Selasa, 17 Agustus 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 082

SI BOCAH TUA NAKAL LO-WAN-TONG

Untuk sejenak Kubilai mengawasi Yo Ko, kemudian sebelah tangannya menggandeng Yo Ko dan tangan lainnya menarik Kim-Iun Hoat-ong sambil berseru kepada anak buahnya:

“Lekas ambilkan arak, aku ingin minum bersama saudara ini.”

Segera anak buahnya menghaturkan tiga buah mangkuk besar yang segera pula dituangi arak khas Mongol, arak susu kuda. Dengan sekali tenggak Kubilai habiskan semangkuk penuh, Hoat-ong juga keringkan isi mangkuknya. Yo Ko sendiri biasanya jarang minum arak, kini melihat tuan rumah sangat simpatik, ia merasa tidak enak untuk menolak, segera ia pun habiskan isi mangkuknya, ia merasa arak itu sangat keras dan pedas, tapi mengandung rasa pahit dan kecut pula.

“Bagaimana rasanya arak ini, saudara cilik?” tanya Kubilai dengan tertawa.

“Arak ini mengandung rasa pahit, pedas, kecut dan sepat, di dalamnya terasa perih puIa, rasanya tidak enak, tapi ini arak minuman seorang lelaki sejati,” jawab Yo Ko cepat.

Kubilai sangat girang, berulang dia berseru kepada anak buahnya agar menuangkan arak lagi hingga ketiga orang pun masing-masing menghabiskan tiga mangkuk. Berkat tenaga dalamnya yang kuat, sedikit pun Yo Ko tidak memperlihatkan tanda mabuk meski sudah habiskan arak keras itu cukup banyak.

Dengan girang Kubilai bertanya kepada Kim-lun Hoat-ong: “Koksu, dari manakah engkau mendapatkan bakat muda sebagus ini? Sungguh beruntung bagi Mongol Raya kita.”

Secara ringkas Kim-lun Hoat-ong lantas menceritakan asal usul Yo Ko, nadanya bahkan sengaja meninggikan derajat anak muda itu se-akan-akan menganggap Yo Ko sebagai tokoh dunia persilatan di Tionggoan. Jika orang lain tentu takkan percaya terhadap cerita Hoat-ong itu mengingat usia Yo Ko jelas masih sangat muda. Tapi Kubilai sendiri semenjak kecil sudah terkenal sebagai anak ajaib, pintar luar biasa serta bijaksana, apa lagi dia pun percaya penuh kepada Hoat-ong, maka dia menjadi girang dan segera memerintahkan diadakan perjamuan, katanya kepada Hoat-ong dan Yo Ko:

“Sebentar akan kuperkenalkan kalian kepada beberapa orang kosen.”

Kubilai sudah lama tinggal di daerah Tiong-goan dan mengagumi kebudayaan Tiongkok. Hidupnya sehari-hari senantiasa bergaul dengan kaum terpelajar, dia pun mengumpulkan jago silat dari berbagai penjuru serta menghimpun kaum cendekiawan sebagai staf untuk membincangkan rencana penyerbuan ke Tiongkok selatan.

DemikianIah tidak seberapa lama meja perjamuan sudah siap dengan hidangan campuran Mongol dan Han. Kubilai lantas memberi perintah pula kepada anak buahnya:

“Undanglah beberapa tuan di Ciau-hian-koan (Wisma Ksatria).”

Setelah anak buahnya mengiakan dan pergi, Kubilai berkata pula: “Beberapa hari di Ciau-hian-koan sudah berkumpul beberapa tamu yang memiliki kepandaian kosen, semuanya sangat menyenangkan hatiku, tetapi tetap belum dapat memadai kepandaian Koksu dan saudara Yo yang serba bisa.” Habis berkata ia tertawa terbahak-bahak.

Tak lama kemudian penjaga memberi laporan bahwa tamu undangan telah datang. Waktu tirai kamar tersingkap, masuklah empat orang. Yo Ko terkejut ketika mengenali orang yang berjalan paling depan itu kaku laksana mayat dan di sebelahnya adalah seorang cebol hitam, siapa lagi kalau bukan Siau-siang-cu dan Nimo Singh yang dipergokinya di lembah gunung tengah malam itu.

Dua orang lagi yang masuk belakangan juga mempunyai potongan yang aneh. Seorang tinggi besar, tingginya lebih dari 2 meter, tangan besar kaki pun besar. Sungguh seorang raksasa tulen, cuma air mukanya tampak ke-tololan, pandangan matanya kaku buram, mirip orang tidak waras. Seorang lagi berhidung besar, Iekuk matanya dalam, rambutnya keriting dan janggutnya merah keemasan, jelas golongan Arab tapi justru memakai pakaian bangsa Han yang perlente, ditambah memakai kalung mutiara pula, malahan pakai gelang jamrud lagi. Dandanannya sungguh gemilapan dan lagaknya kebanci-bancian.

Kubilai menyilakan semua orang duduk, lalu memperkenalkan mereka satu per satu. Kiranya si raksasa tadi adalah suku Hwe di daerah Sin-kiang, sejak kecil memiliki tenaga besar dan sanggup membinasakan singa atau harimau dengan hanya bertangan kosong. Kemudian bertemu pula dengan orang kosen dan mendapatkan pelajaran ilmu silat yang kasar, cuma tenaganya memang maha kuat, meski ilmu silatnya tidak terlalu tinggi, kalau berkelahi tampaknya menjadi dahsyat sekali.

Ada pun orang keturunan Arab itu adalah saudagar Persia dan sudah tiga turunan tinggal di Tiongkok sebagai pedagang batu permata, namanya juga menggunakan nama bangsa Han, yakni In Kik-si. Dia memiliki ilmu silat gaya Persia yang aneh, ditambah lagi waktu dia berkeliling mencari barang dagangan, sering dia berbincang ilmu silat dengan jago silat Tiongkok, dari hasil tukar pikiran itu dipelajarinya lagi secara mendalam hingga akhirnya dia mengkombinasikan ilmu silat dari dua negeri, dapat diciptakannya sebuah aliran silat tersendiri. Ia mendengar Kubilai sedang mencari jago silat maka ia pun datang melamar.

Demikianlah Nimo Singh dan Siau-siang-cu bertukar pandang dengan tertawa penuh arti, mereka melirik ke arah Kim-lun Hoat-ong dengan sikap tidak mau tunduk. Ketika melihat Yo Ko yang masih muda belia, mereka mengira anak muda ini adalah anak cucu murid Kim-lun Hoat-ong, maka sama sekali tidak memperhatikannya.

Setelah suguhan arak berulang tiga kali, Nimo Singh yang berwatak berangasan itu tidak sabar lagi, maka segera ia berteriak:

“Ongya, kerajaan MongoI Raya makmur jaya, ksatria di dunia ini semuanya berkumpul di sini, kalau Hwesio besar ini dianugerahi gelar Koksu nomor satu, tentu ilmu silatnya tiada bandingannya, untuk itu kami justru ingin tahu akan kesaktiannya sekedar menambah pengalaman.”

Kubilai tersenyum tetapi tidak menanggapi, segera Siau-siang-cu menyambung: “Saudara Nimo Singh ini datang dari negeri Thian-tiok (lndia), sedangkan ilmu silat di Tibet berasal dari negeri Thian-tiok, apakah mungkin anak didik lebih mahir dari sang guru, aku menjadi ragu dan ingin tahu pula.”

Ucapan Siau-siang-cu jelas bernada mengadu domba. Ia memang berharap agar Nimo Singh dapat bertempur dulu dengan Kim-lun Hoat-ong, dengan begitu dirinya nanti tinggal menarik keuntungannya saja, walau pun nadanya rada memihak kepada Nimo Singh, tapi sesungguhnya dia berharap keduanya bertarung mati-matian.

Melihat air muka Siau-siang-cu yang pucat bersemu hijau, Kim-lun Hoat-ong yakin orang ini pasti memiliki Lwekang yang tinggi, bukan mustahil di antara empat orang dia adalah lawan yang terkuat. Sekilas dilihatnya In Kik-si hanya tertawa saja, semenjak tadi selalu berlagak seperti saudagar yang cuma mementingkan duit belaka, tampaknya sama sekali tidak mengerti ilmu silat, tetapi orang macam begini justru tidak boleh dipandang enteng.

Maka Kim-lun Hoat-ong lantas berkata sambil tersenyum: “Bahwa diriku diangkat sebagai Koksu, semua ini adalah berkat budi kebaikan Sri Baginda serta Paduka Pangeran, tetapi sebenarnya aku mana berani menerimanya.”

“Jika tidak berani menerima, kan seharusnya kau berikan pangkat itu kepada orang lain,” ujar Siau-siang-cu sambil melirik ke arah Nimo Singh.

Hoat-ong angkat sumpitnya menyumpit sepotong besar daging sapi rebus, lalu berkata sambil tertawa:

“Potongan daging ini paling besar di piring ini, sesungguhnya aku pun tak ingin memakannya, hanya saja sumpitku secara kebetulan mencomotnya, dalam agama Budha disebut ‘ada jodoh’. Sekiranya tuan yang hadir di sini ada yang berminat makan daging ini, kusilakan menyumpitnya saja.”

Habis berkata Hoat-ong tetap pegang sumpitnya yang menjepit potongan daging itu dan berhenti di atas piring sambil menunggu reaksi orang lain. Si raksasa Be Kong-co paling polos orangnya, pikirannya terlalu sederhana dan tidak tahu kelicikan manusia umumnya, ia tidak tahu bahwa ucapan Kim-lun Hoat-ong itu bercabang makna. Katanya saja sepotong daging, tapi yang dimaksudkan sesungguhnya adalah kedudukan Koksu nomor satu yang ingin diperebutkan Nimo Singh.

Dasar Be Kong-co memang lugu, tanpa pikir lagi ia menjulurkan sumpitnya untuk menjepit potongan daging disumpit Hoat-ong itu. Tapi baru saja ujung sumpitnya hampir menempel daging, se-konyong-konyong ujung sebuah sumpit yang dipegang Kim-lun Hoat-ong menyerong keluar lantas membentur sumpitnya. Seketika Be Kong-co merasakan tangannya tergetar sakit, sumpitnya terlepas dari cekalan kemudian jatuh di atas meja.



Semua orang saling memandang dengan melongo kaget. Mereka kagum betapa lihaynya tenaga dalam Hoat-ong. Namun Be Kong-co sendiri ternyata belum menyadari apa yang terjadi, dia jemput kembali sumpitnya dan sekali ini dipegang sekencangnya agar tidak tergetar jatuh, lalu sumpit dijulurkan untuk berebut daging lagi.

Kembali ujung sumpit Hoat-ong menyerong keluar, tetapi sekali ini pegangan Be Kong-co sungguh kencang hingga sumpitnya tak dapat tergetar jatuh, yang terdengar adalah suara “krek” sekali, sepasang sumpitnya sudah patah menjadi empat seperti ditebas oleh pisau, kedua bagian yang patah itu jatuh semua di atas meja. Be Kong-co malah menjadi marah, ia meraung keras terus hendak menubruk maju untuk melabrak Kim-lun Hoat-ong.

Tapi Kubilai keburu mencegahnya dan berkata sambil tertawa: “Harap Be-cong-su jangan marah, kalau mau bertanding silat boleh nanti saja setelah dahar.”

Meski orangnya kasar, tapi Be Kong-co ternyata takut kepada sang pangeran. Ia kembali duduk, katanya dengan mendongkol sambil menuding Hoat-ong:

“Kau menggunakan ilmu siluman apa sehingga alat makanku terpatahkan?”

Kim-lun Hoat-ong hanya tersenyum saja tanpa menjawab, sumpitnya tetap terjulur di atas meja dengan daging yang tersumpit itu. Semula Nimo Singh meremehkan Kim-lun Hoat-ong, tetapi kini dia tak berani memandang enteng lagi setelah melihat Iwekang orang yang hebat. Sebagai orang Thian-tiok, cara makannya tidak memakai sumpit, tapi pakai tangan belaka, segera ia berkata:

“Be-heng tak mampu menyumpit daging ini, jadi serahkan saja padaku.” Mendadak kelima jarinya terus mencengkeram daging yang disumpit Hoat-ong itu.

Akan tetapi secepat kilat Kim-lun Hoat-ong tetap menyerongkan sebuah ujung sumpitnya, hanya sedikit bergetar saja sekaligus dia mengincar beberapa Hiat-to di jari tangan Nimo Singh. Akan tetapi Nimo Singh juga bukan jago rendahan, tangannya membalik terus memotong pergelangan tangan lawan. Tangan Hoat-ong tak bergerak, hanya sumpitnya yang diputar balik dan tetap bergetar beberapa kali. Segera Nimo Singh merasa ujung sumpit lawan hampir menyentuh urat nadi tangannya, cepat ia menarik kembali tangannya. Dalam pada itu sumpit Kim-lun Hoat-ong juga telah membalik lagi dan tetap dapat menyapit potongan daging tadi.

Yo Ko dan lain-lain dapat menyaksikan bahwa hanya sekejap itu saja sebenarnya antara Kim-lun Hoat-ong dan Nimo Singh sudah saling gebrak beberapa jurus, gerakan sumpit Hoat-ong sangat cepat, tapi cara Nimo Singh bergerak dan menarik tangannya juga cepat luar biasa, itulah pertarungan antara jago silat kelas satu.

Dengan nada dingin Siau-siang-co berseru memuji, sedangkan Kubilai hanya tahu kedua orang itu sudah saling uji kepandaian dengan ilmu silat yang tinggi, namun ilmu apa yang dikeluarkan mereka tak dapat diketahuinya. Be Kong-cu juga melongo bingung mengikuti pertarungan aneh itu.

Sekarang giliran In Kik-si. Dengan tertawa ia berkata: “Ahh, saudara-saudara ini mengapa sungkan-sungkan terhadap daharan lezat ini. Kalau kau tak mau makan dan aku pun tak mau makan, kan sebentar saja semuanya menjadi dingin.”

Sambil berkata dia pun menjulurkan sumpitnya dengan perlahan, gelang tangannya yang jamrud bersentuhan dengan gelang emas hingga menerbitkan suara gemerincing nyaring. Belum lagi sumpitnya menyentuh daging, Hoat-ong sudah merasakan sumpitnya tergetar oleh tenaga dalam In Kik-si. Tapi Hoat-ong malah terus menyurung sumpitnya ke depan agar dagingnya kena disumpit In-Kik-si, berbareng dengan itu suatu arus tenaga dalam yang maha kuat disalurkan dan menggempur lengan lawan.

Dalam hati In Kik-si berteriak celaka. Kalau saja tenaga dalam dapat menggempur sampai di dadanya, maka dirinya pasti akan terluka parah. Terpaksa dia mengerahkan segenap tenaga untuk balas menggempur. Tak terduga tenaga dalam Hoat-ong itu begitu dikerahkan lantas secara mendadak ditarik kembali lagi, karena itu daging yang sudah tersumpit oleh In Kik-si menjadi tertolak kembali oleh gempuran balik tenaganya sehingga dapat dicapit lagi oleh sumpitnya Hoat-ong.

“Ha-ha-ha, ternyata In-heng juga sungkan dan tidak sudi makan daging ini,” kata Hoat-ong dengan tertawa.

Nyata Hoat-ong telah mengalahkan In Kik-si dengan akal. In Kik-si juga sangat tinggi hati, setelah kena diakali terpaksa dia mundur teratur, apa lagi kalau harus bergebrak dirinya juga belum tentu dapat menang. Ia pikir lain kali saja kalau ada kesempatan akan kucoba lagi Hwesio ini. Ia pun menyumpit sepotong daging yang agak kecilan kemudian dimakan, katanya sambil tertawa:

“Selama hidupku hanya duit saja yang menarik, dan aku pun tidak suka daging sapi yang terlalu banyak gemuknya, maka biarlah kumakan daging yang kecilan saja.”

Diam-diam Kim-lun Hoat-ong juga mengakui kelihayan orang Persi dengan gayanya yang luwes ini, kalau bertempur, sungguh merupakan lawan yang tangguh. Dia berpaling kepada Siau-siang-cu dan berkata:

“Apa bila Siau-heng juga tidak sudi, terpaksa kumakan sendiri ” Berbareng ia sedikit tarik mundur sumpitnya.

Kiranya Hoat-ong yakin Siau-siang-cu merupakan lawan paling kuat di antara empat orang yang dihadapinya sekarang, bahwa alasannya mau makan sendiri sebenarnya dia sengaja menarik mundur tangannya, dengan demikian daya tahannya akan bertambah kuat, tetapi sebaliknya jarak lawan menjadi makin jauh sehingga dengan sendirinya pihak lawan harus lebih banyak mengeluarkan tenaga apa bila mau menyerang.

Sudah tentu Siau-siang-cu mengetahui maksud tujuan orang. Ia hanya mendengus saja, perlahan ia angkat sumpitnya, tapi mendadak secepat kilat bergerak ke depan dan tepat mencapit potongan daging itu terus ditarik, karena itu jarak mundurnya tangan Hoat-ong tadi kena diseret maju lagi ke posisi semula.

Meski sebelumnya Hoat-ong mengetahui tenaga dalam lawan ini sangat lihay, tetapi tidak menduga bahwa gerakannya bisa begitu cepat, maka cepat ia pun balas menarik. Karena kedua orang sama-sama mengerahkan tenaga dalam, seketika terjadilah saling betot dan saling tahan, hanya sekejap saja tiga gebrakan telah berlangsung dan potongan daging itu masih tersumpit oleh dua pasang sumpit.

Kubilai tidak paham betapa bagusnya ilmu silat kelas wahid, dia menyangka kedua orang hanya saling berebut daging rebus saja, padahal kedua orang sudah saling gebrak hingga beberapa jurus seperti pertarungan di medan tempur.

Di tengah saling uji kepandaian beberapa orang itu, sejak tadi Yo Ko hanya menyaksikan saja sambil tersenyum. Ia pikir orang kosen di dunia ini sungguh sulit dihitung banyaknya, terutama kepandaian kedua orang yang sukar dibedakan kalah dan menang sekarang ini.

Pada saat itulah tiba-tiba dari jauh berkumandang suara seorang: “Kwe Ceng! Adik Kwe Ceng di mana kau? Lekas keluar! Hai, Kwe Ceng, bocah she Kwe, di mana kau?”

Suara itu semula terdengar berkumandang dari sebelah timur, namun sekejap kemudian kedengaran ada beberapa li jauhnya, seperti suara satu orang, lalu disusul dengan suara orang kedua, cuma logatnya jelas berasal dari orang yang sama, malahan dari timur ke barat dan dari barat ke timur suara itu terus menerus bergema tanpa berhenti maka dapat dibayangkan betapa cepat gerak tubuh orang itu sungguh jarang ada bandingannya.

Selagi semua orang saling pandang dengan melenggong, sementara itu Kim-lun Hoat-ong dan Siau-siang-cu masih saling ngotot. Padahal daging rebus itu mana mampu menahan tenaga tarikan dua jago kelas satu itu, tapi nyatanya daging itu masih tetap ulet dan tidak putus. Kiranya pergantian tenaga Kim-lun Hoat-ong dan Siau-siang-cu terjadi amat cepat, begitu saling tarik segera pula saling sodok, tapi lantaran gerakan kedua orang sama cepatnya dan sama kuat pula, maka daging itu tidak lebih hanya merupakan perantara penyaluran tenaga saja sehingga tidak hancur.

Yo Ko dapat melihat keadaan itu. Ia tunggu ketika kedua orang sedang saling betot dan daging itu tertarik hingga memanjang, mendadak dia angkat sumpitnya lantas memotong daging itu, dua batang sumpit memotong daging itu menjadi tiga bagian! Pada saat yang tepat dia jepit potongan daging bagian tengah, sementara itu Hoat-ong dan Siau-siang-cu masing-masing mendapatkan potongan daging ujung kanan dan kiri.

Cara turun tangan Yo Ko ini bukannya mengutamakan kekuatan tenaga dalam, melainkan unggul dalam hal kejituan dan kecepatan, ia bisa menggunakan waktu yang paling tepat.

BegituIah ketiga orang itu saling pandang dengan tertawa dan baru saja mereka hendak memakan daging pada sumpit masing-masing, sekonyong-konyong tirai kemah tersingkap lalu bayangan orang berkelebat, mendadak seorang mengulurkan tangan dan sekaligus dapat merampas potongan daging pada sumpit Yo Ko bertiga, kemudian dimakan dengan lahapnya.

Orang itu telah duduk bersimpuh di atas permadani dalam kemah sambil makan dengan nkmatnya, sama sekali tidak pandang sebelah mata pada orang lain yang berada di situ. Kejadian ini membikin semua orang terkejut dan serentak berdiri. Bayangkan saja, betapa lihaynya ilmu silat Kim-lun Hoat-ong, Siau-siang-cu dan yang Iain-lain, bahkan Yo Ko kini pun sudah termasuk barisan tokoh kelas satu, tetapi orang itu sekaligus dapat merampas daging mereka tanpa bisa mengelak sedikit pun.

Sesudah Yo Ko mengawasi, kiranya orang itu adalah seorang kakek yang berambut dan berjenggot putih, tapi mukanya merah bercahaya dan tersenyum simpul menyenangkan, berapa usianya sukar untuk diterka. Penjaga kemah ternyata tidak mampu merintangi kakek itu, para pengawal serentak membentak:

“Tangkap pengacau!” Berbareng empat tombak menusuk dada kakek itu.

Tetapi kakek itu cuma menggunakan tangan kirinya dan sekaligus ujung keempat tombak sudah terpegang, lalu katanya kepada Yo Ko:

“Eh, adik cilik, ambilkan lagi daging sapi, perutku lapar sekali.”

Sudah tentu keempat pengawal Mongol itu menjadi sangat penasaran, sekuatnya mereka membetot tombak yang dipegang si kakek, tetapi sedikit pun bergeming meski muka mereka sudah merah padam dan otot hijau tampak jelas menonjol di dahi mereka.

Yo Ko sangat tertarik akan kepandaian kakek aneh itu, tanpa pikir dia angkat piring yang berisi daging rebus itu terus dilemparkan sambil berkata:

“lni, silakan makan!”

Dengan tangan kanannya kakek itu menahan pantat piring yang menyambar, mendadak sepotong daging di atas piring itu melompat ke atas lalu masuk ke mulut si kakek.

Kubilai sangat tertarik dan bersorak gembira, disangkanya kakek itu mahir main sulapan, sedangkan Kim-lun Hoat-ong dan lain-lain dapat melihat Iwekang orang tua itu kuat luar biasa, bahwa potongan daging itu bisa melompat sendiri jelas disebabkan getaran tenaga tangannya. Hebatnya daging yang melonjak ke atas itu hanya satu potong saja, sedangkan potongan daging yang lain tidak bergerak sedikit pun. Ketepatan tenaga inilah yang luar biasa dan tak dapat ditiru orang lain, mau tak mau semua orang merasa kagum dan segan.

Tampak kakek itu terus makan dengan Iahapnya. Baru potongan daging pertama dilalap, segera sepotong daging yang lain melompat lagi dari piring lalu masuk ke mulutnya. Hanya sekejap saja daging seisi piring itu sudah tersapu bersih. Ketika tangan kanan si kakek bergerak, piring kosong yang dipegangnya melayang ke atas dan berputar satu kali, kemudian menyambar ke arah Yo Ko dan In Kik-si. Karena sudah tahu kakek itu memiliki ilmu gaib dan kuatir terdapat sesuatu pada piring itu, Yo Ko dan In Kik-si tak berani menangkap, mereka sama mengegos ke samping.

Karena itu piring kosong itu terus menyambar lewat dan turun ke permukaan meja, tepat membentur piring lain yang berisi daging kambing panggang, piring kosong tadi berhenti di atas meja, sebaliknya piring yang berisi daging kambing panggang terus terbang menuju si kakek. Tampaknya si kakek senang bukan main, ia bergelak tertawa. Setelah piring berisi daging kambing dipegangnya, seperti cara tadi kembali sepotong demi sepotong daging kambing itu melompat masuk ke mulutnya dan tidak lama telah dilalap habis.

Dalam keadaan begitu, yang paling konyol tentulah empat pengawal Mongol tadi. Tombak mereka terpegang si kakek, mereka membetot sekuatnya tapi tak dapat terlepas, mereka pun tidak berani melepaskan senjata mereka. Maklumlah, disiplin tentara Mongol sangat keras, membuang senjata di medan perang hukumannya mati, apa lagi keempat orang itu bertugas sebagai pengawal sang Pangeran, terpaksa mereka pun mengerahkan segenap tenaga untuk menarik sekuatnya.

Kakek itu ternyata sangat nakal, makin keempat orang itu kelabakan, semakin senanglah dia. Mendadak dia berseru:

“Bim-salabim! Dua orang menyembah padaku, yang dua lagi terjengkang! Satu-dua-tiga!”

Selesai “tiga” diucapkan, berbareng itu tangannya sedikit bergerak, kontan ujung keempat tombak patah semua. Namun tenaga yang dikeluarkan jari tangannya ternyata berbeda, dua batang tombak ditolaknya ke sana, sebaliknya dua tombak yang lain dibetot, maka terdengarlah suara mengaduh kesakitan keempat orang Mongol itu, yang dua orang jatuh tiarap seperti orang menyembah, dua lagi jatuh terjengkang ke belakang. Kemudian si kakek bertepuk tangan sambil menyanyikan lagu kanak-kanak, yaitu lagu yang umumnya didendangkan orang tua untuk menghibur anak kecil yang menangis karena jatuh.

Tiba-tiba Siau-sang-cu teringat kepada satu orang, cepat dia bertanya: “Apakah Cianpwe she Ciu?”

Kakek itu terbahak-bahak, jawabnya: “Ya, kau kenal aku?”

Tanpa ayal Siau-siang-cu bangkit dan memberi hormat, katanya: “Kiranya Lo-wan-tong Ciu Pek-thong, Ciu-locianpwe yang tiba.”

Kim-lun Hoat-ong dan Nimo Singh baru pertama kali datang di Tionggoan, mereka belum kenal siapa itu Ciu Pek-thong, mereka hanya merasa ilmu silat si kakek she Ciu ini tinggi luar biasa dan sukar diukur, tetapi tingkah lakunya jenaka dan nakal, pantas berju!uk ‘Lo-wang-tong’, (si nakal tua). Karena itu rasa permusuhan mereka jadi lantas berkurang, malahan mereka tersenyum geli oleh julukan orang yang lucu.

Segera Kim-lum Hoat-ong berkata: “Maafkan keteledoranku yang tidak kenal orang kosen dari dunia persilatan. Bagaimana kalau silakan duduk saja di sini. Ongya sedang mencari orang pandai, kini orang kosen berada di sini, tentu Ongya merasa sangat gembira.”

Kubilai juga memberi salam dan berkata: “Benar, silakan Ciu-losiansing duduk di sini, ada banyak persoalan yang kurang jelas sehingga aku perlu minta petunjuk padamu.”

Tapi Ciu Pek-thong menggeleng kepala, jawabnya: “Tidak, aku sudah kenyang dan tidak ingin makan lagi. Di mana Kwe Ceng? Apakah dia berada di sini?”

Hati Yo Ko tergetar mendengar nama Kwe Ceng disebut, dengan dingin ia bertanya: “Ada urusan apa kau mencari dia?”

Dasar watak Ciu Pek-thong memang kocak dan ke-kanakan, dia paling senang bergaul dengan anak kecil. Melihat Yo Ko berusia paling muda di antara orang yang hadir di situ, hal ini sudah membuatnya suka lebih dulu, dan kini mendengar Yo Ko menyebutnya dengan kata “kau” dan tidak pakai ‘Locianpwe’ dan ‘Ciu-siansing’ segala, ini membuatnya lebih-lebih senang.

Maka cepat Ciu Pek-thong menjawab: “Kwe Ceng adalah saudara angkatku, apakah kau kenal dia? Sejak kecil dia suka bergaul dengan orang Mongol, maka begitu melihat orang Mongol di sini segera aku menerobos ke sini untuk mencarinya.”

“Ada urusan apa kau mencari Kwe Ceng?” tanya Yo Ko pula sambil mengerutkan kening.

Ciu Pek-thong memang orang polos yang tidak dapat berpikir, mana dia tahu urusan yang harus dirahasiakan atau tidak. Tanpa ragu dia terus menjawab:

“Dia telah mengirim berita kepadaku agar aku menghadiri Eng-hiong-yan (perjamuan ksatria). Jauh-jauh aku berangkat ke sana, di tengah jalan aku mampir dan pesiar sehingga terlambat datang beberapa hari, mereka ternyata sudah bubar, sungguh mengecewakan.”

“Apakah mereka tidak meninggalkan surat untukmu?” ujar Yo Ko.

Mendadak Ciu Pek-thong mendelik dan berkata: “Mengapa kau hanya bertanya melulu? Sebenarnya kau kenal Kwe Ceng tidak?”

“Mengapa aku tidak kenal?” jawab Yo Ko. “Nyonya Kwe bernama Oey Yong, betul tidak? Anak perempuan mereka bernama Kwe Hu, ya bukan?”

Ciu Pek-thong mendadak menggoyangkan tangannya dan berseru dengan tertawa: “Salah, salah! Si budak Oey Yong sendiri juga seorang anak perempuan kecil, mana bisa mereka mempunyai anak perempuan segala?”

Yo Ko melengak bingung, namun ia lantas paham persoalannya, segera ia bertanya lagi: “Sudah berapa tahun kau tidak bertemu dengan mereka suami-isteri?”

Ciu Pek-thong tidak lantas menjawab, ia tekuk jarinya satu demi satu, sepuluh jari secara rata dihitungnya ulang dua kali, lalu berkata:

“Sudah ada 20 tahun.”

“Nah, masa sudah 20 tahun dia masih anak perempuan kecil?” kata Yo Ko dengan tertawa.

Ciu Pek-thong tertawa ngakak sambil garuk-garuk kepala, lalu berkata: “Ya, ya, kau yang benar, kau yang benar! Apakah anak perempuan mereka itu pun cakap?”

“Muka anak perempuan mereka lebih banyak mirip nyonya Kwe dan sedikit saja memper Kwe Ceng, nah, cakap tidak menurut pendapatmu?” tanya Yo Ko.

“Ha-ha-ha-ha! Bagus kalau begitu!” kata Ciu Pek-thong sambil tertawa, “Anak perempuan kalau beralis tebal dan bermata besar serta bermuka hitam seperti saudaraku Kwe Ceng, dengan sendirinya bukan cakap lagi namanya.”

Yo Ko tahu kini Ciu Pek-thong tidak ragu lagi, tetapi untuk memperkuat kepercayaannya kembali dia menambahkan:

“Ayah Oey Yong, yaitu Tho-hoa-tocu Oey Yok-su, kakak Yok-su ada hubungan persaudaraan denganku, apakah kau kenal dia?”

Berganti Ciu Pek-thong melengak heran sekarang, ia pikir masakah anak muda ini berani mengaku bersaudara dengan Oey-losia, lantas apa kedudukan orang muda ini? Segera ia bertanya pada Yo Ko:

“Siapakah gurumu?”

“Kepandaian guruku teramat hebat, jika kukatakan bisa jadi kau mati ketakutan,” jawab Yo Ko.

“Masakah aku dapat di-takuti?” ujar Ciu Pek-thong sambil tertawa, berbareng tangannya bergerak, piring kosong bekas wadah daging kambing tadi terus melayang ke arah Yo Ko dengan maha dahsyat.

Sesungguhnya Yo Ko tidak tahu asal-usul aliran perguruan orang kosen macam Ciu Pek-thong ini. Sambaran piring kosong yang keras itu sebenarnya tidak berani ditangkapnya, namun ketika melihat gaya Ciu Pek-thong ternyata berasal dari aliran Coan-cin-pay, padahal ilmu silat Coan-cin-pay baginya boleh dikatakan sudah apal di luar kepala, maka. tanpa pikir dia hanya gunakan jari telunjuk tangan kiri. Dia tunggu ketika piring kosong itu melayang tiba, dengan cepat dan tepat jarinya menyanggah pantat piring, seketika laju piring itu terhenti terus berputar pada ujung jarinya.

Kejadian ini sungguh membikin Ciu Pek-thong amat gembira, malahan Kim-lun Hoat-ong, Nimo Singh dan Iain-Iain juga melengak. Lebih-lebih Siau-siang-cu, semula ia lihat pakaian Yo Ko kotor dan robek, usianya muda, maka dia tidak pandang sebelah mata padanya, tapi sekarang mau tak mau ia harus berubah sikap, ia heran siapakah dan dari manakah pemuda lihay ini?

Di sebelah sana Ciu Pek-thong telah berseru memuji beberapa kali kepada Yo Ko, malah ia pun dapat melihat gaya permainan jari Yo Ko itu adalah gaya aliran Coan-cin-pay, maka ia lantas tanya:

“Apakah kau kenal Ma Giok dan Khu Ju-ki?”

“Kedua hidung kerbau itu masakah aku tak kenal?” jawab Yo Ko tak acuh.

Ciu Pek-thong tambah kegirangan. Maklumlah, meski dia terhitung tokoh tertua Coan-cin-pai, namun lantaran dia tidak dapat mematuhi peraturan agama, maka selama ini dia tak pernah menjadi Tojin. Mendiang Ong Tiong-yang, yaitu cikal bakal Coan-cin-kau yang juga Suheng-nya, kenal watak Ciu Pek-thong yang polos dan suka bertindak menuruti jalan pikiran sendiri. Kalau saja dipaksa menjauhi dunia ramai untuk memeluk agama dan menjadi Tojin, tentu kuil Tiong-yang-kiong akan tambah kacau dibuatnya.

Sebab itulah Ciu Pek-thong tidak diharuskan menjadi Tosu dan hal ini pun cuma berlaku atas diri Lo-wan-tong saja.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar