Kamis, 12 Agustus 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 076

Terpikir akan itu, tak tertahan lagi tiba-tiba ia berseru: “Eh, cici, kiranya lagi-lagi kau yang menolong jiwaku.”

Gadis itu berhenti menulis, tetapi tidak menoleh, hanya dengan suara halus ia menjawab: “Tak bisa pula dikatakan menolong jiwamu. Aku hanya kebetulan lewat di situ dan melihat Hwesio Tibet itu berbuat sewenang-wenang, lagi pula kau sudah terluka...” sampai di sini kepalanya menunduk malu-malu.

“Cici,” kata Yo Ko lagi, “aku... aku...” tetapi karena tergoncangnya perasaan, tenggorokannya serasa tersumbat hingga tak sanggup meneruskan lagi.

“Hatimu baik, tanpa pikirkan jiwa sendiri kau menolong orang lain, aku hanya kebetulan saja bisa membantu sedikit padamu, ini terhitung apa?” demikian kata gadis itu.

“Kwe-pekbo berbudi karena pernah membesarkan aku. Apa bila dia ada kesulitan, sudah semestinya aku membantu. Tapi aku dengan cici...”

“Aku bukan maksudkan Kwe-pekbo-mu, akan tetapi aku maksudkan Liok Bu-siang, adik dari keluarga Liok itu,” potong si gadis.

Sudah lama nama Liok Bu-siang tak pernah terpikir lagi oleh Yo Ko, kini mendengar orang menyebutnya, cepat ia pun bertanya:

“Eh, ya, apakah nona Liok baik-baik saja? Lukanya sudah sembuh bukan?”

“Terima kasih atas perhatianmu,” sahut gadis itu, “lukanya sudah lama sembuh, ternyata kau masih belum lupa padanya.”

Mendengar lagu suara orang seperti memiliki hubungan yang amat rapat dengan Liok Bu-siang, maka Yo Ko bertanya lagi:

“Entah ada hubungan apa antara cici dan nona Liok?”

Tetapi gadis itu tidak menjawab, ia tersenyum dan berkata: “Tak perlu kau panggil aku cici terus, umurku belum setua kau.” ia merandek sejenak, lalu disambungnya sambil tertawa: “Ha, entah sudah berapa kali memanggil ‘Kokoh’, kini hendak merubahnya mungkin agak terlambat.”

Muka Yo Ko segera menjadi merah. Ia menduga waktu dirinya terluka dan dalam keadaan tidak sadar tentu telah salah anggap orang dan memanggil “Kokoh” padanya, boleh jadi ada pula perkataan di luar batas, makin dipikir semakin tak enak perasaannya.

“Kau... kau tidak marah bukan?” tanyanya kemudian.

“Sudah tentu aku tidak marah, bolehlah kau rawat lukamu tenang-tenang di sini,” sahut si gadis tertawa, “Nanti bila lukamu sudah sembuh, boleh segera kau pergi mencari kokoh-mu.”

Beberapa kata itu diucapkannya dengan begitu halus dan ramah, sama sekali berbeda dengan gadis-gadis lain yang dikenal Yo Ko, kedengarannya begitu nyaman dan segar, rasanya bila gadis ini berada di sampingnya, segalanya menjadi aman dan damai. Dia tidak lincah dan nakal seperti Liok Bu-siang, juga tidak secantik dan tinggi hati seperti Kwe Hu. Pula tidak sama dengan Yalu Yen yang gagah terus terang, atau Wanyen Peng yang lemah dan harus dikasihani.

Apa lagi watak Siao-liong-li, lebih-lebih lain dari pada yang lain. Mula-mula ia bisa sedingin es, tetapi karena pengaruh cinta asmara akhirnya ia pun tidak segan-segan mengikat janji sehidup semati. Wataknya itu sesungguhnya terlalu aneh dan extrim.

Hanya si gadis baju hijau ini ternyata sangat ramah tamah dan prihatin, pintar meladeni orang, setiap kata selalu memikirkan kepentingan Yo Ko. Ia tahu pemuda ini sangat merindukan “Kokoh”, lantas ia menghiburnya agar merawat lukanya baik-baik supaya bisa lekas sembuh kemudian segera pergi mencarinya. Begitulah sesudah ia ucapkan kata-kata tadi, kembali ia angkat pit dan menulis lagi.

“Cici, siapakah she-mu yang mulia?” tanya Yo Ko.

“Ada apa kau tanya ini itu, lekas kau rebah yang tenang dan jangan berpikir yang tidak-tidak lagi,” sahut si gadis.

“Baiklah,” kata Yo Ko, “memang aku pun sudah tahu percuma saja bertanya. Jangankan namamu, wajahmu saja tak mau perlihatkan.”

“Parasku amat jelek, toh bukannya kau tak pernah melihatnya,” sahut gadis itu menghela napas.

“Tidak, tidak, hal itu disebabkan kau memakai kedok kulit,” ujar Yo Ko.

“Kalau wajahku secantik Kokoh-mu, buat apa aku memakai kedok?” kata si gadis.

Mendengar orang memuji kecantikan Siao-liong-Ii, senang sekali Yo Ko. “Dari mana kau tahu kokoh-ku cantik? Apa kau pernah melihat dia?” tanyanya.

“Aku tak pernah melihatnya,” kata gadis itu. “Tapi sebegitu besar rindumu padanya, maka dapat dibayangkan pasti dia wanita cantik nomor satu di jagat ini.”

“Jika kau sudah pernah melihat dia, pasti kau akan lebih memuji kecantikannya,” ujar Yo Ko gegetun.

Kata-kata Yo Ko ini kalau didengar Kwe Hu atau Liok Bu-siang pasti akan dibalas dengan sindiran dan olok-olok, tetapi gadis ini ternyata sangat jujur, ia malah berkata:

“Ya, hal itu tak perlu di-sangsikan lagi.” Habis berkata kembali ia menunduk menulis lagi.

Yo Ko termangu-mangu sejenak memandangi langit-langit kelambunya, tak tahan lagi dia berpaling dan memandang potongan tubuh orang yang ramping itu dari belakang.

“Cici, apa yang kau tulis? Apa sangat penting?” tanyanya.

“Aku sedang melatih tulisan,” sahut si gadis.

“Kau memakai tulisan gaya apa?” tanya Yo Ko.

“Ahh, tulisanku terlalu jelek, mana bisa dibilang gaya apa segala?” kata si gadis.

“Kau suka merendah diri saja, aku menduga pasti tulisanmu sangat indah,” kata Yo Ko.

“Aneh, dari mana kau bisa menduganya?” sahut gadis itu tertawa.

“Gadis sepintar kau ini, pasti gaya tulisanmu juga lain dari pada yang lain,” ujar Yo Ko. “Cici, bolehkah tulisanmu diperlihatkan padaku.”

Gadis itu tertawa lagi, “Ahh, tulisanku sekali-kali tidak bisa dilihat orang. Nanti bila lukamu sudah sembuh, aku masih harus minta petunjukmu,” demikian katanya.

Diam-diam Yo Ko malu diri, karena itu pula ia sangat berterima kasih kepada Oey Yong yang telah mengajarnya membaca dan menulis di Tho-hoa-to dulu. Bila waktu itu ia tidak giat belajar, jangan kata membedakan tulisan bagus atau jelek, mungkin sampai sekarang ia akan tetap buta huruf. Setelah termenung-menung sebentar, ia merasa dadanya rada sakit, maka lekas-lekas ia jalankan Iwekang-nya hingga darahnya berjalan lancar. Perlahan-lahan dia merasa segar kembali dan akhirnya dia pun tertidur.



Waktu dia bangun, hari sudah gelap. Gadis itu sudah meletakkan nasi dan lauk pauk di atas meja teh yang terletak di tepi ranjangnya agar si Yo Ko dahar sendiri. Lauk-pauk hanya sebangsa sayur mayur, tahu, telur dan beberapa potong ikan, tetapi cara mengolahnya ternyata sangat lezat. Sekaligus Yo Ko habiskan tiga mangkok penuh nasi ke dalam perutnya tanpa berhenti, habis itu barulah ia memuji berulang-ulang.

Meski muka gadis itu memakai kedok kulit sehingga tak terlihat perubahan emosinya, tapi dari sinar matanya tampak menyorot cahaya yang senang. Besok paginya keadaan luka Yo Ko tambah baikan. Gadis itu mengambil sebuah kursi lalu duduk di depan ranjang untuk menambal bajunya yang compang-camping tak terurus, semuanya ia tambal dengan baik.

“Orang secakap kau kenapa sengaja pakai baju serombeng ini?” kata si gadis kemudian, sembari berkata dia pun berjalan keluar. Waktu kembali dia membawakan satu blok kain hijau, ia ukur menurut baju Yo Ko yang sobek itu lalu dipotongnya untuk membuatkan baju baru.

Dari lagu suara nona ini dan perawakan serta tingkah lakunya, umurnya tentu tidak lebih 18-19 tahun saja, tapi terhadap Yo Ko bukan saja mirip kakak terhadap adik, malah penuh kasih seorang ibu kepada anaknya. Sudah lama Yo Ko ditinggalkan ibundanya, kini ia menjadi terbayang masa anak-anaknya dahulu, ia sangat berterima kasih dan juga heran,

“Cici,” tanyanya, “mengapa kau begini baik padaku, sungguh aku tak berani menerimanya.”

“Hanya membikinkan sepotong baju, apanya yang baik?” sahut si gadis. “Kau mati-matian menolong jiwa orang tanpa pikirkan diri sendiri, itu baru pantas dibilang baik budi.”

Pagi hari itu berlalu dengan tenang. Lewat lohor kembali si gadis menghadapi meja sambil berlatih menulis. Pingin sekali Yo Ko melihat apakah sebenarnya yang ditulis, tapi beberapa kali ia memohon selalu ditolak.

Kira-kira ada sejam gadis itu tekun menulis, habis selembar ditulisnya, lalu ia termenung-menung. Ia robek kertasnya dan kembali menulis lagi, tetapi tulisannya tetap seperti tidak memuaskan, maka habis tulis lantas dirobek, sampai akhirnya terdengar ia menghela napas, lalu tak menulis lebih lanjut.

“Kau pingin makan apa, biar kubuatkan,” tanyanya kemudian kepada Yo Ko.

Tergerak pikiran Yo Ko tiba-tiba. “Terima kasih, hanya bikin repot kau saja,” sahutnya.

“Apakah? Coba bilang,” kata si gadis.

“Aku ingin makan bakcang,” ujar Yo Ko.

Gadis itu rada tertegun, tapi segera ia pun berkata: “Repot apanya? Hanya membungkus beberapa kue bakcang saja! Aku sendiri memang juga pingin makan bakcang. Kau suka yang manis atau yang asin?”

“Boleh seadanya, asal sudah makan bakcang aku pasti puas, mana berani pilih lagi?” sahut Yo Ko.

Betul juga, malam itu si gadis telah membuatkan beberapa buah kue bakcang untuk Yo Ko, yang manis berisi kacang ijo gula putih, yang asin pakai daging sam-can bercampur ham, rasanya lezat tiada bandingan. Keruan saja beruntung sekali mulut Yo Ko, sembari makan ia pun tiada hentinya memuji-muji.

“Kau benar-benar pintar, akhirnya dapat juga kau menerka asal usul diriku,” kata gadis itu kemudian sambil menghela napas.

Yo Ko menjadi sangat heran, dia tidak sengaja menerka, mengapa bilang asal-usul orang kena diterkanya? Namun begitu, ia toh berkata:

“Kenapa kau bisa tahu?”

“Ya, kampung halamanku Ohciu tersohor karena makanan kue bakcang, kau tidak minta yang lain tapi justru ingin makan bakcang,” sahut si gadis.

Pikiran Yo Ko tergerak. Teringat olehnya beberapa tahun yang lalu di Ohciu pernah berjumpa dengan Kwe Ceng dan Oey Yong, juga pertemuannya dengan Auwyang Hong dan perkelahiannya melawan Li Bok-chiu, tapi siapakah gerangan si gadis di depan mata ini tetap tak dapat mengingatnya. Mengenai permintaannya ingin makan bakcang adalah karena dia mempunyai tujuan lain. Pada waktu hampir selesai makan, ketika gadis itu sedikit meleng, mendadak ia lekatkan sepotong bakcang di telapak tangannya dan selagi si gadis bebenah mangkok sumpit ke dapur, cepat sekali ia ambil seutas benang yang ketinggalan ketika gadis itu menjahit baju untuknya tadi.

Pada ujung benang dia ikat bakcang yang dia sisakan tadi terus disambitkan ke meja, dan sepotong kertas robekan telah melekat oleh kue bakcang itu, lalu ia tarik benangnya dan membacanya. Namun dia menjadi melongo, kiranya di atas kertas itu tertulis 8 huruf yang maksudnya terang sekali berbunyi:

‘Jika sudah kutemukan dikau, betapa aku tidak senang?’

Lekas-lekas Yo Ko sembunyikan kertas itu, dia lemparkan ujung benang dan memancing pula selembar kertas. Dia lihat di atasnya tetap tertulis 8 huruf tadi, cuma ada satu huruf yang ikut tersobek. Hati Yo Ko memukul keras, beruntun-runtun ia sambitkan bakcang itu dan belasan lembar kertas robekan itu kena dipancingnya, tapi apa yang tertulis di atasnya bolak-balik tetap 8 huruf. Ia coba menyelami maksud apa yang terkandung dalam tulisan itu, tanpa terasa ia termangu-mangu sendiri. Tiba-tiba didengarnya suara tindakan orang, gadis tadi telah masuk kamar lagi.

Lekas-lekas Yo Ko selusupkan kertas-kertas itu ke dalam selimutnya. sementara si gadis mengumpulkan sisa-sisa kertas robekan tadi dan dibakarnya diluar kamar.

“Kata-kata ‘dikau’ yang ditulisnya itu jangan-jangan maksudkan aku?” demikian Yo Ko berpikir sendiri, “Tapi aku dengan dia bercakap saja belum ada beberapa patah kata, apanya yang menyenangkan dia akan diriku ini? Bila bukan maksudkan diriku, toh di sini tiada orang lain.”

Sedang ia termenung-menung, gadis itu sudah masuk kamar lagi. Setelah berdiri sejenak di pinggir jendela, kemudian api lilin disirapnya. Sinar rembulan remang-remang menyorot masuk melalui jendela.

“Cici,” Yo Ko memanggil perlahan.

Tapi gadis itu tak menjawabnya, sebaliknya ia berjalan keluar. Selang tak lama, terdengar di luar ada suara seruling yang ulem, sebuah lagu merdu sayup-sayup berkumandang. Pernah Yo Ko rnelihat gadis itu memakai seruIing sebagai senjata menempur Li Bok-chiu, ilmu silatnya tidaklah lemah, siapa duga seruling yang ditiupnya ternyata juga begini enak didengar. Dahulu waktu tinggal di kuburan kuno, di kala iseng dia sering mendengarkan Siao-liong-li menabuh khim (kecapi) dan dia pernah belajar juga beberapa waktu padanya, maka boleh dikatakan ia pun sedikit paham seni suara.

Waktu ia mendengarkan terus dengan cermat, akhirnya dapat diketahui orang sedang melagukan salah satu bagian dari isi kitab ‘Si-keng’ yang terdiri dari lima bait yang memuji seorang laki-laki cakap, laki-laki ini dikatakan ramah tamah dan suci bersih laksana batu jade yang telah diukir dan halus bagai gading yang sudah dikerik. Sesudah mendengarkan lagi, tanpa tertahan Yo Ko getol juga oleh lagu itu. Ia lihat di tepi ranjang sana ada sebuah kecapi tujuh senar tergeletak di atas meja, perlahan-lahan dia duduk dan mengambil kecapi itu, ia menyetel senarnya lalu ditabuhnya mengiringi suara seruling si gadis.

Kecuali lima bait dalam ‘Si-keng’ itu sebenarnya masih ada beberapa kalimat lanjutannya yang menyatakan laki-laki sejati yang gagah berani itu sebenarnya sukar dilupakan orang. Selagi ia hendak menyambung kalimat itu, mendadak suara seruling berhenti. Yo Ko tertegun, tetapi lapat-lapat ia paham juga akan maksud orang: “Ah, maksudnya meniup seruling mula-mula hanya untuk menghibur diri saja, sesudah diiringi suara kecapiku dia tahu perasaannya dapat dipecahkan olehku. Tapi karena terputusnya suara seruling yang mendadak ini apa bukan lebih menandakan akan maksud isi hatinya itu?”

Besok paginya, ketika gadis itu mengantarkan sarapan pagi, ia lihat Yo Ko telah memakai kedok kulit, ia menjadi heran:

“He, kenapa kau pun pakai barang ini?” tanyanya tertawa.

“Bukankah ini pemberianmu?” sahut Yo Ko. “Kau tak mau perlihatkan muka aslimu, maka biarlah aku pun memakai topeng saja.”

Tahulah si gadis bahwa orang sengaja hendak pancing dirinya membuka kedok, tapi bila ingat kalau kedoknya ditanggalkan, apa yang terpikir dalam hatinya dengan sendirinya akan tertampak pada wajahnya, hal ini berarti menambah banyak kesulitan, maka kemudian ia menjawab dingin:

“Boleh juga bila kau ingin memakainya.” Kemudian, ia letakkan sarapan terus keluar lagi,

Sehari itu dia pun tak bicara lagi dengan Yo Ko. Tentu saja pemuda ini rada tak enak, dia kuatir telah membikin marah, hendak minta maaf pikirnya, tapi tidak pernah lagi gadis itu tinggal sejenak di dalam kamar. Sampai malamnya ketika gadis itu bebenah mangkok piring dan hendak keluar lagi, tiba-tiba Yo Ko memanggilnya:

“Cici, tiupan sulingmu itu amat merdu, sukalah kau meniupnya satu lagu lagi.”

Gadis itu termenung sejurus. “Baiklah,” katanya kemudian.

Ia pun pergi mengambil serulingnya, lalu duduk di depan ranjang si Yo Ko dan meniupnya perlahan. Lagu yang ditiupnya sekali ini adalah ‘Geng-sian-khek’ atau menyambut tamu dewata, lagunya ramah dan hangat seperti tuan rumah yang sedang menjamu tetamunya dengan gembira.

“Kiranya di waktu meniup seruling kaupun memakai kedok dan sama sekali tak ingin kelihatan perasaan hatimu,” demikian Yo Ko membatin.

Tetapi sebelum habis satu lagu ditiup, ketika sinar bulan perlahan-lahan menyorot naik ke dinding, mendadak gadis itu meletakkan serulingnya lalu menjerit sambil berdiri, suaranya terdengar begitu kaget dan kuatir.

Melihat perubahan orang yang hebat dan aneh ini, seketika Yo Ko ikut terkejut. Waktu ia pandang menurut arah sinar mata orang, ia lihat di atas dinding kelihatan ada tiga buah cap tangan merah. Ketiga cap tangan ini sangat tinggi, harus dengan melompat baru dapat mencapainya. Karena warnanya merah dan berdarah, di bawah sorotan sinar bulan menjadi nampak tambah seram.

“Cici, permainan apakah dan perbuatan siapakah itu?” tanya Yo Ko yang tidak mengerti akan maksud tiga cap tangan itu.

“Kau tidak tahu?” menegas si gadis, “Jik-lian sian-cu!”

“Li Bok-chiu maksudmu?” tanya Yo Ko. “Bilakah ia tinggalkan cap tangan ini?”

“Tentunya pada waktu kau tidur tadi malam,” kata gadis itu. “Di sini memang ada tiga orang.”

“Tiga orang?” Yo Ko menegas dan tidak paham.

“Ya,” kata si gadis, “la tinggalkan tiga cap tangan, maksudnya adalah memberi peringatan akan membunuh tiga orang penghuni rumah ini.”

“Kecuali kau dan aku, siapakah gerangan orang ketiga itu?” tanya Yo Ko.

“Aku,” sambung suara seseorang tiba-tiba dari luar.

Ketika pintu terpentang, dari luar masuk seorang gadis berpakaian kuning muda, perawakannya langsing, raut mukanya potongan daun sirih, siapa lagi dia kalau bukan Liok Bu-siang yang jiwanya pernah beberapa kali ditolong oleh Yo Ko.

“Ha-ha, Tolol, sekali ini giliranmu yang terluka, ya?” demikian Bu-siang menyapa dengan tertawa.

“Bini...” mendadak Yo Ko berhenti.

Sebetulnya ia hendak panggil ‘bini cilik’, tapi baru setengah ucapan tiba-tiba teringat olehnya masih ada gadis berbaju hijau yang ramah itu berdiri di samping, maka ia pun tak berani bergurau lagi.

“Piauci, begitu aku terima beritamu, segera aku datang ke sini,” kata Bu-siang lagi, “He, Tolol, siapakah yang melukai kau?”

Belum Yo Ko menjawab, tiba-tiba si gadis baju hijau menuding cap tangan di dinding. Seketika Liok Bu-siang berseru kaget, air mukanya berubah hebat bagai melihat momok. Pemandangan waktu kecil di kampung halamannya Ling-oh-tin di Ohciu, di mana Li Bok-chiu meninggalkan cap tangan dan membunuh seluruh anggota keluarganya tak tertinggal sejiwa pun, seketika terbayang olehnya.


ADU LAGU

Begitulah dalam berdukanya air mata ber-kilau hendak menetes, tiba-tiba dia ulurkan kedua tangannya dan sekaligus menarik kedua kedok dari muka Yo Ko dan si gadis baju hijau sambil berkata:

“Lekas kita mencari daya untuk menghadapi iblis jahat ini, buat apa kalian berdua masih memakai barang tidak genah ini.”

Karena ditanggalkannya kedok, seketika mata Yo Ko terbeliak. Dia lihat gadis itu berkulit putih bersih bagai salju, parasnya bundar telur dan pada pipinya terdapat dekik kecil yang manis, meski tak secantik Siao-liong-li yang tiada taranya, tapi terhitung satu nona yang amat ayu juga. Kiranya gadis ini adalah Piauci atau kakak misan Liok Bu-siang, ialah Thia Eng, si gadis cilik pemetik ubi teratai yang kita kenal pada permulaan cerita ini.

Seperti diketahui dahulu ia tertawan Li Bok-chiu dan hampir teraniaya oleh tangan kejinya. Kebetulan Tho-hoa Tocu (pemilik pulau Tho-hoa) Oey Yok-su lewat di situ dan menolong jiwanya. Semenjak puterinya (Oey Yong) menikah, Oey Yok-su lantas mengembara ke mana saja, meski jiwanya sangat sederhana dan terbuka, tapi seorang tua hidup sebatang-kara mau tak mau kesepian juga. Tatkala itu Thia Eng yang lemah tiada sandaran menimbulkan rasa kasihannya. Dia segera menyembuhkan racun luka Thia Eng dan karena gadis cilik ini pintar meladeninya melebihi Oey Yong, maka dari kasihan timbullah rasa sayang hingga akhirnya Oey Yok-su menerimanya sebagai murid secara resmi.

Meski pun kepintaran dan kecerdasan Thia Eng tidak menimpali Oey Yong, tetapi ia bisa berlaku sangat hati-hati dan giat belajar, maka tidak sedikit pula kepandaian kebanggaan Oey Yok-su berhasil dilatihnya.

Tahun ini baru saja dia tamat belajar ilmu silat. Ia minta ijin sang guru, lalu kembali ke utara untuk mencari Piaumoay, dan kebetulan di tengah jalan diketemukannya Yo Ko dan Liok Bu-siang yang sedang diuber-uber Li Bok-chiu, lantas dia bantu memberi peringatan dan tengah malam menolongnya pula.

Habis pertempuran di restoran di mana mendadak Yo Ko pergi tanpa pamit, Thia Eng lantas membawa Liok Bu-siang ke tanah pegunungan sunyi ini dan mendirikan gubuk untuk merawat lukanya. Beberapa hari yang lalu setelah luka Liok Bu-siang sembuh sama sekali, gadis ini pesiar keluar dengan seorang kawannya, dan siapa tahu di tengah jajan dipergokinya Oey Yong sedang bertahan melawan Kim-lun Hoat-ong dengan memasang ‘Loan-ciok-tin’.

Tentang ilmu pengetahuan yang aneh-aneh itu pernah juga Thia Eng belajar dari Oey Yok-su. Meski pun tak banyak yang dipahaminya, tapi dari sedikit yang dipelajarinya itu secara kebetulan Yo Ko dapat ditolongnya. Kini tiga muda-mudi berkumpul, ketika membicarakan Li Bok-chiu barulah mereka tahu di waktu kecilnya sudah pernah berjumpa di Ohciu. Sebelah mata Li Bok-chiu menjadi buta justru karena dipatuk burung merahnya Yo Ko.

Tatkala itu Li Bok-chiu kena diatasi oleh Oey Yok-su sehingga pernah ditempeleng empat kali oleh Thia Eng. Paling akhir ini Liok Bu-siang menggondol lari kitab pusakanya, ‘Panca-bisa’, tentu saja gadis ini lebih-lebih ingin dibekuknya. Kalau dibicarakan maka ketiga muda-mudi ini semua adalah musuh besar Jik-lian-sian-cu, kini mendadak ia datang lagi, ia tak mau binasakan Yo Ko secara diam-diam selagi orang terluka, tapi malah meninggalkan tanda peringatan tiga cap tangan, suatu tanda ia sudah yakin tiga sasarannya tidak akan bisa loIos.

Yo Ko sendiri terluka hingga tak bisa berkutik, kalau melulu mengandalkan Thia Eng dan Liok Bu-siang susah melawannya. Setelah ketiga orang berunding, mereka pun merasa tak berdaya.

“Aku masih ingat tempo dulu iblis ini mendatangi rumah Piaumoay pada waktu hari hampir terang tanah,” demikian kata Thia Eng, “sekarang jika dia juga datang sebelum fajar tiba, maka sementara ini kita masih ada waktu beberapa jam. Kuda tunggangan Yo-heng amat bagus, biarlah sekarang juga kita lari, belum tentu iblis itu bisa menyandak.”

“Ya, bagaimana Tolol, kau terluka, sanggup naik kuda tidak?” tanya Bu-siang.

“Terpaksa harus dicoba juga,” sahut Yo Ko. “Dari pada mati konyol di tangan iblis ini.”

“Piauci,” kata Bu-siang pula, “kau kawani si Tolol lari ke barat, nanti aku akan pancing dia mengejar ke timur.”

“Tidak, kau saja yang menemani Yo-heng,” sahut Thia Eng sedikit jengah, “Di antara kita bertiga permusuhanku dengan dia paling ringan, sekali pun aku tertangkap belum pasti dia membunuh aku, sebaliknya bila kau yang terpegang, dapat dipastikan kau celaka.”

“Tujuan kedatangannya ini adalah diriku, kalau ia dapatkan aku bersama dengan si Tolol ini, bukankah akan bikin susah dia?” ujar Bu-siang.

Terharu sekali Yo Ko mendengar pembicaraan mereka. Dia pikir kedua nona ini ternyata berbudi luhur, dalam keadaan berbahaya dengan suka rela bersedia menolong jiwanya, kalau aku sampai tertangkap dan tewas oleh iblis itu, hidupku rasanya tak sia-sia.

“He, Tolol, coba katakan, kau lebih suka lari diiringi Piauci atau dikawani aku?” mendadak Bu-siang bertanya.

Belum Yo Ko menjawab, Thia Eng telah menyela: “Kenapa kau terus memanggilnya Tolol, apa kau tak takut Yo-heng marah?”

Bu-siang melelet lidah jenaka, lalu dengan tertawa ia bilang: “Coba lihat, begitu ramah kau terhadapnya, tentu saja engkoh Tolol ini pilih diiringi kau.” Dari sebutan ‘Tolol’ sekarang ia ganti dengan memanggil ‘engkoh Tolol’, hal ini boleh dikatakan Bu-siang telah menaikkan harga si Yo Ko.

Keruan saja Thia Eng merah jengah, “Eh, bukankah dia juga panggil kau bini cilik? Jika sebagai bini cilik kau tak mengurusnya, lalu siapa yang akan urus dia?” demikian balasnya menggoda.

Kini giliran Liok Bu-siang yang merah jengah. Ia ulurkan tangan lantas akan meng-kilik Thia Eng dan terjadilah udak-udakan. Suasana dalam kamar seketika menjadi berubah, mereka bertiga tidak ketakutan lagi seperti tadi.

“Jika nona Thia yang iringi aku lari, tentu bini cilik berbahaya jiwanya, sebaliknya bila bini cilik yang kawani aku, nona Thia juga amat berbahaya,” demikian Yo Ko berpikir.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar