka tidak pernah memuji kau, bukankah semua penghuni lembah ini adalah orang buta?”

Kembali si nona tertawa terkekeh, padahal wajahnya meski tergolong kelas atas, tapi bila dibandingkan Siao-liong-li jelas masih jauh sekali, dibandingkan kelembutan Thia Eng dan kegenitan Liok Bu-siang juga masih kalah. Cuma nona gunung ini lebih polos, sederhana, tak pernah makan barang berjiwa, dengan sendirinya ada sesuatu gaya yang istimewa pada dirinya.

BegituIah dengan sendirinya nona itu sekarang merasa senang karena dipuji cantik oleh Yo Ko. Dengan tertawa dia menjawab:

“Kau sendirilah yang buta, masa menganggap perempuan jelek sebagai orang cantik.“

Melihat tawa si nona yang menarik, tubuhnya yang semampai rada bergetar, tanpa terasa hati Yo Ko tergerak juga. Maklumlah, seorang pemuda berdiri di samping seorang gadis cantik dan melihat wajahnya yang cantik dan tubuhnya yang indah, adalah jamak apa bila timbul juga pikiran berahinya. Siapa duga karena goncangan perasaannya itu, tiba-tiba jarinya yang tertusuk bunga cinta kembali kesakitan lagi.

Melihat Yo Ko meringis kesakitan sambil memegangi jarinya, si nona rada kurang senang, omelnya:

“Aku sedang bicara dengan kau, tapi kau justru memikirkan kekasihmu.”

“Aih, sungguh mati, sakitnya jariku ini justru akibat aku memikirkan dirimu, tapi kau malah marah padaku,” kata Yo Ko.

Mendadak muka si nona merah jengah terus berlari cepat ke depan sana. Yo Ko menyesal sesudah ucapannya keluar, pikirnya: “Cintaku telah kucurahkan seluruhnya kepada Kokoh, tapi tabiatku yang sok bangor mengapa tidak dapat berubah? Aih, dasar!”

Maklumlah, pembawaan Yo Ko memang memiliki sebagian watak ayahnya yang ugal-ugalan dan suka kepada kaum wanita. Meski sesungguhnya tidak bermaksud jahat, tapi dia suka menggoda dan merayu setiap gadis cantik dengan beberapa patah kata, akibatnya sudah tentu pikiran si nona menjadi kacau.

Sesudah berlari tak jauh, mendadak nona tadi berhenti lalu termenung di depan sebatang pohon bunga cinta. Selang sejenak dia menoleh dan tertawa kepada Yo Ko, lalu berkata:

“Akan kuberi tahukan namaku, tapi kau tidak boleh katakan lagi kepada orang lain, lebih-lebih tidak boleh memanggil aku di depan orang lain.”

“Wah, banyak amat syaratnya, tapi baiklah, aku bersumpah.” ujar Yo Ko dengan sikapnya yang kocak.

Si nona tertawa pula, lalu berkata: “Ayahku she Kongsun...” ia tetap tak mau mengatakan namanya sendiri secara langsung, tapi sengaja berputar untuk menyebut namanya.

“Dan siapakah nama nona?” sela Yo Ko.

“Entahlah, boleh kau terka sendiri,” jawab si nona sambil tertawa geli, lalu melanjutkan: “Yang jelas ayahku memberikan nama kepada puteri tunggalnya yaitu Lik-oh.”

“Sungguh nama yang bagus, secantik orangnya,” puji Yo Ko.

Setelah memperkenalkan namanya. Kongsun Lik-oh menjadi lebih akrab terhadap Yo Ko, katanya:

“Sebentar ayah akan bertemu dengan kau, tapi jangan kau tertawa padaku.”

“Memangnya kenapa?” tanya Yo Ko.

“Apa bila ayah mengetahui aku pernah tertawa padamu, apa lagi mengetahui aku sudah memberi-tahukan namaku, wah, entah cara bagaimana dia akan menghukum diriku,” kata Kongsun Lik-oh.

“Masa ayahmu begitu bengis?” ujar Yo Ko. “Tadi malam kalian dihukum panggang di rumah batu itu, masa dia tidak sayang kepada puterinya yang begini cantik ini?”

Mata Kongsun Lik-oh menjadi merah basah. jawabnya: “Dulu ayah amat sayang padaku, tapi semenjak ibuku meninggal, ketika umurku baru sepuluh tahun, selanjutnya ayah lantas semakin bengis padaku. Apa lagi nanti kalau ayah sudah punya isteri baru, entah bagaimana nasibku ini kelak.” Habis berkata, tak tertahan lagi air matanya menetes.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar