Minggu, 15 Agustus 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 079

MURID TERKECIL

Oey Yok-su lantas mengajarkan ilmu ‘jari sakti’, ilmu ini dapat mengatasi Ngo-tok-sin-kang, lalu diajarkan pula ilmu pedang yang diubah dari permainan seruling untuk menghadapi permainan kebut musuh.

Setelah mendapat petunjuk dan kunci ilmu kepandaian itu, kemudian Yo Ko menimbang. Untuk bisa menggunakan kepandaian itu dengan baik, maka diperlukan latihan satu tahun dan jika ingin pasti menang atas Li Bok-chiu, rasanya perlu dilatih tiga tahun. Karena itu ia coba bertanya:

“Oey-tocu, bila ingin segera mengalahkan dia, agaknya tiada harapan.”

“Waktu tiga tahun dalam sekejap saja berlalu,” ujar Oey Yok-su sambil menghela napas, “kini usiamu baru 22 tahun dan sudah berhasil mencapai setingkatan ini, memangnya kau merasa belum cukup?”

Dengan kikuk Yo Ko menjawab: “Maksudku bukan... bukan untuk diriku.”

Oey Yok-su me-nepuk bahunya sambil berkata “Asal kau bisa membunuhnya tiga tahun yang akan datang, aku sudah puas dan sangat berterima kasih kepadamu. Dulu aku sudah menghancurkan anak muridku sendiri, jika sekarang aku mendapatkan sedikit ganjaran atas perbuatan sendiri juga pantas.”

Tanpa pikir Yo Ko lantas berlutut dan menyembah kepada Oey Yok-su sambil memanggil.

“Suhu!”

Kiranya keduanya sama-sama orang maha cerdik yang saling memahami pikiran masing-masing. Yo Ko maklum tujuan Oey Yok-su mengajarkan ilmu kepadanya adalah ingin dia membalas penghinaan Li Bok-chiu, yang sudah mengolok-oloknya dengan tulisan itu, Yo Ko dan Oey Yok-su harus ada ikatan guru dan murid secara resmi.

Sebaliknya Oey Yok-su maklum keakraban hubungan Yo Ko dengan Ko-bong-pay, betapa pun pemuda ini pasti tidak mau berguru lagi pada pihak lain. Karena itu Oey Yok-su lantas angkat Yo Ko berdiri dan berkata kepadanya:

“Selanjutnya begini saja, apa bila kau bertempur dengan ilmu ajaranku, pada saat itulah kau muridku, di luar itu kau tetap adalah kau. Nah, adik Yo Ko, mengerti tidak?”

“Baiklah, kakak Yok-su, sungguh beruntung mendapatkan sahabat baik seperti engkau,” jawab Yo Ko dengan tertawa.

“Aku pun merasa berbahagia dapat bertemu dengan kau!” ujar Oey Yoksu.

Kedua orang lalu saling berjabat tangan dan bergelak tertawa gembira. Oey Yok-su lantas menuturkan lebih jauh semua kunci rahasia dua ilmu kepandaian yang diajarkannya tadi.

Melihat cara mengajar Oey Yok-su yang begitu jelas dan lengkap, Yo Ko tahu orang tua itu tentu akan segera pergi meninggalkan dia. Dengan murung dia lantas berkata:

“Kakak Yok-su, kapan kita dapat berjumpa pula?”

“Jauh di mata dekat di hati, asal hati tetap bersatu, biar pun berpisah jauh kita tetap seperti berhadapan selalu.” ujar Oey Yok-su dengan tertawa. “Kelak bila kutahu ada orang hendak merintangi perkawinanmu, biar pun jauh berada di ujung langit aku pasti memburu ke sini untuk membantu kau.”

Yo Ko amat terhibur oleh dukungan moril Oey Yok-su, sambil tertawa ia berkata: “Tapi orang pertama yang akan merintangi maksudku mungkin puteri kesayanganmu sendiri.”

“Dahulu dia juga kepala batu ketika mendapatkan kekasih pilihan sendiri, masa sekarang dia tidak memikirkan penderitaan rindu dendam orang lain?” ujar Oey Yok-su setelah memikir sejenak. Dalam kegelapan dia lantas mengambil bungkusan alat tulis dan menuliskan sepucuk surat, lalu diserahkan kepada Yo Ko dan berkata: “Kalau puteriku merintangi lagi kehendakmu, maka boleh kau perlihatkan suratku.”

Habis berpesan dia lantas melangkah pergi sambil bergelak tertawa, hanya sekejap suara tertawanya sudah berada jauh, sejenak kemudian orang dan suara tawanya sudah ditelan kegelapan malam.

Untuk sesaat Yo Ko duduk termenung, meng-ingat kembali ilmu yang baru dipelajarinya tadi. Tidak lama fajar pun menyingsing, tampak di atas meja tertaruh keranjang jahitan Thia Eng. Ia coba mengambil gunting dalam keranjang rotan itu dan dibuat bermain sejenak, kemudian pintu terdorong dan masuklah Thia Eng sambil tersenyum dan membawa sepotong baju warna hijau.

“Silakan coba baju ini, apakah cocok tidak?” kata Thia Eng dengan tersenyum.

Betapa besar rasa terima kasih Yo Ko, waktu menerima baju baru itu, tangan sedikit gemetar. Pada saat ia beradu pandang sekejap dengan si nona, tampak sorot matanya yang lembut penuh arti. Ia coba memakai baju baru itu dan terasa pas.

“Sungguh aku sangat ber... berterima kasih padamu,” kata Yo Ko.

Kembali Thia Eng tersenyum, di antara sorot matanya mengunjuk rasa sedih, katanya: “Dengan kepergian Suhu, entah kapan baru dapat bertemu lagi.”

Mestinya dia ingin berbicara lagi dengan Yo Ko, tetapi tampak dilihatnya bayangan orang berkelebat di luar. Dia tahu itulah Liok Bu-siang yang berseliweran, dia tahu sang Piau-moay juga ada hati terhadap Yo Ko, maka dia lantas meninggalkan kamar.

Kemudian Yo Ko meneliti baju tersebut. Tampak jahitannya sangat rapi, hatinya tergetar, pikirnya: Nona ini jatuh hati padaku, bini cilik juga, namun hatiku sudah terisi dan tidak mungkin lagi mencinta nona lain, jika aku tidak lekas-lekas pergi dari sini tentu akan banyak menimbulkan kesukaran.”

Sehari suntuk dia memikirkan tindakan apa yang harus dilakukannya. Dia kuatir bila dirinya pergi dan mendadak Li Bok-chiu melancarkan serangan, maka dia coba mengintai ke balik gunung sana. Dilihatnya gubuk bekas tempat tinggal Li Bok-chiu hanya tersisa setumpuk puing belaka, sudah terbakar, rupanya Li Bok-chiu telah pergi setelah membakar gubuknya sendiri. Maka tekad Yo Ko menjadi bulat untuk pergi. Malamnya dia menulis surat untuk ditinggalkan kepada kedua nona itu. Bila teringat akan kebaikannya, tanpa terasa hati Yo Ko menjadi muram.

Malam itu ia bergulang-guling tak pulas. Saat pagi, selagi layap-layap, tiba-tiba saja terdengar suara Liok Bu-siang memanggilnya, suara si nona kedengaran gugup. Cepat Yo Ko melompat bangun dan keluar. Terasa angin pagi meniup silir. Hari belum lagi terang benderang, tetapi tampak jelas Liok Bu-siang sedang ketakutan dan menuding pada daun pintu di sebelah sana. Waktu Yo Ko memandangnya, ia menjadi kaget.

Kiranya di daun pintu itu jelas tertera empat buah cap tangan merah. Tanda pengenal Li Bok-chiu. Agaknya semalam iblis itu sudah datang dan mengetahui Oey Yok-su telah pergi, maka dia sengaja meninggalkan daftar calon yang akan dibunuhnya, yaitu Yo Ko, Thia Eng, Liok Bu-siang dan ditambahkan pula si Sah Koh.

Tidak lama Thian Eng juga muncul, dia pun merasa sedih melihat cap tangan itu. Mereka bertiga lantas masuk ke dalam rumah untuk berunding.

“Tempo hari iblis itu telah dihajar garpu api Sah Koh hingga melarikan diri. Mengapa sekarang dia tidak takut lagi?” ujar Liok Bu-siang.

“Permainan garpu Sah Koh hanya begitu-begitu saja, sesudah direnungkan tentu iblis itu mendapatkan cara mematahkan serangan garpu Sah Koh,” kata Thia Eng.

“Tetapi luka si Tolol kini sudah sembuh, jika kedua orang tolol bergabung kan jadi maha kuat?” kata Bu-siang pula.

Yo Ko tertawa, katanya: “Tolol laki-laki ditambah tolol perempuan tentu keadaan menjadi tambah runyam, mana bisa menjadi kuat?”

Begitulah mereka menjadi tak berdaya, tetapi mengingat betapa pun gabungan kekuatan mereka berempat sedikitnya cukup untuk menjaga diri walau pun tak dapat mengalahkan musuh, maka mereka bertekad besok akan menempur iblis itu dengan mati-matian.

“Besok biarlah kami berdua orang tolol akan menghadapi dia, dan kalian berdua saudara mengerubutnya dari kanan dan kiri,” ujar Yo Ko, “Sekarang marilah kita mencari Sah Koh untuk berlatih lebih dulu.”

Mereka menyadari keganasan Li Bok-chiu yang tidak kenal ampun itu, sedikit lengah saja jiwa mereka akan melayang, maka mereka tak berani gegabah. Segera mereka mencari Sah Koh, tapi ternyata tidak diketemukan. Mereka menjadi kuatir dan cepat mencari sekeliling situ. Akhirnya di balik gundukan batu sana Thia Eng menemukan Sah Koh menggeletak dalam keadaan kempas-kempis. Waktu diperiksa, di punggung Sah Koh terdapat bekas telapak tangan berwarna merah, jelas itulah pukulan berbisa Li Bok-chiu, Ngo-tok-sin-ciang. Cepat dia memanggil Yo Ko dan Liok Bu-siang, segera memberi minum obat mujarab perguruannya, yaitu Giok-loh-wan.

Yo Ko masih ingat dalam kitab pusaka milik Li Bok-chiu yang dicuri oleh Liok Bu-siang tertera cara menyembuhkan akibat pukulan berbisa, maka cepat-cepat dia kerahkan lwekang untuk melancarkan Hiat-to si Sah Koh. Sejenak kemudian tampak Sah Koh tersenyum ketolol-tololan dan berkata:

“To-koh busuk itu menyerang dari... dari belakang, tapi kupersen ia dengan... dengan sekali gamparan.”



Kiranya gamparan dengan tangan membalik ke belakang yang dimaksud Sah Koh adalah salah satu ilmu ajaran Oey Yok-su. Meski pun Li Bok-chiu berhasil menyergap Sah Koh, tetapi pergelangan tangannya kena digampar oleh Sah Koh, saking kesakitan ia tak berani menyerang lebih lanjut sehingga jiwa Sah Koh dapat terselamatkan.

Demikianlah mereka lantas menggotong Sah Koh kembali ke gubuk, mereka duduk terpekur sedih, di antara mereka berempat kini salah seorang sudah cidera, besok tentu lebih sukar menghadapi musuh ganas itu.

Sambil memandang Thia Eng dan yang lainnya kemudian memandang Bu-siang, secara iseng Yo Ko mengambil gunting yang berada di keranjang jahitan Thia Eng lantas mengguntingi seutas benang hingga menjadi potongan kecil-kecil. Sah Koh yang rebah di pembaringan sekonyong-konyong berseru:

“Gunting saja itu kebut si To-koh busuk, gunting putus!”

Mendadak hati Yo Ko tergerak. Ia pikir kebutan iblis itu adalah benda lemas, senjata tajam apa pun sukar menebasnya, jika ada sebuah gunting raksasa lalu sekaligus ujung kebut musuh digunting putus, maka segalanya menjadi beres, keganasan iblis itu tentu berkurang. Tanpa terasa gunting yang dipegangnya langsung bergaya kesana kemari seperti sedang mematahkan serangan musuh.

Melihat itu pahamlah Thia Eng dan Bu-siang apa yang sedang dipikirkan pemuda itu. Thia Eng berkata:

“Beberapa li di sebelah barat sana ada seorang pandai besi...”

“Benar, marilah kita pergi ke sana dan minta agar dia membuatkan sebuah gunting besar,” sahut Bu-siang cepat.

Yo Ko pikir dalam waktu singkat tentu sulit membuat senjata demikian, tapi tiada jeleknya untuk dicoba. Sebenarnya dia ingin pergi sendiri ke tempat pandai besi itu, tetapi kuatir kalau-kalau mendadak Li Bok-chiu melakukan serangan. Jika Sah Koh ditinggalkan sendirian tentu lebih berbahaya lagi.

Kini mereka berempat tidak dapat berpisah sejenak pun. Terpaksa Thia Eng dan Bu siang memasang kasur di atas kuda tempat merebahkan si Sah Koh, kemudian barulah mereka berangkat ke tempat pandai besi. Keadaan bengkel itu ternyata sangat jorok dan sederhana. Begitu mereka memasuki pintu bengkel, segera kelihatan sebuah tatakan besi, tempat untuk menggembleng, lantai penuh karatan besi dan debu arang, dinding sebelah sana tergantung beberapa buah arit dan cangkul buatan pandai besi itu, suasana sunyi senyap tiada seorang pun.

Melihat keadaan bengkel itu, Yo Ko pikir pandai besi begini masa dapat membuat senjata apapun? Tetapi mereka sudah terlanjur datang, tak ada jeleknya ditanyai dulu. Maka ia lantas berseru:

“Hai, adakah yang punya rumah?”

Sejenak kemudian keluarlah seorang kakek ubanan meski usianya tampak baru 50-an. Mungkin penderitaan kehidupan dan sepanjang tahun hanya menggembleng besi melulu, maka punggungnya membungkuk, kedua matanya juga menyipit dan merah, malahan banyak kotoran pada kelopak matanya, sebelah kakinya juga pincang. Sambil berjalan dengan bantuan sebuah tongkat, orang tua itu menegur:

“Tuan tamu ada keperluan apa?”

Baru saja Yo Ko hendak menjawab, terdengar suara derap kuda, dua penunggang kuda berhenti di depan bengkel, mereka ternyata tentara-tentara Mongol. Seorang yang mukanya penuh berewok lantas bertanya:

“Mana si pandai besi she Pang?”

Orang tua bungkuk tadi mendekati dan memberi hormat, jawabnya: “Hamba adanya!”

“Perintah atasan, agar segenap pandai besi di wilayah ini dalam tiga hari harus berkumpul di dalam kota untuk wajib dinas bagi pasukan kerajaan,” seru opsir itu, “Nah, besok juga kau harus melapor ke kota, jelas tidak?”

“Tetapi hamba sudah tua...” belum selesai pandai besi she Pang itu berkata, cepat opsir Mongol itu menyabetnya dengan cambuk sambil membentak: “Kalau besok tidak datang, awas dengan kepalamu!” Habis berkata kedua opsir itu lantas membedalkan kuda mereka.

Pandai besi tua itu menghela napas dan berdiri terkesima. Thia Eng merasa kasihan padanya. Dia mengeluarkan 20 tahil perak yang ditaruh di atas meja, katanya kemudian:

“Paman pandai besi, engkau sudah tua, jalan pun tidak leluasa, apa bila diwajibkan bekerja bagi pasukan Mongol tentu jiwamu akan melayang percuma. Kukira lebih baik engkau lari saja mencari selamat dengan sedikit sangu ini.”

“Terima kasih atas kebaikan hati nona,” jawab pandai besi itu sambil menghela napas, “Sebenarnya hidup atau mati bagi orang tua macam diriku tak ada artinya, sayangnya dalam waktu singkat berpuluh ribu jiwa bangsa kita mungkin akan tertimpa mala petaka.”

Yo Ko bertiga terkejut dan cepat bertanya: “Mala petaka? Ada urusan apa?”

“Kini Panglima Mongol sedang mengumpulkan seluruh pandai besi, tujuannya amat jelas. Senjata Mongol biasanya sangat lengkap dan cukup, apa bila sekarang mereka membuat senjata baru secara besar-besaran, terang ada rencana hendak menyerbu ke selatan.”

Tutur kata pandai besi tua itu ternyata sangat masuk di akal dan bukan ucapan seorang pandai besi kampungan biasa, Selagi mereka hendak bertanya lagi, pandai besi itu telah bertanya mereka ada keperluan apa?

“Sebenarnya tidak enak bagi kami untuk mengganggu orang yang sedang punya urusan, tapi lantaran terdesak keperluan penting, terpaksa kami minta pertolongan paman,” jawab Yo Ko. Lalu ia pun menjelaskan maksud kedatangannya dan memberikan gambar contoh gunting yang diperlukan.

Kalau ada orang memberi pekerjaan, umpamanya minta dibuatkan cangkul, arit atau golok tentu tak mengherankan, tapi kini barang pesanan Yo Ko adalah sebuah gunting raksasa, hal ini sebenarnya luar biasa. Tapi pandai besi itu ternyata tidak mengunjuk rasa heran. Setelah mendapatkan keterangan pola gunting yang diperlukan ia hanya manggut-manggut, Ialu menyalakan api tungku dan mulai membakar dua potong besi besar untuk digembleng.

“Paman, malam ini bisa jadi tidak?” tanya Yo Ko.

“Akan kuusahakan secepatnya,” jawab si pandai besi she Pang itu. Habis itu dia percepat bara di dalam tungku, hanya sekejap saja kedua potong besi tadi sudah merah dan mulai lunak.

Yo Ko bertiga berasal dari daerah Kanglam. Walau pun sejak kecil sudah meninggalkan kampung halaman, namun demi mendengar kampung halaman bakal tertimpa bencana, betapa pun mereka merasa masgul sedih. Sah Koh mendekap di atas meja, setengah berduduk dan setengah bersandar. Memang keadaannya sangat lelah, maka segala apa pun yang terjadi di sekitarnya tak sempat lagi diperhatikannya.

Selang tak lama, kedua potongan besi yang dibakar itu sudah lunak. Segera pandai besi Pang mengangkat potongan besi itu lantas mulai digembleng dengan sebuah palu besar. Meski usianya sudah lanjut, tenaga lengannya ternyata sangat kuat, palu besar itu dapat diayunnya dengan leluasa tanpa susah payah. Kedua potongan besi itu digembleng lagi, kemudian dibikin memanjang dan melengkung dalam bentuk gunting.

“Tolol, tampaknya guntingmu itu dapat jadi petang nanti,” kata Bu-siang dengan girang.

Pada saat itulah mendadak di belakang mereka ada suara orang berkata: “Hm, untuk apa membikin gunting sebesar itu? Hendak digunakan memotong kebutku bukan?”

Yo Ko bertiga terkejut, cepat mereka berpaling dan ternyata Li Bok-chiu sudah berdiri di ambang pintu dengan tangan memegang kebutnya yang lihay. Sungguh celaka, senjata yang diandalkan belum jadi dibuat, tetapi musuh tangguh sudah tiba lebih duIu. Cepat Thia Eng dan Liok Bu-siang melolos pedang, Yo Ko juga mengincar sebatang besi di sebelahnya, asal musuh menyerang segera besi itu akan disambarnya.

“Hm, memotong kebutku dengan gunting, pintar juga jalan pikiranmu,” demikian jengek Li Bok-chiu, “Tapi boleh dicoba juga, akan kutunggu di sini sampai guntingmu itu jadi, barulah kita bertempur.”

Habis berkata dia seret sebuah bangku ke dekat pintu kemudian duduk di situ dengan tenangnya, lawan-Iawan yang dihadapinya dianggap barang sepele saja.

“Bagus sekali kalau begitu, tampaknya nasib kebutmu itu memang harus dipotong putus oleh guntingku nanti,” kata Yo Ko.

Melihat si Sah Koh mendekap di atas meja, diam-diam Li Bok-chiu merasa heran akan kekuatan orang. Padahal orang yang terkena pukulannya yang berbisa itu biasanya takkan tahan hidup beberapa jam saja. Kemudian ia bertanya:

“Mana Oey Yok-su?”

Begitu mendengar ‘Oey Yok-su’, si pandai besi tua itu rada bergetar dan menoleh sekejap kepada Li Bok-chiu, lalu menunduk lagi meneruskan pekerjaannya.

“Hm, jelas kau mengetahui guruku tidak berada di sini, tapi sengaja tanya,” ejek Thia Eng “Kalau beliau masih tinggal disini, hm, biar pun nyalimu sebesar gajah takkan berani datang.”

Li Bok-chiu balas mendengus sekali, ia mengeluarkan sehelai kertas lantas berkata: “Oey Yok-su bernama kosong, paling-paling main kerubut karena mempunyai banyak murid. Tetapi, hmm, di antara murid-muridnya masakah ada seorang pun yang betul-betul berguna?”

Habis berkata, sekali tangannya bergerak, kertas itu mendadak melayang ke depan dan “crit”, kertas itu terpaku pada tiang kayu oleh sebuah jarum perak yang disambitkannya. Lalu Li Bok-chiu menyambung:

“Nah, biarlah tulisan ini sebagai bukti. Kelak bila Oey-losia kembali ke sini supaya dia mengetahui siapakah yang membunuh muridnya.”

Mendadak ia berpaling dan membentak kepada si pandai besi: “Hayo, lekas! Waktuku tak banyak untuk menunggu kau.”

Sambil memicingkan kedua matanya si pandai besi she Pang memandangi kertas yang bertuliskan kata-kata mengolok-olok Oey Yok-su, habis itu dia menengadah dan memandangi atap rumah dengan termangu-mangu.

“Hayo, kenapa kau berhenti?!” bentak Li Bok-chiu.

“Ya, ya, baik!” pandai besi itu seperti tersadar dari lamunannva, ia mulai bekerja lagi.

Tapi sebelah tangannya tiba-tiba menggunakan tanggam besinya yang panjang untuk menjepit jarum perak berikut kertas surat tadi terus dimasukkan ke dalam tungku. Tentu saja hanya sekejap kertas itu terbakar menjadi abu.

Li Bok-chiu menjadi marah, segera kebutnya diayun hendak dihantamkan kepada pandai besi itu. Tetapi dia telah berpengalaman luas, mendadak terpikir olehnya bahwa masakah seorang pandai besi tua renta dan kampungan macam ini begitu berani? Bukan mustahil dia adalah seorang luar biasa! Tadinya dia sudah bangkit, maka perlahan dia duduk kembali, lalu menegur:

“Siapakah kau ini?”

“Tidakkah kau lihat sendiri, aku cuma seorang pandai besi,” jawab orang she Pang itu.

“Mengapa kau membakar kertasku?” tanya Li Bok-chiu lagi.

“Yang tertulis di situ tidak betul, maka janganlah ditempel di tempatku,” jawab si orang tua.

“Apa katamu?!” bentak Li Bok-chiu.

“Tho-hoa-tocu memiliki kepandaian yang maha sakti, setiap anak muridnya asalkan bisa memperoleh satu jenis kepandaian saja sudah cukup untuk malang melintang di dunia,” kata pandai besi itu. “Muridnya yang tertua bernama Tan Hian-hong, sekujur tubuhnya keras laksana otot kawat tulang besi tak mempan senjata, apakah kau pernah mendengar namanya?” Sambil bicara palunya masih terus memukuli lempengan besi yang digemblengnya itu.

Mendengar disebutnya nama Tan Hian-hong, bukan hanya Li Bok-chiu yang terkejut dan heran, bahkan Yo Ko dan lain-Iain juga merasa aneh, sama sekali mereka tidak menduga seorang pandai besi tua kampungan ternyata kenal juga tokoh Kangouw termashur.

Terdengar Li Bok-chiu menanggapinya: “Hmm, konon Tan Hian-hong mati karena ditusuk oleh seorang anak kecil, di mana letak kelihayannya?”

“Oh,” terdengar pandai besi itu bersuara ragu, lalu disambungnya: “Dan murid kedua Tho-hoa-tocu bernama Bwe Tiau-hong, terkenal dengan Ginkang-nya yang maha hebat dan kecepatan menyerangnya.”

“Ya, begitu cepat gerakan orang she Bwe itu sehingga lebih dulu matanya kena dibutakan oleh Kanglam-jit-koay (tujuh tokoh aneh dari Kanglam), Kemudian mampus di tangan Se-tok (si racun dari barat) Auyang Hong.”

“Begitukah?” tukas si pandai besi. Dia termenung haru sejenak, lalu berkata lagi: “Tetapi sama sekali aku tidak mengetahui kejadian itu. Kemudian murid ketiga Tho-hoa-tocu yang bernama Ki Leng-hong. Dia lebih lihay lagi, terutama Pi-kong-ciang (pukulan dari jauh) terkenal amat ganas.”

“Memang ada cerita di dunia Kangouw, katanya ada seorang pencuri yang berani masuk ke keraton raja yang bertahta sekarang, dan dia telah dibinasakan oleh pengawal keraton, tentu orang itu Ki Leng-hong yang maha lihay dengan Pi-kong-ciang-nya. He-he….”

Tiba-tiba si pandai besi tua itu menunduk. “Ces-ces!” dua tetes butiran air jatuh di atas lempengan besi yang membara itu kemudian terbakar menjadi uap.

Liok Bu-siang duduk paling dekat dengan orang tua itu dan dapat melihat jelas kedua tetes air itu adalah air mata yang mengucur, diam-diam ia merasa heran. Tampak orang tua itu mengangkat palunya lebih tinggi dan memukul dengan lebih keras.

Sejenak kemudian pandai besi she Pang membuka suara kembali: “Tho-hoa-to terkenal dengan empat murid utamanya, masing-masing she Tan, Bwe, Ki dan Liok. Murid yang ke empat, Liok Seng-hong, selain terkenal lihay ilmu silatnya juga termashur karena mahir dalam ilmu-ilmu mujizat, jika kau bertemu dengan dia tentu kau celaka.”

“Hmm, apa gunanya ilmu mujizat?” jengek Li Bok-chiu. “Liok Seng-hong bersusah payah membangun sebuah perkampungan Kui-in-ceng di pinggir danau Thay-ouw, tetapi hanya dengan sebuah obor saja orang sudah membumi hanguskan perkampungannya. Sejak itu jejaknya lantas hilang, bisa jadi ia pun sudah terbakar menjadi abu.”

Mendadak si pandai besi she Pang menatap Li Bok-chiu dan berseru dengan bengis. “Kau To-koh ini berani mengaco-belo, setiap anak murid Tho-hoa-tocu cukup lihay, mana bisa semuanya terbinasa. Hm, kau kira aku orang udik dan tidak tahu apa-apa?”

“Jika tidak percaya boleh kau tanya ketiga bocah ini,” jengek Li Bok-chiu.

Si pandai besi paling suka kepada Thia Eng, maka dia lantas berpaling kepada nona itu, sorot matanya memancarkan sinar tanda tanya.

Dengan muram Thia Eng berkata: “Sungguh malang perguruanku yang kini sudah kekurangan tenaga andalannya. Wanpwe juga merasa malu, karena belum lama masuk perguruan, belum mampu membela nama kehormatan Suhu. Apakah engkau ada hubungannya dengan Suhu-ku?”

Pandai besi tua itu tak menjawab, ia hanya mengamat-amati Thia Eng dengan sikap yang sangsi, kemudian ia bertanya:

“Apakah akhir-akhir ini Tho-hoa-tocu mengambil murid Iagi?”

Melihat sebelah kaki si pandai besi cacat, tiba-tiba saja hati Thia Eng tergerak, jawabnya:

“Suhu merasa kesepian dan perlu orang meIayaninya. Sebenarnya anak muda semacam diriku ini mana berani mengaku sebagai anak murid Tho-hoa-tocu, malahan sampai detik ini Wanpwe belum pernah menginjakkan kaki di Tho-hoa-to.”

Dengan ucapan Thia Eng itu sama saja dia sudah mengaku bahwa dirinya memang betul adalah anak murid Tho-hoa-to. Tampak pandai besi tua itu manggut-manggut, sorot matanya mengunjuk rasa simpatik terhadap si nona seperti sanak keluarga sendiri, lalu menunduk dan menggembleng besi lagi beberapa kali, tampaknya sambil merenungkan sesuatu.

Melihat gerakan palu si pandai besi amat mirip dengan gaya ilmu pukulan Lok-hoa-ciang-hoat dari Tho-hoa-to, mau tak mau Thia Eng menjadi lebih paham persoalannya, maka ia berkata:

“Pada waktu iseng Suhu suka bicara padaku mengenai kejadian beliau mengusir anak muridnya dulu, bahwa Tan dan Bwe berdua Suheng itu adalah akibat perbuatannya sendiri yang jahat sehingga tidak perlu disayangkan, tapi Ki, Liok, Bu dan Pang berempat Suheng benar-benar ikut kena getahnya karena mereka berempat ini sesungguhnya tidak berdosa, terutama Pang Bik-hong, Pang-suheng itu berusia paling muda, kisah hidupnya juga pantas dikasihani, bila teringat akan hal itu sering Suhu merasa amat menyesal.”

Padahal watak Oey Yok-su sangat eksentrik, biar pun hatinya berpikir begitu, tak mungkin sampai diucapkannya dengan mulut. Soalnya Thia Eng adalah gadis cerdik dan memiliki perasaan halus, waktu sang guru kesepian dan bicara iseng dengan dia, dari nada ucapan Oey Yok-su itu dapatlah diterka akan jalan pikiran sang guru, maka sekarang ia sengaja memperbesar apa yang didengarnya.

Dasar watak Li Bok-chiu memang kejam dan keji, di samping perasaannya sebenarnya juga mudah terguncang, dari tanya jawab dan sikap si pandai besi dan Thia Eng dapatlah diterka sembilan bagian hubungan antara kedua orang itu. Dilihatnya si pandai besi menghela napas panjang, air mata bercucuran dan menetes pada lempengan besi yang membara itu sehingga terdengar suara mendesis terbakarnya butiran air. Melihat keadaan itu perasaan Li Bok-chiu ikut terharu, tapi dalam sekejap saja pikirannya sudah berubah dan kembali pada wataknya yang kejam. Ia pikir pihak lawan telah bertambah lagi seorang pembantu, tetapi pandai besi ini cacad, betapa pun kepandaiannya juga terbatas. Demikianlah Li Bok-chiu lantas menjengek

“Hm, Pang Bik-hong, selamat atas pertemuan kalian sesama saudara seperguruan!”

Memang tidak salah, pandai besi tua she Pang ini adalah murid terkecil Oey Yok-su yang bernama Pang Bik-hong. Dulu Tan Hian-hong dan Bwe Tiau-hong melarikan diri dari Tho-hoa-to dengan menggondol Kiu-im-sin-keng, tentu saja Oey Yok-su menjadi amat murka, akibatnya semua muridnya terkena getahnya, ia patahkan kaki semua muridnya lantas mengusir mereka dari Tho-hoa-to.

Ki Leng-hong dan Liok Seng-hong dipatahkan kedua kakinya, tetapi Oey Yok-su paling sayang kepada murid yang terkecil yakni Pang Bik-hong, maka hanya kaki kiri saja yang dipatahkannya. Sungguh pun begitu Pang Bik-hong tidak menjadi sakit hati kepada sang guru. Dia merasa utang budi karena jiwanya juga diselamatkan oleh gurunya, maka dia tidak dendam terhadap apa yang dilakukan sang guru kepadanya, hanya saking berdukanya dia lantas mengasingkan diri ke pedesaan ini dan sudah lebih dari 30 tahun tinggal di sini sebagai pandai besi, sama sekali tidak berhubungan lagi dengan orang Kangouw meski pun ilmu silatnya tak pernah dilupakan.

Sebab itulah Liok Seng-hong dan kakak seperguruannya yang lain menyangka dia sudah meninggal. Tak terduga hari ini dia dapat bertemu dengan Thia Eng dan mendengar berita tentang sang guru, saking terharu air matanya bercucuran.

Sudah tentu Yo Ko dan Liok Bu-siang kegirangan demi mengetahui pandai besi she Pang ini adalah Suheng-nya Thia Eng. Mereka yakin anak murid Oey Yok-su pasti bukan jago lemah dan itu berarti pihaknya bertambah bala bantuan.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar