Minggu, 15 Agustus 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 080

PEMBUNUH AYAH

Tapi Li Bok-chiu menjengek lagi: “Hm, gurumu sudah mengusir kau, tapi kau masih terkenang padanya, sungguh aneh. Pokoknya begini saja, ketiga bocah ini akan kubunuh, sebaiknya kau jangan ikut campur.”

“Meski aku pernah belajar silat, tetapi selama hidupku tak pernah berkelahi dengan siapa pun, apa lagi aku sudah cacat kaki, untuk berkelahi juga tidak dapat,” ujar Pang Bik-hong, si pandai besi tua.

“Ya, memang begitulah, tidak perlu jiwamu ikut dikorbankan,” kata Li Bok-chiu.

“Tidak,” Pang Bik-hong menggeleng kepala, “betapa pun kau tak boleh mengganggu seujung rambut Sumoay-ku. Beberapa orang ini adalah teman Sumoay-ku, maka kau pun tidak boleh mengganggu mereka.”

Serentak timbullah napsu keganasan Li Bok-chiu, jengeknya: “He-he-he, jika begitu kalian berempat boleh maju saja seluruhnya!” Habis berkata demikian dia lantas berdiri dan siap menghadapi pertempuran.

Akan tetapi Pang Bik-hong tetap tenang saja menggembleng besinya. Dengan perlahan ia berkata:

“Sudah lebih 30 tahun kutinggalkan perguruan, ilmu silatku telah lama kulupakan, sekarang aku harus mengingat-ingatnya dalu dan mengatur seperlunya.”

Li Bok-chiu bergelak tawa, katanya: “Sekian lamanya aku malang melintang di dunia, belum pernah kulihat orang macam kau, di medan perang baru mengasah tombak. Pang Bik-hong, apa betul selama hidupmu belum pernah bergebrak dengan orang?”

“Selamanya aku tak pernah bersalah kepada siapa pun, orang memukul atau memaki kubiarkan saja, dengan sendirinya takkan terjadi perkelahian,” kata Pang Bik-hong.

“He-he-he, anak murid Oey-losia benar-benar tak becus semua dan memalukan,” ejek Li Bok-chiu.

“Li-totiang,” kata Pang Bik-hong, “kuharap engkau jangan mengolok-olok guruku.”

“Ha-ha-ha-ha, sudah lama orang tak mengakui kau sebagai murid, tetapi kau masih terus menyebutnya guru ini dan itu, memangnya kau tidak malu?” jengek Li Bok-chiu pula.

Sambil menggembleng besinya, Pang Bik-hong menjawab: “Selama hidupku penuh derita, di dunia ini cuma Suhu saja sanak kadangku, jika aku tidak mengenang dan menghormati beliau, habis siapa yang harus kupikirkan lagi? Eh, Siau-su-moay, apakah Suhu baik-baik saja?”

“Beliau sangat baik,” jawab Thia Eng.

Seketika air muka Pang Bik-hong tampak girang. Sementara itu besi yang digemblengnya sudah membeku, pandai besi tua itu menanggamnya pula untuk dibakar kembali ke dalam tungku, akan tetapi lantaran pikirannya sedang melayang maka yang disodorkan ke dalam tungku ternyata bukan besi yang tengah digembleng melainkan palu besar yang dipegangnya.

Li Bok-chiu tertawa mengejek: “Pang Bik-hong, boleh kau pikirkan kembali kepandaian ajaran gurumu dan tidak perlu bingung.”

Pang Bik-hong tak menanggapinya, ia memandangi api tungku dengan terkesima, selang sejenak kembali ia memasukkan pula tongkatnya ke dalam tungku.

“He, jangan keliru, itu tongkatmu!” seru Yo Ko dan Liok Bu-siang.

Namun Pang Bik-hong tetap tidak menjawab dan tetap menatapi api tungku. Aneh juga, tongkatnya ternyata tidak terbakar, sebaliknya lama-lama berubah merah membara, kiranya tongkatnya adalah tongkat besi. Selang tak Iama palu besar tadi juga terbakar hingga merah, akan tetapi tangannya yang memegangi palu dan tongkat itu ternyata tidak merasakan panasnya besi yang membara.

Baru sekarang Li Bok-chiu mulai waspada, dia menyadari pandai besi tua ini tidak boleh diremehkan. Kuatir jika orang tiba-tiba melancarkan serangan dan dia masuk perangkapnya, segera Li Bok-chiu melompat keluar rumah dan berseru:

“Pang Bik-hong, keluar sini!”

Sekali lompat Pang Bik-hong menyusul, gerak-geriknya ternyata amat cepat, sedikit pun tak terlihat tanda-tanda sebagai seorang cacat. Tongkatnya yang merah membara ditancapkan di tanah, lalu dia berkata:

“Li-to-tiang, kuharap jangan kau memaki guruku lagi dan jangan membikin susah sumoay-ku, sudilah engkau mengampuni pandai besi tua macam diriku ini!”

Sungguh heran Li Bok-chiu oleh sikap Pang Bik-hong ini, masakah sudah maju di medan perang malah minta ampun kepada lawan. Maka segera dia pun menjawab:

“Aku boleh mengampuni jiwamu, kalau kau takut sebaiknya jangan ikut campur urusanku ini.”

“Jika begitu silakan kau membunuh diriku dulu!” jawab Pang Bik-hong dengan mengertak gigi, tubuhnya tampak gemetar, agaknya di samping takut juga pantang mundur.

Li Bok-chiu angkat kebutnya terus menyabet kepala lawan. Tapi Pang Bik-hong mengelak ke samping dengan gaya yang indah, namun lantaran tangan gemetar, dia ternyata tidak berani balas rnenyerang. Berturut tiga kali Li Bok-chiu menyerang dan Pang Bik-hong selalu menghindarkan diri dengan gerakan yang indah dan gesit, tapi tetap tidak berani balas menyerang.

Sementara itu Yo Ko bertiga ikut keluar menonton dari samping, mereka mencari kesempatan untuk maju membantu bila perlu.

Serangan Li Bok-chiu semakin gencar, akan tetapi Pang Bik-hong memang belum pernah bertempur dengan orang, ditambah wataknya memang ramah, betapa pun serangannya tidak dapat dilontarkan.

Melihat gelagat jelek, Yo Ko pikir ingin memancing semangat tempur tokoh yang memiliki kepandaian tinggi ini. Tiada jalan lain kecuali membuatnya marah, karena itu dia sengaja berteriak:

“Li Bok-chiu, mengapa kau memaki Tho-hoa-tocu manusia rendah, orang yang tidak berbudi dan tidak tahu diri?”

Sudah tentu Li Bok-chiu amat penasaran karena merasa tak pernah berkata begitu. Tapi ia tidak menanggapi ocehan Yo Ko, sebaliknya serangannya bertambah gencar.

Segera Yo Ko berseru kembali: “Li Bok-chiu, kau menuduh Thoa-hoa-tocu berzinah dengan isteri orang dan sering memperkosa anak perempuan orang, memang kau pernah menyaksikannya sendiri? Kau juga memaki beliau suka mengkhianati kawan dan menjual teman, apakah betul tuduhanmu itu?”

Sudah tentu Thia Eng merasa bingung. Sebaliknya Pang Bik-hong menyangka apa yang dikatakan Yo Ko benar terjadi, dia menjadi murka terhadap Li Bok-chiu. Serentak timbul keberaniannya, palu dan tongkat bekerja sekaligus terus menghantam ke arah Li Bok-chiu dengan membawa hawa panas. Li Bok-chiu tak berani menyambut serangan hebat ini, cepat ia melompat ke samping dan mencari peluang balas menyerang.

Segera Yo Ko berseru pula: “Li Bok-chiu, kau memaki Tho-hoa-tocu sebagai manusia tak tahu malu, kulihat kau sendiri yang tak kenal malu!”

Makin marahlah Pang Bik-hong, palu serta tongkatnya terus menghantam musuh dengan tangkas luar biasa. Semula dia rada kaku memainkan kedua macam senjata itu, tapi lambat-laun dia mulai biasa dengan permainan ilmu silatnya.

Kalau bicara tentang keuletan, sebenarnya selisih antara kedua orang tidak jauh, namun Li Bok-chiu sudah lama malang melintang di dunia Kang-ouw, entah sudah berapa banyak pertempuran yang dialaminya, pengetahuan serta pengalamannya entah berapa kali lebih banyak dari pada Pang Bik-hong, apa lagi Pang Bik-hong cacat sebelah kaki, lama-lama tentu kewalahan dan kalah. Benar saja! Sesudah rasa murka Pang Bik-hong rada mereda dan semangat tempurnya menjadi kendur, lambat laun ia pun mulai terdesak. Tentu saja Li Bok-chiu sangat girang, kebutnya menyabet ke dada lawan. Cepat Pang Bik-hong menangkis dengan palu, tapi ujung kebut terus memutar dan melilit ujung palu.

Sebenarnya gerakan kebut itu adalah kepandaian khas Li Bok-chiu yang biasanya sangat lihay untuk merampas senjata musuh, asal ujung kebut sudah melilit terus dibetot maka senjata lawan pasti akan terlepas dari cekalan. Tak terduga-duga mendadak terdengar suara mencicit disertai kepulan asap yang berbau sangit, ternyata ujung kebutnya hangus terbakar, Li Bok-chiu tidak berhasil merampas senjata lawan, sebaliknya kehilangan senjatanya sendiri.



Akan tetapi Li Bok-chiu tidak menjadi bingung dan gugup, ia buang tangkai kebutnya yang sudah gundul itu, kini dia menggunakan ilmu pukulan andalannya, yaitu Ngo-tok-sin-ciang, pukulan sakti panca-bisa. Meski pukulannya yang berbisa lima macam itu sangat lihay, tapi untuk menggunakannya harus dilakukan dari jarak dekat, sedangkan lawan bersenjatakan palu dan tongkat yang panjang serta diputar sedemikian kencangnya, tampaklah di antara dua sosok bayangan orang itu mengepulkan asap.

Ternyata jubah pertapaan Li Bok-chiu sudah bersentuhan dengan palu dan tongkat yang membara dan sebagian demi sebagian terbakar. Keruan tidak kepalang marah Li Bok-chiu. Sudah jelas dirinya pasti menang, tapi justru kewalahan dalam hal senjata, betapa pun ia merasa penasaran dan bertekad hendak menghantam pandai besi tua itu dengan sebuah pukulan maut untuk melampiaskan rasa gemasnya.

Untuk pertama kalinya Pang Bik-hong bertempur dengan orang, kalau begitu maju lantas kalah, tentu semangat tempurnya akan semakin surut. Tetapi sekarang dia berada di atas angin, tongkat dan palunya dimainkan sedemikian lihaynya sehingga tiada peluang bagi Li Bok-chiu memukulnya, sebaliknya Li Bok-chiu telah beberapa kali hampir termakan oleh palunya, kalau tidak cepat berkelit tentu tangannya sudah terbakar hangus.

Sejenak kemudian mendadak Pang Bik-hong berseru: “Sudahlah, berhenti, aku tidak mau bertempur lagi dengan kau! Macam apa keadaanmu ini!” Habis berkata ia terus melompat mundur.

Li Bok-chiu tertegun. Pada waktu angin meniup tiba, baju yang dipakainya sepotong demi sepotong terbang terbawa angin, ternyata bajunya sudah berlubang di sana sini sehingga kelihatan jelas kulit dagingnya di bagian lengan, pundak dan dada.
Padahal tubuh Li Bok-chiu masih suci bersih, masih perawan, keruan dia menjadi amat malu. Baru saja ia hendak melarikan diri mendadak dekat bokong terasa silir dingin, kiranya sepotong kain baju bagian itu robek pula terbawa angin.

Melihat keadaan orang yang runyam dan konyol itu, cepat Yo Ko tanggalkan baju sendiri terus dilempar sekuatnya ke punggung Li Bok-chiu. Begitu kuat baju Yo Ko melayang ke depan sehingga mirip seorang yang mendadak mendekap Li Bok-chiu dari belakang.

Cepat Li Bok-chiu memasukkan tangannya pada lengan baju itu lalu mengencangkannya dengan tali pinggang, Dalam keadaan demikian, biar pun selama hidupnya sudah banyak mengalami pertempuran besar, tidak urung dia menjadi serba salah, wajahnya sebentar pucat, sebentar merah, pikirnya:

“Jika kulanjutkan pertarungan ini, sebentar saja baju ini pasti akan terbakar lagi. Biarlah pil pahit ini kutelan saja sekarang, kelak barulah akan kucari kesempatan menurut balas.”

Ia lantas mengangguk kepada Yo Ko sebagai tanda terima kasih atas pemberian bajunya, lalu ia berpaling dan berkata kepada Pang Bik-hong:

“Caramu menggunakan senjata aneh ini ternyata sesuai benar dengan jalan pikiran Oey-losia yang eksentrik. Coba katakan terus terang, jika bertarung dengan kepandaian sejati, menurut perasaanmu dapatkah kau mengalahkan aku? Anak murid Oey-losia apa bila bertempur satu lawan satu dengan aku, apakah di antaranya bisa mengalahkan aku?”

Pada dasarnya Pang Bik-hong adalah orang yang jujur dan polos, sebab itu dengan terus terang dia menjawab:

“Ya, jikalau kau tidak kehilangan senjata andalanmu, lama-lama kau pasti akan mengalahkan aku.”

“Asal kau tahu saja,” ujar Li Bok-chiu dengan angkuh. “Apa yang kutulis tadi bahwa anak murid Tho-hoa-to kebanyakan memang tidak becus menjadi tepat, bukan?”

Pang Bik-hong berpikir sejenak, lalu berkata: “Tidak, anggapanmu itu tidak benar. Kalau saja keempat suheng-ku berada di sini, salah seorang di antara mereka pasti lebih kuat dari padamu. Tak perlu Tan-suheng atau Ki-suheng yang lihay, hanya Bwe-suci saja yang sesama kaum wanita seperti kau, betapa pun kau tak dapat mengalahkan dia.”

“Hm, orang sudah mati tidak dapat dibuktikan, apa gunanya dibicarakan?” jengek Li Bok-chiu. “Yang jelas kepandaian Oey-losia juga cuma begini saja. Tadinya aku berniat menguji kepandaian puterinya, yaitu Kwe-hujin, tapi sekarang kukira tak perlu lagi.” Habis berkata ia terus hendak melangkah pergi.

“Nanti dulu!” tiba-tiba Yo Ko berseru.

“Ada apa?” jawab Li Bok-chiu kurang senang.

“Kau bilang kepandaian Tho-hoa-tocu hanya begini saja, ucapanmu ini salah besar,” kata Yo Ko. “Pernah kudengar dari beliau bahwa dia punya Giok-siau-kiam-hoat (permainkan seruling sebagai ilmu pedang) sudah cukup untuk mematahkan permainan kebutmu.”

Dia mengambil sepotong besi kemudian menggores-gores di atas tanah sambil memberi penjelasan,

“Misalnya Li Bok-chiu menyerang begini segera akan ditangkis dengan begitu terus disusul dengan serangan balasan begini dan seterusnya, dan dalam keadaan terjepit akhirnya kau harus membuang kebutmu dan menyerah kalah.”

Lebih jauh Yo Ko berkata: “Jika bicara tentang Ngo-tok-ciang-hoat andalanmu, Tho-hoa-tocu telah siap menghadapi seranganmu, dengan kuku jarinya yang cukup panjang, setiap seranganmu akan dipatahkan, jika pukulanmu tetap diteruskan, maka segera beliau akan menggunakan tenaga jari sakti, dengan kuku tajam akan menyelentik telapak tanganmu dan bila kena, seketika tanganmu akan lumpuh, sementara beliau bisa segera memotong kukunya dan terhindarlah dari penjalaran panca-bisa pukulanmu.”

Keterangan Yo Ko itu membuat wajah Li Bok-chiu sebentar pucat sebentar merah padam, sebab setiap kata-kata pemuda itu memang masuk di akal dan memang tepat betul untuk menghadapi serangannya.

Kemudian Yo Ko menambahkan: “Tho-hoa-tocu amat marah akan ucapanmu yang kurang ajar, akan tetapi beliau adalah seorang tokoh maha besar dan tidak sudi bergebrak sendiri dengan kau. Beliau sudah mengajarkan semua kepandaian tadi kepadaku dan suruh aku membereskan kau, tetapi mengingat kau dan guruku ada hubungan saudara seperguruan maka aku sudah membeberkan kelihayan Tho-hoa-tocu kepadamu supaya bila kelak kau bertemu dengan anak muridnya, lebih baik jika kau menghindar saja sejauhnya.”

Li Bok-chiu termangu sejenak, akhirnya dia berkata dengan lesu: “Sudahlah!” Segera dia memutar tubuh dan melangkah pergi, dalam sekejap saja sudah menghilang di balik bukit sana.

Diam-diam Pang Bik-hong bersyukur melihat musuh lihay itu sudah pergi, Padahal meski Oey Yok-su telah mengajarkan ilmunya kepada Yo Ko, untuk bisa digunakan secara tepat dan mengalahkan musuh, sedikitnya Yo Ko perlu berlatih setahun dua tahun. Tapi Li Bok-chiu ternyata benar-benar gentar dan takluk lahir batin atas uraian Yo Ko tadi, sejak itu ia tidak berani lagi mengeluarkan kata-kata menghina terhadap Oey Yok-su.

Dengan kepergian Li Bok-chiu, rasanya yang paling girang adalah Liok Bu-siang. Maklum saja, nona itu sudah lama berada di bawah pengaruh iblis itu, mendengar suaranya saja ketakutan, apa lagi berhadapan dengan dia. Maka dia tidak habis kagum akan kecerdikan Yo Ko, berulang ia memuji ‘si tolol’ itu. Selagi mereka hendak masuk lagi ke dalam bengkel si pandai besi, mendadak terdengar suara gemuruhnya orang banyak disertai suara derap lari kuda yang riuh.

Thia Eng terkejut Cepat Yo Ko berkata: “Coba aku pergi melihatnya!”

Segera ia mencemplak ke atas kudanya lalu dilarikan ke sana, setelah membelok ke balik bukit sana dan beberapa li kemudian sampailah dia di jalan raya. Tampak debu mengepul panji berkibaran, kiranya pasukan Mongol sedang bergerak ke arah selatan. Selamanya Yo Ko belum pernah menyaksikan gerakan pasukan sebanyak itu, dia menjadi terkesima.

Tiba-tiba dua prajurit Mongol menyentaknya sambil menerjang ke arahnya: “Hei, kau lihat apa?”

Cepat Yo Ko memutar kudanya dan kabur. Dua prajurit itu segera mementangkan busur dan melepaskan anak panah, tetapi sekali meraup ke beIakang, dengan mudah saja dua batang anak panah itu sudah kena ditangkap Yo Ko. Ia merasa sambaran anak panah itu cukup kuat, kalau saja dirinya tidak mahir ilmu silat tentu sudah mati tertembus dua anak panah itu.

Melihat Yo Ko mampu menangkap panah mereka, kedua prajurit itu menjadi jeri terhadap kelihayan Yo Ko, mereka menahan kuda kemudian memutar balik ke sana. Yo Ko lantas kembali ke bengkel si pandai besi dan menuturkan apa yang dilihatnya.

“Pasukan besar Mongol ternyata benar-benar bergerak ke selatan, karena itu rakyat jelata bangsa Han kembali akan menderita,” kata Pang Bik-hong dengan gegetun.

“Ya, ketangkasan menunggang kuda dan keahlian memanah pasukan Mongol memang sukar dilawan oleh pasukan Song, mala petaka yang bakal menimpa sungguh hebat,” ujar Yo Ko.

Pang Bik-hong berkata pula: “Yo-kongcu muda usia, kenapa tidak pulang ke selatan untuk ikut berjuang melawan serbuan musuh?”

Yo Ko melenggong sejenak, jawabnya kemudian: “Tidak, aku harus pergi ke utara untuk mencari Kokoh. Begitu kuat pasukan Mongol, hanya tenagaku seorang apa gunanya?”

“Tenaga seorang memang kecil, tapi kalau tenaga orang banyak bergabung kan menjadi kuat,” kata Pang Bik-hong. “Apa bila semua orang berpendirian seperti Yo-kongcu, lalu siapa lagi yang mau berjuang demi bangsa dan tanah air?”

Biar pun merasa ucapan orang tidak salah, akan tetapi Yo Ko tetap merasa lebih penting mencari Siao-liong-li dulu. Sejak kecil ia hidup terlunta-lunta di daerah Kanglam dan sudah kenyang derita siksaan kaum penguasa. Ia merasa biar pun orang Mongol tampak kejam dan jahat, tapi kaisar Song juga belum tentu manusia baik dan tidak perlu menjual tenaga baginya. Sebab itu ia hanya tersenyum dan tidak menanggapi ucapan Pang Bik-hong tadi. Setelah meringkas barang bawaannya dan dipanggul, lalu Pang Bik-hong berkata kepada Thia Eng:

“Sumoay, kelak apa bila bertemu dengan Suhu, harap kau suka menyampaikan kepada beliau bahwa murid Pang Bik-hong tidak pernah melupakan ajaran beliau. Kini aku akan menyusup ke tengah pasukan Mongol, betapa pun aku harus membinasakan satu-dua panglimanya yang telah menyerbu tanah air kita ini.”

Habis berkata ia terus melangkah pergi tanpa berpaling. Seperginya Pang Bik-hong, mereka bertiga masuk lagi ke dalam bengkel dan melihat Sah Koh terkulai di lantai, mereka kaget dan cepat menggotongnya ke atas pembaringan. Kelihatan muka Sah Koh merah padam, kedua matanya melotot tak bersinar, jelas racun pukulan sakti Li Bik-chiu telah bekerja lagi. Cepat Thia Eng memberi minum obat lagi dan Yo Ko mengurut Hiat-tonya. Sah Koh terbeliak memandangi pemuda itu, tiba-tiba air mukanya mengunjuk rasa ketakutan dan dia pun lantas berteriak:

“Saudara Yo, jangan kau minta ganti nyawa padaku, bukan aku yang mencelakai kau...”

“Jangan takut, Suci,” bujuk Thia Eng dengan suara halus, “dia takkan...”

Yo Ko pikir selagi pikiran Sah Koh dalam keadaan linglung, kesempatan ini dapat dipakai untuk memaksanya memberi keterangan. Maka cepat ia cengkeram pergelangan tangan Sah Koh dan membentak dengan bengis:

“Jika bukan kau, habis siapa yang mencelakai diriku? Hayo lekas mengaku jika tidak ingin kucekik mati kau untuk mengganti jiwaku!”

Dengan suara gemetar Sah Koh memohon “Jangan, saudara Yo, jangan, bukan aku!”

“Kau tetap tidak mau mengaku?” bentak Yo Ko pula dengan marah “Baiklah, biar kucekik mampus kau!” Berbareng sebelah tangannya langsung mencengkeram tenggorokan Sah Koh sehingga perempuan itu menjerit ketakutan.

Sudah tentu Thia Eng dan Liok Bu-siang tidak tahu maksud tujuan Yo Ko, mereka sama mencegahnya dan meminta jangan merecoki Sah Koh. Tapi Yo Ko tidak menggubris dan menambahi tenaga cekikannya, dengan lebih beringas ia membentak lagi:

“Aku adalah setan saudara Yo, aku mati penasaran, tahukan kau?”

“Ya, aku tahu,” jawab Sah Koh dengan tubuh gemetar “Sesudah kau mati, burung gagak memakan dagingmu.”

Perasaan Yo Ko seperti disayat sembilu, tadinya dia cuma mengira ayahnya mati secara tak wajar, siapa tahu setelah mati mayatnya pun tidak terkubur dengan baik pula, bahkan kemudian menjadi mangsa burung gagak. Maka ia tambah murka, dengan suara keras ia membentak lagi:

“Hayo lekas katakan, siapa yang membunuh diriku?!”

Dengan suara serak Sah Koh menjawab: “Kau sendiri yang memukul Kokoh, pada badan Kokoh ada jarum berbisa, lalu kau mati.”

Duduk perkara kematian Yo Khong dahulu terjadi secara kebetulan saja. Semula Auyang Hong menggunakan racun ular untuk membinasakan Lam Hi-jin (salah seorang Kanglam-jit-koay dan guru Kwe Ceng). Pada waktu Lam Hi-jin hampir mati, secara tidak sadar dia menghantam pundak Oey Yong satu kali hingga darah beracun dari tangannya tertinggal pada ‘baju landak’ yang dipakai Oey Yong, dan hal ini sama sekali di luar tahu Oey Yong sendiri.

Maka ketika Yo Khong kemudian menghantam pundak Oey Yong di suatu kelenteng di kota Kah-hin, kebetulan tempat hantamannya itu adalah bagian tempat yang dihantam Lam Hi-jin. Karena itulah Yo Khong mati keracunan oleh ‘duri baju landak’ berbisa yang dipakai Oey Yong. Begitulah Yo Ko berteriak menanya lagi:

“Kokoh?! Siapa itu Kokoh?!”

Karena cekikan Yo Ko yang tambah kencang, hampir saja Sah Koh tidak dapat bernapas dan hampir kelenger, dengan suara lemah ia menjawab:

”Kokoh ya Kokoh.”

“Kokoh she apa? Siapa namanya?” desak Yo Ko.

“Aku... aku tak tahu, kau le... lepaskan aku!” jawab Sah Koh dengan suara serak.

Melihat gelagat yang tak enak, Liok Bu-siang bermaksud menarik tangan Yo Ko. Tapi kini keadaan Yo Ko menyerupai orang yang kehilangan akal sehat, sekuatnya ia mengipatkan tangannya, keruan Bu-siang tak tahan, segera ia terlempar ke belakang lantas tertumbuk pada dinding dengan rasa sakit tidak kepalang. Melihat Yo Ko yang biasanya ramah tamah itu kini berubah seperti orang gila, Thia Eng menjadi ketakutan hingga kaki dan tangan terasa lemas.

Yo Ko pikir kalau sekarang tak dapat mengetahui nama pembunuh ayahnya, tentu dirinya bisa mati penasaran. Maka berulang ia tanya lagi:

“Siapa Kokoh-mu? Dia she Ki atau she Bwe?” Ia pikir Sah Koh adalah putri Ki Leng-hong, tentu Kokoh-nya (bibinya) juga she Ki, bisa jadi adalah Bwe Tiau-hong yang dimaksudkan.

Maklumlah, Kwe Ceng dan isterinya memperlakukan dia seperti anaknya sendiri sejak dia kecil, betapa pun Yo Ko tak berani membayangkan bahwa yang membinasakan ayahnya adalah Oey Yong adanya.

Begitulah Sah Koh meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Yo Ko, tapi karena Hiat-to bagian pergelangan tangan juga terpegang pemuda itu, terpaksa dia tidak mampu berkutik, hanya berseru dengan suara serak:

“Kau minta ganti jiwa kepada Kokoh saja dan jangan mengganggu diriku.”

“Kokoh berada di mana?” tanya Yo Ko lagi.

“Entahlah, waktu aku dan Suhu berangkat, dia dan suaminya masih tinggal di pulau sana,” jawab Sah Koh.

Mendengar keterangan yang cukup berarti ini, seketika hati Yo Ko tergetar hebat. Dengan suara gemetar ia coba menegas:

“Kokoh memanggil Suhu-mu dengan sebutan apa?”

“Sudah tentu ayah, apa lagi?” jawab Sah Koh.

Serentak air muka Thia Eng dan Liok Bu-siang berubah demi mendengar keterangan itu. Karena kuatir salah, Yo Ko coba mengulangi lagi pertanyaannya:

“Jadi suami Kokoh-mu itu bernama Kwe Ceng?”

“Ya, masakah kau tidak tahu?” jawab Sah Koh sambil memancal-mancalkan kakinya dan mendadak berteriak: “Tolong...! ToIong...!”

Kacau rasanya benak Yo Ko. Semenjak kecil ia hidup sebatang kara, seketika terbayang kembali kisah deritanya pada masa lalu. Ia pikir kalau ayahnya tidak dibunuh orang, tentu ibunya tidak perlu hidup sengsara dengan menangkap ular dan dengan sendirinya juga tak akan mati tergigit ular berbisa, tentu pula dirinya juga tidak perlu hidup merana. Bila teringat pula kebaikan Kwe Ceng dan Oey Yong sewaktu dirinya tinggal di Tho-hoa-to dahulu, sungguh sulit dipercaya bahwa musuh pembunuh ayah adalah paman dan bibinya. Karena gejolak perasaannya ini cengkeramannya menjadi kendur, Sah Koh berteriak satu kali terus melompat bangun.

Cepat Thia Eng mendekati Yo Ko dan menghiburnya: “Pikiran Suci memang tidak waras, hal ini kau pun tahu, maka apa yang dikatakannya itu janganlah kau percaya.”

Walau pun begitu katanya, namun dalam hati dia percaya penuh apa yang diucapkan Sah Koh pasti benar adanya.

Ia lihat air muka Yo Ko sangat sedih dan seperti tidak mendengar apa yang dikatakannya. Setelah termenung sejenak, tiba-tiba Yo Ko melompat keluar rumah dan mencemplak ke atas kudanya yang kurus terus dilarikan dengan cepat. Dari belakang sayup-sayup terdengar seruan Thia Eng dan Liok Bu-siang, akan tetapi tak digubris lagi oleh Yo Ko, yang terpikir oleh pemuda itu hanya: “Aku harus menuntut balas! Aku harus menuntut balas!”

Sekaligus dia larikan kudanya sampai ratusan li jauhnya. Ketika tiba-tiba merasa bibir rada perih dan sakit, ia coba merabanya dan ternyata penuh darah. Kiranya saking sedih dan gusarnya, tanpa sadar dia menggigit bibir sendiri hingga pecah dan berdarah. Pada dasarnya Yo Ko memang benci dengan kehidupan yang dianggapnya tidak adil ini, kini dirasakan dunia ini palsu belaka dan tak ada seorang pun yang baik. Bahwa bibi Kwe memang tidak begitu baik padaku, ini sudah jelas, tapi paman Kwe, paman Kwe...

Maklumlah, selama ini dia sangat kagum dan menghormat kepada Kwe Ceng. Dia merasa ilmu silat serta kepribadian paman Kwe sungguh lain dari pada yang lain, lebih-lebih sang paman yang begitu baik hati padanya, namun sekarang dia merasa tertipu habis-habisan. Saking berdukanya ia menjadi lemas. Ia turun dari kuda kemudian duduk di tepi jalan, ia menangis tergerung sambil mendekap kepala. Sekali sudah menangis maka air matanya sukar dibendung lagi, seakan-akan segala duka derita manusia hidup ini seluruhnya berada dalam tangisnya.

Sebenarnya Yo Ko belum pernah melihat muka ayahnya, juga belum pernah mendengar kisah hidup sang ayah, tetapi sejak kecil ia mengkhayalkan sang ayah yang gagah ksatria, dan dalam lubuk hatinya ia merasa sang ayah adalah manusia yang paling baik, yang paling sempurna di dunia ini. Sudah tentu dia tidak tahu bahwa semasa hidup ayahnya adalah manusia yang kotor dan rendah, seorang pengkhianat bangsa dan negara.

Begitulah Yo Ko terus menangis sampai sekian lamanya. Ketika tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda, tampaklah dari utara mendatangi tiga empat penunggang kuda, dari dandanannya jelas adalah Busu bangsa Mongol. Busu paling depan memegang tombak, di ujung tombaknya tertusuk seorang bayi berusia dua tahunan, jadi seperti sujen satai dan dianggapnya seperti permainan yang menarik.

Agaknya bayi itu belum mati, buktinya masih mengeluarkan suara tangisan yang lemah, Tetapi Busu Mongol itu malah bergelak tertawa gembira. Ketika melihat Yo Ko merintangi jalan, segera seorang di antaranya membentak.

“Hayo, minggir!” Berbareng tombaknya terus menusuk ke arah Yo Ko.

Yo Ko sedang keki dan tak terlampiaskan. Segera ia pegang ujung tombak terus dibetot, menyusul sebelah tangannya menampar. Kontan Busu yang terberosot dari kudanya mencelat beberapa meter jauhnya dalam keadaan mati dengan batok kepala pecah berantakan. Keruan Busu yang lain menjadi ketakutan melihat ketangkasan Yo Ko, mereka menjerit kaget terus memutar kuda dan kabur seperti diuber setan.

“Plok!” bayi yang tersujen di ujung tombak seorang Busu tadi terjatuh di tepi jalan.

Cepat Yo Ko memondongnya. Ia lihat bayi itu adalah anak bangsa Han, gemuk lagi putih, tampaknya amat menarik. Tapi ujung tombak Busu tadi telah menembus perutnya, walau pun seketika belum mati, tapi tidak mungkin juga disembuhkan. Bayi itu masih dapat mengeluarkan suara tangisan lemah sambil memanggil “ibu” dengan suara lirih. Yo Ko sendiri lagi berduka, ia bertambah sedih dan kasihan kepada bayi yang sedang sekarat itu hingga air matanya kembali bercucuran.

Melihat bayi itu dalam keadaan menderita, terpaksa ia memukul bayi itu dengan perlahan untuk menewaskannya, lalu dia gunakan tombak Busu Mongol tadi untuk menggali tanah, maksudnya hendak mengubur.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar