Jumat, 13 Agustus 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 078

Oey Yok-su duduk menghadap sebuah bangku pendek, di atas bangku terletak kecapi Yo Ko tadi. Padahal Li Bok-chiu maha cerdik, biar pun sedang bertempur panca inderanya selalu waspada terhadap segala gerak-gerik di sekitarnya. Tetapi sekarang Oey Yok-su masuk ke rumah, mengambil kecapi dan duduk di situ di luar tahunya sama sekali, bila Oey Yok-su hendak menyergapnya, maka jiwanya tentu sudah melayang sejak tadi.

Sambil bertempur melawan Sah Koh tadi, karena kuatir kalau-kalau Thia Eng bertiga ikut mengerubutnya, maka sedetik pun Li Bok-chiu tak pernah menghentikan nyanyinya untuk mengganggu pemusatan pikiran Thia Eng bertiga. Kini mendadak nampak Oey Yok-su duduk di situ sambil memetik kecapi, saking kagetnya seketika ia pun lupa bernyanyi lagi.

Mendadak Oey Yok-su memetik senar kecapi sehingga menimbulkan suara “creng” yang nyaring, lalu dia mulai bemyanyi, yang dibawakan ternyata adalah lagu yang dinyanyikan Li Bok-chiu tadi. Padahal senar kecapi itu tinggal satu saja. Namun Oey Yok-su adalah seorang maha guru ilmu silat. Dari sebuah senar itu dapatlah dipetiknya menjadi berbagai irama yg diinginkan, malahan nada duka suara kecapinya jauh melebihi suara nyanyian Li Bok-chiu tadi.

Karena Li Bok-chiu sudah hapal lagu ini, sekali nadanya dikerahkan, seketika reaksi yang timbul dalam perasaannya menjadi berlipat ganda lebih hebat dari pada Yo Ko bertiga.

Oey Yok-su tahu kejahatan yang dilakukan Li Bok-chiu, kesempatan ini akan digunakan untuk menumpasnya. Asalkan lagu yang dipetiknya selesai, andai kata tidak mampus juga Li Bok-chiu akan menjadi gila.

Di luar dugaan, ketika mendadak si Sah Koh melihat Yo Ko, di bawah cahaya lilin yang remang, ia lihat wajah Yo Ko mirip benar dengan mendiang ayah Yo Ko, yaitu Yo Khong. Biasanya Sah Koh amat takut pada setan iblis. Dulu ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri ketika Yo Khong mati keracunan, apa yang dilihatnya itu sukar terlupakan baginya. Sekarang dilihatnya Yo Ko duduk termangu di sana, disangkanya arwah Yo Khong tengah menggodanya, keruan ia kaget dan ketakutan. Ia tuding Yo Ko kemudian berseru:

“He, kau... kau... saudara Yo, jangan... janganlah kau membikin... membikin susah aku... bukan aku yang mencelakai kau... pergilah kau men... mencari orang lain saja!”

Sebenarnya waktu itu Oey Yok-su sudah mulai meninggikan nada kecapinya dan sejenak lagi Li Bok-chiu pasti akan celaka, tapi mendadak terganggu oleh jeritan Sah Koh hingga senar kecapi yang terakhir pun segera putus.

Sah Koh bersembunyi di belakang sang guru sambil berteriak: “Setan... ada setan, Suhu! Setan saudara Yo!”

Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Li Bok-chiu. Dengan kebutnya ia padamkan api lilin, cepat ia menerobos keluar melalui bobolan dinding. Karena gagal membinasakan iblis itu dengan suara kecapi, demi menjaga harga diri Oey Yok-su tak ingin mengejarnya.

Dalam kegelapan Sah Koh menjadi lebih takut, teriakannya bertambah keras: “Ada setan, Suhu!”

Thia Eng menyalakan kembali lilin, kemudian memberi hormat kepada sang guru serta menguraikan asal-usul Liok Bu-siang dan Yo Ko secara singkat. Lebih dulu Oey Yok-su membentak Sah Koh agar diam, lalu berkata kepada Yo Ko sambil tertawa:

“Dia kenal ayahmu, kau memang sangat mirip dengan ayahmu.”

Yo Ko memberi hormat di atas pembaringan sambil berkata: “Maaf, karena Tecu terluka maka tidak dapat memberi sembah kepada locianpwe!”

Dengan ramah Oey Yok-su berkata: “Dengan mati-matian kau menolong puteriku, kau sungguh anak yang baik.”

Kiranya Oey Yok-su telah bertemu dengan Oey Yong dan mengetahui duduknya perkara. Mendengar Thia Eng telah menolong dan membawa pergi si Yo Ko, segera ia mengajak Sah Koh mencarinya. Begitulah Oey Yok-su lalu mengeluarkan obat luar dalam untuk Yo Ko. Dia menggunakan Iwekang-nya yang tinggi untuk mengurut nadi Yo Ko, di mana teraba oleh tangan orang tua itu di situ seketika terasa nyaman. Ketika mendadak merasakan kulit daging pemuda itu bergetar dan merasakan Iwekang-nya cukup kuat, segera Oey Yok-su menambahkan tenaganya. Selang tak lama, sekujur badan Yo Ko terasakan nyaman sekali dan akhirnya ia terpulas.

Besoknya, begitu bangun Yo Ko melihat Oey Yok-su sedang duduk di tepi pembaringannya. Cepat ia bangkit duduk dan memberi hormat.

“Apakah kau tahu julukanku di kalangan Kangouw?” tanya Oey Yok-su.

“Engkau adalah Tho-hoa-tocu,” jawab Yo Ko.

“Apa lagi?” tanya Oey Yok-su pula.

Mula-mula Yo Ko merasa sebutan ‘Tang Sia’ (si eksentrik dari timur) kurang sedap untuk diucapkan, tetapi segera terpikir olehnya, kalau orang tua ini berjuluk ‘Sia’ atau eksentrik, maka wataknya tentu juga aneh dan lain dari pada yang lain. Karena itu dengan tabah ia menjawab:

“Engkau Tang Sia!”

Oey Yok-su terbahak-bahak, katanya: “Benar. Aku pun pernah mendengar orang berkata bahwa ilmu silatmu tidak rendah, hatimu baik, tapi tindak-tandukmu juga amat eksentrik, Kabarnya kau hendak mengambil gurumu sebagai isteri, apa betul?”

“Betul,” jawab Yo Ko. “Locianpwe, setiap orang menganggap tidak pantas aku beristerikan guruku, tapi mati pun aku ingin menikahinya.”

Mendengar ucapan pemuda yang tegas dan pasti itu, Oey Yok-su memandang terkesima, mendadak dia menengadah dan bergelak tertawa, begitu keras suara tertawanya hingga dinding rumah gubug itu bergetar.

“Apanya yang lucu?” kata Yo Ko dengan gusar. “Kau berjuluk Tang Sia, kukira kau pasti lain dari pada yang lain, siapa tahu kau pun sama buruknya dengan manusia umumnya.”

“Bagus, bagus, bagus!” seru Oey Yok-su, habis itu ia terus keluar rumah.



Yo Ko duduk termenung sendirian. Dia pikir apa yang diucapkannya tadi barang kali telah membikin marah Locianpwe, tetapi tampaknya air muka orang tua itu mengunjuk rasa senang.

Kiranya watak Oey Yok-su itu memang aneh. Selama hidupnya malang melintang di dunia Kangouw, dia jemu dan benci dengan adat istiadat yang berlaku pada jaman itu, tindak-tanduknya selalu berlawanan dengan adat umum, malahan suka menuruti keinginan hati sendiri, sebab itulah dia mendapatkan julukan ‘Sia’. Lantaran wataknya yang eksentrik itu, selama hidupnya hampir boleh dikatakan dia tidak mempunyai sahabat karib, bahkan sekali pun anak perempuan dan menantu sendiri juga tidak seluruhnya cocok dengan pikirannya. Siapa duga kini, di kala usianya telah tua, tiba-tiba dia bertemu dengan Yo Ko yang juga bertabiat aneh.

Sudah lama ia mendengar cerita tentang Yo Ko memberontak pada perguruannya sendiri, yaitu Coan-cin-kau, menghajar gurunya sendiri dan melakukan macam-macam perbuatan yang khianat. Kini dia sempat berbicara berhadapan dengan pemuda itu dan satu dengan yang lain ternyata sangat cocok dengan seleranya. Demikianlah petangnya kembali Oey Yok-su mendatangi kamar Yo Ko, katanya:

“Yo Ko, bagaimana jika kau memberontak lagi pada Ko-bong-pay dan berguru saja padaku.”

Sejenak Yo Ko termangu, lalu bertanya. “Mengapa begitu?”

“Lebih dulu kau tidak mengakui Siao-liong-li sebagai gurumu, kemudian mengambilnya sebagai isteri, dengan begitu semuanya kan menjadi lebih pantas?”

Yo Ko pikir usul orang memang cukup bagus, bahwasanya antara guru dan murid tidak boleh terikat suami-isteri, siapakah yang menetapkan peraturan ini? Karena pikiran yang aneh itu, dengan tegas dia menjawab:

“Tidak, aku justru ingin memanggil dia sebagai guru dan juga mengambil dia sebagai isteriku.”

“Ha-ha-ha! Bagus, bagus! Jalan pikiranmu ternyata masih lebih tinggi satu tingkat dari pada jalan pikiranku!” puji Oey Yok-su sambil bergelak tertawa, lalu ia memijati tubuh Yo Ko untuk menyembuhkan Iukanya. Katanya pula dengan gegetun: “Sebenarnya aku ingin kau menjadi ahli warisku agar dunia mengetahui bahwa sehabis Oey-losia (si eksentrik tua she Oey) masih ada lagi seorang Yo-siausia (eksentrik kecil she Yo). Tetapi kau menolak menjadi muridku, ya apa boleh buat!”

Sekarang Yo Ko benar-benar memahami watak Oey Yok-su, semakin aneh apa yang dikatakan dan dilakukannya, semakin mencocoki selera orang tua itu. Dia segera berkata lagi:

“Antara kita pun tak perIu harus menjadi guru dan murid untuk bisa dijadikan ahli waris. Jika engkau anggap usiaku terlalu muda dan kepandaianku masih rendah, maka kita boleh bersahabat atau mengangkat saudara saja.”

Tetapi Oey Yok-su menjadi marah, ujarnya: “Kau ini sungguh berani! Aku bukanlah si Lo-wan-tong Ciu Pek-thong, mana boleh bergaul secara sembarangan dengan kau?”

“Siapa Lo-wan-tong Ciu Pek-thong itu?” tanya Yo Ko.

Maka Oey Yok-su lantas menguraikan sekadarnya kisah Ciu Pek-thong yang berjuluk Lo-wan-tong (si anak nakal tua), lalu menceritakan pula cara bagaimana Ciu Pek-thong mengangkat saudara dengan Kwe Ceng, padahal usia antara kedua orang itu selisihnya sangat jauh.

Omong punya omong, ternyata keduanya menjadi sangat cocok. Dasar Yo Ko memang pintar bicara, ditambah lagi wataknya sangat mendekati watak Oey Yok-su yang aneh. Setiap kata-kata pemuda itu selalu membuat Oey Yok-su manggut-manggut dan merasa benar-benar menemukan sahabat sejati. Saking cocoknya, malamnya dia suruh Thia Eng menyiapkan tempat tidur lagi di kamar Yo Ko supaya kedua orang dapat bicara sepanjang malam.

Beberapa hari kemudian luka Yo Ko mulai sembuh, hubungannya dengan Oey Yok-su bertambah akrab, begitu erat seakan-akan sukar dipisahkan lagi. Sesungguhnya Oey Yok-su akan membawa Sah Koh ke daerah Kanglam, tapi sekarang sama sekali tak dipikirkan lagi keberangkatannya.

Melihat kedua orang itu, yang satu tua dan yang lainnya muda, siang malam senantiasa bicara dan ngobrol dengan asyiknya, diam-diam Thian Eng dan Liok Bu-siang menjadi geli dan heran. Mereka anggap yang tua tidak menjaga diri dan yang muda juga teramat sembrono. Apa bila bicara tentang ilmu pengetahuan dan pengalaman sebenarnya Yo Ko tidak dapat dibandingkan dengan Oey Yok-su, cuma pemuda itu memang memiliki mulut manis, apa saja yang dikatakan oleh Oey Yok-su, segera dia menyatakan akur dan setuju, malahan terkadang ia menambahkan sedikit bumbu dan dirasakan Oey Yok-su menjadi lebih cocok lagi, maka tidak heran bila Oey Yok-su benar-benar menganggap Yo Ko sebagai sahabat paling karib selama hidupnya ini.

Selama itu dengan sendirinya Oey Yok-su mengajarkan segenap kepandaiannya kepada Yo Ko. Meski pun kedua orang resminya bukan guru dan murid, namun cara Oey Yok-su mengajar Yo Ko ternyata lebih sungguh-sungguh dari pada dia mengajar muridnya. Di samping belajar silat dan mengobrol bersama Oey Yok-su, yang selalu terpikir oleh Yo Ko adalah apa yang diucapkan Sah Koh yang bersangkutan dengan mendiang ayahnya. Dari ucapan Sah Koh itu jelas ia mengetahui sebab musabab kematian ayahnya serta siapa yang membunuhnya. Dia pikir dari wanita sinting ini mungkin akan dapat dipancing keterangan yang lebih jelas.

Suatu hari lewat lohor, di luar rumah Yo Ko bertemu dengan Sah Koh sendirian, segera ia memanggilnya:

“Sini, Sah Koh aku ingin bicara dengan kau...”

Sah Koh merasa Yo Ko teramat mirip dengan Yo Khong dan takut, maka ia menggeleng kepala dan menjawab:

“Aku tak mau bermain dengan kau.”

“Aku bisa main sulap, kau mau lihat tidak?” bujuk Yo Ko.

“Tidak, kau bohong,” jawab Sah Koh sambil menggeleng.

Tiba-tiba saja Yo Ko mendapat akal, cepat ia berjungkir dengan kepala di bawah dan kaki di atas, ia gunakan ilmu ajaran Auyang Hong, ia berjalan dengan kepala dan melompat-Iompat ke sana.

Sah Koh menjadi ketarik, tanpa pikir ia bersorak gembira dan ikut menuju ke tempat yang lebat dengan pepohonan dan cukup jauh dari gubuk Thia Eng. Di situ Yo Ko lantas berhenti dan berkata:

“Sah Koh, marilah kita bermain sembunyi, kita taruhan.”

Sifat Sah Koh memang kekanak-kanakan, suka bermain. Tapi selama ini lebih sering ikut Oey Yok-su ke sana sini, maka hampir tidak pernah ada kawan bermain. Sekarang Yo Ko mengajak bermain dengan dia, tentu saja sangat senang, serentak ia bertepuk tangan menyatakan setuju, rasa takutnya sudah terlupakan seluruhnya.

“Bagus sekali, saudara cilik, coba katakan cara bagaimana kita bermain?” jawab Sah Koh dengan gembira. Dia sebut ayah Yo Ko sebagai saudara, kini ia pun sebut Yo Ko sebagai saudara.

Yo Ko mengeluarkan sapu tangan untuk menutup kedua mata Sah Koh, lalu dia berkata: “Boleh kau tangkap diriku. Jika berhasil apa saja yang kau tanya tentu akan kujawab dan tidak boleh berdusta sedikit pun. Sebaliknya jika kau tidak mampu menangkap aku, nanti aku pun menanyai kau dan kau pun harus menjawab apa yang kutanyakan.”

“Bagus, bagus!” seru Sah Koh.

“Nah, mulai! Aku di sini, hayo coba tangkap!” seru Yo Ko sambil melompat mundur.

Segera Sah Koh pentangkan kedua tangannya dan mengejar ke depan mengikuti suara. Ginkang yang dipelajari Yo Ko adalah Ginkang khas dari Ko-bong-pay, jangan kata mata Sah Koh ditutup dengan sapu tangan, sekali pun matanya dapat memandang belum tentu mampu menyusulnya. Maka setelah menguber kian kemari, bukannya Yo Ko yang ditangkap, berbalik batok kepalanya benjut terbentur batang pohon yang kena dirangkulnya, keruan dia berteriak kesakitan.

Kuatir Sah Koh menjadi kapok lalu tidak mau bermain lagi, Yo Ko sengaja memperlambat langkahnya di depan orang disertai suara berdehem. Begitu mendengar suara itu, segera Sah Koh melompat maju dan berhasil mencengkeram punggung si Yo Ko sambil berseru:

“Aha, tertangkap kau sekarang!” berbareng ia menanggalkan sapu tangan yang menutupi kedua matanya dengan wajah berseri-seri.

“Baiklah, aku kalah,” ujar Yo Ko. “Sekarang boleh kau mengajukan pertanyaan padaku!”

Hal ini ternyata merupakan soal yang sukar bagi Sah Koh. Ia memandang Yo Ko dengan melenggong bingung, ia tidak tahu apa yang harus ditanyakan. Selang agak lama barulah ia membuka suara:

“Saudara cilik, kau sudah makan belum?”

Sungguh tidak kepalang rasa geli Yo Ko. Sesudah berpikir sekian lama, yang ditanyakan ternyata adalah hal sepele. Namun dia pun menjawab dengan sikap sungguh-sungguh:

“Sudah, aku sudah makan.”

Sah Koh mengangguk lalu tidak bertanya lagi.

“Kau ingin tanya apa lagi?” kata Yo Ko.

Tapi Sah Koh menggeleng, katanya: “Tidak ada, marilah kita bermain lagi.”

“Baik, lekas kau tangkap diriku!” seru Yo Ko sambil mundur.

“Sekali ini giliranmu menangkap diriku!” ujar Sah Koh sambil meraba-raba keningnya yang merah benjut.

Bahwa Sah Koh mendadak tidak bodoh lagi hal ini sungguh di luar dugaan Yo Ko, tapi dia pun tidak menolak. Segera dia menutup mata sendiri dengan sapu tangan dan berlagak mengejar. Meski bodoh dan sinting, tetapi Ginkang Sah Koh ternyata sangat hebat, dalam keadaan mata tertutup sukar juga bagi Yo Ko untuk menangkapnya. Ia mendapat akal, ia pura-pura memburu ke sana sini, diam-diam ia robek sedikit sapu tangan itu, maka dapat dilihatnya Sah Koh bersembunyi di balik pohon besar, ia pura-pura meraba ke sana sambil berseru:

“Di mana kau sembunyi?”

Sejenak kemudian mendadak ia melompat balik dan berhasil memegang tangan Sah Koh, cepat ia melepaskan sapu tangan lalu dimasukkan ke dalam saku supaya kecurangannya tidak diketahui orang, Lalu dengan tertawa ia berkata:

“Sekali ini aku yang harus bertanya padamu.”

Belum sampai pertanyaan orang diajukan, lebih dulu Sah Koh sudah menjawab dengan rasa kagum:

“Aku sudah makan!”

Yo Ko tertawa, katanya: “Aku tidak tanya urusan itu. Aku ingin tanya padamu, kau kenal ayahku, bukan?”

“Ayahmu?” Sah Koh menegas.

“Ya, Seorang yang sangat mirip dengan diriku, siapakah dia?” kata Yo Ko.

“Ohhh…., itu saudara Yo.” jawab Sah Koh.

“Kau menyaksikan saudara Yo itu dicelakai orang, bukan?” tanya Yo Ko lagi.

“Benar, tengah malam di kelenteng itu, banyak sekali burung gagak, aok, aok, aok!” Sah Koh menirukan suara burung gagak. Suasana di tempat itu memang sunyi senyap dan rindang, suara gagak yang ditirukan Sah Koh itu menjadi seram rasanya.

Tubuh Yo Ko rada-rada bergetar, ia coba mengorek lagi: “Cara bagaimana saudara Yo itu tewas?”

“Kokoh (bibi) suruh aku bicara, tapi saudara Yo melarang aku, lalu saudara Yo memukul Kokoh sekali, lalu dia tertawa, ha-ha... ha-ha-ha...!” sedapatnya Sah Koh ingin menirukan suara tertawa Yo Khong menjelang ajalnya, maka semakin meniru semakin tidak keruan sehingga akhirnya ia sendiri merasa mengkirik.

Yo Ko bingung oleh uraian Sah Koh itu, ia coba tanya lagi: “Siapakah Kokoh yang kau maksudkan?”

“Kokoh ya Kokoh, siapa lagi?” jawab Sah Koh.

Darah dalam rongga dada serasa bergolak karena Yo Ko tahu rahasia kematian ayahnya segera akan dapat dibongkar, Selagi dia hendak tanya lebih lanjut, tiba-tiba terdengar seseorang berkata di belakangnya:

“Kalian berdua sedang bermain apa?”

Ternyata itu adalah suaranya Oey Yok-su.

“Saudara Yo sedang bermain sembunyi-an dengan aku,” jawab Sah Koh.

Oey Yok-su tersenyum sambil memandang Yo Ko sekejap dengan penuh mengandung arti seakan-akan sudah dapat menerka apa kehendak Yo Ko. Hati Yo Ko berdebar. Sedianya dia hendak berkata untuk menutupi maksud tujuannya, mendadak terdengar suara orang berlari datang, Thia Eng dan Liok Bu-siang tampak muncul dan melapor kepada Oey Yok-su:

“Dugaan Suhu ternyata tak keliru, dia memang masih berada di sana!” Sembari berkata Thia Eng menuding ke balik gunung di sebelah barat sana.

“Siapa maksudmu?” tanya Yo Ko.

“Li Bok-chiu!” jawab Thia Eng.

Yo Ko sangat heran mendengar Li Bok-chiu masih berada di balik gunung sana. Dia pikir mengapa iblis itu begitu berani? Dia coba memandang Oey Yok-su dengan harapan agar orang tua itu suka memberi penjelasan. Tapi Oey Yok-su hanya tertawa saja dan berkata:

“Marilah kita ke sana!”

Berada bersama orang tua itu, dengan sendirinya Yo Ko dan lain-Iainnya tidak perlu takut terhadap Li Bok-chiu. Maka be-ramai mereka lantas menuju ke balik gunung di sebelah barat.

Thia Eng tahu rasa sangsi Yo Ko, karena itu dengan suara perlahan ia berkata padanya: “Maksud Suhu, Li Bok-chiu yakin bahwa Suhu pasti menjaga harga diri. Sesudah sekali gagal membunuhnya di gubuk, tentu malu untuk bertindak kedua kalinya.”

“Ohhh…, makanya dia berani bercokol di sini untuk mencari kesempatan lagi membunuh kita bertiga,” kata Yo Ko.

Tidak Iama kemudian mereka berlima sudah sampai di balik bukit. Tampak di samping sebatang pohon besar ada sebuah gubuk yang sudah bobrok, pintu gubuk tertutup rapat, di daun pintu terpaku sehelai kertas yang tertulis:

'Tho-hoa-tocu mempunyai anak murid banyak, dengan lima lawan satu, sungguh mentertawakan!'

Oey Yok-su tertawa melihat tulisan olok-olok itu, lalu ia jemput dua potong batu kecil dan diselentikkan.

“Plak-plok!” kedua batu kecil itu menghantam kedua sayap daun pintu dari jarak belasan langkah, kontan daun pintu terpentang, sungguh luar biasa tenaga jari sakti Tho-hoa-tocu yang termashur itu. Begitu pintu terpentang, tampaklah Li Bok-chiu berduduk semadi di atas tikar dengan tangan memegang kebut, sikapnya agung, wajahnya kereng, seharusnya dia seorang alim yang beribadat tinggi. Kalau saja tidak tahu tentang perbuatan yang pernah dilakukannya, siapa pun pasti tidak percaya bahwa dia adalah seorang iblis yang maha jahat.

Melihat Li Bok-chiu, serentak Liok Bu-siang teringat pada ayah bundanya yang terbunuh. Segera ia meloloskan pedang dan berseru:

“ToIol, piauci, tidak perlu Tocu turun tangan, marilah kita bertiga melabrak dia saja.”

“Dan masih ada aku...” kata Sah Koh sambil menyingsingkan lengan baju dan menggosok kepalan.

Li Bok-chiu membuka mata dan memandang sekejap kepada kelima orang itu, kemudian memejamkan matanya lagi, sedikit pun ia tidak mengacuhkan lawan tangguh yang berada di depan mata.

Thia Eng memandang sang guru menanti perintahnya. Tapi Oey Yok-su berkata sambil menghela napas:

“Sudahlah, memang Oey-losia mempunyai banyak anak murid, seandainya salah seorang muridku di antara Tan, Bwe, Ki dan Tiok berada di sini, mana kau mampu lolos dari tangannya?” lalu dia memberi tanda dan berkata pula: “Hayolah kita pergi!”

Tentu saja Thia Eng berempat tidak paham maksud Suhu-nya dan terpaksa ikut kembali ke gubuk. Tampak Oey Yok-su muram durja, makan malam pun tidak dihabiskan lantas pergi tidur. Meski Thia Eng adalah murid Oey Yok-su, tapi dia sama sekali tidak mengetahui kejadian masa lampau tentang Oey Yok-su pernah menganiaya dan mengusir anak muridnya dari Tho-hoa-to. Ia mengira sang guru mendongkol karena diolok-olok oleh tulisan Li Bok-chiu, ia tidak tahu bahwa sebenarnya Oey Yok-su bersedih dan menyesalkan tindakan sendiri pada masa lampau. Kini anak muridnya sudah meninggal dan cacat, kalau tidak dirinya pasti takkan diolok-olok oleh manusia macam Li.Bok-chiu.

Yo Ko yang tidur menyebelah dengan Oey Yok-su juga sedang mengingat kembali apa yang dikatakan Sah Koh siang tadi. Dia pun memikirkan olok-olok Li Bok-chiu, dia pikir kini lukaku sudah sembuh, rasanya aku cukup kuat untuk melawannya, lebik baik secara diam-diam aku menempur sendiri, selain dapat menuntut balas penghinaannya terhadap Kokoh, sekaligus dapat menghilangkan rasa dongkol Oey-tocu. Sesudah mengambil keputusan itu, segera dia bangun dengan perlahan. Dia menyadari Li Bok-chiu adalah lawan tangguh, sedikit lengah tentu jiwa sendiri bisa melayang, sebab itu diperlukan persiapan yang baik. Segera ia duduk bersemadi di atas pembaringan mengumpulkan tenaga dan nanti akan menempur Li Bok-chiu dengan mati-matian.

Bersemadi sekian lamanya, mendadak pandangannya terbeliak. Di depan seperti cahaya yang terang benderang, segenap anggota badannya serasa penuh tenaga, tanpa terasa mulutnya mengeluarkan suara raungan yang nyaring hingga berkumandang jauh. Kiranya kalau Iwekang seseorang sudah mencapai tingkatan sempurna, tanpa terasa akan dapat mengeluarkan suara aneh.

Oey Yok-su mengetahui gerak-gerik Yo Ko ketika pemuda itu bangun, sungguh tak terduga olehnya bahwa Iwekang pemuda itu ternyata sudah mencapai setinggi ini, tentu saja ia terkejut dan girang.

Suara Yo Ko yang kuat itu terus bertahan hingga lama dan perlahan mulai berhenti. Oey Yok-su heran bukan main akan tingkatan yang dicapai Yo Ko, padahal ia sendiri baru mencapai tingkat setinggi itu setelah menginjak pertengahan umur. Kini usia Yo Ko masih muda belia, tetapi sudah sehebat ini, sungguh suatu bakat yang sukar ada bandingannya, entah pengalaman dan penemuan mukjijat apa yang pernah dialami pemuda ini.

Sesudah Yo Ko selesai berlatih, kemudian Oey Yok-su bertanya padanya: “Yo Ko, coba katakan, apakah ilmu kepandaian Li Bok-chiu yang paling lihay?”

Yo Ko tidak merasakan suara raungan sendiri, cuma dari pertanyaan Oey Yok-su itu dia tahu maksud hatinya sendiri tentu sudah diketahui orang tua itu, maka dia pun menjawab:

“Jelas adalah Ngo-tok-sin-ciang dan permainan kebutnya.”

“Benar,” kata di Yok-su, “Dengan dasar Iwekang-mu sekarang, rasanya tidaklah sulit jika ingin mematahkan ilmu kepandaiannya.”

Girang sekali Yo Ko, cepat ia menyembah. Sebenarnya watak Yo Ko sangat angkuh. Meski dia mengakui Oey Yok-su sebagai kaum cianpwe dan tahu kepandaian orang yang serba mahir, tapi pada lahirnya dia tak mau tunduk padanya. Kini didengarnya kepandaian Li Bok-chiu yang maha lihay itu akan dapat dipatahkan dengan mudah, keruan ia menjadi kagum dan tunduk.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar