Kamis, 12 Agustus 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 077

“Kalian begini baik padaku, sungguh aku berterima kasih sekali. Maka kupikir paling baik kalian berdua lekas menyingkir dari sini, biar aku tinggal sendiri melayani iblis itu. Guruku dan dia adalah saudara seperguruan, rasanya dia akan ingat pada hubungan perguruan. Lagi pula dia takut pada guruku, agaknya tidak sampai berbuat apa-apa.”

“Tidak, tidak,” sela Bu-siang sebelum Yo Ko selesai.

Yo Ko menduga kedua nona itu tidak akan mau melarikan diri meninggalkan dirinya, maka dengan suara lantang dia berkata lagi:

“Kalau begitu biarlah kita bertiga menempuh jalan bersama, jika benar-benar terkejar oleh iblis itu, kita bertiga lawan saja mati-matian, hidup atau mati biarlah terserah takdir.”

“Baiklah, ini paling baik,” sahut Bu-siang setuju.

“Datang dan perginya iblis itu amat cepat, kalau kita berjalan bersama pasti akan disusul olehnya,” ujar Thia Eng sesudah merenung sejenak “Dari pada bergebrak dengan dia di tengah jalan, adalah lebih baik di sini saja.”

“Ya, betul sekali,” kata Yo Ko. “Cici mahir ilmu pengetahuan yang aneh-aneh sampai Kim-lun Hoat-ong juga kena kau kurung, tentu Jik-lian-sian-cu juga tidak bisa membobolnya.”

Karena kata-kata Yo Ko ini, ketiga orang ini timbul sinar harapan. “Barisan batu-batu itu Kwe-hujin yang reka, aku hanya ikut merubahnya saja, bila aku sendiri yang harus memasangnya, belum cukup kepandaianku. Tetapi biarlah, kita usahakan sebisanya menurut nasib,” demikian kata Thia Eng, “Piaumoay, marilah kau membantu aku.”

Lalu kedua saudara misan itu membawa alat cangkul dan sekop keluar rumah, mereka menggali tanah dan menumpuk batu. Setelah sibuk lebih dari satu jam, sayup-sayup terdengar ayam berkokok di kejauhan, sementara itu Thia Eng sudah mandi keringat karena.

Waktu dipandangnya gundukan tanah yang dia tumpuk dan atur itu, apa bila dibandingkan barisan batu yang dipasang Oey Yong, sesungguhnya daya gunanya masih selisih jauh, diam-diam Thia Eng bersedih.

“Kepintaran Kwe-hujin sungguh beratus kali lebih tinggi. Aih, dengan gundukan tanah yang kasar jelek ini rasanya sulit hendak merintangi Jik-lian-sian-cu,” demikian ia mengeluh. Tetapi karena kuatir Piaumoay dan Yo Ko ikut bersedih.

Setelah sibuk ‘kerja-bakti’, di bawah cahaya bulan remang-remang Bu-siang melihat wajah sang Piauci agak berlainan, ia tahu orang tak yakin bisa menahan musuh. Tiba-tiba ia keluarkan sejilid kitab dari bajunya, ia masuk rumah dan diangsurkan kepada Yo Ko.

“ToloI, inilah kitab ‘panca-bisa’ guruku,” katanya.

Melihat kulit kitab itu merah bagai darah, Yo Ko rada terkesiap. “Aku telah membohongi Suhu bahwa kitab itu telah direbut Kay-pang, maka aku kuatir bila sebentar lagi aku tertangkap olehnya bisa digeledah,” kata Bu-siang. “Maka bolehlah kau membacanya sekali, setelah kau apalkan lalu bakar saja sekalian.”

Biasanya kalau bicara dengan Yo Ko selamanya Bu-siang suka mengolok-olok dan main bengis, tapi di saat jiwa terancam, ia tidak sempat berkelakar Iagi. Melihat sikap si gadis muram durja, Yo Ko mengangguk dan menerima kitab itu.

Lalu Bu-siang keluarkan lagi sepotong sapu tangan sulaman, dengan suara lirih ia bilang lagi:

“Jika kau pun tak beruntung sehingga jatuh di tangan iblis itu dan dia hendak celakai jiwamu, hendaklah kau lantas unjukkan sapu tangan ini padanya.”

Yo Ko melihat sapu tangan yang hanya sebelah itu jelas kelihatan bekas sobekan, bunga merah sulam juga tersobek separoh, ia tidak tahu maksud Bu-siang, maka ia bingung tak mau menerima.

“Apa ini?” tanyanya.

“Aku minta kau sampaikan ini padanya, maukah kau?” sahut Bu-siang.

Yo Ko mengangguk, lalu menerima sapu tangan dan ditaroh di samping bantalnya. Tetapi tiba-tiba Bu-siang mendekatinya lalu mengambil sapu tangan itu terus dimasukkan ke baju Yo Ko. Begitu diciumnya bau khas orang laki-laki, teringat olehnya pengalaman tempo hari pernah bajunya dilepas pemuda ini dan menyambung tulangnya, malah pernah tidur bersama seranjang. Mendadak terguncang hatinya, dia pandang Yo Ko sekejap, lalu keluar kamar.

Melihat kerlingan mata si gadis sebelum pergi ini penuh arti, hati Yo Ko ikut terguncang keras. Selang tak lama barulah ia membalik halaman-halaman kitab ‘Panca-bisa’. Ia lihat kitab itu sudah berubah kuning saking tuanya, apa yang tertulis sebangsa pelajaran cara-cara untuk menangkap makhluk berbisa, merendam senjata rahasia dengan racun berikut cara-cara pengobatannya.

Dari awal sampai akhir Yo Ko membaca kitab ‘Panca-bisa’ itu sampai beberapa kali dan mengingatnya. Ibunya tewas akibat pagutan ular berbisa, peristiwa ini meninggalkan luka yang dalam di hati sanubarinya, maka demi dilihatnya kitab itu tercatat begitu banyak dan jelas tentang cara-cara membuat racun berikut cara mengobatinya, tanpa terasa dia berpikir: “Ah, jika dulu aku paham begini banyak cara menyembuhkan racun, tentulah aku dapat menolong jiwa ibuku. Ia pasti akan kasih-sayang padaku sehingga aku tak sampai ter-lunta-lunta menjadi yatim-piatu seperti sekarang ini.” Teringat akan itu, tak tertahan air matanya me-netes di atas kitab.

Tiba-tiba didengar suara pintu didorong. Ketika ia memandang, ia lihat Thia Eng dengan kedua pipi merah jengah sedang mendekati pembaringannya, pada jidat gadis ini masih penuh butir keringat.

“Yo-heng, aku telah memasang barisan gundukan tanah di luar pintu, tapi paling banyak hanya sekadar merintangi saja, untuk menahan iblis terkutuk itu terang sukar,” demikian kata Thia Eng perlahan sambil keluarkan sepotong sapu tangan sutra dari bajunya dan diangsurkan pada Yo Ko, “Maka bila sampai iblis itu menerjang masuk, serahkanlah sapu tangan ini padanya.”



Yo Ko lihat sapu tangan ini hanya separoh juga, kainnya dan kembangnya serupa dengan potongan sapu tangan yang diterimanya dari Bu-siang tadi, maka ia menjadi heran sekali. Waktu ia angkat kepala, tiba-tiba sinar matanya bentrok dengan sinar mata si gadis. Di bawah sorot lampu dilihatnya air mata mengaca di kelopak matanya dengan wajah malu-malu girang. Selagi Yo Ko hendak bertanya, tiba-tiba muka Thia Eng menjadi merah dan berkata lirih:

“Sekali-kali jangan diketahui Piaumoay-ku.” Habis ini ia pun jalan keluar.

Yo Ko keluarkan separoh sapu tangan yang diterimanya dari Liok Bu-siang tadi kemudian digabungkan menjadi satu, nyata kedua belah sapu tangan itu persis berwujud selembar, Cuma sapu tangan itu sudah terlalu tua, sutera putih sudah berubah kuning, hanya bunga merah sulaman itu kelihatan masih segar. Yo Ko tahu sapu tangan ini pasti mengandung arti yang sangat dalam, cuma kedua gadis itu mengapa masing-masing menyerahkannya separoh? Dan kenapa ingin serahkan pada Li Bok-chiu dan mengapa tidak diketahui masing-masing pihak? Sedang di waktu memberikan sapu tangan wajah kedua gadis itu mengunjuk rasa malu-malu!

Nyata karena hati Yo Ko telah tertambat atas diri Siao-liong-li, terhadap Liok Bu-siang dan Thia Eng hanya anggap sebagai sahabat baik saja, sungguh tidak pernah terpikir olehnya bahwa kedua gadis itu sesungguhnya amat mendalam mencintainya. Sudah terang sapu tangan itu akan membuat Li Bok-chiu terkenang pada kisah asmaranya dahulu dan akan mengampuni jiwa mereka, tapi mereka justru memberikan itu padanya.

Begitulah Yo Ko termangu-mangu duduk di atas ranjangnya. Tiba-tiba didengarnya suara ayam berkokok lagi dikejauhan, menyusul terdengar suara suling yang merdu, kiranya Thia Eng telah meniup serulingnya. Agaknya setelah mengatur barisan gundukan tanah dan merasa lega, maka ditiupnya sebuah lagu ‘liu-po’, suara sulingnya halus tenang tak berduka, suatu tanda orang sedang merasa senang tanpa kuatir sesuatu. Sesudah mendengar sejurus, tiba-tiba Yo Ko mengambil kecapi lantas mengiringi seruling orang. Suara kecapi itu nyaring sekali hingga merupakan paduan suara yang amat serasi.

Bu-siang duduk di belakang gundukan tanah. Ia terpesona mendengar sang Piauci meniup seruling mengiringi suara kecapi Yo Ko, sementara itu ufuk timur sudah remang-remang, fajar sudah mendatang, tak tertahan lagi ia berpikir: “Ahh, sekejap lagi Suhu bakal datang, jiwaku tak akan bisa tertolong dalam satu jam ini. Harap saja Suhu melihat sapu tangan itu dan mengampuni jiwa Piauci dan dia, mereka berdua...”

Sebetulnya watak Bu-siang nakal dan licin, sejak kecil biasanya Thia Eng suka mengalah padanya. Tapi dalam keadaan bahaya sekarang, dalam hati Bu-siang justru berharap Yo Ko bisa selamat, cintanya ternyata sudah mendalam dan diam-diam berdoa agar pemuda itu terhindar dari mala petaka. Selagi termangu-mangu, ketika mendadak ia angkat kepalanya, tiba-tiba dilihatnya di luar gundukan tanah sana sudah berdiri seorang To-koh (imam wanita) berjubah putih, tangan kanan membawa kebut, siapa lagi kalau bukan Suhu-nya, Li Bok-chiu.

Bu-siang berseru tertahan, cepat ia loloskan pedang dan berdiri. Sementara itu Yo Ko lagi menabuh khim dan sampai pada saat yang tegang itu Thia Eng juga masih asyik meniup serulingnya, perhatian mereka penuh dicurahkan pada alat musik, meski Bu-siang menjerit tertahan, ternyata tak digubrisnya. Tetapi aneh juga, Li Bok-chiu hanya berdiri tegak tanpa bergerak, ia malah pasang kuping mendengarkan dengan cermat.

Kiranya suara paduan khim dan siau (seruling) itu mengingatkannya pada masa muda waktu sama-sama main musik dengan kekasihnya, Liok Tian-goan, malahan lagu ‘liu-po’ yang dibawakan orang sekarang ini adalah lagu yang sering dibawakannya dahulu. Kejadian itu sudah lewat berpuluh tahun, tetapi kenangan itu sukar dilupakan, maka diam-diam ia berdiri di luar sana mendengarkan suara kecapi dan suling yang sahut menyahut dengan mesranya. Ia berduka, sekonyong-konyong ia menangis tergerung-gerung keras.

Tangisannya yang amat sedih ini membikin Liok Bu-siang tak mengerti. Biasanya gurunya terkenal kejam, mana pernah mengunjuk hati lemah? Dan kini terang-terangan ia datang hendak membunuh orang, mengapa malah menangis di luar pintu? Dan bila didengarnya tangisan Li Bok-chiu begitu sedih memilukan, tanpa tertahan ia pun menangis pula.

Karena menangisnya Li Bok-chiu itu, segera Yo Ko dan Thia Eng mengetahuinya juga, suara khim dan suling mereka rada terpengaruh hingga iramanya menjadi sedikit kacau. Tergerak pikiran Li Bok-chiu, tiba-tiba dari menangis dia berubah menyanyi keras dengan suaranya yang memilukan.

Sebenarnya suara khim dan siau tadi penuh membawa perasaan gembira, namun karena nyanyian Li Bok-chiu yang bukan saja syairnya sangat sedih, juga nadanya pun demikian memilukan, bahkan iramanya berlainan sama sekali dengan lagu Yo Ko berdua, baru saja Li Bok-chiu mulai menyanyi, suara seruling Thia Eng segera hamper-hampir mengikuti iramanya.

Keruan Yo Ko terkejut, lekas-lekas dia tambahi suara kecapinya lebih keras dan menarik kembali suara seruling Thia Eng. Makin lama suara nyanyian Li Bok-chiu makin kecil, tetapi makin kecil makin melengking tinggi nadanya. Rada kacau Yo Ko terpengaruh oleh suara tangisnya, suatu saat dia pun tertarik menuruti irama orang tanpa sadar. Keuletan Thia Eng memang lebih cetek, maka lebih-lebih ia tak bisa menguasai diri.

Diam-diam Li Bok-chiu sangat girang. Dia pikir tanpa turun tangan, cukup dengan suara nyanyianku saja sudah dapat membuat kalian hilang semangat dan menyerah. Siapa tahu sedikit ia bergirang, suara nyanyiannya segera timbul reaksi dan ikut mengunjuk rasa girang juga. Kesempatan ini dipergunakan Yo Ko dengan baik untuk membelokkan kembali iramanya, menyusul Thia Eng pun bisa menguasai diri kembali ke lagu mereka tadi.

Melihat usahanya gagal, tidak kepalang gusarnya Li Bok-chiu, segera suara nyanyiannya menjadi bertambah tinggi dan beberapa kalimat lanjutannya dinyatakan secara lebih pilu tapi bengis mengadung rasa marah. Namun Yo Ko dapat melawannya dengan kuat.

Di antara empat orang, ilmu silat Liok Bu-siang adalah paling rendah. Mula-mula ia heran mengapa gurunya tiba-tiba menarik suara dan bernyanyi, baru kemudian ia paham bahwa hakikatnya kedua pihak sedang saling gebrak, cuma bukan gebrak dengan kaki tangan, melainkan adu pengaruh batin, termasuk Iwekang. Ia lihat paduan suara musik Yo Ko dan Thia Eng masih tak sanggup menahan gempuran suara nyanyian gurunya. Ia tahu gurunya tak berani sembarang menyerbu masuk karena dirintangi barisan gundukan tanah di luar rumah itu, maka dengan suara nyanyian hendak bikin kacau dulu semangat mereka bertiga, habis itu tanpa banyak buang tenaga barisan gundukan tanah akan dibobolnya.

Sejenak kemudian didengar suara kecapi dan seruling mulai kisruh. Ia tahu Yo Ko dan Thia Eng sudah repot melawan musuh, cuma sayang ia tak berdaya buat membantunya, tiada jalan lain kecuali berkuatir saja diam-diam.

Suatu saat tiba-tiba Li Bok-chiu meninggikan iramanya hingga kedengaran lebih sedih dan seram. Sukar bagi Yo Ko dan Thia Eng untuk melawannya. Ketika nada suara kecapi makin lama makin tinggi, akhirnya terdengarlah suara “creng”, senar pertama kecapi itu putus.

Thia Eng terkejut, suara serulingnya rada kacau, kembali senar kedua kecapi Yo Ko putus lagi. Ketika Li Bok-chiu tarik suaranya lebih tinggi segera senar ketiga lagi-lagi gugur. Dengan demikian suara seruling Thia Eng tidak bisa lagi berpaduan dengan suara kecapi yang telah pincang itu.

Tadi sewaktu Li Bok-chiu mendatangi rumah gubuk itu, dari jauh sudah dilihatnya barisan gundukan tanah yang kelihatan bertumpuk serabutan itu, tapi di dalamnya sesungguhnya penuh perubahan menurut lukisan Pat-kwa, cuma belum sempurna.

Sebenarnya pada waktu senar kecapi Yo Ko putus hingga suaranya rada kacau, segera ia bisa menyerbu rnasuk, tapi ia masih jeri terhadap barisan gundukan tanah. Mendadak pikirannya tergerak, cepat dia memutar ke sebelah kiri, lalu dibarengi suara nyanyianrya yang bernada tinggi, ia melompati segundukan tanah terus membobol dinding rumah dan menyerbu ke dalam. Kiranya barisan gundukan tanah yang dipasang Thia Eng melulu mengutamakan menjaga pintu depan tanpa memikirkan dinding rumah yang reyot dan kurang kokoh.

Kini Li Bok-chiu secara cerdik menghindari pintu depan dan main pintu belakang. Ketika kedua telapak tangannya memukul keras, dinding gubuk itu segera dapat dirobohkannya dan diterjang masuk. Terkejut sekali Liok Bu-siang dan Thia Eng, ke-duanya berlari masuk ke dalam dengan pedang siap di tangan.

Yo Ko pun terkejut melihat Li Bok-chiu masuk dengan membobol dinding. Tapi bila ingat ia sendiri sedang terluka dan tidak mampu melawan, segera ia menjadi nekad, mati hidup tak dipikirnya lagi. Ia tukar nada kecapinya dan mengganti dengan sebuah lagu ‘tho-yao’ yang menyanyikan tentang pasangan muda-mudi pada hari pengantin baru dengan penuh rasa bahagia.

Melihat si Yo Ko begitu tenang, musuh di depan mata masih unjuk senyuman, diam-diam Li Bok-chiu kagum akan nyali orang, tetapi demi mendengar suara kecapinya yang mesra menarik itu, tak tertahan hatinya terguncang.

“Mana kitabnya? Sebenarnya direbut orang Kay-pang atau tidak?” tanya Li Bok-chiu tiba-tiba kepada Liok Bu-siang.

Bu-siang tidak menjawab. sebaliknya Yo Ko gunakan tangan kiri buat memetik kecapi dan tangan kanan melemparkan kitab ‘Panca-bisa’ itu kepadanya.

“Oey-pangcu dari Kay-pang adalah seorang berbudi luhur dan punya harga diri, mana dia sudi melihat kitabmu yang kotor ini? Malah dia telah memberi perintah kepada anak murid Kay-pang agar tidak membalik barang sehalaman bukumu ini,” demikian kata Yo Ko.

Melihat kitab pusakanya masih baik-baik tanpa kurang sesuatu apa pun, girang sekali Li Bok-chiu. Ia pun kenal kelakuan Kay-pang yang biasanya sangat terpuji, peraturan mereka pun sangat keras, jadi mungkin juga belum pernah ada yang membuka kitabnya dan membacanya. Karena girangnya itu pengaruh suara sedihnya lantas berkurang beberapa bagian.

Kemudian Yo Ko keluarkan lagi dua potong belahan sapu tangan bersulam lalu dibentang di atas meja.

“Sapu tangan ini pun kau ambil saja sekalian.” katanya lagi.

Air muka Li Bok-chiu berubah hebat melihat sapu tangan itu, begitu kebutnya menyambar, dua potong sapu tangan itu sudah terbelit kemudian sampai di tangannya. Dia terkesima memandang sapu tangan itu, seketika perasaannya timbul tenggelam bagaikan ombak mendampar.

Di lain pihak Thia Eng dan Liok Bu-siang saling pandang sekejap, paras mereka pun merah jengah, sungguh tak terduga mereka telah memberikan sapu tangan pada Yo Ko, sedang pemuda ini justru unjukkan sapu tangan itu di hadapan mereka. Kedua saudara misan ini seketika sama tahu masing-masing jatuh hati pada Yo Ko, tapi sifat anak gadis dengan sendirinya sukar diucapkan terus terang.

Tiba-tiba Li Bok-chiu merobek dua potong sapu tangan itu menjadi empat potong. “Kejadian sudah lalu buat apa disesalkan?” katanya tiba-tiba.

Dan ketika tangannya menyobek lagi terus dilempar ke udara, tahu-tahu sobekan sapu tangan tadi berhamburan bagai bunga rontok. Yo Ko terkejut.

“Creng!” kembali terdengar suara nyaring, seutas senar kecapi yang lain kembali putus.

“Kalau kini kubunuh kau, gampang bagai membalik tanganku sendiri!” bentak Li Bok-chiu. “Tapi kau terluka, bila kubunuh mungkin kau pun tidak rela, Cis, putus lagi seutas!”

Betul saja, senar kecapi ke lima kembali putus menyusul suara ejekannya itu. Kini kecapi yang tadinya bersenar tujuh itu tinggal tersisa dua senar saja, betapa pandai Yo Ko memainkan kecapi sukar lagi untuk membentuk irama.

“Hayo lekas petikkan beberapa lagu sedih saja biar kalian menangis. Dunia fana ini selalu membikin orang menderita, apa senangnya orang hidup?” demikian Li Bok-chiu mendadak membentak.

Tapi watak si Yo Ko sangat bandel, ia justru petik kedua senar kecapinya keras-keras dan tetap dengan nada nyanyian gembira pengantin baru tadi.

“Baik, biar aku bunuh seorang dulu, coba kau bakal sedih dan pilu tidak?” kata Li Bok-chiu pula. Karena kata-katanya ini, kembali seutas senar kecapi gugur lagi.

Kemudian Li Bok-chiu angkat kebutnya hendak disabetkan ke kepala Liok Bu-siang, namun Thia Eng segera angkat pedang siap adu jiwa dengan musuh.

Insaf tak dapat menghindarkan ancaman musuh, tiba-tiba Yo Ko malah tertawa, “Hari ini kami bertiga bisa mati bersama di sebuah tempat dan saat yang sama dalam keadaan senang dan bahagia, sungguh jauh lebih enak dari pada kau hidup sebatang kara di dunia ini dengan hati kosong,” demikian ia mengejek musuh.

“Hayo, Eng-moay, Siang-moay, marilah kalian ke sini!”

Segera Thia Eng dan Bu-siang mendekati Yo Ko, sebuah tangan memegang Thia Eng dan tangan lain memegang Bu-siang, lalu sambil tertawa ia berkata:

“Biarlah kita mati bersama, di tengah jalan menuju alam baka kita masih dapat bicara sambil bergurau, bukankah jauh lebih baik dari pada perempuan jahat dan keji ini?”

“Ya, ya, Tolol, sedikit pun tak salah katamu,” sahut Bu-siang tertawa, karena itu Thia Eng ikut tersenyum hangat.

Karena tangan kedua saudara misan ini dipegang Yo Ko, seketika keberanian mereka pun bertambah lipat ganda, perasaan mereka amat senangnya.

“Apa yang dikatakan bocah ini tidak salah juga, kalau mereka mati secara demikian, betul juga jauh lebih enak dari pada hidupku,” Bok-chiu membatin dengan wajah sedingin es. Namun hatinya yang kejam itu segera berpikir lagi: “Ahh, mana boleh begitu enak bagi mereka? Aku justru ingin membikin kalian mati dengan menderita lebih dulu.”

Kemudian dia gerakkan kebutnya perlahan terus mulai menyanyi lagi, lagunya masih tetap seperti tadi, cuma nadanya tambah sedih bagai keluhan janda terbuang, seperti tangisan setan gentayangan di malam sunyi.

Tangan Yo Ko bertiga masih saling genggam hangat. Tak lama mendengarkan, tiba-tiba timbul rasa pilu mereka yang tak tertahankan. Iwekang Yo Ko lebih tinggi, maka ia coba kumpulkan semangat agar tak terpengaruh dengan pertahankan senyumannya. Hati Bu-siang juga lebih keras dan tidak gampang terguncang, tapi Thia Eng agaknya tak tahan, air matanya mulai meleleh.

Suara nyanyian Li Bok-chiu makin lama semakin rendah, sampai akhirnya menjadi begitu lirih seperti terputus, lalu menyambung lagi. Kelopak mata Yo Ko mulai merah, hidungnya mulai basah ingusan. Jik-lian-sian-cu sedang menunggu, asal ketiga orang itu mengalirkan air mata berbareng, begitu kebutnya menyabet, segera mereka akan dibinasakannya. Tetapi pada saat nyanyiannya bertambah sedih luar biasa, mendadak didengarnya di luar rumah ada orang menghampiri dengan bergelak tertawa, sambil bertepuk tangan dan berdendang.

Suara nyanyian itu suara kaum wanita, kedengaran usia yang menyanyi pasti tidak muda lagi, tapi lagu yang dibawakannya justru lagu kanak-kanak yang riang gembira, nada suara Li Bok-chiu yang sedih itu menjadi kacau balau.

Suara nyanyian itu semakin mendekat, sejenak kemudian masuklah seorang perempuan setengah umur dengan rambut semrawut, kedua matanya besar bulat dan tertawa ketolol-tololan, sebelah tangannya membawa sebatang garpu besar yang biasa dipakai tukang api.

Li Bok-chiu terkejut dan heran. Perempuan itu bisa masuk ke rumah ini dengan mengitari barisan gundukan tanah yang diatur oleh Thia Eng, kalau perempuan sinting ini bukan sekomplotan dengan Thia Eng bertiga, tentu dia pun mahir ilmu perhitungan bintang yang mujizat itu.

Lantaran otaknya terganggu oleh pikiran lain, seketika pengaruh nyanyiannya yang bernada sedih itu lantas, tidak selihay tadi.


LO-SIA DAN SIAU-SIA

Thia Eng girang bukan main melihat datangnya perempuan setengah umur itu, segera ia berseru:

“Suci, orang ini hendak mencelakai diriku, lekas engkau membantu adikmu ini.”

Ternyata perempuan ini adalah murid Oey Yok-su, namanya Sah Koh (si nona tolol). Dia tidak menjawab seruan Thia Eng, tapi melanjutkan bernyanyi sambil tertawa. Lagunya tetap lagu kanak-kanak yang bersuka ria sehingga tidak terpengaruh oleh nada nyanyian Li Bok-chiu yang sangat sedih.

Lama-lama Li Bok-chiu menjadi murka, dia pikir perempuan sinting ini harus dibereskan lebih dahulu. Maka sebelum berhenti nyanyiannya, serentak kebutnya menyabet ke arah kepala Sah Koh. Sungguh aneh, sama sekali Sah Koh tak ambil pusing terhadap serangan Li Bok-chiu, sebaliknya ia mengangkat garpunya terus menusuk ke dada lawan. Melihat serangan lawan sangat kuat, kembali Li Bok-chiu terkejut. Ia tidak paham kenapa perempuan sinting ini dapat memiliki kekuatan sedemikian hebat. Cepat dia menggeser ke samping, menyusul kebutnya menyabet lagi ke leher orang.

Tetapi Sah Koh tetap tidak pedulikan serangan musuh, kembali garpunya menusuk lurus ke depan. Waktu Li Bok-chiu memutar kebutnya untuk membelit ujung garpu, Sah Koh anggap tidak tahu saja, ujung garpu tetap menusuk ke depan. Kiranya Sah Koh ini aslinya adalah anak dari salah satu murid Oey Yok-su yang bernama Ki Leng-hong. Watak Oey Yok-su terkenal aneh, eksentrik, dan Leng-hong menjadi korban wataknya yang luar biasa itu.

Karena menyesal Oey Yok-su pungut anak perempuan Ki Leng-hong, yaitu Sah Koh dan berjanji pada diri sendiri akan mendidik Sah Koh dengan segenap kepandaian yang dimilikinya. Cuma sayang, lantaran syarafnya terganggu pada saat menyaksikan ayahnya tewas, maka otaknya menjadi miring. Terbatas oleh bakatnya ini, maka sia-sia saja jerih payah Oey Yok-su yang berusaha menurunkan segenap kepandaiannya kepada nona itu. Walau pun begitu, selama belasan tahun ini dapat pula dilatihnya suatu permainan ciang-hoat (pukulan dengan telapak tangan) dan permainan Jeh-hoat (permainan garpu).

Apa yang disebut suatu permainan sesungguhnya cuma terdiri dari tiga jurus saja setiap macamnya. Soalnya Oey Yok-su memaklumi bakat Sah Koh yang kurang, kalau diajari perubahan yang aneh dan terlalu rumit tentu malah tak dapat diingatnya, maka ia sengaja menciptakan tiga jurus ilmu pukulan dan tiga jurus serangan garpu. Enam jurus ini sangat berbahaya, tiada sesuatu perubahan sampingan dan tiada gerakan yang aneh, hanya begitu-begitu melulu. Letak kelihaiannya hanyalah soal keteguhan pikiran dan kemantapan hati saja, latih terus keenam jurus itu sekuatnya, lain tidak.

Karena itulah keenam jurus Sah Koh itu tidak dapat dipandang enteng, malah ketika ujung kebut Li Bok-chiu melilit ujung garpu Sah Koh, ternyata lawan tak ambil pusing, garpunya juga tidak berhenti, tetapi tetap lurus menusuk ke depan, sekejap saja ujung garpu sudah sampai di depan dadanya. Syukur Li Bok-chiu memang seorang tokoh maha sakti. Pada detik garpu musuh sudah hampir melubangi buah dadanya, mendadak ia berjumpalitan ke belakang, dengan demikian terhindarlah dia dari renggutan maut, walau pun begitu keringat dingin membasahi tubuhnya.

Setelah berjumpalitan ke belakang, ia tidak berhenti, segera ia melompat maju, kebutnya menyabet dari atas. Tapi lagi-lagi Sah Koh tidak pedulikan serangan lawan, kembali garpunya menusuk lurus ke depan. Karena kali ini Li Bok-chiu sedang melompat, maka garpu itu jadinya mengarah ke perutnya.

Melihat ancaman bahaya itu, terpaksa Li Bok-chiu tarik kebutnya untuk menangkis garpu orang, berbareng melompat ke samping. Dia pandang Sah Koh dengan tidak habis mengerti apa sebabnya setiap tusukan garpu lawan yang sederhana itu seketika sanggup mematahkan sabetan kebutnya yang beraneka ragam perubahan, padahal selama ini tokoh silat mana pun tidak berani meremehkan serangan kebutnya. Jelas perempuan sinting ini memiliki ilmu kepandaian yang sukar diukur, jaIan paling selamat rasanya tiada pilihan Iain kecuali angkat langkah seribu saja.

Tapi baru saja Li Bok-chiu hendak kabur melalui lubang dinding yang dibobolnya, tiba-tiba terlihat di tepi bobolan dinding itu sudah duduk seorang berjubah hijau dan berjenggot panjang, siapa lagi dia kalau bukan Tho-hoa-tocu Oey Yok-su adanya.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar