Selasa, 17 Agustus 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 081

ILMU SILAT ALIRAN SENDIRI

Tetapi baru sebentar ia menggali, mendadak terdengar suara gemuruh di kejauhan sana disertai debu mengepul tinggi. Di tengah suara terompet, pasukan besar Mongol tampak menerjang dengan cepat. Lekas Yo Ko menjinjing tombaknya kemudian mencemplak ke atas kudanya. Meski kurus tetapi kudanya adalah kuda perang yang sudah berpengalaman. Maka sekali meringkik segera kuda itu menerjang ke tengah pasukan Mongol.

Tombak Yo Ko bekerja cepat, sekaligus ia membinasakan beberapa prajurit musuh. Akan tetapi pasukan Mongol membanjir tak terhitung jumlahnya, terpaksa Yo Ko membelokkan kudanya kemudian kabur ke tempat sepi. Dari belakang dia dihujani anak panah, namun semuanya dapat disampuk jatuh oleh tombaknya. Kuda kurus itu bisa berlari cepat sekali, hanya sekejap saja meninggalkan kejaran, kuda itu masih terus berlari secepat terbang di ladang belukar. Tak lama hari pun mulai gelap, Yo Ko menahan kudanya dan coba memandang jauh ke sekelilingnya. Tampak semak belukar tumbuh melebihi batas lutut, puncak gunung dikelilingi kabut tebal di kejauhan, suasana sunyi senyap, bahkan suara burung pun tak terdengar.

Yo Ko turun dari kudanya sambil masih memondong bayi yang sudah tak bernyawa tadi, ia pikir: “Kedua orang tua anak ini tentu amat sayang, tapi tombak Busu Mongol telah membinasakan bayi tak berdosa ini. Kini telah mati dan tidak merasakan apa-apa lagi, tinggal kedua orang tuanya yang berduka dan merana, Melihat keganasan musuh, serbuan pasukan Mongol ke selatan sekali ini entah berapa banyak korban yang akan ditimbulkannya?”

Makin dipikir makin susah hati Yo Ko. Kemudian ia menggali liang di tepi pohon. Habis itu ia menjadi teringat pada ucapan Sah Koh tentang kematian ayahnya. Bayi ini mati, tetapi masih ada yang menguburnya, sebaliknya kematian ayahku harus diakhiri di dalam perut burung gagak. Kalian sudah membunuhnya, tetapi mengapa tidak menguburnya? Aih, kalian sungguh amat kejam!

Karena berlari seharian, Yo Ko melihat kudanya lelah, apa lagi ke sananya mungkin juga sukar mendapatkan tempat pondokan, terpaksa dia harus mencari tempat bermalam seadanya. Dia kuatir di semak belukar ini akan diganggu oleh ular berbisa atau binatang buas, lantas mengeluarkan seutas tali, kedua ujung tali diikat pada dua batang pohon, dia menirukan cara tidur Siao-liong-li dengan berbaring di atas tali yang terbentang.

Sampai tengah malam, tiba-tiba Yo Ko mengendus bau langu, menyusul terdengar suara raungan di sana sini. Yo Ko terkejut, cepat ia memandang ke arah suara meraung. Kebetulan malam ini gelap gulita, syukur ia sudah biasa bertempat tinggal di kuburan kuno yang gelap, sudah biasa memandang sesuatu dalam keadaan gelap.

Maka diketahuilah ada empat lentera kecil sedang mendekatinya dengan perlahan. Waktu dia meperhatikan, kiranya empat lentera kecil itu adalah sorot mata dari dua ekor harimau kumbang, hitam mulus dengan badan langsing dan panjang, jelas bukan harimau daerah Tionggoan yang pernah dilihatnya.

Dua ekor harimau itu sambil berjalan mengendus-endus, begitu sampai di tempat kuburan bayi, mendadak cakar kedua harimau itu menggaruk-garuk dengan cepat. Yo Ko menjadi gusar. Pikirannya hendak melompat turun untuk mengusir harimau itu, tapi ceIakanya ia tidak membawa senjata. Tombak rampasan dari Busu Mongol tadi sudah dibuangnya. Tampaknya kedua ekor kucing raksasa sangat tangkas dan buas sekali, jika menempurnya dengan tangan kosong mungkin diri sendiri tak terhindar dari luka parah.

Selagi sangsi, tiba-tiba di sebelah barat sana terdengar suara “blang” yang keras, sejenak kemudian suara “blang” itu terdengar lagi satu kali. Waktu Yo Ko memandang ke sana, seketika ia tertegun dan hampir tak percaya kepada matanya sendiri. Ternyata yang dilihatnya adalah sebuah peti mati. Anehnya, peti mati itu dapat bergerak dan melompat-lompat, makin lama makin dekat. Peti mati dapat bergerak sendiri benar-benar aneh bin ajaib, Yo Ko terkesima berbaring di atas talinya sambil menahan napas.

Setelah melompat-lompat lagi beberapa kali, peti mati itu berhenti di bawah sebatang pohon besar. Agaknya kedua ekor harimau kumbang itu menjadi heran juga melihat peti mati, mereka lari ke sana dan mengelilingi peti mati sambil mengeluarkan suara endusan dari hidung. Salah seekor harimau coba menggaruk tutup peti mati dengan cakarnya yang tajam. Pada saat itulah mendadak tutup peti mati menjeplak sendiri, kemudian dari dalam peti melompat keluar sesosok mayat kering yang tinggi kurus, sekali kakinya menendang dengan kaku, harimau kumbang jatuh terguIing. Harimau yang lain segera menubruk maju hendak menggigit mayat hidup itu, tapi kuduk harimau malah kena dicengkeram dan dilempar hingga jauh.

Melihat betapa hebatnya kekuatan mayat hidup itu, Yo Ko terkejut hingga mandi keringat dingin. Meski sudah kecundang tapi kedua harimau kumbang itu tidak menyerah mentah-mentah. Walau pun tak berani menerjang maju, tapi keduanya mendekam di kejauhan sambil meraung geram.

Tiba-tiba saja dari lembah gunung sana timbul suara seram laksana bunyi burung hantu, sesosok bayangan hitam menggelinding tiba laksana gumpalan asap. Kedua ekor harimau kumbang memapaki gumpalan asap itu dan berdiri di sampingnya dengan tingkah laku yang sangat jinak seperti anjing terhadap majikannya. Setelah gumpalan asap hitam itu tak bergerak lagi barulah kelihatan dengan jelas. Kiranya seorang kakek pendek dengan baju hitam mulus, kulit badannya juga hitam kelam serta janggut yang hitam lebat, di atas pundaknya hinggap seekor burung kondor besar dengan kepala botak, warna burung kondor itu pun hitam mulus. Terdengar kakek hitam pendek itu membuka suara:

“Siau-siang-cu, kenapa kau memukul kucing piaraanku? Kata pribahasa: pukul anjing juga mesti ingat majikannya. Tindakanmu tadi bukankah keterlaluan?”

Tinggi badan kakek itu hanya satu meteran. Walau pun tubuhnya cebol, tetapi suaranya ternyata nyaring seperti bunyi guntur sehingga anak telinga Yo Ko tergetar. Terdengar mayat hidup tadi mendengus dan menjawab dengan suara lemah:

“Saudara Singh, kucingmu kan tidak sampai kulukai? Baiklah, aku minta maaf padamu!” Sembari berkata ia pun memberi hormat.

Sekarang barulah Yo Ko dapat melihat dengan jelas. Kiranya mayat hidup itu sebenarnya adalah manusia, cuma gerak-geriknya lurus kaku, mukanya pucat seperti kertas, lagi pula muncul dari dalam peti mati, maka Yo Ko salah menyangkanya sebagai mayat hidup. Apa bila melihat gerak tendangan serta cengkeramannya tadi, di mana dua ekor harimau kumbang dianggap bagaikan dua ekor kucing, jelas merupakan kepandaian tokoh dunia persilatan kelas satu.

Kedua orang ini sama-sama menyebut harimau kumbang sebagai ‘kucing’, si kakek cebol memiliki watak keras berangasan, sebaliknya si mayat hidup jangkung sikapnya tenang, sungguh suatu perbandingan yang menyolok dan aneh. Terdengar si kakek cebol berkata lagi:

“Siau-siang-cu, bagaimana dengan urusannya Kim-Iun Hoat-ong?”

Mendengar nama ‘Kim-lun Hoat-ong’ disebut, mau tak mau Yo Ko menjadi sangat tertarik sehingga menaruh perhatian sepenuhnya. Kemudian terdengar Siau-siang-cu mendengus satu kali, lantas duduk di atas peti mati dan berkata:

“Seorang diri dia berebut pengaruh dengan jago silat Tionggoan dan mengalami kekalahan besar.”

Kakek cebol itu tertawa terbahak-bahak, suaranya menggetarkan pohon, burung hantu di atas pundaknya juga mengeluarkan suara yang seram. Kemudian kakek cebol itu berkata:



“Aku Nimo Singh datang dari negeri Thian-tiok (lndia sekarang) yang jauh di barat sana, tapi sampai di sini ternyata sudah didahului oleh Kim-lun Hoat-ong, dia telah diangkat Koksu (imam negara) kerajaan Mongol. Hmm, padahal jika berdasarkan kepandaiannya apakah dia sesuai disebut sebagai ‘nomor satu’?”

Dengan nada mengejek Siau-siang-cu lantas menanggapi: “Memangnya di dunia ini selain engkau saudara Singh, siapa lagi yang sesuai dianugerahi gelar itu?”

Nimo Singh bergelak tertawa gembira, Siau-siang-cu juga terkekeh beberapa kali, namun nadanya jelas mengejek. Nimo Singh berkata lagi:

“Siau-siang-cu, kau tinggal di Ouwlam, mengapa kau tidak ikut berebut gelar dengannya?”

Siau-siang-cu menjawab: “Waktu pangeran Kubilai mengirim undangan padaku, aku sedang berlatih Siu-bok-tiang-sing-kang (ilmu hidup abadi) sehingga tak sempat hadir, jadinya kedudukan itu dapat diambil Kim-lun Hoat-ong dengan mudah.”

“Dan kini ilmu saktimu tentu sudah selesai kau latih, lalu mengapa kau tidak mengukur tenaga dengan dia? Apakah kau takut kepada roda emas Hwesio besar itu?” ejek Nimo Singh.

“Kenapa harus takut kepada Hwesio?” jawab Siau-siang-cu, “soalnya kepandaianku belum memadai, kan begitu?”

Kembali Nimo Singh bergelak tertawa, tetapi mendadak ia merasa ucapan orang bernada mengejek, maka dengan gusar dia segera berkata:

“Siau-siang-cu, kau pandang rendah diriku. bukan? Baik, akan kucoba betapa lihaynya kau punya Siu-bok-tiang-sing-kang!”

Sekali bilang mau coba, tanpa tawar-tawar lagi segera ia mencobanya, tiba-tiba segulung asap menerjang ke depan. Biar pun perawakan Siau-siang-cu kelihatan kaku, tapi gerak-geriknya ternyata gesit dan cepat bukan kepalang, cepat ia angkat peti matinya terus mengepruk. Terdengarlah suara “blang” yang keras, keduanya melompat mundur, kedua ekor harimau kumbang dan burung hantu meraung dan menguak menambah seramnya suasana.

Sesudah benturan tadi kedua orang sama-sama merasakan kepandaian lawan memang lihay, Nimo Singh berkata:

“Hebat sekali kepandaianmu Siau-siang-cu.”

Siau-siang-cu tertawa dingin dan menjawab: “Ahh, aku yang mengaku kalah. Apakah nama ilmu kepandaianmu itu?”

“Sakya-hiat-kang (ilmu sakti Sakya melempar gajah),” jawab Nimo Singh.

“Ya, saudara Singh berasal dari negeri Tat-Ipo Loco (Budha Dharma), pantas memiliki ilmu sakti itu,” ujar Siau-siang-cu.

Dari jarak jauh kedua orang lantas saling memberi hormat. Kemudian mendadak Nimo Singh berlari cepat ke sana, dalam sekejap saja bayangannya sudah menghilang ditelan kegelapan, kedua ekor harimau kumbang juga lantas menyusul pergi. Siau-siang-cu juga cepat melompat ke dalam peti matinya, kemudian kembali berjingkrak-jingkrak menggeser sendiri ke arah berlawanan.

Tanpa sengaja Yo Ko telah menyaksikan adegan aneh itu, diam-diam ia mengakui bahwa di jagat raya yang luas ini benar-benar terdapat orang-orang maha sakti dan hal-hal yang ajaib. Coba kalau dirinya tidak berbaring tinggi di atas tali, tentu jejaknya sudah ketahuan oleh kedua orang aneh tadi dan bukan mustahil jiwanya melayang. Sukar baginya untuk tidur lagi. Ia coba merenungkan gaya ilmu silat kedua orang tadi, ia merasa ilmu mereka itu sama anehnya, tapi sangat lihay.

Sampai lama sekali Yo Ko merenung, akhirnya ia memejamkan mata untuk menghimpun semangat. Tak lama, tiba-tiba terdengar kudanya meringkik sekali. Kuda itu amat cerdik. Ketika dua ekor harimau kumbang datang, karena mengendus bau binatang buas, kuda itu cepat mendahului menyingkir jauh. Kini mendadak dia meringkik, tentu terjadi sesuatu di sekitar situ.

Dari balik semak rumput Yo Ko coba merunduk maju ke sana, sementara fajar sudah mulai remang-remang. Yo Ko melihat di kejauhan ada seseorang sedang melompat tinggi, sebelah tangannya menjulur memetik buah-buahan. Setelah dekat Yo Ko bisa mengenali Darba, murid Kim-lun Hoat-ong. Setiap lompatan Darba hanya dapat memetik satu buah, dia menjadi tidak sabar, dia gunakan lengannya untuk menghantam batang pohon, seketika pohon buah itu patah dan rebah, maka dapatlah Darba memetik buahnya dengan mudah dan cepat.

Yo Ko pikir barang kali Kim-lun Hoat-ong juga berada di sekitar situ. Sebenarnya dia tiada permusuhan dengan Hoat-ong, dan kini setelah jelas diketahui bahwa Kwe Ceng dan Oey Yong adalah musuh pembunuh ayahnya, ia menjadi menyesal tempo hari telah membantu kedua orang itu menempur Kim-lun Hoat-ong. Yo Ko lantas menguntit di belakang Darba, dia lihat orang berlari secepat terbang menuju lereng bukit sana. Yo Ko tahu ilmu silat Darba amat hebat, maka dia tidak berani terlalu dekat.

Tampak Darba masuk ke tengah hutan dan makin menanjak ke atas, akhirnya sampai di puncak tertinggi pegunungan itu. Di atas puncak gunung itu terdapat sebuah gubuk kecil yang tidak berdinding, kelihatan Kim-lun Hoat-ong sedang duduk bersemadi. Darba menaruh semua buah yang dipetiknya tadi di lantai gubuk, lalu ia mengundurkan diri. Ketika berpaling dan mendadak dilihatnya Yo Ko sedang mendatanginya, seketika air mukanya berubah dan berseru:

“Toa-suheng, apakah engkau hendak membikin susah Suhu?”

Berbareng itu ia terus menerjang maju dan menarik baju Yo Ko. Sebenarnya ilmu silat Darba lebih kuat dari pada Yo Ko, tapi lantaran sang guru dalam keadaan semadi dan tidak boleh diganggu, apa bila sampai terganggu seketika jiwa bisa melayang, saking gugupnya ia menjadi linglung dan cara menyerangnya melanggar peraturan dasar ilmu silat, keruan ia berbalik kena dipegang oleh Yo Ko terus disengkelit sehingga dia terbanting jatuh.

Menurut jalan pikiran Darba, ia percaya bahwa Yo Ko adalah inkarnasi Suheng-nya, apa lagi sekarang ia terbanting jatuh, setelah berguling di tanah segera ia merangkak bangun dan berlari lagi ke depan Yo Ko.

Semula Yo Ko menyangka orang hendak menyerangnya, cepat dia melangkah mundur dan siap balas menyerang. Siapa duga mendadak Darba menekuk lutut dan menyembah sambil memohon:

“Toa-suheng, harap engkau suka mengingat kebaikan Suhu di masa lampau, sekarang Suhu terluka parah dan sedang mengadakan penyembuhan diri, jika engkau mengejutkan beliau tentu bisa...” sampai di sini Darba tidak sanggup melanjutkan lagi karena tenggorokan serasa tersumbat dan air mata pun sudah bercucuran.

Meski Yo Ko tidak paham bahasa Tibet yang diucapkan Darba, namun dari sikapnya dan suaranya, pula Kim-lun wajah Hoat-ong tampak pucat, maka dapatlah dia memahami apa artinya. Cepat ia membangunkan Darba dan berkata:

“Aku takkan mencelakai gurumu, jangan kuatir.”

Melihat sikap Yo Ko yang ramah, Darba menjadi girang, meski berbeda bahasa, tetapi rasa permusuhan telah lenyap. Pada saat itulah Kim-lun Hoat-ong tampak membuka matanya. Begitu melihat Yo Ko, dia jadi melenggong. Tadi dia sedang tekun bersemadi sehingga tidak mendengar apa yang dipercakapkan antara Darba dan Yo Ko, kini mendadak nampak musuh sudah berada di depan mata, maka sambil menghela napas ia pun berkata:

“Percumalah kepandaian yang kulatih berpuluh tahun ini, siapa nyana hari ini aku harus tewas di Tionggoan.”

Kiranya Kim-lun Hoat-ong terluka parah oleh hantaman batu besar itu hingga isi perutnya terluka dalam. Ia lalu pasang gubuk dan merawat luka di atas gunung ini, tak terduga Yo Ko mendadak bisa muncul di sini, maka ia mengira dirinya pasti celaka. Siapa tahu Yo Ko malah memberi hormat kepadanya sambil menyapa:

“Kedatanganku ini bukan untuk memusuhi Hoat-ong, hendaklah jangan kuatir.”

Hoat-ong menggelengkan kepala, baru mau bicara lagi, mendadak dada terasa kesakitan, cepat ia pejamkan mata dan mengatur pernapasan. Melihat keadaan orang, Yo Ko mengulurkan tangan kanan dan menempel Ci-yang-hiat di punggung Hoat-ong. Darba kaget, cepat dia ayunkan kepalan hendak menyerang Yo Ko, tetapi Yo Ko sempat menggoyangkan tangan kiri dan mengedipinya. Ketika nampak keadaan sang guru tiada perubahan apa pun, sebaliknya malah kelihatan tersenyum simpul, maka kepalan yang sudah diangkat tak jadi dipukulkan.

Sementara itu Yo Ko telah mengerahkan tenaga dalam sehingga suatu arus hawa hangat mengalir ke berbagai Hiat-to di tubuh Kim-lun Hoat-ong. Karena pikirannya tidak perlu kuatir lagi, segera Kim-lun Hoat-ong memusatkan segenap kekuatannya untuk melancarkan aliran darahnya dan membenarkan luka dalamnya. Tidak terlalu Iama rasa sakitnya sudah mulai lenyap, wajahnya telah bersemu merah. Ia lalu membuka mata dan mengangguk kepada Yo Ko sebagai tanda terima kasih.

Setelah dibantu Yo Ko sekian lama, Kim-lun Hoat-ong merasa hawa murni di dalam tubuh telah berputar dengan cepat dan lancar. Yo Ko merasakan perputaran serta arah aliran hawa murni dalam tubuh Hoat-ong ternyata sama sekali berlainan dengan Iwekang aliran Coan-cin-pay, bahkan tidak sama pula dengan lwekang terbalik ajaran Auyang Hong. Yang jelas Iwekang Hoat-ong ini juga teratur dengan baik sungguh pun perputarannya terkadang berubah ke kanan dan ke kiri secara tak menentu.

Ia tahu ini adalah aliran ilmu tersendiri dari Tibet, diam-diam ia pun mengingatnya dengan baik, hanya saja bagaimana caranya berlatih belum diketahui oleh Yo Ko, apa lagi untuk berlatih sampai tingkatan Kim-lun Hoat-ong tentu tak dapat dicapai dalam waktu singkat. BegituIah kemudian Kim-lun Hoat-ong memberi hormat kepada Yo Ko dan bertanya:

“Yo-siauhiap, mengapa engkau tiba-tiba datang membantu aku?”

Yo Ko lantas menceritakan bahwa baru saja dia mengetahui pembunuh ayahnya ternyata adalah Kwe Ceng dan Oey Yong, maka kini bertekad akan menuntut balas, secara tidak sengaja tadi dia menguntit Darba sehingga akhirnya bertemu di sini.

“Syahdu! Syahdu! Kiranya Yo-siauhiap sendiri dibebani dendam kesumat begitu,” sabda Kim-lun Hoat-ong. “Namun Kwe-tayhiap dan isterinya itu berilmu silat maha tinggi, bagi Yo-siauhiap kiranya tidaklah mudah untuk menuntut balas.”

“Kalau perlu, biarlah kami ayah dan anak mati semua di tangannya,” ujar Yo Ko sesudah terdiam sejenak.

“Betapa pun juga maksud tujuanku untuk mengukur tenaga dengan tokoh-tokoh persilatan di Tionggoan sini belum terhenti, akan tetapi dengan tenagaku sendiri jelas tak sanggup melawan mereka yang berjumlah banyak. Aku juga hendak mengundang tokoh persilatan dari negeri lain untuk membantu pihak kami, dengan demikian kita akan dapat mengukur tenaga dengan jago-jago silat Tionggoan dengan sama banyak dan adil. Untuk ini apakah engkau bermaksud membantu pihak kami?”

Mestinya Yo Ko hendak menerima tawaran itu, tetapi segera teringat olehnya kekejaman prajurit Mongol, segera ia menjawab:

“Aku tak dapat membantu pihak MongoI.”

“Tapi apa bila engkau ingin membunuh Kwe Ceng dan isterinya dengan tenagamu sendiri terang maha sulit,” kata Hoat-ong.

Untuk sejenak Yo Ko berpikir, katanya kemudian: “Baik, akan kubantu kau untuk merebut kedudukan Bu-lim Beng-cu, tapi kau harus membantu aku menuntut balas.”

“Baik,” jawab Hoat-ong sambil mengulurkan tangan. “Kata-kata seorang lelaki sejati harus ditepati, Marilah kita berjanji dengan bertepuk tangan.”

Segera kedua orang saling tepuk tangan tiga kali sebagai sumpah setia berserikat. Lalu Yo Ko berkata lagi:

“Aku cuma berjanji membantu kau berebut kedudukan Bu-Iim Beng-cu saja, bahwa nantinya kau akan membantu orang Mongol menyerang ke selatan dan melakukan kekejaman dan kejahatan, aku tak dapat memberi bantuan.”

“Setiap orang memiliki cita-cita sendiri dan tak dapat dipaksakan,” kata Hoat-ong dengan tertawa. “Saudara Yo, gaya ilmu silatmu terdiri dari berbagai aliran, ingin kukatakan terus terang bahwasanya memahami berbagai ilmu memang tiada jeleknya, tapi terlalu banyak menjadi tidak murni. Ilmu apakah yang paling kau andalkan dan dari aliran mana? Dengan kepandaian apa kau hendak menempur Kwe Ceng beserta istrinya untuk membalas sakit hatimu?”

Pertanyaan ini membikin Yo Ko bungkam dan sukar memberi jawaban. Selama hidupnya memang banyak pengalaman aneh yang telah ditemuinya, wataknya juga suka menerima kepandaian apa saja asal bisa dipelajarinya, ilmu silat Coan-cin-pay, kepandaian Auyang Hong, Giok-li-sim-keng dari Ko-bong-pay, Kiu-im-cin-keng, ajaran Oey Yok-su dan Ang Chit-kong tak terhitung banyaknya ilmu yang telah dipeIajarinya.

Tapi setiap ilmu itu sangat luas dan dalam, biar pun dia mempelajarinya dengan segenap kepintarannya juga sukar untuk mencapai tingkatan yang sempurna. Dia hanya ambil sini sebagian dan petik sana sebagian, belum ada satu pun jenis ilmu yang benar-benar dilatihnya hingga mencapai tingkat kelas satu. Dengan memiliki kepandaian yang beraneka macam itu, bila bertemu dengan jago kelas dua memang cukup untuk membikin musuhnya kewalahan dan bingung, namun kalau kebentur tokoh kelas tinggi segera kelemahannya kelihatan dan menyolok perbedaannya.

Begitulah Yo Ko menunduk merenungkan apa yang dikatakan Kim-lun Hoat-ong itu. Dia merasa ucapan orang memang benar dan tepat mengenai kelemahan ilmu silat yang telah dipelajarinya. Bahwa Ang Chit-kong, Oey Yok-su, Auyang Hong, Kim-lun Hoat-ong dan tokoh terkemuka lain dapat termashur dan menonjol, semuanya adalah karena mereka hanya meyakinkan ilmu perguruannya sendiri. Jadi untuk mencapai tingkatan sempurna tidaklah perlu serakah dalam jumlah, namun yang terpenting adalah kadar kepandaian itu sendiri.

Ia pikir sudah sekian banyaknya ilmu yang kupahami dan semuanya serba lihay, lalu ilmu manakah yang harus kupelajari secara khas? Kalau menuruti arah pikiran, sudah tentu dirinya harus meyakini Giok-li-sim-keng dari Ko-bong-pay, apa lagi kalau dirinya sudah bertekad akan hidup berdampingan selamanya di dalam kuburan kuno bersama Siao-liong-li.

Tapi bila teringat betapa bagusnya Pak-kau-pang-hoat ajaran Ang Chit-kong, atau betapa indahnya Giok-siau-kiam-hoat ajaran Oey Yok-su, kalau semuanya itu dikesampingkan kan juga sayang? Apa lagi Ha-mo-kang ajaran Auyang-Hong atau berbagai ilmu sakti dari kitab Kiu-im-cin-keng, ilmu yang sangat diidamkan jago silat siapa pun, kini dirinya dapat mempelajarinya, masakah malah ditinggalkan begitu saja?

Saking kesalnya ia keluar gubuk itu kemudian berjalan mondar-mandir sambil bersedekap tangan. Sejenak kemudian mendadak timbul satu pikiran dalam benaknya: “Ya, mengapa aku tidak menggunakan intisari semua ilmu yang kupahami untuk menjadikannya aliran tersendiri? Setiap ilmu silat di dunia ini adalah ciptaan manusia, jika orang lain bisa menciptakannya, kenapa aku tidak?” Berpikir hingga di sini mendadak pikirannya terbuka, jalan terbentang terang di depan matanya.

Begitulah ia mulai memeras otak, dari pagi berpikir sampai lohor dan sampai jauh malam tanpa makan tanpa minum. Berbagai aliran ilmu silat terbayang bergantian dalam benaknya dan seakan-akan saling bertempur. Dia pernah menyaksikan pertandingan antara Ang Chit-kong dan Auyang Hong secara lisan, ia sendiri pun pernah menggertak lari Li Bok-chiu hanya dengan uraian mulut saja.

Kini pertarungan berbagai aliran ilmu silat dalam benaknya itu ternyata jauh lebih dahsyat dan sengit dari pada pertandingan lisan. Begitulah bayangan pertarungan antara berbagai aliran silat terus berkecamuk di dalam benaknya sampai akhirnya tanpa terasa kaki dan tangannya juga ikut bergerak. Semula masih dapat dibedakan jurus ini berasal dari ajaran Ang Chit kong dan jurus lain dipelajari dari Auyang Hong, tapi lama-Iama menjadi kacau balau dan tak tahan lagi, mendadak ia jatuh terjungkal dan pingsan.

Dari jauh Darba mengikuti terus gerak-gerik Yo Ko yang linglung dan kemudian main silat sendiri seperti orang gila. Ketika akhirnya pemuda itu mendadak jatuh, dia menjadi kaget dan memburu maju hendak menolong. Akan tetapi Kim-lun Hoat-ong sudah mencegahnya dengan tertawa:

“Jangan kau ganggu dia. Sayang kecerdasanmu kurang sehingga kau tidak memahami persoalannya.”

Yo Ko tidur setengah malam. Besoknya sesudah bangun kembali dia memeras otak lagi. Dalam tujuh hari dia jatuh pingsan lima kali tetapi gerak tangan dan kakinya semakin lihay, telapak tangan mampu mematahkan pohon dan kaki sanggup menerbangkan batu. Sampai hari ke delapan, gerakan Yo Ko mulai perlahan, dari dahsyat berubah jadi lemas, sekali pukul pada batang pohon, sehelai daun juga tidak bergoyang, tetapi pohon itu tahu-tahu patah.

Maka tahulah Yo Ko bahwa ilmu silat ciptaannya telah jadi, sungguh girangnya tidak alang kepalang, segera ia duduk bersila dan mulai merenungkan kembali semua jurus ilmu silat ciptaannya dari awal sampai akhir. Dia merasa semuanya terlebur menjadi satu dalam pemikirannya, baru sekarang dia tahu perbedaan antara kekuatan batin dan tenaga luar, antara kebagusan Pak-kau-pang-hoat dan Giok-siau-kiam-hoat, sesungguhnya semua itu ‘Bhinneka Tunggal Ika’, berbeda-beda, tapi satu.

Kemudian ia bangkit perlahan dan memandang jauh ke puncak gunung. Perutnya terasa sangat lapar, tanpa pikir dia makan sekenyangnya buah-buahan yang dikumpulkan Darba.

“Selamat atas keberhasilan ilmu silat ciptaanmu, saudara Yo,” Kim-lun Hoat-ong berkata dengan tertawa sambil bangkit dan memberi hormat dengan merangkap kedua telapak tangannya di depan dada. Berbareng itu serangkum angin dahsyat langsung menyambar ke arah Yo Ko.

Yo Ko terkejut dan cepat gunakan tangannya untuk menyampuk angin pukulan lawan ke samping, Tapi begitu tenaga pukulan kedua pihak saling kontak, segera Kim-lun Hoat-ong menarik kembali tenaga pukulannya. Tenaga benturan pukulan tadi hanya ringan saja, akan tetapi Kim-lun Hoat-ong sudah bisa menarik kesimpulan bahwa hasil renungan Yo Ko selama delapan hari ternyata luar biasa hebatnya.

Tahu bahwa orang cuma menguji kepandaiannya, Yo Ko tertawa dan berkata: “Aku pun mengucapkan selamat padamu, kini kau sudah sehat kembali.”

Bahwa seseorang kalau sudah ‘jadi’, apakah jadi kaya, atau jadi pintar, dengan sendirinya sikap dan wibawanya segera berubah. Begitu juga dalam hal ilmu silat, karena kini Yo Ko adalah pendiri suatu aliran tersendiri meski usianya masih muda belia, namun wibawa dan sikapnya sudah jauh berbeda dari pada delapan hari sebelumnya.

Diam-diam Kim-lun Hoat-ong merasa syukur dan merasa akan banyak memetik hasilnya jika bersekutu dan mendapat bantuan anak muda ini, Maka ia lantas berkata:

“Saudara Yo, marilah kuperkenalkan seseorang kepadamu. Orang ini memiliki pengetahuan yg luar biasa dan berbakat tinggi, bijaksana lagi berbudi. Kutanggung engkau juga akan kagum kepadanya setelah menemuinya.”

“Siapakah dia?” tanya Yo Ko.

“Ia seorang pangeran Mongol bernama Kubilai,” jawab Hoat-ong. “Ia adalah cucu Jengis Khan, putera ke empat pangeran Tule.”

Karena pernah menyaksikan keganasan tentara Mongol, maka Yo Ko merasa amat benci kepada orang Mongol, karena itu dia menjawab:

“Aku ingin selekasnya dapat membunuh musuh untuk menuntut balas. Maka tidak perlulah kiranya pertemuan dengan pangeran MongoI itu.”

“Aku sudah berjanji akan membantu kau, janji ini pasti akan kupegang teguh,” ujar Hoat-ong dengan tertawa, “Tapi aku adalah orang undangan pangeran Kubilai, maka aku perlu memberi laporan sekadarnya kepada beliau. Perkemahannya terletak tidak jauh dari sini, sehari saja cukup untuk mencapainya.”

Yo Ko merasa kalau sendirian pasti bukan tandingan Kwe Ceng dan Oey Yong. Karena memerlukan bantuan orang, terpaksa Yo Ko menurut dan ikut Kim-lun Hoat-ong. Adalah kebiasaan orang Mongol bertempat tinggal di dalam kemah. Adat ini tidak dapat dilenyapkan, meski mereka berhasil menyerbu ke Tiongkok dan menduduki kota, mereka tetap tidak biasa bertempat tinggal di dalam rumah bertembok. Kubilai juga tinggal di dalam kemahnya.

Kim-lun Hoat-ong adalah Koksu utama kerajaan Mongol, dengan sendirinya dia sangat dihormati dan disegani. Begitu melihat kedatangannya, segera penjaga melapor kepada sang pangeran. Sambil berendeng maju, Kim-lun Hoat-ong dan Yo Ko melangkah masuk ke dalam kemah pangeran Kubilai.

Di dalam kemah itu ternyata sangat sederhana. Kecuali luasnya satu kali lipat lebih besar dari pada kemah orang Mongol biasa, lebih dari itu tiada kelihatan tanda-tanda sesuatu yang mewah. Tampak seorang pemuda berusia 25-26 tahun dengan dandanan orang terpelajar sedang membaca kitab. Melihat Hoat-ong berdua datang, pemuda itu cepat-cepat bangkit menyambut dan berkata sambil tertawa:

“Sudah beberapa hari tak bertemu dengan Koksu, hatiku menjadi kesal.”

“Ongya, ini kuperkenalkan seorang ksatria muda padamu,” kata Hoat-ong. “Saudara Yo ini adalah seorang ksatria yang sukar ada bandingannya.”

Mendengar sapa menyapa itu, Yo Ko terkejut sekali. Tadinya ia menyangka sebagai cucu Jengis Khan dan saudara raja Mongol yang bertahta sekarang, tentulah pangeran Kubilai itu pasti gagah berwibawa dan kereng, tapi siapa tahu yang dihadapinya sekarang adalah seorang pemuda pelajar yang berdandan sebagai bangsa Han dan bicara dalam bahasa Han pula.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar