Selasa, 17 Agustus 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 083

EMPAT PENCULIK BERJUBAH HIJAU

Walau Kwe Ceng, Yo Khong dan Yo Ko juga belajar ilmu silat Coan-cin-pay, tapi mereka bukanlah anak murid Coan-cin-pay, kedudukan mereka berbeda dengan Ciu Pek-thong. Meski antara Ciu Pek-thong dan Khu Ju-ki, Ma Giok dan lainnya tiada persengketaan apa pun, dia hanya menganggap mereka itu terlampau kaku dan terikat oleh macam-macam peraturan dan pantangan, maka dalam hati dia merasa cocok. Selama hidupnya kecuali sang Suheng, yaitu Ong Tiong-yang, yang paling dihormati dan dikagumi adalah Kiu-ci-sin-kay Ang Chit-kong, si pengemis sakti berjari sembilan. Selain itu ia pun rada cocok dengan kelatahan Oey-Yok-su dan kejahilan Oey Yong.

Kini mendengar Yo Ko menyebut Khu Ju-ki, Ma Giok dan lainnya sebagai ‘hidung kerbau’ (kata olok-oIok kepada kaum Tosu), kata-kata ini ternyata amat cocok bagi pendengaran Ciu Pek-thong, segera ia tanya lagi:

“Dan bagaimana dengan Hek Tay-thong?”

Mendengar nama Hek Tay-thong, Yo Ko menjadi gusar lantas memaki: “Hmm, hidung kerbau ini paling brengsek, suatu hari pasti akan kukerjai dia, agar tahu rasa.”

Ciu Pek-thong menjadi semakin tertarik, cepat dia bertanya: “Cara bagaimana akan kau kerjai dia dan apa rasanya?”

“Akan kuringkus dia, kuikat tangan berikut kakinya, lalu kurendam di kubangan kakus seharian,” kata Yo Ko.

Tidak kepalang senangnya Ciu Pek-thong, ia berbisik dengan suara tertahan: “Ssttt, nanti kalau dia sudah kubekuk, jangan kau rendam dia dulu, beri kabar dulu agar aku dapat mengintipnya diam-diam.”

Sebenarnya tiada maksud buruk terhadap Hek Tay-thong, hanya watak Ciu Pek-thong memang suka dengan permainan yang kocak, jika orang lain berbuat nakal dan onar, hal ini cocok dengan kegemarannya, maka ia pun ingin ikut ambil bagian.

Dengan tertawa Yo Ko lantas menjawab: “Baiklah, akan kuingat pesanmu. Tapi mengapa kau harus mengintip secara diam-diam? Apakah kau takut pada kawanan hidung kerbau dari Coan-cin-kau?”

Ciu Pek-thong menghela napas dan menjawab: “Aku kan paman gurunya Hek Tay-thong!”

Ucapan ini membikin Yo Ko bersuara kaget.

Lalu Ciu Pek-thong menyambung lagi: “Bila dia melihat diriku, tentu dia akan minta tolong. Dalam keadaan begitu, kalau aku tidak menolongnya tidak enak, sebaliknya kalau kutolong dia, pertunjukan menarik akan gagal kulihat.”

Diam-diam Yo Ko berpikir, ilmu silat orang ini amat tinggi meski wataknya polos dan lugu, apa pun juga dia adalah orang Coan-cin-pay, jelas tidak mungkin mengajaknya memusuhi Kwe Ceng, maka jalan paling baik adalah berusaha membinasakan dia saja. Sebenarnya pembawaan Yo Ko tidaklah jahat, hanya saja dia tak pernah melupakan sakit hati karena kematian ayahnya, untuk mencapai tujuan menuntut balas, segala cara dapat diIakukannya.

Sudah tentu Ciu Pek-thong tidak tahu kalau Yo Ko berpikir jahat padanya, ia malah bertanya lagi:

“He, kapan kau akan menangkap si Hek Tay-thong?”

“Sekarang juga aku akan berangkat, kalau kau ingin melihat keramaian, boleh kau ikut,” kata Yo Ko.

Dengan girang Ciu Pek-thong lantas bangkit, tapi mendadak ia duduk lagi dengan Iesu, katanya:

“Aih, tidak bisa, aku harus pergi ke Siang-yang.”

“Apa menariknya kota Siang-yang? Kukira janganlah kau pergi ke sana,” ujar Yo Ko.

“Adik Kwe sudah meninggalkan surat bagiku, katanya pasukan Mongol telah menyerbu ke selatan dan pasti akan menyerang Siang-yang,” tutur Ciu Pek-thong. “Dia telah memimpin semua pahlawan pergi ke Siang-yang, aku pun diminta ke sana untuk membantunya, tapi di sepanjang jalan kucari dia tidak ketemu, terpaksa kususul ke Siang-yang saja.”

Kubilai saling pandang sekejap dengan Kim-lun Hoat-ong, mereka sama berpikir: “Dengan adanya bala bantuan para pahlawan yang dipimpin Kwe Ceng, mungkin Siang-yang sukar diduduki.”

Bicara sampai di sini, mendadak masuklah seorang Hwesio setengah umur, dari tingkah laku dan wajahnya jelas Hwesio ini adalah seorang terpelajar. Dia mendekati Kubilai, lalu kedua orang bicara dengan suara tertahan. Kiranya Hwesio ini adalah seorang bangsa Han, namanya Cu-cong, dia terhitung seorang staf Kubilai. Aslinya Cu-cong bernama Lau An. Menurut catatan sejarah Lau An adalah orang pintar dan serba tahu, karena itu dia sangat disayang oleh Kubilai.

Dari penjaga Lau An mendapat laporan bahwa di kemah Kubilai ada orang kosen, maka lebih dulu ia telah mengatur penjagaan seperlunya di luar kemah, habis itu barulah masuk menghadap Kubilai.

Ciu Pek-thong tepuk perutnya yang rada gendut, katanya: “Eh, Hwesio, kau menyingkir dulu, aku lagi bicara dengan adik cilik itu. Hai, saudara cilik, siapa namamu?”

“Aku she Yo bernama Ko,” jawab Yo Ko.

“Sebenarnya siapa gurumu?” tanya Ciu Pek-thong lagi.

“Guruku seorang perempuan cantik, ilmu silatnya maha sakti tetapi namanya tidak boleh diketahui orang luar,” jawab Yo Ko.

Ciu Pek-thong merinding mendengar perempuan cantik, ia teringat pada kekasihnya dulu, Eng-koh, seketika ia tak berani tanya lagi. Ia bangkit dan mengebut debu di tubuhnya, maka berhamburanlah ke mana-mana. Cu-cong bersin dua-tiga kali karena. Ciu Pek-thong tambah gembira, lengan bajunya mengebut semakin keras, mendadak dia bergelak tertawa dan berkata:

“Aku mau pergi!” Berbareng itu empat potong ujung tombak patah tadi terus disambitkan ke arah Siau-siang-cu, Nimo Singh, In Kik-si dan Be Kong-co.

Terdengar suara mendesing menyambarnya keempat ujung tombak itu. Karena jaraknya sangat dekat, dalam sekejap ujung tombak itu sudah menyambar sampai di depan mata keempat orang sasarannya.

Siau-siang-cu berempat terkejut, mereka merasa sukar untuk mengelak, terpaksa mereka mengerahkan tenaga dalam dan menangkap ujung tombak. Siapa tahu keempat tangan mereka itu ternyata hanya menangkap angin.

“Plokk!” tahu-tahu keempat ujung tombak itu menancap di atas tanah.

Ternyata tenaga sambitan Ciu Pek-thong sangat istimewa, begitu disambitkan segera disertai tenaga tarikan, maka ketika ujung tombak menyambar, begitu sampai di depan sasarannya mendadak ganti arah dan membelok ke bawah lalu menancap di atas tanah. Be Kong-co adalah seorang lugu, ketika sekali tangkap tidak kena, dia malah merasa geli dan bergelak tertawa, serunya:

“Hei, jenggot putih, sungguh hebat permainan sulapmu!”

Akan tetapi Siau-siang-cu bertiga menjadi tidak kepalang kagetnya, tanpa terasa air muka mereka berubah hebat. Bayangkan saja, ujung tombak itu tidak berhasil mereka tangkap, tapi sempat berganti arah, maka pada detik itu sebetulnya jiwa sendiri sudah tergenggam di tangan lawan. Kalau saja ujung tombak itu bukan menancap di tanah, tapi menyambar ke perut mereka, apakah jiwa mereka masih dapat diselamatkan?

Karena berhasil mempermainkan keempat orang itu, Ciu Pek-thong sangat senang. Baru saja dia mau keluar kemah, tiba-tiba Cu-cong berseru:

“Eh, Ciu-losiansing, kesaktianmu sungguh jarang di dunia ini. Biarlah kuberi selamat padamu dengan suguhan secawan arak!”

Berbareng dia terus menyodorkan secawan arak yang sudah disiapkan ke hadapan Ciu Pek-thong. Tanpa pikir Ciu Pek-thong terima suguhan itu dan sekali tenggak habislah isi cawan itu. Kembali Cu-cong menghaturkan satu cawan arak sambil berkata:



“Sekarang aku mewakili Ongya menyuguh engkau satu cawan.”

Segera Ciu Pek-thong menghabiskan lagi arak itu. Baru saja Cu-cong hendak menyuguh lagi cawan ketiga, se-konyong-konyong Ciu Pek-thong berteriak:

“Haya, celaka! Perutku mules, sekarang aku mau berak!” Berbareng itu ia lalu berjongkok sambil membuka kolor celana terus hendak berak di tengah kemah.

Dengan menahan rasa gelinya Kim-lun Hoat-ong membentak untuk mencegah perbuatan Ciu Pek-thong yang tidak senonoh itu.

Ciu Pek-thong tampak melengak sejenak, habis itu berteriak: “He, muIesnya perut ini tidak beres, rasanya bukan kebelet mau berak!”

Yo Ko memandang sekejap ke arah Cu-cong, maka pahamlah dia duduknya perkara. Dia tahu Hwesio itu telah menaruh racun dalam arak yang disuguhkan kepada Ciu Pek-thong. Dia merasa tidak tega bila orang tua yang polos dan jenaka itu sampai mati keracunan, tetapi baru saja dia mau memperingatkan agar Kubilai ditawan untuk memaksa Cu-cong memberikan obat penawar racun, mendadak didengarnya Ciu Pek-thong berseru:

“Ah, salah, salah! Kiranya arak beracun yang kuminum terlalu sedikit, lantaran itulah perut menjadi mules, Hei, Hwesio, lekas tuangkan lagi tiga cawan arak beracun!”

Keruan semua orang saling pandang dengan bingung, sedangkan Cu-cong menjadi pucat ketakutan kalau-kalau Ciu Pek-thong mendadak ngamuk sebelum ajalnya, maka mana dia berani mendekatinya, apa lagi disuruh memberi arak lagi. Karena itu Ciu Pek-thong lantas maju mendekati meja, sementara Kim-lun Hoat-ong cepat menghadang di depan Kubilai untuk melindunginya. Namun ternyata Ciu Pek-thong tidak bermaksud menyerang, dengan sebelah tangan memegangi celananya yang kedodoran, tangan lain angkat poci yang berisi arak teracun, sekaligus ia tenggak habis seluruh isi poci itu, satu tetes pun tidak tersisa.

Di tengah rasa bingung dan kaget semua orang, Ciu Pek-thong malah tertawa terbahak-bahak, katanya:

“Nah, begini baru segar rasanya. Perut terlalu banyak barang kotor dan beracun, harus serang racun dengan racun!” Habis itu mendadak mulutnya terbuka, arak menyembur ke arah Cu-cong.

Cepat Kim-Iun Hoat-ong menyambar meja di sebelahnya untuk menangkis, arak berbisa itu tepat menyerempet permukaan meja lalu muncrat ke mana-mana. Sambil bergelak tawa Ciu Pek-thong melangkah pergi. Sampai di depan kemah tiba-tiba timbul lagi pikirannya yang jahil, ia tarik tali kemah lantas dibetot sekuatnya, kontan tiang penyanggah kemah itu patah, seketika kemah besar yang terbuat dari kulit itu ambruk, Kubilai, Kim-lun Hoat-ong, Yo Ko dan lainnya terkurung semua di bawah.

Ciu Pek-thong kegirangan, dia melompat ke atas kemah ambruk itu lantas berlari-lari kian kemari beberapa kali hingga semua orang yang terkurung di bawah seluruhnya terinjak.

Dari bawah kemah Kim-Iun Hoat-ong melontarkan sebuah pukulan yang tepat mengenai telapak kaki Ciu Pek-thong, karena tidak tersangka-sangka, Ciu Pek-thong terpental dan berjumpalitan di udara sambil berteriak:

“Ha-ha, menarik, menarik!” Lalu pergilah dia tanpa pamit!

Waktu Kim-Iun Hoat-ong dan lainnya merangkak keluar sambil melindungi Kubilai, para pangawal juga cepat-cepat memasang kemah baru, sementara itu Ciu Pek-thong sudah menghilang.

Hoat-ong dan lainnya minta maaf kepada Kubilai atas kelalaian mereka yang kurang cermat mengawal sang pangeran. Namun Kubilai cukup bijaksana, sedikit pun dia tidak menyalahkan mereka, hanya berulang dia memuji kelihayan Ciu Pek-thong, dan menyesal karena tidak dapat menarik orang kosen begini ke pihaknya. Dengan sendirinya Kim-lun Hoat-ong dan lainnya merasa iri dan malu.

Perjamuan pun diperbarui, kemudian Kubilai berkata: “Sudah sekian kali pasukan Mongol menggempur Siang-yang, tetapi tidak berhasil. Kabarnya para pahlawan Tionggoan sama berkumpul dan bertahan di sana, sekarang Ciu Pek-thong ini pun pergi ke sana pula untuk membantu, sungguh sulit urusan ini, entah kalian mempunyai akal bagus tidak?”

Nimo Singh berwatak berangasan, segera ia mendahului buka suara: “Meski ilmu silat tua bangka she Ciu itu amat tinggi, tapi kepandaian kita juga tidak rendah. Harap saja Ongya melancarkan serangan sekuatnya, biarlah kita menghadapi mereka, prajurit lawan prajurit, panglima lawan panglima, biar pun di Tionggoan banyak pahlawan, tapi benua barat juga banyak jagoan.”

“Meski betul juga ucapanmu, tetapi segala sesuatu harus ditimbang secara masak,” kata Kubilai. “untuk memenangkan suatu pertempuran kita harus dapat menilai kekuatan lawan dan kekuatan sendiri.”

Bicara sampai di sini, tiba-tiba di luar kemah ada orang berteriak: “Sudah kukatakan aku tidak mau pergi, mengapa kalian terus memaksa saja, sekali kubilang tidak mau ya tetap tidak mau.”

Dari suaranya itu jelas Ciu Pek-thong. Entah mengapa sudah pergi dia datang lagi dan bicara dengan siapa? Tentu saja semua orang tertarik dan ingin berlari keluar kemah untuk melihat apa yang terjadi, tapi sebelum Kubilai memberi tanda, tiada seorang pun yang berani meninggalkan tempat duduknya. Rupanya Kubilai tahu pikiran mereka, katanya dengan tertawa:

“Marilah kita melihat, entah sedang bertengkar dengan siapa si orang tua nakal itu?”

Sesudah mereka keluar kemah, tampaklah Ciu Pek-thong berdiri jauh di tanah lapang sebelah barat sana. Tampak pula empat orang lainnya yang berdiri mengelilinginya dalam posisi mengepung, hanya sebelah timur saja yang terluang. Sambil mengepal dan ngotot, berulang Ciu Pek-thong menyatakan:

“Tidak mau! Tidak mau!”

Yo Ko menjadi heran. Kalau saja orang tua nakal itu bilang tak mau pergi, siapa lagi yang mampu memaksanya dan perlu ribut mulut begitu? Waktu mengawasi keempat orang itu, ternyata semuanya berseragam jubah hijau model kuno, jelas bukan pakaian model jaman itu, tiga di antaranya lelaki memakai kopiah besar, seorang lagi perempuan muda.

Keempat orang bersikap tenang dan ramah. Terdengar lelaki yang berdiri di sebelah utara berkata:

“Kami tak ingin membikin susah, soalnya engkau telah mengobrak-abrik tempat kami, menjungkirkan tungku, mematahkan lengci (sejenis rumput obat), merusak kitab pusaka dan tindakan lainnya yang merusak. Kalau engkau tidak menjelaskan sendiri duduknya perkara kepada guru kami, apa bila sampai diketahui guru, sungguh kami tidak berani menanggung hukuman yang akan dijatuhkan beliau.”

“Kau bisa mengatakan bahwa semua itu adalah perbuatan orang hutan yang kebetulan menerobos ke situ, kan segala urusan menjadi beres?” ujar Ciu Pek-thong sambil tertawa seperti anak kecil.

“Jadi tuan sudah pasti tak mau ikut pergi?” tanya lelaki kekar tadi.

Ciu Pek-thong hanya menggeleng kepala saja. Mendadak lelaki itu menuding ke belakang Ciu Pek-thong dan berseru:

“He, siapa itu?”

Begitu Ciu Pek-thong menoleh, cepat lelaki itu memberi tanda kepada kawan-kawannya, serentak keempat orang membentangkan sebuah jaring hijau yang terus menutup ke atas kepala Ciu Pek-thong. Gerakan keempat orang itu sudah terlatih, caranya aneh pula, biar pun ilmu silat Ciu Pek-thong maha sakti, sekali terkurung oleh jaring ikan, seketika ia menjadi kelabakan dan tak berdaya! Dengan cepat keempat orang itu lantas meringkus tubuh Ciu Pek-thong dengan tali jaring. Setelah kencang, dua lelaki itu lalu memanggulnya, perempuan muda dan lelaki satunya lagi mengawal dari samping, mereka terus berlari.

Kejadian ini sungguh aneh dan langkah empat orang itu secepat terbang. Gaya Ginkang mereka ternyata belum pernah dikenal. Segera Yo Ko memburu dan berseru:

“He, kalian hendak membawanya ke mana?!”

Akan tetapi keempat orang itu tak menggubrisnya, melainkan tetap saja berlari ke depan. Karena tertarik Yo Ko terus mengejar. Hoat-ong dan lainnya juga menyusuI. Beberapa li kemudian, sampailah di tepi sebuah sungai, tampak Ciu Pek-thong digotong ke atas sebuah perahu terus didayung pergi.

Cepat Yo Ko dan lainnya mencari perahu lantas memburu dengan kencang. Arus sungai itu ternyata ber-liku, setelah memutar beberapa tikungan, mendadak kehilangan jejak perahu tadi.

Nimo Singh melompat ke atas tebing, seperti kera gesitnya dia merangkak ke atas, dari situ ia memandang sekelilingnya. Perahu kecil yang ditumpangi keempat orang berseragam hijau tadi sedang menyusuri sebuah sungai yang sangat sempit, sungai kecil itu merupakan cabang sungai tadi, ujung sungai kecil yang bertemu dengan muara sungai besaran itu tertutup oleh semak pohon yang lebat, kalau tidak dipandang dari ketinggian siapa pun tak akan mengetahui di balik lembah pegunungan itu ternyata masih ada ‘dunia’ lain.

Lekas Nimo Singh melompat turun, dengan perlahan ia tancapkan kakinya di atas perahu, perahu kecil itu hanya bergoyang sedikit saja tanpa menimbulkan guncangan yang berarti. Hoat-ong dan lain sama berseru memuji melihat Ginkang-nya yang bagus itu. Nimo Singh lantas menunjukkan arahnya, dan cepat perahu itu didayung balik, kemudian menerobos semak pohon lebat itu.

Perahu terus meluncur dengan cepatnya, tampak tebing gunung menjulang tinggi di kedua pinggir sungai yang sempit itu sehingga langit kelihatan seperti satu garis saja. Setelah beberapa li lagi, bagian depan di tengah sungai itu teralang oleh sembilan potong batu besar yang menonjol pada permukaan sungai sehingga perahu tidak dapat melintasi.

“Wah, celaka! Perahu ini tak dapat digunakan lagi!” seru Be Kong-co.

“Tubuhmu segede kerbau, boleh kau angkat perahu ini ke sebelah sana,” kata Siau-siang-cu dengan suara melengking.

“Mana aku kuat, kecuali kau?” jawab Be Kong-co dengan gusar.

Memang Kim-lun Hoat-ong sedang ragu cara bagaimana melintasi rintangan kesembilan batu karang itu. Begitu mendengar pertengkaran Be Kong-co dan Siau-siang-cu, tiba-tiba pikirannya tergerak. Kalau hanya mengandalkan tenaga satu orang tentu siapa pun tidak mampu mengangkat, tapi bila enam orang bergotong royong, kan segala persoalan menjadi mudah dipecahkan? Karena itu ia lantas berkata:

“He, bagaimana kalau kita berenam lakukan bersama saja? Adik Yo, In-heng dan diriku di sisi sini, sedangkan saudara Nimo, Siau-heng dan Be-heng di sisi sana.”

Serentak semua orang bersorak setuju lantas menuruti petunjuk Kim-lun Hoat-ong, enam orang terbagi dan berdiri dua sisi. Karena sungai itu sangat sempit, dengan berdiri di sisi tepian tangan mereka masih dapat meraih pinggir perahu. Begitulah ketika Kim-lun Hoat-ong memberi komando, serentak enam orang mengerahkan tenaga, kontan perahu terangkat melintasi sepotong batu karang yang menghalang.

Tukang perahu yang duduk di atas perahu belum lagi menyadari apa yang terjadi, tahu-tahu terasa seperti terbang di udara, saking kagetnya ia menjerit kuatir. Di tengah jerit kaget dan tertawa senang, berturut perahu itu telah melintasi sembilan batu penghalang, kemudian semua orang melompat kembali ke atas perahu sambil tertawa gembira, lalu tukang perahu yang masih melongo itu diperintahkan lekas mendayung lagi.

Sebenarnya keenam orang itu saling curiga mencurigai dan suka bertengkar, tapi setelah mendalami kerja sama ini, tanpa terasa mereka menjadi semakin akrab dan mulai pasang omong. Kata Siau-siang-cu:

“Betapa pun kepandaian kita berenam ini boleh dikatakan terhitung jago kelas satu di dunia persilatan, dengan tenaga gabungan kita memang tak sulit untuk mengangkat perahu ini, akan tetapi mereka...”

“Ya, betul, mereka hanya empat orang, masa mereka pun mampu mengangkat perahu dan melintasi sembilan batu karang tadi?” tukas Ni-mo Singh.

Teringat hal itu, mereka merasa heran. Tidak lama, berkatalah In Kik-si: “Perahu mereka memang lebih kecil, tapi jumlah mereka juga lebih sedikit dari pada kita. Kalau mereka berempat mampu mengangkat perahu, maka kepandaian mereka pun harus dipuji.”

“Nona cantik muda belia, apa pun juga pasti tidak mempunyai kemampuan sebesar itu,” kata Nimo Singh.

“Kukira mereka pasti mempunyai cara lain yang tak dapat kita pecahkan.” Kim-Iun Hoat-ong tersenyum sambil berkata: “Manusia tidak boleh dinilai dari lahiriahnya. Misalnya saudara Yo kita ini, meski usianya masih muda, tapi memiliki ilmu maha tinggi, jika kita tidak menyaksikan sendiri, siapa yang mau percaya?”

“Ah, sedikit kepandaianku ini apa artinya?” ujar Yo Ko dengan rendah hati. “Tapi keempat orang berseragam hijau itu sanggup meringkus Ciu Pek-thong yang maha sakti, tentu mereka pun mempunyai kepandaian sejati”

Kini lagak lagu Yo Ko telah sejajar dengan Siau-siang-cu dan lainnya, sebab semua orang telah menyaksikan cara dia menyambut sambaran piring yang disambitkan Ciu Pek-thong tadi, maka tiada seorang pun yang berani lagi meremehkan.

Di antara keenam orang usia Yo Ko paling muda, sedangkan Kim-lun Hoat-ong, Be Kong-co dan Nimo Singh bertiga baru sekarang menginjak daerah Tionggoan, Siau-siang-cu juga lebih sering tirakat di pegunungan sunyi dan jarang bergaul dengan khalayak ramai, hanya In Kik-si seorang yang sangat paham terhadap kejadian di dunia persilatan daerah Tionggoan dengan aneka macam aliran serta tokohnya. Akan tetapi bagaimana asal usul keempat orang berbaju hijau tadi ternyata tak diketahuinya.

Selagi mereka berbincang tentang keanehan orang berbaju hijau itu, sementara perahu telah tiba di ujung sungai, jalan menjadi buntu, terpaksa mereka menyuruh tukang perahu tinggal. Mereka berenam lantas melompat ke pinggir sungai, dengan mengikuti sebuah jalanan kecil mereka terus menyusuri lembah gunung yang rindang itu.

Untungnya jalan kecil hanya ada satu sehingga mereka tak sampai salah arah, namun jalanan itu makin lama makin meninggi dan makin terjal, akhirnya sukar dibedakan lagi mana jalan di antara batu padas yang berserakan itu.

Kim-lun Hoat-ong dan lainnya mempunyai tenaga dalam tinggi, dengan sendirinya mereka tidak sulit menempuh jalan pegunungan yang curam itu. Hanya Be Kong-co seorang saja, karena Ginkang-nya tak setinggi kelima orang kawannya, maka ia sudah mulai terengah-engah. Kalau saja dia tidak ditarik Yo Ko, In Kik-si dan Kim-lun Hoat-ong, beberapa kali ia hampir terjerumus ke dalam jurang. Baru sekarang Be Kong-co merasakan kelemahannya sendiri, meski pun memiliki tenaga sebesar kerbau, tetapi bicara tentang tenaga dalam jelas masih selisih jauh dengan orang lain. Meski dia seorang kasar, tapi diam-diam ia pun tahu diri dan malu hati.

Sementara itu hari sudah mulai gelap, tapi jejak keempat orang berbaju hijau masih belum diketemukan. Selagi mereka merasa gelisah, di kejauhan tampak beberapa gunduk api unggun yang menyala, mereka girang bahwa di lembah pegunungan itu ada cahaya api, dengan sendirinya di sana ada penduduk. Kecuali beberapa orang berbaju hijau tadi, orang biasa tentu tak dapat bertempat tinggal di tempat yang securam ini. Begitulah mereka lantas berlari lebih cepat ke sana, dalam sekejap saja Be Kong-co telah tertinggal jauh di belakang.

Kecuali Yo Ko, empat orang lainnya telah banyak pengalaman. Meski berlari secepatnya, namun mereka pun menyadari sedang berada di daerah berbahaya, maka mereka semua was-was terhadap segala kemungkinan. Meski begitu mereka pun makin tabah mengingat kini datang berenam. Dengan gabungan tenaga mereka berenam, rasanya tidak perlu gentar terhadap siapa pun juga.

Tidak lama kemudian sampailah mereka di tanah lapang di puncak gunung, terlihat empat gundukan api yang sangat besar sedang berkobar dengan hebatnya. Waktu mereka mendekati, tampaklah dengan jelas bahwa gundukan api besar itu masing-masing mengitari sebuah rumah batu kecil di tengah, di pinggir rumah batu tertimbun kayu bakar yang berkobar. Entah barang apa yang ada di rumah batu itu yang sedang dibakar.

Nimo Singh datang dari negeri Thian-tiok, dia mahir ilmu Yoga dan tidak takut pada api. Segera ia melompat maju dan mendekati rumah batu di ujung timur sana, ia mendorong pintunya dan terpentanglah seketika. Tampak rumah kosong melompong tiada isinya, hanya di lantai duduk seorang laki-laki baju hijau, kedua tangannya tersingkap di depan dada sebagai penganut agama Budha, tubuhnya kelihatan menggigil, air mukanya tampak meringis menahan derita.

Heran sekali Nimo Singh, ia tidak mengerti apa yang sedang dilakukan orang itu! Apakah sedang berlatih semacam Iwekang? Tetapi tampaknya bukan! Sesudah mengamat-amati lebih jelas, kiranya kaki dan tangan orang itu terikat oleh rantai besi dan terikat pula pada tiang di belakangnya. Ia coba memeriksa lagi rumah batu yang kedua dan ketiga, keadaannya ternyata serupa dengan rumah pertama. Rumah keempat rada berbeda, sebab yang terikat di situ adalah seorang gadis berbaju hijau, jelas keempat orang ini adalah orang yang menangkap Ciu Pek-thong. Cuma si tua nakal itulah yang tak kelihatan bayangannya.

Yo Ko dan lain-lain turut memandang ke dalam rumah dan semuanya ikut heran dan terkesiap. Kelihatan api semakin berkobar dan pasti luar biasa panasnya, keempat orang itu menjadi seperti dipanggang hidup-hidup. Tindak-tanduk Yo Ko biasanya memang tidak suka memikirkan bagaimana akibatnya, selain itu ia justru dilahirkan dengan perasaan yang suka kepada keindahan dan dengan sendirinya suka kepada perempuan cantik. Ia pikir ketiga lelaki itu tidak menjadi soal biar pun mampus terpanggang, tapi nona jelita ini kan harus dikasihani.

Segera dia mengambil sepotong ranting pohon lalu dipakai untuk memadamkan api yang berkobar di tepi rumah batu yang didiami si nona. Tidak lama Be Kong-co juga menyusul tiba, tanpa bertanya ia pun segera membedol sebatang pohon kecil dan membantu Yo Ko memadamkan api sehingga tidak lama kemudian api dapat diatasinya.

Yo Ko bermaksud memadamkan api pada rumah yang lain, namun tiba-tiba si nona baju hijau berkata:

“Tuan tamu harap berhenti agar tidak menambah dosa kami.”

Selagi Yo Ko merasa bingung dan hendak bertanya apa artinya, tiba-tiba dari balik rumah muncul seorang yang segera berseru:

“Kokcu (pemilik lembah) ada perintah, karena ada tamu maka hukuman sementara ditunda, keempat murid diperintahkan supaya melayani tamu sebaiknya.”

Nona baju hijau itu mengiakan dan menyatakan terima kasih. Orang yang bicara tadi lalu melompat masuk rumah batu, dia mengeluarkan sebuah kunci yang sangat besar untuk membuka gembok pada rantai si nona. Begitulah berturut-turut keempat orang itu sudah dibebaskan, kemudian dia terus berlari pergi tetapi sempat memandang sekejap kepada Yo Ko dan Iain-lain.

Keempat orang yang terantai di dalam rumah batu tadi lantas keluar semua dan memberi hormat. Seorang di antaranya lalu berkata:

“Maafkan jika tadi kami tak dapat menyambut kedatangan tuan sekalian.” Kemudian dia menuding tanah lapang di sebelah timur sana dan menyambung: “Silakan duduk saja di sana, rumah terlalu panas terbakar, sukar untuk menerima tamu.”

Kim-lun Hoat-ong mengangguk tanda setuju. Baru saja mau melangkah ke sana, tiba-tiba Nimo Singh berkata:

“Semakin panas semakin menyenangkan.”

Setelah itu dengan lagak tidak takut mati dia terus melangkah masuk ke dalam rumah batu yang terletak di tengah dan masih dikelilingi oleh api yang berkobar itu. Semua orang melengak dan tahu kakek keling cebol itu sengaja pamer kepandaian, Siau-siang-cu mendengus satu kali, segera ia pun menyusul ke dalam rumah.

“Wah, jangan sampai orang Persi berubah jadi daging panggang,” ujar In Kik-si dengan tertawa, walau pun begitu katanya, tanpa ragu ia pun ikut masuk ke dalam rumah.

Kim-lun Hoat-ong paling tenang dan pendiam, tanpa bicara ia pun masuk ke situ. Tentu saja Be Kong-co juga tak mau ketinggalan, tapi baru sampai di ambang pintu, sekonyong-konyong hawa panas terasa membakar. Ia berseru:

“Ahh, lebih baik aku cari angin saja di bawah pohon sana.” Kemudian ia terus berlari ke bawah pohon dan duduk istirahat.

Kini tertinggal Yo Ko saja. Baru saja dia mau masuk, mendadak si nona baju hijau berkata:

“Apa bila tuan tamu takut panas, bagaimana kalau silakan duduk istirahat di sana bersama tuan itu?”

Rupanya dia merasa berterima kasih atas bantuan Yo Ko tadi yang sudah memadamkan api, lagi pula melihat usianya masih muda, ia pikir Yo Ko pasti tak akan mampu menahan hawa panas di dalam rumah yang mirip dipanggang itu.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar