Minggu, 08 Agustus 2021

Sin Tiauw Hiap Lu Jilid 072

Karena itu lagu suara Kwe Ceng berubah sedikit halus. “Ko-ji,” katanya pula, “manusia mana yang tidak pernah salah (Ko), tapi salah berani memperbaiki hal ini harus dipuji, ini adalah petuah Nabi. Kini kau tidak menghormati guru, ini adalah kesalahan maha besar, hendaklah kau bisa pikirkan baik-baik.”

“Kalau aku punya salah sudah tentu akan kuperbaiki,” sahut Yo Ko. ”Tetapi dia... dia...” ia tuding Ci-keng dan melanjutkan: “dia pukul aku, dia menghina aku, menipu aku dan benci kepadaku, mana mau aku mengakui dia sebagai guru? Aku dan Liong-kokoh suci bersih, Thian menjadi saksi, aku menghormati dia, kucinta padanya, apakah ini satu kesalahan?” Yo Ko mencerocos dengan lancar dan bersemangat oleh rasa benarnya.

Kecerdasan dan bicaranya Kwe Ceng tak ungkuli pemuda ini, maka tentu saja ia menjadi gelagapan. Perbuatan orang dirasakannya salah, cuma seketika ia tak bisa menjelaskan.

“Ko-ji,” sementara Oey Yong sudah maju juga. “Kwe-pepek ingin kau berbuat baik, hal ini hendaklah kau mengerti,” suaranya halus.

Karena itu perasaan Yo Ko menjadi terguncang, ia pun lirihkan suara dan menyahut: “Ya, selamanya Kwe-pepek sangat baik padaku, hal ini aku cukup tahu.”

Karena terharu matanya menjadi merah dan hampir-hampir meneteskan air mata.

“Maksudnya hanya berusaha menginsafkan kau, sekali-kali janganlah kau salah paham,” kata Oey Yong lagi.

“Tetapi aku justru tak paham, aku tak mengerti kesalahan apakah yang kulakukan?” kata Yo Ko lagi.

Tiba-tiba Oey Yong menarik muka, “Apa kau benar-benar tak mengerti atau kau sengaja main gila dengan kami?” tanyanya.

Yo Ko menjadi penasaran, ia pikir: “Kalau kalian baik-baik terhadapku dengan sendirinya aku pun balas dengan baik, tetapi kalian ingin aku berbuat bagaimanakah?” Karena itu ia menggigit bibir dan tak menjawab.

“Baiklah, bila kau ingin aku bicara terus terang, rasanya aku pun tidak perlu main teka-teki dengan kau,” kata Oey Yong, “Liong-kokoh adalah Suhu-mu, itu berarti orang tua yang harus kau hormati, maka tak boleh ada hubungan pribadi antara laki-laki dan perempuan.”

Peraturan demikian itu bukannya Yo Ko tak paham sama sekali seperti halnya Siao-liong-li, cuma dia tak mengerti, sebab apa hanya lantaran Kokoh pernah mengajarkan ilmu silat padanya lantas tidak boleh menjadi isterinya? Kenapa hubungannya dengan Liong-kokoh yang suci bersih, Kwe-pepek saja tak mau percaya? Berpikir sampai di sini, tak tahan lagi ia pun naik darah. Dasar Yo Ko seorang yang tak gentar terhadap segala apa dan pantang kekerasan, sekali ia merasa penasaran, ia menjadi lebih tak mau mengerti. Segera dengan suara keras dia berkata lagi:

“Dan perbuatan apa yang kulakukan sehingga membikin susah kalian? Siapa yang pernah kucelakai? Liong-kokoh pernah mengajarkan ilmu silat kepadaku, aku justru ingin dia menjadi isteriku, kau boleh bacok aku, boleh cincang aku, namun aku tetap ingin dia menjadi isteriku.”

Kata-katanya ini betul-betul membikin seluruh hadirin terperanjat. Pada jaman Song orang amat kukuh pada tata adat, mana ada logika yang menyimpang 180 derajat dari peraturan itu? Selama hidup Kwe Ceng sendiri paling menghormat pada guru, maka ia marah tidak kepalang oleh jawaban Yo Ko itu, cepat sekali dia melangkah maju, segera dia jamberet dada Yo Ko.

Siao-liong-li terkejut, segera ia menangkis, tapi ilmu silat Kwe Ceng masih jauh di atasnya, apa lagi dalam keadaan marah, seluruh tenaganya telah dikeluarkan semua. Ketika sekali tarik terus dilemparkan, tahu-tahu Siao-liong-li terlempar pergi satu tombak lebih lalu turun kembali di luar pintu, menyusul mana sebelah tangan Kwe Ceng memegang dada Yo Ko tempat ‘Thian-tut-hiat’ dan tangan lain diangkatnya tinggi-tinggi sambil membentak:

“Binatang cilik, kenapa kau berani keluarkan kata-kata durhaka semacam itu?!”

Seluruh tenaga Yo Ko lenyap seketika oleh karena cekalan Kwe Ceng itu, namun dalam hati sedikit pun ia tak takut.

“Kokoh cinta padaku sepenuh hatinya, demikian pula aku terhadapnya,” katanya lantang, “Kwe-pepek, kau mau bunuh aku boleh bunuhlah, tapi keputusanku ini tak akan berubah selamanya.”

“Aku anggap kau seperti anakku sendiri, tak boleh kudiamkan kesalahanmu ini dan tidak memperbaikinya,” kata Kwe Ceng.

“Aku tidak salah, aku tidak melakukan sesuatu yang buruk, aku tidak pernah mencelakai orang lain!” jawab Yo Ko tegas. Tiga kalimat itu diucapkannya dengan begitu kuat dan pasti.

Seketika hati para ksatria ikut terkesiap, mereka merasa kata-kata Yo Ko ada bagian yang masuk di akal, umpama saja kalau kedua muda-mudi ini tidak bilang-bilang kepada orang lain, kemudian hidup menyendiri di dunia lain atau menjadi suami isteri di pulau terpencil misalnya, bukankah tidak merugikan siapa pun juga. Tapi kalau berbuat semena-mena sesukanya tanpa menghiraukan pendapat umum, ini pun tak bisa dibenarkan dan merupakan sampah masyarakat persilatan.

Namun pendapat Kwe Ceng berlainan dari pada Yo Ko. Ketika telapak tangannya sudah diangkat, dia berkata dengan hati pedih sekali:

“Ko-ji, betapa sayangku padamu, apakah kau mengerti? Aku lebih suka kau mati dari pada kau berbuat hal-hal tak baik, pahamkah kau?”

Karena kata-kata Kwe Ceng ini, Yo Ko tahu bila tidak ganti lagu suara, sekali gablok pasti dirinya akan terpukul mati, kadang kala pemuda ini licin dengan macam tipu akalnya, tapi kini ia justru keras kepala, maka dengan tegas ia menjawab:

“Aku yakin aku tak bersalah, kalau Pepek tak percaya biarlah kau pukul mati aku saja.”

Telapak tangan kiri Kwe Ceng telah diangkat tinggi-tinggi, sekali gablok ke atas batok kepala Yo Ko, mana bisa bernyawa pula? Karena itu seketika para ksatria sunyi senyap tiada yang bersuara, semuanya menatap tangan Kwe Ceng apakah jadi digablokkan atau tidak.

Sejurus lamanya telapak tangan Kwe Ceng tetap terangkat tinggi, kembali dia pandang Yo Ko sekejap, ia lihat bocah ini gigit kencang bibirnya dan alis terkerut rapat, parasnya begitu mirip dengan mendiang ayahnya, Yo Khong. Mendadak Kwe Ceng menghela napas panjang, ia lepaskan jambretannya dan berkata:

“Sudahlah, harap kau berpikir lebih masak.”

Habis itu ia pun kembali ke tempat duduknya tadi, sekejap saja ia tidak pandang Yo Ko lagi, tampaknya ia begitu putus asa dan habis harapan.



“Ko-ji, orang-orang ini begini kasar, jangan kau pedulikan mereka, marilah kita pergi saja,” tiba-tiba Siao-liong-li menggapai Yo Ko. Nyata sama sekali ia tidak tahu bahwa jiwa Yo Ko tadi sudah dalam saat yang menentukan.

Dengan langkah lebar segera Yo Ko keluar dari ruangan pendopo itu sambil bergandeng tangan dengan Siao-liong-li. Di luar mereka mendapatkan kuda mereka yang kurus itu dan segera menuntunnya berlalu.

Dengan mata terpentang Iebar para ksatria mengikuti kepergian kedua muda-rnudi itu, ada yang memandang rendah, ada yang kagum, ada yang marah dan ada yang simpatik dan macam-macam perasaan yang tak sama.

Begitulah berendeng Yo Ko bikin perjalanan dengan Siao-liong-li, meski pun hari telah jauh malam namun mata kedua orang ini cukup terlatih, jalan di malam gelap mereka anggap seperti siang hari saja. Sudah lama berpisah dan sekarang kedua muda-mudi ini berdua kembali, betapa senang perasaan mereka tak perlu dilukiskan lagi, segala apa yang terjadi tadi, pertempuran mati-matian, perdebatan dan caci maki, semuanya sudah mereka lupakan.

Mereka berjalan tanpa bicara, akhirnya sampai di bawah pohon Yang-liu yang rindang, tanpa berjanji keduanya mendekati kemudian duduk bersandarkan dahan pohon, lambat laun mereka pun merasa letih dan kemudian terpulas. Di kejauhan kuda kurus makan rumput hijau dengan bebasnya, hanya kadang-kadang terdengar suara meringkiknya yang perlahan. Setelah bangun, hari sudah terang benderang, kedua muda-mudi itu saling pandang lalu tertawa.

“Ke mana kita sekarang, Kokoh?” tanya Yo Ko.

“Lebih baik kembali Ko-bong (kuburan kuno) saja,” sahut Siao-liong-li sesudah merenung sejenak.

Nyata sejak ia turun gunung, ia merasa meski dunia ramai sangat indah, tetapi tetap tidak lebih merdeka dari pada hidup di kuburan kuno. Yo Ko juga tahu jiwa Siao-liong-li terlampau polos dan tidak cocok untuk bergaul dengan orang. Ia pikir jika selama hidup ini bisa berdampingan dengan gadis ini, selebihnya tiada yang dia inginkan lagi. Dahulu ia suka kenangkan dunia luar yang ramai dan berharap bisa keluar kuburan, namun sesudah berkelana sekian lama, kembali ia rindu pada kehidupan yang aman tenteram dalam Ko-bong.

Begitulah kedua orang itu pun balik ke utara, sepanjang jalan mereka saling bicara sambil menempuh jalan dengan perlahan-lahan. Yang satu tetap panggil “Ko-ji” dan yang lain sebut “Kokoh”, mereka merasa sebutan itu adalah paling cocok dan wajar. Sampai lohor, pembicaraan mereka sampai pada ilmu silat Kim-lun Hoat-ong dan murid-muridnya yang lihay luar biasa.

“Ko-ji, bab yang terakhir dari Giok-li-sim-keng selamanya belum pernah kita latih, apa kau masih ingat?” tiba-tiba Siao-liong-li berkata.

“lngat, cuma berulang kali kita sudah pernah coba memecahkannya selalu gagal, agaknya pasti ada yang salah,” sahut Yo Ko.

“Sebenarnya aku pun tidak paham,” ujar Siao-liong-li, “tetapi kemarin melihat imam wanita tua itu menggerakkan pedangnya, aku teringat sesuatu.”

Seketika Yo Ko paham juga bila teringat tipu gerakan pedang yang digunakan Sun Put-ji kemarin.

“Ya, ya,” segera ia berteriak, “Giok-li-sim-keng dan ilmu silat Coan-cin-pay harus digunakan berbareng, pantas kita sudah melatih ke sana kemari belum berhasil.”

Kiranya dahulu cikal-bakal Ko-bong-pay, Lim Tiao-eng, amat tergila-gila pada Ong Tiong-yang. Waktu tinggal sendirian dalam kuburan kuno ia ciptakan ilmu silat Giok-li-sim-keng, tetapi terhadap Ong Tiong-yang masih tetap tidak pernah lupa, maka sampai bab terakhir dari Giok-li-sim-keng yang dia tulis, timbul khayalannya pada suatu hari kelak pasti dapat berdiri sejajar dengan jantung hatinya menggempur musuh. Oleh karena itu ajaran ilmu pada bab terakhir itu melukiskan seseorang menggunakan ilmu dari Giok-li-sim-keng dan yang lainnya memakai ilmu silat Coan-cin-pay untuk saling bahu membahu menggempur musuh. Begitulah dari segala isi hati yang pernah tumbuh di dalam lubuk hati Lim Tiao-eng terhadap Ong Tiong-yang, semuanya sudah disalurkan melalui bab terakhir dari ilmu silat ciptaannya.

Pada saat Siao-liong-li dan Yo Ko mula-mula melatihnya, karena rasa cinta mereka belum bersemi, maka tak mungkin paham jerih payah maksud hati Cosu-popoh mereka, lebih-lebih tidak bisa dimengerti bahwa di antara mereka yang satu harus pakai ilmu silat perguruan sendiri dan yang lain harus mempergunakan ilmu silat Coan-cin-pay yang sama sekali berlawanan. Kini sesudah sadar, segera kedua muda-mudi itu jemput sebatang kayu dan sejurus demi sejurus mereka pun mulai memecahkan pelajaran yang sudah lama belum berhasil itu.

Dengan perlahan Siao-liong-li mainkan Giok-li-sim-keng dan Yo Ko sebaliknya keluarkan Kiam-hoat Coan-cin-pay. Tetapi baru beberapa jurus mereka pecahkan, kembali mereka menghadapi jalan buntu karena satu dan lain tak cocok.

Hendaklah diketahui bahwa dulu waktu Lim Tiao-eng menciptakan ilmu pedang ini, dalam khayalannya dia berdiri sejajar dengan Ong Tiong-yang menggempur musuh, maka setiap tipu gerakan selalu bekerja sama dengan rapat. Sekarang Yo Ko dan Siao-liong-li saling melatih dengan tangkai kayu, mereka anggap masing-masing sebagai pihak lawan, waktu dimainkan dengan sendirinya menyimpang dan tak cocok, meski mereka mengulanginya berkali-kali tetap tidak betul.

“Apa mungkin kita sudah lupa, coba kita kembali ke Ko-bong dulu baru nanti melatihnya lagi,” ujar Siao-liong-li.

Selagi Yo Ko hendak menjawab, didengarnya di kejauhan ada suara derap kuda, seorang penunggang secepat terbang mendatangi. Kuda itu seluruhnya berbulu merah, penunggangnya juga baju merah, hanya sekejap saja, orang dan tunggangannya bagaikan segumpal awan merah sudah lewat di samping mereka, nyata itu adalah kuda ‘si merah’ tunggangan Oey Yong.

Yo Ko tak ingin bertemu dengan keluarga Kwe Ceng yang hanya menimbulkan rasa kesal saja, maka ia ajak Siao-liong-li memilih jalan kecil saja agar tidak kepergok dengan orang di depan sana. Meski Siao-liong-li adalah Suhu, tetapi kecuali ilmu silat, urusan-urusan lain sama sekali ia tak paham, kalau Yo Ko bilang pilih jalanan kecil, dengan sendirinya ia pun menurut.

Malamnya kedua orang ini menginap di hotel kecil, Yo Ko tidur di atas ranjang dan Siao-liong-li masih tetap tidur di atas tali yang digantung di antara dua belah dinding. Di dalam hati kedua orang pasti hendak bersuami isteri, akan tetapi karena beberapa tahun di kuburan kuno selalu tidur seperti ini, sesudah bersua kembali mereka masih tetap tidur cara lama dan melatih diri seperti dulu. Yang mereka pikir adalah buah hati sudah berdampingan dan selanjutnya takkan berpisah lagi, mereka sama-sama merasa girang dan terhibur tak terhingga. Besok siangnya tibalah mereka di suatu kota besar. Kota itu penuh sesak dengan lalu lintas kereta kuda dan orang jalan sehingga suasana sangat ramai.

Yo Ko mengajak Siao-Iiong-li dahar di restoran, tapi baru saja mereka naik ke atas loteng, seketika Yo Ko tercengang. Dia melihat Oey Yong dan Bu-si Hengte juga sedang bersantap di situ. Karena sudah telanjur bertemu, Yo Ko pikir tidak enak bila menyingkir, maka ia maju memberi hormat dan menyapa.

“Kau melihat puteriku tidak?” demikian Oey Yong bertanya dengan alis berkerut rapat dan muka muram sedih.

“Tidak, apa Hu-moay tidak bersama dengan kau?” jawab Yo Ko.

Belum lagi Oey Yong menjawab, terdengar tangga loteng riuh ramai dan beberapa orang naik ke atas, seorang yang jalan paling depan berperawakan tinggi besar, siapa lagi dia kalau bukan Kim-Iun Hoat-ong! Yo Ko cukup jeli, ia tak bicara lagi dengan Oey Yong, tapi cepat kembali ke samping Siao-Iiong-li dan membisikinya:

“Berpaling ke sana, jangan pandang mereka.”

Tapi betapa tajamnya sinar mata Kim-lun Hoat-ong. Begitu naik ke atas, seketika semua orang di atas loteng sudah masuk dalam pandangannya, maka terdengarlah dia tertawa-tawa dingin, dengan bebasnya ia duduk menyanding suatu meja.

Sebenarnya Yo Ko sudah berpaling ke arah lain, mendadak ia dengar Oey Yong berseru:

“Hu-ji!”

Yo Ko terkesiap, tanpa terasa ia menoIeh, maka terlihatlah Kwe Hu duduk semeja dengan Kim-lun Hoat-ong dengan mata terbuka lebar lagi memandang sang ibu, cuma tak berani menyeberang ke sini. Kiranya sehabis Kim-lun Hoat-ong dikalahkan, dia masih penasaran dan memikirkan daya upaya untuk tebus kekalahannya. Selain itu Pengeran Hotu terkena jarum berbisa dan racunnya bekerja sangat hebat, segala obat penawar sudah digunakannya tanpa hasil, karena itu menambah hasratnya hendak merebut obat, maka dia tak pergi jauh melainkan menunggu kesempatan baik di sekitar Liok-keh-ceng.

Agaknya memang nasib Kwe Hu yang bakal ketimpa malang. Pagi-pagi dia sudah jalan-jalan dengan kuda merahnya dan kebetulan kepergok Kim-lun Hoat-ong sehingga diseret turun dari kudanya. Beruntung kuda merah itu sangat cerdik, secepat terbang binatang itu lari pulang dan mendengking pilu di hadapan sang majikan.

Kwe Ceng tahu sang puteri mendapat bahaya, keruan terkejut, segera mereka berpencar mencari. Meski pun Oey Yong sedang mengandung, tapi demi sayangnya pada sang puteri dia pun naik kuda merahnya ikut mencari dan hari ini lebih dulu bertemu dengan Bu-si Hengte di kota ini lalu berjumpa pula dengan Yo Ko berdua, dan siapa tahu secara sangat kebetulan, kemudian Kim-lun Hoat-ong juga mendatangi restoran ini dengan tawanannya: Kwe Hu.

Nampak puterinya, Oey Yong terkejut tercampur girang, tetapi biar pun ia banyak tipu akalnya, kini anak gadisnya jatuh di bawah cengkeraman musuh, ia hanya memanggil satu kali habis itu ia pun tak bicara lagi. Sepasang sumpit yang dia pegang menggores kian kemari di atas meja sembari memikirkan tipu daya untuk menolong puterinya.

Selagi dia berpikir, mendadak terdengar Kim-lun Hoat-ong berkata: “Oey-panglu, ini puteri kesayanganmu bukan? Tempo hari kulihat ia menggelendot di pangkuanmu dengan amat manjanya, tampaknya sangat menarik sekali.”

Oey Yong menjengek, ia tidak menjawab. sebaliknya Bu Siu-bun lantas berdiri. “Hmm, percuma kau menjadi ketua aliran. Sesudah kalah bertanding, kini menganiaya anak gadis orang yang masih muda. Benar-benar tidak kenal malu!” bentak pemuda itu.

Namun Kim-lun Hoat-ong menganggap kata-kata orang bagaikan angin lalu saja dan tidak menggubrisnya, kembali ia berkata kepada Oey Yong: “Oey-pangcu, kau suruh orangmu antarkan dulu obat penawar racun jarum berbisa, kemudian kita boleh bertanding se-adil-adilnya untuk menentukan Bu-lim Beng-cu sebenarnya menjadi bagian siapa.”

Oey Yong menjengek lagi, dia tetap tidak menjawab. Dan kembali Bu Siu-bun berdiri lagi sambil berteriak-teriak:

“Kau bebaskan dulu nona Kwe dan kami lantas berikan obat, soal bertanding boleh dirundingkan nanti.”

Oey Yong coba melirik Yo Ko dan Siao-liong-li, dalam hati ia pikir: “Obat penawar ada pada kedua orang ini, tetapi dengan seenaknya saja Siu-ji menjanjikan pada lawan, siapa tahu orang mau memberi atau tidak.”

Sementara itu terdengar Kim-lun Hoat-ong berkata lagi: “Am-gi beracun di jagat ini apakah hanya kalian saja yang punya? Kalian sudah melukai muridku dengan jarum berbisa, aku pun menggunakan paku berbisa melukai puterimu. Kalian berikan obat penawarnya, kami pun obati lukanya. Tapi soal membebaskan orang, ini tak mudah.”

Melihat keadaan puterinya biasa saja, tampaknya tidak terluka, namun kasih sayang ibu, betapa pun Oey Yong bingung juga. Dan karena bingung, maka kecerdasannya menjadi hilang sama sekali tak berdaya.

Sementara itu tiada hentinya pelayan mengantarkan daharan ke meja Kim-lun Hoat-ong, mereka makan minum sepuas-puasnya sambil bicara dan bergurau dalam bahasa Tibet. Kwe Hu duduk terpaku memandang sang ibu, mana ada napsu makan barang satu sumpit saja? Hati Oey Yong terasa bagai disayat-sayat, siapa tahu nasib malang memang biasanya tak menyendiri karena tiba-tiba perutnya terasa melilit sakit.

Habis makan kemudian Kim-lun Hoat-ong bangkit, ia berkata: “Oey-pangcu, marilah ikut pergi sekalian dengan kami.”

Oey Yong terkejut, tetapi dia pun segera insaf, orang bukan saja tak mau bebaskan puterinya, bahkan dia sendiri hendak ‘dibawa’ pergi sekalian. Kini dia hanya sendirian tanpa didampingi sang suami, hanya ada Bu-si Hengte yang terang bukan tandingan orang. Terpikir akan ini, tak tertahan air mukanya berubah hebat.

“Jangan takut, Oey-pangcu,” kata lagi Kim-lun Hoat-ong, “kau adalah tokoh terkemuka Bu-lim daerah Tionggoan, sudah tentu akan kami ladeni dengan hormat. Asal kedudukan Bu-lim Beng-cu sudah selesai dirundingkan, kami antarkan kembali ke selatan dengan baik-baik.”

Kiranya begitu Kim-lun Hoat-ong melihat air muka Oey Yong, ia girang mendapat kesempatan bagus, asal bisa menawan orang, tak ada jalan lain, semua jago Tiong-goan pasti akan menyerah, hal ini terang beratus kali lebih berharga dari pada menawan Kwe Hu saja.

Di lain pihak demi melihat ibu guru mereka dihina, meski pun tahu bukan tandingan orang, akan tetapi Bu-si Hengte tak bisa diam begitu saja. Begitu pedang dilolos, segera mereka menghadang di depan ibu guru.

“Lekas loncat jendela melarikan diri, beri-tahu Suhu supaya datang menoIong,” Oey Yong membisiki kedua saudara Bu.

Tapi Bu-si Hengte pandang sekejap dulu padanya, lalu memandang ke arah Kwe Hu, barulah lari ke jendela.

“Kenapa ragu-ragu?” diam-diam Oey Yong omeli kedua anak muda itu.

Betul saja, sedikit terlambat menjadi tak keburu lagi. Kim-lun Hoat-ong mengulur tangan ke depan, kemudian satu tangan satu punggung mereka dijamberet seperti elang mencengkeram kelinci. Dalam keadaan begitu Bu-si Hengte masih putar pedang menusuk musuh, namun sama sekali Kim-lun Hoat-ong tak berkelit, ia hanya guncang sedikit tangannya hingga serangan kedua saudara Bu itu salah arah, pedang Bu Tun-si menusuk Siu-bun dan pedang Siu-bun menusuk Tun-si.

Kaget sekali kedua Bu cilik itu, lekas-lekas mereka lepaskan pedang hingga dua pedang jatuh ke lantai menerbitkan suara nyaring dan barulah selamat tak melukai mereka sendiri. Ketika Kim-lun Hoat-ong mengangkat tangannya, dua pemuda itu dilemparkannya sejauh setombak lebih.

“Hm, lebih baik ikut pergi Hud-ya (tuan Budha) saja,” kata Hoat-ong tertawa dingin, lalu ia berpaling pada Yo Ko dan Siao-liong-li, katanya pula: “Kalian berdua tidak sejalan dengan Oey-pangcu, bolehlah pergi ke arah sendiri dan selanjutnya jangan ganggu urusan Hud-ya lagi.”

Sebenarnya bukan Hoat-ong memberi ‘service istimewa’ pada mereka berdua, sebaliknya inilah kelicikannya. Ia tahu Oey Yong, Siao-liong-li dan Yo Ko sangat lihay, sungguh pun satu lawan satu tiada yang bisa menandingi dirinya, tapi kalau mereka bergotong-royong menempurnya, hal itu bisa berabe baginya, sekali pun pihaknya akhirnya menang juga, tapi belum tentu akan bisa menawan Oey Yong. Sebab itu ia sengaja memecah belah mereka dulu agar satu sama Iain tidak saling bantu.

“Ko-ji, marilah kita pergi,” kata Siao-liong-li pada Yo Ko, “Hwesio tua ini sangat lihay, tak perlu kita cari gara-gara.”

Yo Ko menyahut baik, ia pun bereskan rekening makanan lalu berdiri menuju ke tangga loteng. Dia pikir dengan kembalinya ke kuburan kuno, boleh jadi untuk selamanya dia tak akan berjumpa pula dengan Oey Yong, oleh karena itu tanpa tertahan ia menoleh memandang sekejap pada sang bibi. Tetapi karena menolehnya ini, ia lihat paras Oey Yong pucat muram, sebelah tangannya memegang perut, jelas kelihatan sedang menahan sakit.

Meski tindak-tanduk Yo Ko suka turuti wataknya yang jahil, tapi jiwanya justru dilahirkan berbudi dan setia kawan. Ia pikir Kwe-pepek dan Kwe-pekbo melarang aku bergaul dengan Kokoh, hal ini memang agak terlalu, tapi sebenarnya mereka tiada maksud jahat padaku. Hari ini Kwe-pekbo mendapat kesulitan, kenapa kutinggal pergi begini saja? Cuma musuh sungguh terlampau kuat, meski diriku dan Kokoh maju berbareng belum pasti dapat melawan paderi Tibet ini. Jika sudah terang tak bisa menolong Kwe-pekbo lagi, untuk apa jiwaku sendiri dan jiwa Kokoh turut dikorbankan percuma? Tidakkah lebih baik lekas pergi memberi tahu Kwe-pepek agar lekas datang menolong.”

Berpikir begitu Yo Ko lantas kedipi Oey Yong. Maka tahulah Oey Yong pemuda ini hendak mengirim kabar untuk minta pertolongan. Hatinya menjadi agak lega, dan perlahan sekali ia mengangguk. Lalu dengan menggandeng tangan Siao-liong-li lantas Yo Ko hendak melangkah menuruni tangga loteng, tapi mendadak dilihat seorang Busu Mongol mendekati Oey Yong dan membentaknya dengan kasar:

“Hayo jalan, tunggu apa lagi?”

Segera tangan Oey Yong hendak ditariknya. Nyata sang bibi dianggapnya seperti pesakitan saja. Sudah belasan tahun Oey Yong menjabat pangcu Kay-pang, betapa tinggi dan terhormat kedudukannya dalam Bu-lim. Meski pun kini berhalangan, tidak akan ia mau terima dihina sembarang orang. Pada saat dilihatnya tangan jago Mongol yang kasar hitam berbulu itu mengulur, lengan bajunya mengebas ke atas, dia tutupi lengannya dengan kain baju, menyusul dia tangkap tangan orang terus disengkelit ke samping. Maka terdengarlah suara gedebukan keras, tubuh jago Mongol yang gede itu ‘terbang’ keluar melalui jendela terbanting ke tengah jalan umum hingga setengah mampus.

Kiranya pembawaan Oey Yong suka kebersihan. Ia tak sudi tangannya yang putih bersih tersentuh tangan yang kasar hitam, maka dengan lengan baju ia bungkus dulu lengan sendiri baru banting orang ke bawah loteng. Para tamu restoran tadinya mendengarkan percakapan mereka yang berlangsung sopan beraturan, maka tak ada yang ambil perhatian, siapa tahu mendadak saling labrak, keruan seketika suasana kacau baIau.

“Sungguh hebat kepandaian Oey-pangcu!” jengek Kim-lun Hoat-ong.

Kemudian dia tirukan jago Mongol tadi, dengan langkah lebar dia pun maju hendak menarik tangan Oey Yong.

Oey Yong tahu orang sengaja hendak pamer kepandaian, meski pun gerakan yang sama, namun jika hendak membantingnya seperti Busu Mongol tadi tidaklah mungkin lagi, maka terpaksa ia mundur setindak.

Waktu itu Yo Ko telah melangkah turun beberapa tingkat tangga loteng. Ketika mendadak nampak kedua pihak terjadi perkelahian dan Oey Yong akan dihina, bangkitlah jiwa ksatrianva yang murni. Tanpa pikirkan mati-hidup atau selamat lagi, secepat terbang dia melompat kembali. Ia sambar pedang Bu Tun-si yang terjatuh tadi dengan tipu ‘oh-liong-jut-hiat’ atau naga hitam keluar dari gua, secepat kilat ia tusuk punggung Kim-lun Hoat-ong sambil membentak.

“Oey-pangcu sedang kurang sehat, kalian mengambil kesempatan ini untuk mendesaknya, kau kenal malu tidak?!”

Ilmu silat Kim-lun Hoat-ong memang nyata satu tingkat lebih tinggi dari pada orang lain. Ketika mendengar dari belakang menyambar angin tajam, sama sekali dia tidak menoleh, melainkan putar tangan ke belakang menyentil batang pedang. Maka terdengarlah suara “cring” yang keras, Yo Ko merasakan tangannya seakan-akan kaku dan ujung pedang lantas menusuk ke bawah. Dia kuatir musuh susulkan serangan lain, maka cepat dia melompat ke samping.

“Anak muda,” kata Kim-lun Hoat-ong. “Lekas kau pergi saja! Ilmu silatmu amat hebat, hari depanmu pasti jauh melebihi aku, tetapi kini kau masih bukan tandinganku, buat apa kau paksakan diri ikut campur dan antar nyawa percuma di bawah roda emasku?”

Dengan kata-katanya sekaligus dia telah mengumpak Yo Ko setinggi langit dan kemudian dibanting pula dengan ancaman. Padahal roda emasnya pernah dihantam jatuh oleh Yo Ko dan Siao-liong-Ii hingga jabatan Bu-lim Bengcu yang tinggal diduduki itu menjadi gagal, dengan sendirinya tiada taranya rasa gemas terhadap kedua muda-mudi ini.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar